Aspek Lingkungan dalam Pertumbuhan Kota di Wilayah Aglomerasi Perkotaan Semarang dan DIY Amin Pujiati
9 Uji Autokorelasi, yang paling sederhana adalah menggunakan uji Durbin Watson DW . Sebagai rule of
thumb nilai DW hitung yang mendekati 2 dianggap menunjukkan bahwa model terbebas dari autokolinearitas atau
jika du d 4- du Gujarati,2003 : 469. Hasil estimasi penelitian ini nilai DW sebesar 1,875 nilai du 1,847 nilai dl 1,622 yang berarti 1,847 1,875 2,153. Dengan demikian penyimpangan asumsi autokorelasi sudah dapat
dihilangkan.
4.2. Analisis dan Pembahasan
Pendapatan per kapita PCAP menunjukkan tanda negatif dan tidak signiikan secara statistik pada penelitian ini. Semakin besar pendapatan per kapita akan mendorong dan menyebabkan tumbuhnya wilayah-
wilayah ekonomi baru. Kondisi ini menyebabkan tidak terkonsentrasi penduduk tinggal di kota besar tertentu, karena makin banyak pilihan bagi penduduk untuk bertempat tinggal dan mencari pekerjaan pada berbagai kota.
Demikian juga jika kota sudah mencapai skala yang optimum, persaingan antar perusahaan dan industri lambat laun akan meningkatkan harga faktor produksi dan mengakibatkan relokasi aktiitas ekonomi ke daerah lain . Hasil
penelitian ini mendukung penelitian Moomaw and Alwosabi 2007 dan Sriwinarti 2005. Koeisien kesempatan kerja pertanian AGR menunjukkan tanda negatif dan signiikan pada derajat
kepercayaan 1 persen. Nilai koeisien pertanian - 0,072 artinya jika ada peningkatan tenaga kerja pertanian sebesar 10 persen pertumbuhan kota turun sebesar 0,72 persen. Hal ini erat kaitannya dengan migrasi pekerja
dari desa ke kota. Penduduk desa pada umumnya bekerja di sektor pertanian. Semakin banyak migrasi pekerja dari desa ke kota yang berarti semakin sedikit pekerja pertanian, maka semakin mendorong pertumbuhan kota dan
sebaliknya jika penduduk desa tidak bermigrasi ke kota yang berarti tenaga kerja pertanian semakin banyak maka pertumbuhan kota akan menurun . Hasil penelitian ini senada dengan hasil penelitian Moomaw and Alwosabi
2004 dan Sarungu 1990. Kesempatan kerja industri IND menunjukkan hasil yang positif dan signiikan. Koeisien industri sebesar
0,527 pada tingkat kepercayaan 1 persen yang berarti apabila pertumbuhan tenaga kerja industri naik sebesar 1 persen akan menaikkan pertumbuhan kota sebesar 0,53 persen. Pertumbuhan perusahaan manufaktur mendorong
terjadinya mobilitas barang, mobilitas jasa serta mobilitas faktor produksi termasuk tenaga kerja. Penduduk akan cenderung datang ke pusat kegiatan ekonomi di kota – kota besar karena mereka akan lebih mudah memperoleh
kesempatan kerja . Dalam kondisi ini negara juga mendukung ekspansi industri dengan menyediakan infrastruktur di pusat – pusat perkotaan. Dengan demikian industrialisasi merupakan faktor pendorong bagi masyarakat untuk
datang ke kota Hal ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Henderson 2002 dan Salenussa 2009.
Jumlah penduduk POP menunjukkan hasil yang positif dan signiikan. Angka koeisien jumlah penduduk sebesar 16,170 yang berarti apabila ada kenaikan jumlah penduduk sebesar 1 persen akan meningkatkan
pertumbuhan kota sebesar 16,17 persen. Semakin banyak jumlah penduduk maka semakin besar ukuran kota. Besarnya ukuran kota mencerminkan besarnya ukuran pasar lokal yang dapat meningkatkan permintaan
barang dan jasa. Permintaan yang meningkat akan merangsang peningkatan produksi lokal barang dan jasa yang selanjutnya meningkatkan pendapatan rata-rata dan permintaan masyarakat. Munculnya usaha-usaha
baru akan mendorong pertumbuhan kota melalui banyaknya orang yang datang ke pusat kegiatan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan baik sebagai wiraswasta maupun pekerja. Perusahaan-perusahaan manufaktur
cenderung memilih untuk berlokasi pada daerah yang padat dan banyak penduduknya untuk menikmati manfaat lokalisasi, yang diasosiasikan dengan ukuran industri tertentu, dan penghematan aglomerasi, yang dicerminkan
oleh ukuran pasar pada suatu daerah, terutama daerah perkotaan. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Cheshire and Magrini 2009 dan Moomaw and Shatter 1996.
