41
4.3 Sejarah kedatangan Etnis Tionghoa di Tangerang
Sejak dulu orang Tionghoa mulai merantau ke daerah-daerah di luar negara asalnya. Salah satunya dengan kedatangan orang Tionghoa di Indonesia yang
tercatat sejak berates-ratus tahun yang lalu, yaitu sejak pedangang- pedagang Tionghoa mengunjungi pulau Jawa dengan tujuan utama berdagang. Hubungan
perdagangan Cina dengan Indonesia sudah ada sejak awal Masehi. Adanya penemuan benda-benda keramik di Jawa Barat, Banten Utara dan Sumatra Selatan
yang berasal dari Dinasti Han 206SM-220M sekitar abad pertama Masehi membuktikan terjadinya perdagangan keramik antara Cina dan Indonesia.
Pada abad ke-17 yaitu pada tahun 414M, orang Cina yang datang ke Indonesia adalah Fa Xian. Fa Xian merupakan seorang Biksu Buddha yang dalam perjalanan
pulang dari India ke Cina setelah berlayar selama 90 hari melalui rute laut. Ketika itu kapalnya terhanyut dan singgah di Yapoti Jawa. Kemudian ia merantau
selama lima bulan di Yapoti. Pada akhir abad ke-9 yaitu Dinasti tan sejumlah imigran Cina datang ke
Indonesia dengan tujuan berdagang dan menetap di Indonesia yaitu di Pulau Jawa. Mereka banyak bermukim didaerah Pantai Tuban, Surabaya, Gresik, dan
Tangerang. Hal ini disebabkan karena pelabuhan-pelabuhan besar di Pulau Jawa dapat digunakan untuk berlayar atau berdagang.
Dalam kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang Catatan dari Parahyangan disebut tentang kedatangan orang Tionghoa ke daerah
Tangerang. Kitab tersebut menceritakan tentang mendaratnya rombongan Tjen
Universitas Sumatera Utara
42
Tjie Lung Halung di muara sungai Cisadane yang sekarang diberi nama Teluk Naga pada tahun 1407. Pada waktu itu pusat pemerintahan ada di sekitar pusat
kota sekarang, yang diperintah oleh Sanghyang Anggalarang selaku wakil dari Sanghyang Banyak Citra dari Kerajaan Parahyangan. Perahu rombongan Halung
terdampar dan mengalami kerusakan juga kehabisan perbekalan. Padahal daerah tujuan yang semula ingin dikunjungi adalah Jayakarta.
Rombongan Halung ini membawa tujuh kepala keluarga dan di antaranya terdapat sembilan orang gadis dan anak-anak kecil. Mereka kemudian menghadap
Sanghyang Anggalarang untuk minta pertolongan. karena gadis-gadis yang ikut dalam rombongan itu cantik-cantik, para pegawai Anggalarang jatuh cinta dan
akhirnya kesembilan gadis itu dipersuntingnya. Sebagai kompensasinya, rombongan Halung diberi sebidang tanah pantai utara Jawa di sebelah timur
sungai Cisadane, yang sekarang disebut Kampung Teluk Naga. Gelombang kedua kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang diperkirakan
terjadi setelah peristiwa pembantaian orang Tionghoa di Batavia tahun 1740. VOC yang berhasil memadamkan pemberontakan tersebut mengirimkan orang-
orang Tionghoa ke daerah Tangerang untuk bertani. Belanda mendirikan pemukiman bagi orang Tionghoa berupa pondok-pondok yang sampai sekarang
masih dikenal dengan nama Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok Aren, dan sebagainya.
Di sekitar Tegal Pasir Kali Pasir Belanda mendirikan perkampungan Tionghoa yang dikenal dengan nama Petak Sembilan. Perkampungan ini
Universitas Sumatera Utara
43
kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan telah menjadi bagian dari Kota Tangerang. Daerah ini terletak di sebelah timur sungai Cisadane.
Jika dilihat dari hasil sensus penduduk tahun 1905 dan 1930 terlihat bahwa penduduk Tangerang pada waktu itu sudah terdiri dari berbagai etnik. Namun
demikian golongan etnik mana yang menjajakkan kaki terlebih dahulu di bumi Tangerang belum diketahui.
