Deskripsi Subjek Penelitian Hasil Wawancara dan Pengamatan

42 Universitas Sumatera Utara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab IV ini, peneliti akan memaparkan hasil- hasil yang sudah ditemukan di lapangan, baik data yang telah didapatkan melalui wawancara mendalam dengan dokter gigi dan orang tua pasien anak dan juga data yang diperoleh dari pengamatan peneliti di tempat praktek ketika dokter gigi sedang menangani pasien anak.

4.1 Deskripsi Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menentukan sembilan orang dokter gigi yang praktek bersama di Kota Medan sebagai informan dalam penelitian ini. Namun, peneliti tidak hanya mewawancarai kesembilan dokter gigi tersebut tetapi juga mewawancarai seorang perawat gigi dan tiga orang tua pasien anak untuk melihat seberapa besar kepuasan mereka terhadap komunikasi terapeutik dokter gigi dalam membujuk-bujuk anak mereka. Bukanlah hal yang mudah bagi peneliti untuk mencari dan menentukan ke- 13 informan tersebut, karena sewaktu peneliti meminta izin penelitian ada tiga tempat praktek yang tidak memberikan izin bagi peneliti untuk melakukan penelitian di tempat tersebut. Hingga pada akhirnya peneliti memutuskan untuk mencari tempat praktek bersama dokter gigi yang lain. Dan peneliti pun mendapat izin untuk melakukan penelitian di empat tempat praktek bersama dokter gigi. Dengan demikian keseluruhan jumlah informan dalam penelitian ini ada sebanyak 13 tiga belas orang. Penelitian ini dimulai bulan Januari 2015 hingga Februari 2015. Karakteristik ke-13 informan tersebut dapat dilihat di bagian lampiran. Universitas Sumatera utara 43 Universitas Sumatera Utara

4.2 Hasil Wawancara dan Pengamatan

Berikut adalah hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan peneliti terhadap informan penelitian. Pada pukul 16.30 beliau datang ke tempat prakteknya karena kebetulan ada sales obat yang juga ingin bertemu dengannya. Lalu peneliti pun menyampaikan keinginan peneliti kepada beliau dan kemudian beliau langsung mengizinkannya. Dari informasi yang peneliti dapatkan dari proses wawancara Kasus Pertama : Nama Informan : drg. Martha, Sp. Ort Usia : 54 tahun Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 548, Pasar 1 Medan Dokter gigi spesialis orthodonti inilah informan yang pertama sekali peneliti wawancarai, yaitu pada tanggal 27 Januari 2015. Peneliti sudah sampai di tempat praktek beliau pukul 16.00 tetapi tempat prakteknya belum dibuka. Sampai pada akhirnya pukul 16.15 perawatnya keluar dan membersihkan tempat praktek. Peneliti bertemu dengan dua orang perawat pada saat itu yang bekerja bersama beliau. Kemudian peneliti memberitahukan maksud dan tujuan peneliti datang kepada perawat tersebut dan dia meminta peneliti untuk menunggu drg. Martha karena pada saat itu beliau belum sampai di tempat prakteknya. Sambil menunggu kedatangan beliau, peneliti sempat berbincang-bincang dengan perawatnya, untuk menanyakan beberapa informasi mengenai dokter Martha. Perawatnya pun tampak dengan senang hati menjawab semua pertanyaan yang peneliti sampaikan. Dari perawatnya, peneliti mendapatkan info bahwa dokter ini sudah memiliki empat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Beliau juga ditugaskan di Rumah Sakit Umum Kabanjahe, dan ternyata beliau membuka tempat prakteknya ini dua kali sehari, yaitu pada pukul 09.00-12.00 WIB dan juga pada pukul 16.00- 20.00. Universitas Sumatera utara 44 Universitas Sumatera Utara ternyata beliau dulunya membuka praktek di Kota Berastagi, namun ketika mengambil pendidikan spesialis di Fakultas Kedokteran Gigi USU maka beliau memutuskan untuk memindahkan tempat prakteknya ke Medan, di tempat praktek yang sekarang. Awalnya, beliau berkeinginan untuk membuka praktek di daerah Setia Budi, namun mengingat bahwa target pasarnya adalah mahasiswa, maka beliau akhirnya membuka tempat prakteknya di Jln. Jamin Ginting No. 548, Pasar 1 Padang Bulan Medan. Setelah lulus dari spesialis orthodonti, beliau lebih memfokuskan pelayanannya di pasien yang ingin merapikan gigi, ataupun sering disebut pengguna behel. Itu sebabnya ketika peneliti menyampaikan judul penelitian ini kepada beliau, beliau tampaknya kurang tertarik dalam membahas topik ini karena beliau sudah jarang melayani pasien anak. Melihat pasien umum juga masih sering datang ke tempat prakteknya, terkadang beliau merasa kelabakan dalam melayani pasien sehingga ia membutuhkan seorang rekan kerja yang dapat diajak untuk bekerja sama. Begitu mengetahui drg. Berna yang merupakan keponakannya juga sedang mencari tempat praktek, beliau pun menawarkan untuk membuka praktek bersama dan drg. Berna pun langsung menyetujuinya. Kesepakatan mereka dalam pembagian pasien adalah drg. Martha melayani pasien orthodonti dan drg. Berna melayani pasien umum. “Sebenarnya tidak bisa dipastikan, mungkin tiga sampai empat oranglah perminggu. Tapi bisa juga seminggu itu tidak ada pasien anak.” Drg. Martha menyampaikan bahwa jumlah pasien anak mereka per minggunya tidak bisa dipastikan. Terkadang ada tiga sampai empat orang perminggu dan terkadang tidak ada pasien anak yang datang. Hal ini disebabkan karena dokter ini bukanlah dokter gigi spesialis anak sehingga umur pasien yang dilayani pun beragam. “Tergantung anaknya, kadang ada anak yang berani, dan kadang ada yang takut. Dan rasa takut itupun bermacam-macam, kadang Universitas Sumatera utara 