Sedangkan model Altman Z”-score dan Springate menunjukkan tingkat akurasi sebesar 10 dan 5. Dimana jika dibandingkan juga dengan Tabel 4.5
hasil Uji Kruskal-Wallis H uji beda rata-rata rata-rata potensi kebangkrutan yang dihasilkan tidak jauh berbeda, yakni sebesar 86,00 dan 89,19. Dengan demikian
dapat disimpulkan, bahwa model Grover merupakan prediktor kebangkrutan terbaik pada perusahaan tekstil dan garmen di BEI periode 2009-2013.
4.3 Pembahasan
Nilai Altman Z”-score pada perusahaan tekstil dan garmen periode 2009- 2013 menunjukkan hampir semua perusahaan tekstil dan garmen berpotensi
mengalami kebangkrutan, karena nilai Z”-score yang diperoleh berada di bawah nilai cut-off, yakni di bawah 1,1 bahkan terdapat nilai negatif. Tidak satupun
perusahaan dinyatakan sehat, tetapi ada beberapa yang dimasukkan ke dalam kategori grey area daerah rawan kebangkrutan. Hal tersebut terjadi karena nilai
working capital modal kerja adalah negatif dimana hutang lancar lebih besar
daripada harta lancar. Working capital modal kerja adalah modal yang digunakan untuk pembiayaan jangka pendek, seperti pembelian bahan baku,
pembayaran gaji dan upah, dan biaya-biaya operasional lainnya. Kecukupan nilai working capital
perusahaan merupakan penilaian terhadap kinerja manajemen. Dalam industri tekstil dan garmen, working capital memegang peranan
penting dalam pembiayaan operasional. Pembelian bahan baku, biaya listrik perusahaan, upah karyawan merupakan beban yang pembiayaannya diambil dari
working capital perusahaan. Sebagian besar bahan baku pembuatan tekstil dan
garmen merupakan bahan baku impor. Hal ini berdampak juga terhadap selisih
Universitas Sumatera Utara
nilai tukar yang dihadapi perusahaan, apalagi jika pangsa pasar perusahaan masih dalam ruang lingkup domestik. Selain itu tarif dasar listrik dan biaya bahan bakar
minyak yang meningkat setiap waktu, secara tidak langsung memperbesar beban working capital
perusahaan. Akibatnya daya saing perusahaan dalam menghasilkan produk berkualitas dengan harga murah menjadi rendah.
Nilai prediksi kebangkrutan dengan menggunakan model Grover menunjukkan bahwa model kebangkrutan Grover mampu memprediksi lebih
banyak perusahaan yang dikategorikan sehat. Hal ini disebabkan penggunaan salah satu rasio model Grover yang membedakannya dengan model Altman Z”-
score yaitu return on asset ROA. ROA menunjukkan kemampuan nilai perusahaan dalam mengahasilkan laba. Jika nilai ROA positif berarti bahwa total
aktiva yang digunakan untuk operasi perusahaan mampu menghasilkan laba. Sedangkan jika nilai ROA negatif, berarti bahwa penggunaan total aktiva
perusahaan tidak memberikan keuntungan bagi perusahaan. Berdasarkan nilai yang dihasilkan model Grover, perusahaan yang memiliki nilai ROA positif
memang dikategorikan ke dalam perusahaan sehat, walaupun nilai working capital
nya negatif. Nilai prediksi kebangkrutan model Springate menggunakan perbandingan
nilai total penjualan terhadap total asset perusahaan dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan. Semakin tinggi positif nilai yang dihasilkan rasio
tersebut, semakin efektif penggunaan aktiva perusahaan. Tetapi tetap saja hal tersebut dipengaruhi oleh working capital modal kerja perusahaan. Karena
kebutuhan working capital erat kaitannya dengan pertumbuhan penjualan.
Universitas Sumatera Utara
Semakin tinggi penjualan, semakin besar beban working capital, karena belum tentu semua working capital bisa segera dicairkan untuk menutupi kekurangan
keuangan perusahaan. Nilai prediksi kebangkrutan dengan model Zmijewski menunjukkan bahwa
model Zmijewski juga mampu memprediksi lebih banyak perusahaan yang tidak bangkrut. Berdasarkan nilai Zmijewski dapat dilihat bahwa nilai ROA dan nilai
DR mempengaruhi lebih banyak daripada nilai CR terhadap kesehatan nilai perusahaan. Semakin positif nilai ROA, dan semakin rendah nilai DR maka
semakin sehat perusahaan tersebut. Sedangkan apabila nilai CR tinggi namun nilai ROA rendah negatif, perusahaan tersebut dikategorikan ke dalam perusahaan
bangkrut. Hasil pengujian hipotesis pertama dengan menggunakan Uji Kruskal-Wallis
H menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara penggunaan prediksi kebangkrutan dengan menggunakan model Altman Z”-score, Grover,
Springate, dan Zmijewski. Berdasarkan hasil analisis Uji Kruskal-Wallis H diperoleh tingkat signifikansi sebesar 0,021 dimana tingkat signifikansi yang
diperoleh lebih besar dari 0,005. Hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian yang dilakukan Komang 2014 yang meneliti industri kosmetik yang listing di
BEI, dimana hasil penelitiannya menyatakan bahwa berdasarkan hasil Uji Kruskal-Wallis H terdapat perbedaan potensi kebangkrutan industri kosmetik
yang terdaftar di BEI dengan metode Z”-score, Springate, dan Zmijewski. Hasil pengujian hipotesis kedua yaitu dengan melakukan rekapitulasi
terhadap prediksi kebangkrutan model Altman Z”-score, Grover, Springate, dan
Universitas Sumatera Utara
Zmijewski. Ditemukan bahwa Grover mampu memprediksi 10 dari 40 total sampel penelitian, dan memberikan tingkat akurasi yang paling tinggi yaitu
sebesar 25. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Prihantini dan Maria 2013 yang juga meneliti di sektor manufaktur tetapi dalam sub-sektor yang
berbeda yakni perusahaa food and beverage, dimana hasil penelitiannya menyatakan bahwa model Grover merupakan prediktor kebangkrutan terbaik,
walaupun tingkat akurasi yang didapatkan berbeda. Perusahaan tekstil dan garmen yang diprediksikan berpotensi bangkrut
dengan menggunakan model Altman Z”-score, Grover, Springate, dan Zmijewski pada tahun 2009-2013 ternyata masih terdaftar listing di BEI. Hal ini juga
mendukung penelitian yang dilakukan Prihantini dan Maria 2013 yang meneliti di perusahaan food and beverage, dimana menyatakan bahwa perusahaan food
and beverage yang diprediksi bangkrut pada tahun 2013 dengan menggunakan
model Altman Z”-score, Grover, Springate, dan Zmijewski ternyata masih terdaftar di BEI pada tahun 2013.
.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan