Lokasi Penelitian Struktur Upacara Adat Perkawinan Peranakan Tionghoa Di Teuknaga-Tangerang

32 1. Mencari buku-buku mengenai perkawinan adat Tionghoa dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian, baik buku berbahasa Indonesia maupun berbahasa Mandarin dan informasi dari internet. 2. Mengumpulkan data atau bahan dari Informan hasil dari wawancara.

3.4 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Teluknaga Kabupaten Tangerang. Tepatnya di jln. Cilame ,Pasar Lama Tangerang 15111, Banten-Indonesia. Penulis fokus pada daerah tersebut Karena pada daerah tersebut sebagian besar penduduknya adalah Peranakan Tionghoa. Universitas Sumatera Utara 33

BAB IV GAMBARAN UMUM ETNIS TIONGHOA DI TELUKNAGA-

TANGERANG 4.1 Letak Geografis Etnis Tionghoa di Teluknaga Kabupaten Tangerang terletak di bagian Timur Propinsi Banten pada koordinat 106°20-106°43 Bujur Timur dan 6°00-6°20 Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Tangerang 959,6 km2 atau 9,93 dari seluruh luas wilayah Propinsi Banten dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kota Tangerang Selatan dan Kota Tangerang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Serang dan Lebak. Gambar 01. Peta Kabupaten dan Kota Tangerang Sumber: www.tangerangkab.go.id Orang-orang Tionghoa asli sudah datang ke Pulau Jawa sebelum kedatangan orang Barat. Sejak Belanda dengan Kompeninya VOC menetap di Batavia Universitas Sumatera Utara 34 1619, orang Tionghoa asli lebih banyak datang ke Pulau Jawa, mungkin karna perdagangannya lebih ramai. Pada tahun 1740 terjadi kerusuhan pertama di Batavia dan sekitarnya terhadap orang-orang Tionghoa asli dan Tionghoa campuran yang dilakukan oleh orang Belanda Eropa terhadap penduduk Batavia. Bahkan ada sejarah mengatakan bahwa ada pembunuhan massal massacre terhadap orang Tionghoa asli dan Tionghoa campuran di Batavia dan sekitarnya Tangerang yang memakan jumlah korban 10.000 jiwa. Kerusuhan ini, seolah- olah menjadi pembuka bagi kerusuhan-kerusuhan yang lainnya. Sebelum orang Barat datang, orang Tionghoa asli sendiri seperti juga para pedagang lainnya, cenderung untuk mengelompok dalam kampung masing- masing. Dari hal ini, ada beberapa ciri khas Tionghoa campuran, yang membedakannya dari orang Tionghoa asli antara lain, yaitu 1 mereka hidup di Jawa, 2 pembatasan mobilitas fisik dan ketidakstabilan pemukiman bagi sebagian orang Tionghoa yang hidup di pedalaman Jawa, dan 3 orang Jawa- Tionghoa datang ke pulau Jawa sebagai individu atau dalam kelompok-kelompok kecil. Masyarakat Tionghoa campuran yang datang, dapat dengan mudah dan memang harus berakulturasi dengan penduduk setempat. Banyak dari mereka yang menikah dengan perempuan-perempuan setempat, karena sebelum dibuatnya kapal uap 1870, hampir tidak ada perempuan Tionghoa asli yang berimigrasi. Orang Tionghoa campuran hingga dua generasi mengadaptasi diri dengan keadaan setempat dan menjadi penduduk setempat. Banyak dari mereka yang kehilangan bahasa dan tulisan Cina, mereka bebahasa Melayu dan bahasa Universitas Sumatera Utara 35 setempat, mereka makan makanan setempat karena dimasak oleh perempuan setempat,dll. Namun walaupun begitu, mereka masih memiliki darah Tionghoa dan sedikit banyak masih diajarkan mengenai kebudayaaan Tionghoa oleh orang tua mereka. Walaupun mungkin budaya Tionghoa yang ada di dalam diri mereka saat ini sudah bercampur dengan beberapa kebudayaan lainJawa,Sunda,Batak,dll. Peranakan Tionghoa menyebut penduduk setempat dengan istilah Hoana番 仔,yang secara harfiah berarti “orang-orang barbar” atau “ orang kampung”. Menurut salah seorang informan, istilah ini muncul karena pada masa lampau sebagian besar dari penduduk asli tinggal di daerah pedesaan sedangkan banyak penduduk peranakan Tionghoa tinggal di kota. Sebutan yang populer bagi peranakan Tionghoa di daerah Tangerang adalah Cina Benteng. Benteng sebenarnya adalah nama lain kota Tangerang. Sebutan “benteng” itu berkaitan dengan benteng-benteng pertahanan yang dibangun oleh Belanda di tepi sungai Cisadane pada abad ke-17. Benteng-benteng itu dibangun guna untuk menahan serangan kerajaan Banten. Bahasa pengantar yang mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari adalah bahasa Melayu bercampur dialek Sunda Benteng. Peran sosialisasi di lingkungan keluarga juga berpengaruh terhadap kemampuan mereka berbahasa Cina. Seperti yang dikatakan diatas, masyarakat Tionghoa tersebut merupakan keturunan hasil perkawinan antara laki-laki pendatang Cina asli dengan perempuan Indonesia yang tentu kemampuan berbahasa Cina sangat terbatas. Anak-anak dari pasangan tadi secara alami lebih banyak mengikuti kebiasaan ibu mereka, termasuk dalam Universitas Sumatera Utara 36 hal berbahasa. Akibatnya, kemamuan berbahasa Cina yang mereka warisi dari ayah mereka berkurang. Proses ini terulang selama beberapa generasi, sehingga wajar saja jika kemampuan berbahasa Cina mereka dari generasi ke generasi semakin meurun. Apalagi bila tidak ada usaha atau kesempatan mempelajari dan meningkatkan kemampuan tersebut dari sumber lain di luar lingkungan keluarga. Seperti masyarakat Tionghoa pada umumnya, peranakan Tionghoa di Teluknaga pada dasarnya menganut prinsip keturunan patrilineal. Salah satu prinsip keturunan ini adalah marga. Ada catatan khusus dalam pemakaian marga dikalangan peranakan Tionghoa di Tangerang. Bila perkawinan pasangan suami istri hanya diresmikan secara adat, maka penggunanan marga hanya berlaku dikalangan keluarga. Dalam dokumen dan surat resmi anak-anak pasangan tersebut memakai marga ibu mereka. Menurut salah satu informan,perkawinan seperti itu tidak diaku keabsahannya oleh negara belum resmi terdaftar di Kantor Catatan Sipil, sehingga belum memiliki kekuatan hukum. Meskipun menganut prinsip patrilineal, namun peranakan Tionghoa di Teluknaga ini tidak memperlihatkan sikap mendambakan dan menganggap penting anak laki-laki secra berlebihan. Selain itu nilai anak perempuan juga meningkat seiring dengan hak dan kewajibannya. Universitas Sumatera Utara 37

4.2 Demografi Kabupaten Tangerang