45 Universitas Sumatera Utara ada yang bisa dibujuk dan kadang ada yang tidak. Pola asuh orang tua di rumah tentunya sangat mempengaruhi, ada orang tua yang dengan bijaksana memperkenalkan anaknya ke dokter gigi tetapi banyak juga orang tua yang sering mengancam anaknya dirumah jika tidak bisa dibilangi akan di bawa ke dokter agar disuntik. Hal ini tentunya membentuk image dokter yang menyeramkan di dalam pikiran anak. Banyak anak yang berpikiran kalau dokter itu identik dengan jarum suntik. Ini yang membuat dokter gigi harus bekerja keras dalam menangani pasien anak.” Beliau juga mengatakan bahwa tidak semua pasien anak merasa takut ketika datang ke praktek dokter gigi, ada juga pasien anak yang tidak takut ketika diajak ke dokter gigi. Hal yang sangat berpengaruh terhadap rasa takut anak adalah bagaimana orang tua mampu menunjukkan kebijaksanaannya dalam memperkenalkan anaknya terhadap dunia kedokteran gigi. Kebiasaan orang tua ketika mengancam akan membawa anaknya untuk disuntik oleh dokter ketika ia berbuat salah juga dapat menimbulkan rasa takut anak terhadap dokter. “Pasien anak disini kebanyakan terkena kasus gigi berlubang. Gigi yang berlubang sebaiknya dirawat terlebih dahulu. Karena gigi orang dewasa sekalipun kalau dalam keadaan sakit tidak bisa dicabut. Jadi biasanya akan dilakukan perawatan untuk membersihkan kuman-kumannya.” Drg. Martha juga mengatakan bahwa kasus yang sering dihadapi pasien anak yang datang ke prakteknya adalah karies atau gigi berlubang. Mengingat umur pasien anak yang datang berkisar tiga sampai sepuluh tahun, maka gigi yang berlubang tidak boleh sembarang di cabut. Gigi tersebut haruslah dirawat terlebih dahulu, agar bisa menetralkan saraf sekaligus juga untuk membersihkan kuman- kuman yang ada di dalamnya. “Kemarin ada pasien anak yang datang kesini bersama ibu dan adiknya. Kedua-duanya ingin mengobati gigi mereka yang sakit. Setelah memeriksanya ternyata giginya belum dicabut karena masih dalam keadaan yang sakit, jadi harus diberikan obat peringan rasa sakit dulu agar beberapa hari lagi bisa dicabut. Berbeda dengan kasus dirinya, ternyata adiknya memiliki penyakit jantung bawaan, saya lupa stadium berapa. Jadi saya meminta orang tuanya untuk membawanya dulu ke dokter jantung untuk memeriksakan kondisi jantung anaknya dan menyuruh dokternya untuk membuat surat pernyataan kalau si anak bisa menjalani pencabutan gigi. Agar nanti kalau terjadi apa-apa Universitas Sumatera utara 46 Universitas Sumatera Utara dengan anak tersebut setelah melakukan pencabutan gigi, saya tidak akan dituntut keluarganya.” Ketika peneliti menanyakan bagaimana pengalaman beliau dalam menangani pasien anak yang tidak senormal anak biasanya, beliau pun langsung menceritakan bagaimana pengalamannya ketika melayani pasien yang mempunyai masalah khusus. “Kalau dalam menghadapi pasien anak, kendala terbesar yaitu rasa takut anak, rata-rata sih begitu. Cuma kadar rasa takutnya aja yang berbeda-beda. Jadi yang dibutuhkan adalah bagaimana cara dokter gigi dalam membujuk anak tersebut. Tetapi kalau pengalaman yang saya ingat yaitu ketika menghadapi pasien anak yang punya penyakit jantung, untung saja orangtuanya memberitahu saya, kalau tidak mungkin hal buruk akan terjadi.” Beliau menyampaikan sejauh ini belum ada pasien anak yang begitu berkesan ketika dilayani, karena pada umumnya masalah terbesar dalam menghadapi pasien anak adalah rasa takutnya, hanya yang membedakan adalah besarkecilnya rasa takut tersebut. Namun ketika ditanyakan pengalaman yang paling berkesan dalam melayani pasien anak, beliau mengatakan ketika melayani pasien anak yang memiliki penyakit jantung yang sangat berbahaya jika orang tuanya tidak memberitahukannya terlebih dahulu. “Ada juga beberapa orang tua yang saya jumpai mempunyai sifat yang tempramen. Dia mau memukul atau berlaku kasar kepada anaknya karena tidak sabar untuk membujuk anaknya. Tetapi sebenarnya sih tidak bisa, kalau memaksa anak dengan menggunakan kekesaran, sama saja rasa takut yang ada dalam dirinya tidak akan hilang. Bayangkan saja, anak yang sedang ketakutan justru malah dipukuli, bukannya diam malah si anak tambah menangis.” Ada beberapa orang tua yang tidak sabar dalam membujuk anaknya, sehingga mendorong mereka tidak segan berlaku kasar di depan dokter gigi. Padahal drg. Martha sangat tidak setuju dengan sikap orang tua yang seperti itu, karena bukannya dapat menghilangkan rasa takut anak, tapi justru membuat rasa takut anak semakin besar. Tak heran jika pasien anak tersebut akan menangis lebih keras lagi ketika ia di pukul oleh orang tuanya, karena ia merasa terancam. Universitas Sumatera utara 47 Universitas Sumatera Utara “Cara mendekatkan diri dengan anak biasanya dengan menggunakan komunikasi, misalnya dengan menanyakan nama, sekolah, dan kondisi mulutnya. Biasanya saya akan menggunakan panggilan tante atau bibi, agar anak merasa dekat dengan kita. Dalam kunjungan pertamanya, biasanya rasa takut anak lebih besar karena dia sama sekali belum pernah ke dokter gigi. Jadi biasanya saya akan memperkenalkan alat-alat yang saya gunakan, fungsinya untuk apa, dan saya juga akan menjelaskan tindakan apa yang akan saya lakukan terhadap mulut anak tersebut. Tentu kesabaran dokter gigi sangat berpengaruh dalam kesuksesan pengobatan gigi anak, karena dalam menghadapi anak yang sangat takut, bujukan dokter gigi sangat diperlukan. Juga dalam menghadapi pasien anak yang sangat ketakutan tetapi mau dirawat giginya, hendaknya dokter gigi menyembunyikan alat-alat yang menyeramkan anak, seperti jarum suntik, tang, dan lain-lain. Dan jika ingin digunakan, sebaiknya alat tersebut disimpan dipunggung dokter agar si anak tidak melihatnya.” Pada fase orientasi dalam komunikasi terapeutik, dokter gigi memiliki kesempatan untuk membentuk citranya didepan pasien. Pada kesempatan inilah harusnya dokter gigi mampu bersikap ramah dan menunjukkan sikap empatinya dalam menerima kedatangan pasien. Drg. Martha menunjukkan sikap ramahnya dengan menggunakan panggilan tante atau bibi, agar pasien anaknya merasa lebih nyaman berkomunikasi dengan beliau. Salah satu teknik komunikasi terapeutik adalah storytelling ataupun bercerita. Beliau juga menggunakan teknik ini untuk memperkenalkan semua nama dan fungsi alat-alat yang digunakannya sewaktu mengobati gigi anak. Hal ini dilakukan agar anak merasa tidak asing lagi dengan benda-benda tersebut. Kesabaran juga diakui oleh dokter gigi ini sangat dibutuhkan dalam melayani pasien anak. Sebelum melakukan tindakan medis terhadap pasien anak, seorang dokter gigi harus mampu bersifat ramah dan bersahabat agar bisa lebih akrab lagi dengan pasien anak tersebut. Dalam kunjungan yang pertamanya, seorang anak harus dibuat senyaman mungkin dengan layanan dokter gigi agar kemudian tidak menumbuhkan rasa trauma dalam diri anak tersebut. “Biasanya saya akan memberinya obat penghilang rasa sakit dulu. Kalau dalam kondisi yang sakit kan gigi tidak boleh dicabut karena dapat merusak sarafnya. Jadi diberikan obat penghilang rasa sakit dulu barulah beberapa hari kemudian datang lagi kesini. Kadang saya dan perawat juga sering menakut-nakuti anak, Universitas Sumatera utara 48 Universitas Sumatera Utara misalnya dengan mengatakan kalau ada monster yang akan keluar dari gigi yang busuk, tetapi jika itupun sudah tidak bisa lagi terkadang saya juga tidak sabar lagi membujuknya. Mungkin karena pengaruh umur saya juga ya, dalam menghadapi pasien anak yang sangat susah untuk dibujuk, kadang saya kehabisan kesabaran juga. Biasanya saya akan menyerahkannya kepada orang tuanya. Mungkin juga karena sudah terbiasa melayani pasien yang memasang behel, kan itu lebih enak ngerjainnya, jadi kalau harus membujuk-bujuk dan memakan waktu yang lama, saya terkadang malas membujuknya, maka saya serahkan ke orang tuanya.” Gigi yang sedang dalam keadaan sakit tidak bisa dipaksa untuk dicabut, biasanya drg. Martha akan memberikan obat penghilang rasa sakit terlebih dahulu kepada pasien anaknya agar kemudian ketika giginya sudah tidak sakit lagi dapat dilakukan tindakan medis. Peneliti melihat bahwa dokter ini, kurang banyak menerapkan komunikasi terapeutik dalam proses pengobatan terhadap pasien anaknya. Beliau juga mengakui bahwa ia sering menakut-nakuti anak dengan mengatakan jika tidak dibersihkan maka akan ada monster yang keluar dari gigi yang busuk tersebut. “Cara saya untuk memotivasi pasien anak biasanya dengan menyuruhnya untuk merawat kesehatan giginya, yaitu dengan rajin menyikat gigi minimal dua kali sehari agar kuman penyakit yang ada di mulut bisa dihilangkan.” Ketika peneliti menanyakan kepada drg. Martha bagaimana cara beliau dalam memotivasi kesembuhan pasien, dia mengatakan dengan meningkatkan kesadaran anak akan pentingnya merawat kebersihan gigi dan mulut. Caranya dengan mengingatkan anak agar rajin menyikat gigi minimal dua kali sehari setelah sarapan pagi dan sebelum tidur malam. “Biasanya dengan melakukan komunikasi terapeutik dapat mengurangi rasa takut anak, dengan melakukan komunikasi untuk mendekatkan diri dengan anak sekaligus juga membujuk-bujuk anak agar mau membuka mulutnya agar bisa diperiksa bagaimana keadaan giginya. Jadi, komunikasi sangat peting bagi dokter gigi agar bisa meluluhkan rasa takut anak.” Universitas Sumatera utara 49 Universitas Sumatera Utara Manfaat komunikasi terapeutik menurut Purwanto adalah membantu pasien untuk memperjelas juga mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada, yang kedua yaitu untuk mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif, dan yang terakhir adalah untuk mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri pasien sendiri Damaiyanti, 2008:11. Manfaat yang didapatkan oleh beliau setelah melakukan komunikasi terapeutik adalah dapat mengurangi rasa takut anak terhadap dokter gigi. Ketika anak melihat sosok dokter gigi yang ramah dan sabar dalam membujuk-bujuk, maka anak akan merasa nyaman dengan dokter gigi tersebut. “Sebenarnya menghadapi pasien anak itu tidak susah, karena kalau dari segi tindakan medisnya kasus gigi anak jauh lebih mudah, kadang hanya lima sampai sepuluh menit langsung selesai. Tapi dalam hal membujuknya ini yang susah, kadang memakan waktu yang lama sampai setengah jam. Apalagi kalau saya lihat sudah ada beberapa pasien yang mengantri, pasti saya jadi malas membujuknya. Faktor penghambat terbesar adalah rasa takut anak, karena rasa takutlah mendorong anak tidak mau mengikuti saran dokter gigi seperti membuka mulut, kumur- kumur, dan lain-lain. Jadi, bagi anak yang tidak takut dengan dokter gigi maka proses pengobatannya akan lebih cepat dan mudah. Sedangkan faktor penghambat yang datangnya dari saya adalah kesabaran yang kadang sudah habis kalau harus membujuk sampai setengah jam. Kalau faktor penghambat