Secara garis besar hanya dapat digambarkan komposisi penduduk di Tangerang pada awalnya, yaitu terdiri atas etnik Sunda, Jawa, Betawi, Cina, Arab
dan Eropa. Pada masa itu kelompok etnik Sunda sebagian besar menempati daerah Tangerang Selatan dan Tangerang Tengah yang meliputi wilayah
kecamatan Tangerang, Cikupa, Serpong, Curug, Tigaraksa dan Legok. Menurut kronik sejarah Banten, kedatangan orang Sunda di Tangerang berawal dari keikut
sertaan orang-orang Priangan menyerbu Batavia bersama pasukan Mataram, namun setelah usai perang mereka tidak kembali kedaerahnya melainkan minta
izin tetap tinggal di Tangerang. Sampai sekarang mereka dapat diidentifikasikan sebagai orang Sunda, selain mereka tetap menggunakan Bahasa Sunda sebagai
bahasa sehari-hari. Mereka menyebut kampung dimana mereka tinggal dengan nama Sunda seperti Kampung Priangan sekarang Priang, Lengkong Sumedang
dan lain-lainnya. Kelompok Etnik Cina diperkirakan datang ke Tangerang, bersamaan dengan
Belanda yang menduduki dan membangun Batavia. Pembangunan Kota Batavia pada waktu itu membutuhkan sejumlah tenaga tukang sehingga perlu didatangkan
imigran-imigran Cina ke Batavia. Selain itu ada pula orang-orang Cina yang telah
Universitas Sumatera Utara
44
tinggal di sini sebelum Belanda datang. Mereka hidup sebagai tukang pembuat arak. Arak buatan orang Cina ini sangat disukai awak kapal Belanda. Di sisi lain
Kelompok Etnik Cina bukan hanya memberi sokongan tenaga kerja tetapi mereka juga membantu dalam keuangan pajak. Gelombang besar kedatangan kelompok
ini terjadi pada pertengahan abad 18 sehingga berakibat banyak pengangguran dan terjadi gangguan keamanan. Pada tahun 1740 timbul pemberontakan Cina di
Batavia. Setelah kejadian itu, kelompok etnik ini dilarang tinggal di kota, Dan Etnik Cina terpaksa harus tinggal dalam suatu perkampungan agar mudah diawasi
dan dikontrol. Pada tanggal 1 Juni 1660 sesuai dengan arsip VOC oleh F. de Haan, bahwa
Sultan Banten telah membangun kerajaan besar di sebelah Barat sungai Untung Jawa. Untuk mengisi wilayah itu Sultan Banten mindahkan enam ribu penduduk
dan mengangkat Radin Sena Patij dan Kyai Demang sebgai penguasa di daerah itu yang tertulis pada Dag Register tertanggal 20 Desember 1668. Lalu karena
dicurigai akan merebut kekuasaan maka mereka dipecat dan digantikan, karena rasa sakit hatinya Kyai Demang mencoba mengadu domba Banten dengan VOC.
Namun usahanya gagal dan ia terbunuh di Kademangan. Dalam Dag Register tanggal 4 Maret 1680 dijelaskan bahwa penguasa
Tangerang pada masa itu adalah Keaij Dipattij Soera Dielaga. Kyai Soeradilaga dan putranya meminta perlindungan Kompeni dan ia beserta 143 tentaranya
diberikan tempat di perbatasan pagar kompeni. Pada pertempuran melawan Banten ia berhasil memukul mundur pasukan Banten, dam atas jasanya itu ia di
beri gelar kehormatan lalu semenjak itu pula Tangerang menjadi kekuasaan
Universitas Sumatera Utara
45
Kompeni sesuai dengan perjanjian yang ditanda tangani pada tanggal 17 April 1684. Banten kehilangan hak dalam wilayah Tangerang dan wilayah Untung Jawa
atau Tangerang menjadi milik Kompeni. Lalu Kompeni mendirikan tembok dan juga pos-pos keamanan guna mencegah perlawanan dari Banten, tembok ini
terbuat dari batu bata yang didapat dari Bupati Tangerang Aria Soetadilaga I. Ketebalan dinding ini adalah 20 kaki atau lebih. Setelah selesai dibangun pos dan
tembok itu di isi 60 orang eropa bserta 30 orang-orang Makasar yang direkrut sebagai serdadu Kompeni. Orang-orang pribumi menyebut bangunan itu dengan
sebutan “benteng”, sejak saat itu benteng tersebut merupakan tempat pertahanan Kompeni dalam menghadapi pemberontakan. Sejak saat itu pula Pusat Kota
Tangerang terkenal dengan sebutan “Benteng”. Berdirinya Klenteng Boen Tek Bio diperkirakan sekitar tahun 1750. Para
penghuni perkampungan Petak Sembilan secara gotong-royong mengumpulkan dana untuk mendirikan sebuah klenteng yang diberi nama Boen Tek Bio
Boen=Sastra, Tek=Kebajikan, dan Bio=Tempat Ibadah. Bio yang pertama berdiri diperkirakan masih sederhana sekali yaitu berupa tiang bambu dan beratap
rumbia. Awal abad ke-19 setelah perdagangan di Tangerang meningkat, dan umat Boen Tek Bio semakin banyak, klenteng ini lalu mengalami perubahan bentuk
seperti yang bisa dilihat sekarang. Sebagai tuan rumah klenteng ini adalah Dewi Kwan Im, yang di sebelah kiri
dan kanannya juga dibangun tempat untuk dewa-dewa lain. Berbeda dengan kebanyakan klenteng yang ada di Indonesia maupun yang ada di negeri Tiongkok,
Klenteng Boen Tek Bio mempunyai satu tradisi yang sudah berlangsung selama
Universitas Sumatera Utara
46
ratusan tahun yaitu apa yang dikenal dengan nama Gotong Toapekong. Setiap 12 tahun sekali yaitu saat tahun Naga menurut kalendar China, di dalam Kota
Tangerang berlangsung arak-arakan joli Ka Lam Ya, Kwan Tek Kun dan terakhir Joli Ema Kwan Im. Pesta tahun Naga ini dimeriahkan oleh pertunjukan Barongsai
dan Wayang Potehi yang berhasi menyedot ribuan pengunjung. Pesta ini terakhir kali diadakan tahun 1976.
Di samping acara Gotong Toapekong, sejak tahun 1911 para umat Boen Tek Bio menyelenggarakan pesta Petjun yang diadakan di Kali Cisadane, yaitu
perlombaan balap perahu naga. Perlombaan ini berlangsung sekitar bulan Mei- Juni saat musim kemarau dimana air sungai jernih dan tenang. Setelah peristiwa
G-30 SPKI, acara Petjun dilarang pemerintah dan baru setelah masa reformasi diperbolehkan kembali.
Universitas Sumatera Utara
47
BAB V UPACARA ADAT PERKAWINAN PERANAKAN TIONGHOA DI
TANGERANG
5.1 Struktur Upacara Adat Perkawinan Peranakan Tionghoa di Teluknaga