Pendidikan EDU menunjukkan tanda positif dan signiikan pada derajat kepercayaan 1 persen. Koeisien pendidikan 0,253 artinya jika ada peningkatan pendidikan sebesar 1 persen pertumbuhan kota naik sebesar 0,25
persen. Teori pertumbuhan endogen Endogenous Growth Theory dari Romer 1990 berpendapat faktor utama pendorong pertumbuhan adalah peran penelitian dan pengembangan Research and Development = RD dan
KINERJA, Volume 16, No.1, Th. 2012: Hal. 1-12
10 modal manusia. Teori pertumbuhan endogen ini digunakan sebagai dasar menjelaskan sumber pertumbuhan
kota. Perbedaan lokal dalam modal manusia dan aktivitas RD adalah faktor penting dalam menjelaskan tingkat perbedaan pertumbuhan ekonomi perkotaan. Tingkat pendidikan penduduk yang tinggi, tenaga kerja yang terampil
dan semakin banyak jumlah RD yang dilakukan oleh perusahaan yang ada di daerah tertentu akan mendorong pertumbuhan kota lebih cepat. Semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk di kota tertentu, semakin mendorong
pertumbuhan kota tersebut. Koeisien pengeluaran pemerintah GOV menunjukkan tanda positif dan signiikan secara statistik pada
derajat kepercayaan 1 persen. Angka koefsien pengeluaran pemerintah sebesar 0,159 artinya adanya kenaikan pengeluaran pemerintah sebesar 1 persen akan menaikkan pertumbuhan kota sebesar 0,16 persen. Hasil
penelitian ini konsisten dengan Tiebout Theory dari Tiebout 1956 yang menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi
masyarakat lokal dengan pemerintah lokal. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari pemerintah dan pajak yang
dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka mereka akan keluar exit and voice dengan berpindah
ke daerah juridis lain yang cocok dengan preferensi mereka. Besarnya pengeluaran pemerintah menunjukkan kemampuan pemerintah dalam menyediakan pelayanan publik. Pertumbuhan kota akan meningkat jika fasilitas
publik yang disediakan semakin banyak. Semakin besar pengeluaran pemerintah, semakin banyak fasilitas publik yang dapat disediakan sehingga mempercepat pertumbuhan kota.
Hasil estimasi koeisien indeks lingkungan EI menunjukkan tanda yang positif dan signiikan pada derajat kepercayaan 1 persen. Besarnya koeisien indeks lingkungan dalam penelitian ini 14,163 artinya apabila ada
kenaikan indeks lingkungan sebesar 1 persen akan menaikkan pertumbuhan kota sebesar 14,16 persen. Semakin tinggi indeks lingkungan berarti kualitas hidup di kota semakin baik, sehingga penduduk akan cenderung melakukan
migrasi. Angka koeisien indeks lingkungan dalam penelitian ini terbesar kedua setelah variabel penduduk, hal ini menunjukkan begitu pentingnya peranan lingkungan dalam pertumbuhan kota di wilayah aglomerasi perkotaan di
Semarang dan DIY. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori skala kota yang optimum yang dikaji ulang oleh Fujita dan Thisse
1996 menggambarkan adanya kekuatan sentripetal centripetal forces yaitu kekuatan yang mendorong penduduk dan aktivitas bisnis keluar dari pusat kota atau perkotaan berpindah kearah pinggiran atau keluar kota
dan daerah perkotaan. Dari aktivitas bisnis, apabila proses aglomerasi industri di perkotaan sudah mencapai skala ekonomis yang optimum, ekspansi setelah titik tersebut hanya akan menimbulkan dampak negatif di kota maupun
daerah sekitarnya. Persaingan antar perusahaan dan industri lama kelamaan akan meningkatkan harga bahan baku dan faktor produksi seperti harga tanah, tenaga kerja dan modal. Hal ini menyebabkan relokasi aktivitas
ekonomi ke daerah pinggiran kota atau kota-kota satelit di seputar pusat kota. Dari sisi penduduk kekuatan yang mendorong keluar dari pusat kota terutama kekuatan non pasar seperti bertempat tinggal di wilayah yang masih
terdapat ruang terbuka hijau yang nyaman, sehat dan indah . Hasil penelitian ini juga didukung oleh Sarungu 2009, Oleyar 2008 , Shapiro 2006 dan Graves 1976.