dari anaknya yaitu rasa takut terhadap dokter gigi beserta dengan alat-alat yang digunakannya yang membuat dokter gigi susah untuk mengobati gigi anak tersebut.” Ketika peneliti menanyakan apakah drg. Martha merasa kesulitan dalam melayani pasien anak, beliau mengatakan tidak. Hanya saja, beliau mengakui bahwa kesabarannya kadang habis jika harus membujuk anak sampai setengah jam, ditambah lagi ketika beliau melihat sudah banyak pasien yang mengantri di ruangannya. Hal ini membuat beliau langsung putus asa dan menyerahkan anak tersebut kepada orang tuanya. “Saya menganggap kalau sudah sepantasnya dokter yangs seumuran saya sudah tidak sabar lagi dalam membujuk anak- anak, sehingga terkadang dalam menghadapi anak yang Universitas Sumatera utara 50 Universitas Sumatera Utara menangis, cengeng dan tidak mau mendengarkan perkataan saya, saya hanya akan mendiamkannya dan menyerahkannya kepada orangtuanya untuk dibujuk. Menurut saya umur sangat mempengaruhi kesabaran saya, makanya saya tidak begitu sabar lagi dalam membujuk dan melakukan pendekatan dengan anak.” Ketika peneliti menanyakan tindakan yang dilakukan beliau dalam menghadapi hambatan tersebut, beliau hanya membela dirinya dengan mengatakan bahwa sudah sepantasnya dokter gigi yang seumuran dengannya memiliki kesabaran yang lebih sedikit dibandingkan dengan dokter gigi yang masih muda. Mengingat jam terbang dokter ini yang juga sudah padat, membuat beliau merasa mudah bosan dalam melayani pasien anak yang sangat susah diajak untuk bekerja sama. Dengan berakhirnya jawaban dari drg. Martha tadi, maka peneliti mengakhiri wawancara dengan beliau pada saat itu. Pada kunjungan pertama pada tanggal 30 Januari 2015, peneliti sampai di tempat praktek pada pukul 15.00 WIB, namun tempat prakteknya belum buka, dan setelah melihat ke pamfletnya, peneliti baru tersadar bahwa tempat praktek dokter gigi ini ternyata di buka pada pukul 16.00. Setelah menunggu hampir sejam, tempat praktek tersebut dibuka oleh seorang perawat gigi yang sedang membersihkan ruangan dokter gigi tersebut. Maka peneliti pun menanyakan kepada perawat tersebut, apakah dokter giginya sudah datang atau belum. Kasus Kedua : Nama Informan : drg. Christy Nora Sembiring Usia : 34 tahun Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 193 A Medan Dokter gigi inilah informan kedua yang peneliti wawancarai. Setelah melakukan survey sambil melihat-lihat semua tempat praktek bersama dokter gigi yang ada di sekitaran Jalan Jamin Ginting, akhirnya peneliti mendapatkan tempat praktek ini. Berselang beberapa hari setelah mewawancarai informan pertama, lalu kemudian peneliti memutuskan untuk mewawancarai dokter gigi ini. Universitas Sumatera utara 51 Universitas Sumatera Utara Ternyata perawat tersebut memberitahukan saya bahwa dokter gigi yang bertugas hari ini adalah drg. Christy dan beliau belum datang, sehingga perawat tersebut meminta saya untuk menunggu dokter diruangan tunggu. Tetapi karena perawatnya terlihat sangat sibuk membersihkan ruangan tersebut sehingga peneliti merasa segan untuk bertanya-tanya kepadanya. Setelah menunggu beberapa menit, pada pukul 16.10 drg. Christy datang ke tempat prakteknya. Ketika melihat beliau datang, akhirnya saya pun menemuinya diruangan dokter, dan menjelaskan maksud dan tujuan saya datang ke tempat prakteknya. Dan berhubung pada saat itu belum ada pasien yang datang, sehingga peneliti dapat langsung melakukan wawancara dengan dokter gigi tersebut. Peneliti pun memulai wawancara dengan menanyakan beberapa informasi mengenai dokter tersebut. Dari wawancara dengan informan, peneliti mengetahui bahwa beliau sudah membuka tempat praktek bersama tersebut sejak pertengahan tahun 2011. Dan untuk saat ini, beliau hanya bekerja di tempat praktek ini, tidak ada tempat yang lain, karena mengingat usia anaknya yang masih balita, sehingga membuat beliau merasa belum tega untuk meninggalkannya dirumah dalam jangka waktu yang lama. Karena alasan ini jugalah beliau memutuskan untuk membuka tempat praktek bersama, jika membuka praktek bersama beliau bisa membagi waktunya dengan rekan kerjanya sehingga beliau tidak harus masuk kerja setiap hari. Drg. Christy juga menceritakan bahwa rekan kerjanya dalam praktek bersama ini adalah teman dekatnya dan teman satu stambuk beliau ketika masih kuliah di FKG USU, sehingga ketika rekannya mengajak beliau untuk membuka praktek bersama, beliau pun langsung menyetujuinya. Dalam membagi pasien di tempat praktek bersamanya, mereka memiliki kesepakatan bersama yaitu untuk berbagi hari kerja, dimana drg. Christy masuk setiap hari Senin dan Jumat sedangkan rekannya masuk setiap hari Selasa, Rabu, dan Kamis. Beliau juga sering memberitahukan kepada pasiennya mengenai jadwalnya itu, jadi jika ada pasien yang ingin dilayani oleh drg. Christy haruslah datang pada hari Senin atau Jumat. Beliau juga mengatakan bahwa mereka tidak pernah mempermasalahkan Universitas Sumatera utara 52 Universitas Sumatera Utara mengenai pembagian pasien, siapa yang sedang dinas di praktek maka dialah yang berkewajiban untuk melayani pasien yang datang, kecuali pasien orto behel. “Tidak menentu, kadang seminggu tidak ada pasien anak, tetapi kadang-kadang sampai 5 pasien per minggunya.” Ketika peneliti menanyakan jumlah pasien anak per minggunya, drg. Christy mengatakan bahwa jumlah pasien anaknya tidak menentu setiap minggunya. Terkadang