BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Industri tekstil dan garmen di Indonesia menjadi salah satu tulang punggung sektor manufaktur dalam beberapa dekade terakhir. Industri tekstil dan garmen
memberikan kontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi, selain menciptakan lapangan kerja yang cukup besar, industri ini juga mendorong
peningkatan investasi dalam dan luar negeri. Sekitar tahun 1980-an, ekspor menjadi sumber utama pertumbuhan dalam industri tekstil dan garmen Indonesia.
Berdasarkan nilai ekspor, pada periode 1980-1993, pertumbuhan rata-rata ekspor tahunan tekstil dan garmen masing-masing mencapai 32 dan 37. Pada tahun
1993, Indonesia bahkan masuk ke 13 besar eksportir tekstil dan garmen dunia. Pangsa ekspor Indonesia untuk tekstil dan garmen mencapai 2,6 dari total
ekspor tekstil dan garmen dunia Kemenperin: 2013. Namun ternyata masa keemasan itu tidak bertahan lama. Secara umum,
industri tekstil dan garmen Indonesia mulai mengalami penurunan pada tahun 2000-an. Hal ini terjadi karena melambatnya pertumbuhan ekspor tekstil dan
garmen sebagai implikasi dari inefisiensi produksi juga tingginya harga bahan baku. Selain itu terjadi peningkatan persaingan di pasar asing dan peningkatan
upah tenaga kerja yang tidak mampu diimbangi industri tekstil dan garmen. Diperparah lagi banyak investor asing yang menarik investasinya dan lebih
memilih berinvestasi di negaranya sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Krisis keuangan global yang baru-baru ini terjadi juga memperparah upaya revitalisasi industri tekstil dan garmen Indonesia.
Sumber: World Bank 2012 dalam Revitalisasi Pertumbuhan di Sektor Manufaktur Indonesia
Gambar 1.1 Pertumbuhan Output pada Sub-sektor Manufaktur
Seperti yang terlihat pada Gambar 1.1, kecuali peralatan transportasi dan mesin, pertumbuhan output di semua sub-sektor manufaktur mengalami
penurunan. Industri yang paling terkena dampak dari krisis keuangan global ini adalah industri yang berorientasi ekspor namun menggunakan bahan baku impor,
yang salah satunya adalah industri tekstil dan garmen. Kondisi ini berdampak pada peningkatan biaya produksi, penurunan pesanan, dan penumpukan stok di
sejumlah perusahaan. Krisis ini juga mengakibatkan konsumsi tekstil dan garmen dunia pada tahun 2009 turun 5 dibandingkan pada tahun 2008. Konsumsi tekstil
Universitas Sumatera Utara
dan garmen dunia yang menurut perkiraan semestinya tumbuh menjadi 68,3 kgkapita pada 2009 ternyata hanya mencapai 66,6 kgkapita. Di Indonesia sendiri
dampak yang dialami industri tekstil dan garmen mengalami penurunan produksi mencapai 10. Selain itu, menurut Ketua APINDO Asosiasi Pertekstilan
Indonesia potensi PHK yang diakibatkan krisis ini mencapai 100 ribu pekerja, dari sekitar 1,2 juta tenaga kerja di industri tekstil dan garmen yang menyerap
sekitar 12,7 dari total tenaga kerja di sektor manufaktur SMERU: 2009. Pemerosotan industri tekstil dan garmen diperparah dengan sulitnya
mengakses sumber pembiayaan dalam rangka peremajaan. Peraturan Bank Indonesia PBI No 822006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, BI
menetapkan tiga pilar utama sebagai penilaian kolektibilitas kredit, yaitu prospek usaha, kinerja debitor, dan kemampuan membayar. Penilaian atas pertumbuhan
usaha industri tekstil dan garmen, kondisi pasar dan posisi debitor dalam persaingan, kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja, dukungan afiliasi,
dan upaya yang dilakukan debitor dalam rangka memelihara lingkungan hidup menjadi faktor penting yang dinilai BI, sehingga industri tekstil dan garmen tidak
dikategorikan sebagai industri bermasa depan cerah. Bahkan jika perbankan meluluskan permohonan kredit dari industri tekstil
dan garmen, bank memberikan suku bunga kredit yang cukup tinggi. Apabila perbankan tidak menyeleksi dengan sangat ketat pemberian kredit terhadap
perusahaan tekstil dan garmen, tentu saja akan meningkatkan risiko operasional bagi perbankan sendiri. Sayangnya, banyak perusahaan tekstil dan garmen tidak
mampu memanajemen hutangnya dengan baik. Pembiayaan produksi serta
Universitas Sumatera Utara
restrukturisasi peralatan dan mesin menggunakan hutang yang sangat besar, tetapi penjualan tidak mampu menghasilkan laba maksimal, akibatnya industri tekstil