Hasil estimasi dummy kota DKOTA menunjukkan hasil positif dan signiikan pada derajat kepercayaan 1 persen. Angka koeisien DKOTA positif dan signiikan berarti ada perbedaan pertumbuhan kota berdasarkan
ukuran kota . Pertumbuhan kota kategori pusat kota core lebih besarlebih cepat daripada pertumbuhan kota pinggiran zone. Hal ini sesuai dengan teori Geograi Ekonomi Baru New Economic Geography = NEG dari
Krugman 1991 bahwa dimensi spasial merupakan faktor penting dalam analisis ekonomi. Skala ekonomis yang lebih besar, biaya transaksi yang rendah, dan mobilitas tenaga kerja yang tinggi akan menyebabkan pertumbuhan
kota.
Aspek Lingkungan dalam Pertumbuhan Kota di Wilayah Aglomerasi Perkotaan Semarang dan DIY Amin Pujiati
11
5. KESIMPULAN
Hasil estimasi regresi faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kota di wilayah aglomerasi perkotaan Semarang dan DIY adalah pendapatan per kapita tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan kota. Tenaga kerja
pertanian berpengaruh negatif, sementara tenaga kerja industri, penduduk, pendidikan, pengeluaran pemerintah dan indeks lingkungan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan kota. Aspek lingkungan memegang peranan
penting dalam pertumbuhan kota yang ditunjukkan nilai koeisien indeks lingkungan yang besar setelah jumlah penduduk. Temuan lain dari studi ini mendukung teori geograi ekonomi baru yang menjelaskan dimensi spasial
faktor yang penting dalam analisis ekonomi, yang ditunjukkan dengan hasil estimasi dummy kota positif dan signiikan.
Performance dan Keberlanjutan kota untuk terus tumbuh tidak hanya dilihat dari aspek ekonomi, sosial, politik tetapi variabel yang ikut berperan adalah aspek lingkungan, untuk itu pemerintah kota harus lebih memperhatikan
dan lebih tegas menangani masalah lingkungan melalui berbagai program. Studi ini dapat dikembangkan dengan mengembangkan variabel lingkungan tidak hanya dari lingkungan alam misalnya lingkungan budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik , 2000, Pertumbuhan Penduduk dan Perubahan Karakteristik Tujuh Wilayah Aglomerasi Perkotaan di Indonesia 1990 – 1995
, Kerjasama BPS, ANU, UNFPA dan The Australian National University.
------------2010 , Statistik Indonesia beberapa tahun , Jakarta : BPS.
-----------, 2011, Statistik Indonesia, www.datastatistik-indonesia.comindex2.php?option=com, diunduh tanggal 1 Agustus 2011.
Bradley, Rabecca and Gans, 1998, Growth in Australian Cities, Economic Record, Vol.74 226, pp. 266 -278. Cheshire P and S, Magrini, 2009, Urban Growth drivers in a Europe of Sticky People and Implicit Boundaries,
Journal of Economic Geography , Vol. 9, pp. 85 -115.
Crocolici, et. al., 2010, The Measurement of Economic, Social and Environmental Performance of Countries : A Novel Approach, Soc Indic Res , Vol. 95, pp. 339 – 356.
Fan, P and J. Qi, 2010, Assessing The Sustainability of Major Cities in China, Sustainability Science,Vol. 5, pp. 51 – 68.
Fujita and Thisse, 1996, The Economics of Agglomeration, Journal of Japanese and International Economics, Vol. 10, pp. 339 – 378.
Graves, 1976, Are Examination of Migration, Economic Opportunity, and The Quality of Life, Journal of Regional Science
, Vol. 12 1 , pp. 107 – 112. Greene, W., 2000, Econometric analysis, New York : Macmillan.
Gujarati, D., 2003, Basic Econometrics, New York : Mc Graw Hill, inc. Henderson, V., 2002, Urbanization in Developing Countries, The World Bank Research Observer, Vol. 17 1, pp.
89 – 112. Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, 2009, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 2009,
Jakarta : KLH. Khatun, T., 2009, Measuring Environmental Degradation by Using Principal Component Analysis,
Environment, Development and Sustainability , Vol. 11, pp. 439 – 457.
Knight, L and W, Riggs, 2010, Nourishing Urbanism : a case for a New Urban Paradigm, International Journal of Agricultural Sustaibanblity
, Vol. 8 1 2 , pp. 116 – 126. Krugman, P., 1996, Urban concentration : The role of increasing returns and transportation costs, International
Regional Science Review , Vol. 19, pp. 5-30.
----------, 1991, Increasing returns and economic geography, Journal of Political Economy, Vol. 99, pp. 483 – 499.