tidak ada pasien anak yang datang dalam seminggu, dan terkadang sampai lima pasien anak per minggunya. “Selama ini sih tergantung anaknya, gak semua takut, kadang ada anak yang langsung mau buka mulut, namun ada yang jangan kan disuruh buka mulut, untuk masuk keruangan ini aja dia ga berani. Sebagian besar sih rasa takutnya dipengaruhi oleh orang tua dan lingkungannya. Banyak orang tua ketika anaknya susah untuk dibilangin atau bandel lalu mengancamnya akan dibawa ke dokter untuk disuntik. Jadi si anak akan ingat terus kalau dokter itu adalah sosok yang sangat menyeramkan karena dia mempunyai jarum suntik. Bahkan kadang bisa membuat anak trauma dengan dokter. Namun begitu, masih ada juga orang tua yang bijaksana dalam memberikan pengertian akan pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut bagi anak-anaknya. Mereka juga menyadarkan anaknya tentang peran dokter gigi dalam membantu menjaga kesehatan giginya dan bukan menyakitinya. Sehingga anak akan merasa dokter bukanlah sosok yang menyeramkan tetapi akan membantunya dalam merawat giginya. Hal yang berpengaruh berikutnya adalah lingkungan, misalnya ada teman atau saudara yang sudah pernah ke dokter gigi sebelumnya dan ternyata mengalami pengalaman yang buruk. Dan ketika si anak mendengar pengalaman yang kurang menyenangkan tersebut, maka ia akan dengan mudah mempercayainya dan bahkan dapat memperbesar rasa takutnya kepada dokter gigi.” Drg. Christy menjelaskan bahwa sebenarnya tidak semua anak takut ketika berhadapan dengan dokter gigi, ada anak yang gampang diajak bekerja sama namun ada juga anak yang sangat susah untuk diajak bekerja sama. Hal yang sangat berpengaruh dalam rasa takut anak tersebut menurut beliau adalah pola asuh orang tua dirumah yang sering menakut-nakuti anaknya dengan mengancam akan dibawa kedokter supaya di suntik ketika anaknya melakukan kesalahan di Universitas Sumatera utara 53 Universitas Sumatera Utara rumah dan juga pengaruh dari lingkungan anak itu sendiri, yaitu kakak, abang, adik, teman sepermainannya yang sudah pernah mengalami pengalaman buruk dengan dokter gigi. Rasa takut ini termasuk ke dalam rasa takut subjektif yaitu, rasa takut yang disebabkan oleh perasaan dan sikap yang dibisikkan atau didengar dari orang lain tanpa mengalami sendiri sebelumnya Diktat Bahan Kuliah Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, 2014 : 20. “Umumnya sih yang kesini dicabut giginya, karena sudah waktunya pertumbuhan gigi yang baru jadi gigi susunya dicabut. Alasan yang kedua karena giginya sakit, berlubang atau akar giginya sudah melukai gusinya. Biasanya gigi tersebut akan dicabut, namun kalau giginya berlubang dan belum saatnya untuk dicabut pasti kakak dibersihin dulu, lalu dirawat dan ditambal.” Beliau juga menjelaskan kepada peneliti berhubung karena rata-rata usia pasien anak yang datang ke tempat praktek beliau adalah umur lima tahun ke atas maka kebanyakan kasus gigi anak yang datang adalah pencabutan gigi dan kasus gigi sakit, berlubang dan akarnya sudah melukai gusi. Maka yang akan beliau lakukan adalah mencabutnya atau merawatnya terlebih dahulu sebelum kemudian dilakukan penambalan. “Selama ini belum pernah sih,namun pengalaman yang paling saya ingat ketika melayani pasien anak yaitu beberapa waktu yang lalu saya sempat melayani pasien anak yang sangat tidak koperatif, disuruh buka mulut aja dia ngga mau padahal udah dibujuk-bujuk oleh saya dan orang tuanya. Saya sempat merasa kesal karena memakan waktu yang lama untuk membujuk anak ini, hingga pada akhirnya saya menyuruh orang tuanya untuk membawanya pulang ke rumah dulu, lalu membujuknya dirumah dan kemudian datang di lain waktu. Sempat datang ke tempat praktek saya tiga kali, namun tetap tidak mau, tapi pas datang untuk yang ke empat kalinya dia sudah mau diajak untuk bekerja sama. Saya ngeliat anak ini memang sudah dibujuk, jadi saya berpikir yang penting tercabutlah giginya segera, memang dia ngerasa agak sakit kemaren karena pas disuntik bius dia meronta- ronta, jadinya biusnya tidak masuk semua. Lagian jika anak yang dalam kondisi ketakutan pasti akan tetap ngerasa sakit ketika giginya disentuh meskipun sudah dibius. Tetapi ada kepuasan tersendiri didalam hati saya ketika saya bisa menaklukkan rasa takut pasien anak tersebut.” Universitas Sumatera utara 54 Universitas Sumatera Utara Ketika peneliti menanyakan pengalaman beliau dalam menghadapi pasien anak yang berkebutuhan khusus seperti autis ataupun penyakit berbahaya lainnya seperti jantung, dan lain-lain, beliau mengatakan kalau dia belum pernah bertemu dengan pasien anak yang seperti itu. Kemudian beliau menceritakan pengalamannya dalam melayani pasien anak, yang sudah tiga kali datang ke tempat prakteknya dan tetap tidak mau diajak untuk bekerja sama. Hingga pada akhirnya bersama dengan orang tuanya, drg.Christy pun agak memaksa anak tersebut, beliau juga mengatakan kalau si anak sempat merasakan sakit karena obat biusnya tidak masuk semua ke dalam. Rasa takut yang dialami anak ini termasuk ke rasa takut objektif, yaitu rasa takut yang disebabkan rangsangan fisik secara langsung pada alat perasa Diktat Bahan Kuliah Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, 2014 : 22. Kemungkinan rasa sakit yang dirasakan anak tersebut sebenarnya tidaklah besar, tetapi karena dia yang sudah terlebih dahulu takut dengan semua peralatan dokter gigi, maka ia akan