7. kesamaan rasio keuangan yang telah dibuat dengan standar industri belum
menjamin perusahaan berjalan normal dan telah dikelola dengan baik.
2.1.3 Kebangkrutan
Kebangkrutan perusahaan ditandai dengan terjadinya kesulitan keuangan financial distress
yang berkelanjutan. Ketika suatu perusahaan mengalami kesulitan keuangan, tidak serta merta perusahaan langsung dinyatakan bangkrut.
Biasanya perusahaan akan melakukan berbagai upaya perbaikan dahulu, diantaranya, dengan menggunakan hutang untuk merevitalisasi perusahaan. Tetapi
penggunaan hutang yang besar tanpa manajemen yang baik justru dapat menyebabkan hal-hal berikut Ross, 2003:595:
1. Kebangkrutan teknis. Kebangkrutan teknis terjadi ketika perusahaan tidak
mampu memenuhi kewajban hutangnya. 2.
Kebangkrutan akuntansi. Hal ini terjadi ketika jumlah nilai buku hutang lebih besar daripada nilai buku aset.
3. Kegagalan bisnis. Kondisi ini merujuk pada situasi dimana bisnis telah
mengalami kerugian dan tidak mampu melunasinya kepada kreditur. 4.
Kebangkrutan sah menurut hukum. Perusahaan atau kreditur mengajukan petisi ke pengadilan. Dengan kata lain, kebangkrutan ini merupakan proses
untuk melakukan likuidasi atau reorganisasi merger atau akuisis usaha. Pada prinsipnya, sebuah perusahaan dikatakan bangkrut ketika nilai aset
perusahaan sama dengan nilai hutang. Ketika hal ini terjadi, maka nilai ekuitas adalah nol, dan dalam hal ini pemegang saham menyerahkan kendali perusahaan
kepada pemegang obligasi. Namun penyerahan resmi atas aset kepada pemegang
Universitas Sumatera Utara
obligasi adalah proses hukum, bukan ekonomi. Terdapat dua jenis biaya yang disebabkan oleh kebangkrutan, yaitu biaya kebangkrutan langsung dan biaya
kebangkrutan tidak langsung. Biaya kebangkrutan langsung berarti biaya yang secara langsung terkait dengan kebangkrutan, seperti biaya hokum dan biaya
administrasi. Biaya kebangkrutan tidak langsung merupakan biaya untuk menghindari biaya-biaya arsip yang dikeluarkan oleh perusahaan yang mengalami
kesulitan keuangan Ross, 2003:585. Pada pasal 1 butir 1 UU No.37 tahun 2004, “Kebangkrutan adalah sita
umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang”. Pengertian kebangkrutan kepailitan mengacu pada Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan
Atas UU Kepailitan yang menyebutkan:
a. Debitur yang mempunyai 2 dua atau lebih kreditur dan tidak membayar
sedikitnya satu utang yang jatuh tempo dan tidak dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya
sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. b.
Permohonan sebagaimana disebut dalam butir di atas dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.
Dalam UU No. 37 tahun 2004 juga dijelaskan Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Kepailitan menyatakan bagaimana
menyelesaikan sengketa yang muncul dikala satu perusahaan tidak bisa lagi memenuhi kewajiban utang, juga bagaimana menangani pertikaian antar individu
Universitas Sumatera Utara
yang berkaitan dengan usaha atau bisnis yang dijalankan. Perusahaan bisa dinyatakan pailitbangkrut apabila dalam jangka waktu tertentu tidak bisa
melakukan pemnayaran pokok atau bunganya. Beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab kebangkrutan suatu
perusahaan antara lain Salatin. 2013: a.
Faktor Umum 1.
Ekonomi. Faktor-faktor kebangkrutan dari sektor ekonomi antara lain gejala inflasi dan deflasi dalam harga barang dan jasa, kebijakan
keuangan, suku bunga dan devaluasi atau revaluasi uang dalam hubungannya dengan perdagangan luar negeri.
2. Sosial. Faktor sosial yang cukup berpengaruh terhadap kebangkrutan
terjadi pada perubahan gaya hidup masyarakat yang mempengaruhi permintaan terhadap produk dan jasa ataupun cara perusahaan
berhubungan dengan karyawan. 3.
Teknologi. Penggunaan teknologi informasi yang tidak tepat menyebabkan biaya operasional yang ditanggung perusahaan meningkat,
yakni biaya pemeliharaan, biaya atas implementasi yang tidak terencana, sistem yang tidak terpadu serta operator yang tidak professional.
4. Pemerintah. Kebijaka pemerintah terhadap pencabutan subsidi terhadap
perusahaan dan industri, penetapan tariff ekspor-impor yang berubah- ubah, kebijakan undang-undang ketenagakerjaan, dll menyebabkan
ketidakstabilan bagi perusahaan, yang berdampak terhadap pengeluaran dan pemasukan bagi perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
b. Faktor Eksternal Perusahaan
1. Pelanggan. Perusahaan dituntut untuk mampu mengidentifikasi sifat
konsumen, menciptakan peluang, menemukan konsumen baru, dan mejaga loyalitas pelanggan untuk menghindari penurunan penjualan.
2. Pemasok. Perusahaan dan pemasok harus mampu bekerja sama dengan
baik karena kekuatan pemasok untuk menaikkan harga dan mengurangi keuntungan pembelinya tergantung pada seberapa besar pemasok
berhubungan dengan perdagangan bebas. 3.
Pesaing. Pesaing mengakibatkan ambiguitas bagi perusahaan, maksudnya pesaing dapat menjadi motivator hebat bagi perusahaan
untuk meningkatkan mutu dan kualitas produk dan pelayanannya terhadap masyarakat. Tetapi pesaing juga dapat menurunkan nilai
perusahaan apabila pesaing lebih unggul dalam menawarkan produk dan pelayanannya.
c. Faktor Internal Perusahaan
Faktor-faktor ini biasanya merupakan hasil dari keputusan kebijakan yang tidak tepat di masa lalu dan kegagalan manajemen untuk berbuat sesuatu
pada saat yang diperlukan.
2.1.4 Model Altman Z-Score