dan garmen mengalami defisit yang berkelanjutan. Kondisi keuangan perusahaan yang mengalami penurunan secara berkepanjangan dan terus menerus merupakan
suatu “alarm” bagi perusahaan untuk mewaspadai kebangkrutan. Kebangkrutan adalah suatu kondisi dimana perusahaan mengalami
ketidakcukupan dana untuk menjalankan usahanya Purnajaya Ni. 2014. Menurut Vahdat dan Mohammad 2012, kebangkrutan dapat terjadi ketika
kondisi atau pun posisi keuangan perusahaan rendah dan lemah. Sedangkan menurut Prihadi 2011, kebangkrutan merupakan kondisi dimana perusahaan
tidak mampu lagi untuk melunasi kewajibannya. Kondisi ini biasanya tidak terjadi begitu saja, melainkan terdapat indikasi awal yang dapat dikenali lebih dini kalau
laporan keuangan dianalisis secara lebih cermat. Laporan keuangan yang sehat dapat dikenali dengan beberapa indikasi antara lain, mampu menghasilkan laba
yang tinggi, likuiditasnya memadai, serta hutang yang tidak membebani. Fakta yang terjadi adalah terdapat beberapa perusahaan tekstil dan garmen di
Indonesia yang mengalami penurunan laba terus-menerus, bahkan ada yang mengalami kebangkrutan. Salah satu contoh kasus adalah Pan Asia Filament Inti
Tbk. PAFI sebagai salah satu perusahaan tekstil dan garmen yang terdaftar di BEI sejak 17 Juni 1997 harus didelisting dari Bursa Efek Indonesia BEI pada 14
Maret 2013. Hal ini bisa saja dipengaruhi berbagai faktor dalam perusahaan tetapi faktanya adalah Pan Asia Filament Inti Tbk. mengalami penurunan laba
kerugian selama beberapa tahun sebelum didelisting dari Bursa Efek Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini merupakan suatu peringatan bagi perusahaan tekstil dan garmen dalam menghadapi kemungkinan terjadinya kebangkrutan. Berikut disajikan perusahaan
tekstil dan garmen di BEI yang juga mengalami penurunan laba rugi:
Tabel 1.1 Daftar Perusahaan Tekstil Garmen yang Mengalami Penurunan Laba
No. Nama
Perusahaan Laba Bersih Rugi Bersih
dalam Rupiah 2009 2010 2011 2012 2013
1 ARGO 75.744.091.000
125.015.984.000 140.397.775.000 118.969.636.000 81.749.083.000
2 CNTX 49.422.677.850 10.518.966.000
33.511.029.360 35.220.963.640 1.381.952.253 3 ERTX
25.371.702.000 48.491.545.000 82.048.584.000
6.195.916.000 8.507.378.340
4 ESTI 7.686.659.423 1.487.272.540
3.271.192.448 45.126.573.190 8.130.794.340 5 HDTX
560.989.583 1.190.607.578 17.285.049.940
3.102.049.511 218.654.504.263 6 MYTX
13.186.193.876 101.136.319.879 120.520.153.274 126.172.495.055 49.786.983.213
7 POLY 1.182.787.954.988 334.976.849.923 80.168.102.360 310.588.902.370 366.424.876.959
8 UNTX 30.679.809.366 25.288.156.801
6.634.058 11.888.829.850 20.760.609.530
Sumber: www.idx.co.id
Berdasarkan data Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa beberapa perusahaan tekstil dan garmen mengalami pertumbuhan laba tidak stabil, di beberapa perusahaan,
bahkan cenderung mengalami penurunan yang berkelanjutan. Walaupun mengalami peningkatan, cenderung tidak cukup untuk menalangi kerugian dari
tahun-tahun sebelumnya. Kondisi keuangan ini tentu merupakan cerminan untuk mengetahui kelancaran aktivitas perusahaan. Untuk menilai kondisi keuangan
perusahaan dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode pengukuran. Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk memprediksi kebangkrutan
dengan analisis laporan keuangan perusahaan. diantaranya dengan menggunakan model Altman Z-score, Springate, dan Zmijewski. Ketiga model analisis ini
banyak digunakan untuk memprediksi kebangkrutan karena relatif mudah untuk diaplikasikan, serta tingkat akurasinya cukup tinggi. Selain ketiga model di atas
terdapat pula model Grover yang diciptakan melalui penilaian dan pendesainan ulang terhadap model Altman.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, ditemukan perbedaan pada hasil penelitiannya. Penelitian Prihanthini dan Maria 2013
menyatakan bahwa model Grover memberikan hasil prediksi yang lebih akurat dibandingkan dengan hasil model Altman Z-score, Springate, dan Zmijewski.
Sedangkan menurut penelitian Purnajaya dan Ni 2014, Altman Z-score merupakan prediktor kebangkrutan terbaik dibandingkan dengan model Springate
dan Zmijewski. Berdasarkan uraian di latar belakang, penulis tertarik untuk menganalisis
prediksi kebangkrutan dengan model Altman Z-score, Grover, Springate, dan Zmijewski pada perusahaan tekstil dan garmen yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia BEI periode 2009-2013.
1.2 Perumusan Masalah