selalu merasa ketakutan dengan semua tindakan dokter gigi. “Pernah sih kemaren itu ada orang tua yang gak sabaran untuk ngebujuk anaknya, dia sampai menampar, menjewer dan memukul kepala anaknya. Padahal sebenarnya anaknya bukan tipe yang sangat susah untuk dibujuk, saya yakin meskipun tadinya tidak dipukul oleh orang tuanya, pasti si anak akan mau membuka mulutnya. Tetapi karena orang tuanya tempramen, saya merasa sangat kasihan dengan anak tersebut.” Salah satu hal yang juga sering terjadi pada saat berlangsungnya proses perawatan gigi anak adalah sikap orang tua yang dapat merusak psikologis anak. Anak yang sedang ketakutan jika dimarahi dan dipukul maka akan membuat rasa takutnya semakin besar. “Biasanya sih untuk menghadapi anak yang penakut saya tidak memanggil nama saya dengan panggilan dokter tetapi saya menggunakan kata tante untuk bisa mendekatkan diri dengan anak tersebut. Tetapi jika berhadapan dengan anak yang nakal dan susah diatur biasanya saya menggunakan panggilan dokter supaya anak tersebut merasa segan dengan saya. Saya juga akan menanyakan nama anak tersebut, sudah sekolah atau belum, Universitas Sumatera utara 55 Universitas Sumatera Utara sudah kelas berapa dan sekolah dimana. Tidak jarang juga saya memuji kegantengan dan kecantikannya, terkadang saya juga memuji barang-barang yang dipakainya seperti baju, sepatu, dan lain-lain. Intinya sih harus tetap sabar dalam menghadapinya, harus dibujuk-bujuk. Sesuai dengan pelajaran saya dulu, kalau pasien anak itu tidak boleh ditakut-takutin atau dibohongi karena bisa menimbulkan rasa trauma dalam diri anak tersebut. Saya hanya menggunakan kata-kata sewajarnya saja, tidak menggunakan kata-kata monsters atau hal yang menakutkan lainnya, paling hanya menggunakan kata-kata kuman dan penyakit. Dan dalam penggunaan alat-alat medis pun harus hati- hati dalam menghadapi anak yang penakut, baiknya alat-alat seperti jarum suntik, tang pencabut gigi disembunyikan dan jangan sampai terlihat oleh anak. Dan kalau saya biasanya menyembunyikannya di tempat yang jauh dari kursi duduk pasien dan jika ingin digunakan maka saya akan memegang alat tersebut tetapi menaruh tangan saya dipunggung jadi si anak tidak akan dapat melihatnya. Saya juga sering membujuk anak-anak dengan menggunakan kalimat seperti ini, ‘kamu kan gantengcantik masa mau punya gigi yang rusak, nanti malu dong kalau teman-teman mainnya tahu kamu punya gigi busuk?’. Jika dengan seperti itupun dia tetap tidak mau maka saya akan menyuruh orang tuanya untuk memegang tubuh pasien anak itu agar dapat dilakukan perawatan giginya. Jika hal itu pun tidak dapat dilakukan, maka saya akan meminta orang tuanya supaya membawanya kerumah dulu dan membujuknya sehingga jika dilain waktu ia sudah mau dirawat hendak membawanya lagi kembali kesini.” Drg. Christy memulai pendekatannya dengan memuji kegantengankecantikan pasien anak tersebut. Sesuai dengan tujuan komunikasi antar pribadi, drg. Christy menggunakan komunikasi untuk mengenal pasiennya, menciptakan dan memelihara hubungan beliau dengan pasiennya, mengubah sikap dan prilaku pasien anaknya, dan membantu anaknya untuk mengobati penyakit giginya Marhaeni Fajar, 2009 : 78. Beliau juga mengatakan bahwa beliau sering menyembunyikan alat-alat medis yang menyeramkan bagi anak supaya tidak kelihatan olehnya. Jika tidak melihat alat medis secara langsung, kemungkinan rasa takut anak akan semakin berkurang. “Saya sering bilang ke pasien anak, kalau disuntik nggak akan sakit dan nggak akan lama, dan begitu setelah selesai disuntik Universitas Sumatera utara 56 Universitas Sumatera Utara maka tidak akan sakit lagi karena sudah dalam keadaan kebas dan jika sudah diobati maka kuman penyakitnya akan mati dan tidak akan menganggu kesehatan gigi yang lain. Dengan begitu anak menjadi mau diajak bekerja sama dan kemudian dia tidak akan takut lagi berhadapan dengan dokter gigi.” Manfaat komunikasi terapeutik yang dirasakan oleh drg. Christy adalah selain dapat mempengaruhi pasien anaknya, beliau juga dapat mengurangi keraguan dalam diri anak tersebut, dan kemudian anak tidak akan merasa takut lagi ketika harus berurusan dengan dokter gigi. “Sejauh ini sih ngga ada hambatan yang begitu besar ya. Mungkin rasa kesal pasti ada karena kadang habis juga kesabaran dalam membujuk pasien anak ini. Tapi karena dulunya, saya juga seorang guru sekolah minggu jadi saya lebih sabar dan sudah terbiasa dalam membujuk anak. Faktor penghambat lainnya, kadang kesabaran saya habis juga untuk membujuk-bujuk anak. Yang menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam hambatan terapeutik ini biasanya dari pasien anaknya yang sangat susah untuk dibujuk-bujuk. Kadang selama sepuluh sampai lima belas menit saya membujuk-bujuk anak tersebut, namun jika sudah dibujuk pun tetap tidak mau bekerja sama maka saya akan menyuruh orang tua untuk membawanya pulang dulu biar dibujuk dirumah, nanti lain waktu kalau anaknya sudah berani dan mau dibujuk barulah datang kembali kesini.” Beliau ternyata sudah memiliki banyak pengalaman dalam dunia anak, seperti yang sudah dijelaskan, bahwa beliau sempat menjadi guru sekolah minggu di gerejanya sewaktu ia masih muda. Pengalaman tersebutlah yang kemudian membuat beliau lebih memahami psikologi anak-anak, sehingga ketika berhadapan dengan pasien anak beliau selalu berusaha untuk memahami jiwa anak tersebut. “Ketika anak tidak mau diajak bekerja sama maka saya akan membujuk-bujuk anak tersebut, jika sudah dibujuk pun tetap tidak mau maka saya menggunakan metode ‘modelling’ yaitu dengan mencontohkannya ke orang lain ntah ke kakaknya atau ke adeknya yang lebih berani. Kalau tidak bisa juga kadang saya menyuruh orang tuanya untuk memegang anaknya. Sejauh ini sih kondisi fisik saya tidak berpengaruh, karena saya tidak mau asal- asalan dalam melayani pasien anak, saya menganggap bahwa pasien itu adalah anak saya jadi sebisa saya, saya akan berikan Universitas Sumatera utara 57 Universitas Sumatera Utara yang terbaik, meskipun kadang dalam kondisi tidak enak badan tetapi saya masih bisa mengontrol emosi saya. Dan saya ngga ngerasa keberatan dalam menghadapi pasien anak, sejauh ini sih enjoy aja.” Pada proses ini, drg. Christy menggunakan teknik komunikasi terapeutik ‘teknik orang ketiga’, dimana beliau melibatkan orang terdekat pasien. Teknik ini dianggap kurang memaksa dibandingkan jika harus memaksa anak yang bersangkutan untuk membuka mulutnya. Jika anak tetap tidak mau membuka mulutnya, maka beliau akan mencontohkannya kepada kakakadik pasien yang lebih berani. Jawaban diatas menutup wawancara peneliti dengan drg. Christy. Peneliti kemudian meminta beliau untuk menghubungi peneliti jika nantinya ada pasien anak yang datang, agar kemudian peneliti dapat melakukan observasi. Pada pukul 17.30 beliau selesai melayani pasiennya sehingga meminta perawatnya untuk menyuruh peneliti masuk ke dalam ruang kerjanya. Sesampainya di dalam, peneliti langsung menjelaskan apa tujuan peneliti datang Kasus Ketiga : Informan terdiri dari: Nama Informan : drg. Juli Perangin-angin Usia : 34 tahun Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 193 A Medan Informan ketiga ini memiliki tempat praktek yang sama dengan informan kedua, yang membedakannya adalah hari kerjanya. Beberapa hari setelah selesai mewawancarai informan kedua yaitu pada tanggal 4 Februari 2015, peneliti akhirnya memutuskan untuk datang kembali ke tempat praktek yang sama tetapi mewawancarai dokter gigi yang berbeda. Berbeda kondisi dengan informan kedua, ketika peneliti sampai di tempat praktek drg. Juli, peneliti melihat sudah ada dua orang pasien yang mengantri di ruang tunggu, dan beliau sedang sibuk melayani pasien di ruang kerjanya. Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk menunggu beliau menuntaskan pekerjaanya. Universitas Sumatera utara 58 Universitas Sumatera Utara ke tempat praktek tersebut, lalu kemudian beliau mengizinkannya. Berhubung karena pada saat itu tidak ada pasien yang mengantri, maka peneliti langsung memulai pembicaraan dengan beliau. Drg. Juli ternyata sudah membuka tempat praktek ini dari pertengahan tahun 2011, bersama rekannya drg. Christy. Dari proses wawancara tersebut, beliau juga memberitahukan kepada peneliti bahwa selama ini beliau juga terikat dinas di RS. Elisabeth, namun kontraknya sudah selesai beberapa hari yang lalu karena disana beliau hanya menggantikan temannya yang sedang sibuk di luar kota. Beliau memutuskan untuk membuka praktek bersama karena menurutnya memang lebih baik membuka praktek bersama dibanding praktek sendirian. Beban yang ditanggung pun akan dibagi dua. Beliau juga mengaku bahwa beliau sangat tidak terbiasa kalau harus disuruh bekerja sendirian, beliau merasa lebih semangat jika ada rekan sekerjanya yang bisa diajak berdiskusi, sehingga setiap permasalahan yang ada akan mereka selesaikan secara bersama-sama. Drg. Juli juga menceritakan bahwa beliau dan rekan sekerjanya adalah teman dekat sewaktu kuliah di FKG USU. Mereka berdua sangat akrab, sehingga pada tahun 2011 mereka merencanakan untuk membuka praktek bersama, namun karena masih banyak yang harus dipersiapkan seperti tempat praktek, alat-alat medis, dan lain-lain membuat rencana mereka tertunda, hingga pada pertengahan 2011-lah mereka berhasil membuka tempat praktek bersamanya. Dalam hal pembagian pasien, mereka sudah memiliki kesepakatan bersama, yaitu dengan membaginya per hari. Jadi pasien yang datang pada hari Selasa, Rabu, Kamis adalah pasien drg. Juli dan pasien yang datang pada hari Senin dan Jumat adalah pasien drg. Christy, kecuali pasien orto karena semua pasien orto ditangani oleh drg. Juli. Namun, ketika ada pasien beliau yang berhalangan hadir pada hari yang ditentukan, maka beliau akan mentransfernya ke rekan sekerjanya, karena pada prinsipnya mereka tidak mau mempermasalahkan mengenai jumlah pasien mereka. “Tidak menentu,kadang tidak ada kadang sampai 5 orang per minggunya.” Universitas Sumatera utara 59 Universitas Sumatera Utara Ketika peneliti menanyakan jumlah pasien anak per minggunya, beliau mengatakan bahwa jumlahnya tidak dapat ditentukan, terkadang tidak ada pasien anak tetapi kadang sampai lima orang per minggunya. “Pasien anak yang datang kesini sih beragam ya, ada yang takut namun kadang ada yang santai aja datang kesini. Kebanyakan sih yang mempengaruhi rasa takut itu adalah rasa trauma yang pernah dialami sebelumnya maka ia akan takut setiap bertemu dengan dokter gigi. Faktor yang mempengaruhi berikutnya adalah informasi yang dia terima tentang dokter gigi ataupun berobat gigi yang membuat dia takut untuk datang kesini. Ntah bukan dia yang trauma tetapi orang tua, jadi orang tuanya mungkin sering menakut-nakutinya, banyak orang tua mengancam akan membawa anaknya ke dokter biar disuntik ketika anak tersebut nakal. Jadi si anak sudah punya image kalau ke dokter itu menyeramkan termasuk ke dokter gigi. Kalau faktor umur sih menurut saya tidak terlalu mempengaruhi rasa takut anak, karena banyak anak yang sudah kelas 4 SD tetapi masih takut aja sama dokter gigi.” Beliau menjelaskan bahwa tidak semua anak yang datang memiliki masalah ketakutan yang sama, bahkan ada yang tidak takut sama sekali. Rasa takut terbagi ke dalam tiga jenis yaitu, rasa takut objektif, subjektif dan sugesti Diktat Bahan Kuliah Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, 2014 : 20. Rasa takut pertama yang dijelaskan oleh drg. Juli adalah rasa takut subjektif yaitu rasa takut yang disebabkan oleh perasaan setelah mendengar pengalaman orang lain mengenai pengalaman buruk mereka pada saat proses pengobatan gigi mereka. Sebelumnya mungkin anak pernah mendengar pengalaman buruk saudaranya pada saat berobat gigi, sehingga membuat rasa takut tersebut tertanam dalam diri anak dan susah untuk dihilangkan. Selanjutnya, rasa takut objektif adalah rasa takut yang disebabkan oleh rangsangan fisik pada alat perasa, seperti yang dijelaskan beliau bahwa ada anak yang memiliki pengalaman buruk ketika berobat gigi sehingga membuat dia trauma dengan dokter gigi. “Kebanyakan sih pasien disini datang dengan kondisi gigi yang sudah hancur, bisa dibilang lubangnya sudah besar sehingga harus Universitas Sumatera utara 60 Universitas Sumatera Utara dilakukan perawatan. Banyak juga kasus anak disini, dimana gigi tersebut sudah mengganggu gusinya sehingga menimbulkan rasa nyeri dan menyebabkan anak tersebut mengeluh karena susah makan dan susah tidur, barulah orang tua akan membawanya ke dokter gigi. Kasus berikutnya adalah keadaan gigi anak yang sudah melewati batas untuk dicabut sehingga gigi yang baru sudah tumbuh dibelakang yang sering disebut dengan gigi persisten. Gigi persisten yaitu keadaan dimana gigi susu masih menetap sedangkan gigi tetapnya sudah tumbuh, maka gigi susu tersebut harus dicabut. Kalau tindakan saya sih tergantung kasusnya, kebanyakan sih kalau kasusnya sudah tahap lanjut sudah sangat sakit maka akan dilakukan perawatan. Karena biasanya gigi susu anak ini tidak bisa dicabut secara sembarangan. Misalnya ada yang datang dengan kondisi gigi yang sudah parah, jadi hanya ada satu pilihan yaitu mempertahankannya sampai ada gigi baru yang tumbuh lagi, maka yang akan saya lakukan adalah melakukan perawatan saraf. Sedangkan masalah gigi susu yang masih menetap meskipun gigi tetapnya sudah tumbuh dibelakang, maka gigi susu tersebut haruslah dicabut. Hal itu juga yang sering membuat anak takut ke dokter gigi karena dia tahu kalau gigi susunya tersebut pasti akan dicabut”. Beliau menyampaikan bahwa rata-rata umur pasien anak yang datang ke tempat prakteknya berkisar antara tiga sampai sembilan tahun. Kebanyakan diantaranya datang dengan kondisi gigi yang hancur, misalnya akar gigi masih tertinggal di gusi sehingga melukai bibir anak tersebut sehingga membuatnya terus mengeluh karena susah makan dan susah tidur. Pada usia tersebutlah biasanya anak mengalami pertumbuhan gigi tetap, sehingga gigi susu haruslah dicabut terlebih dahulu. Hal ini juga di akui oleh drg. Juli yang membuat anak takut ke dokter gigi, karena dia tahu bahwa giginya akan dicabut. “Kemarin saya pernah menjumpai pasien yang mengalami keterbatasan mental jadi kalau diajak untuk berkomunikasi pun dia tidak akan mengerti, dia hanya menangis saja. Jadi atas izin orang tuanya saya pun mengambil tindakan tetapi agak memaksa sedikit dan dibantu oleh orang tuanya untuk menahan kepalanya. Dan setelah berhasil mencabut giginya saya langsung memeluk anak tersebut dan meminta maaf meskipun mungkin dia tidak mengerti. Tujuan saya agar ia tidak trauma dengan dokter gigi. Beberapa waktu yang lalu saya juga pernah menghadapi anak yang sangat susah dibujuk. Dia juga tidak segan meludahi orang tuanya, perawat disini termasuk saya juga. Dan sebenarnya orang Universitas Sumatera utara 61 Universitas Sumatera Utara tuanya yang memang memaksa untuk ke dokter gigi, karena kondisi giginya yang sudah mengganggu kenyamanan anak tersebut, dimana gigi barunya sudah tumbuh tetapi akar gigi susunya masih menetap dan melukai bibirnya. Memang kondisi seperti ini mengharuskan saya untuk mencabutnya, karena jika dipertahankan maka akar tersebut akan selalu menyiksa anak tersebut. Tetapi tetap saja, pada kunjungan pertamanya, saya tidak akan melakukan tindakan yang melukai anak, jadi saya hanya akan mengajak dia untuk bercerita. Namun dikunjungan yang pertama tersebut pun sudah terlihat bahwa anaknya memang susah diajak bekerja sama, anaknya terus memukul kedua orangtuanya, dia juga sudah berkeringat karena kelamaan menangis. Berselang dua hari dan atas izin orang tuanya, meskipun anaknya tetap menangis dan tetap meludah , saya harus tetap mencabut akar gigi tersebut dengan sedikit memaksa. Saya bekerja sama dengan orang tuanya, dimana kedua orang tuanya memegang badan anak tersebut sehingga saya dapat mencabut akar gigi tersebut. Setelah berhasil mencabut giginya, saya langsung memeluk anak tersebut dan meminta maaf agar kemudian tidak menimbulkan rasa trauma dalam diri anak itu. Dan ternyata berhasil, pada kunjungan berikutnya anak tersebut sudah tidak takut lagi datang kesini.” Ketika peneliti menanyakan pengalaman beliau dalam melayani pasien anak, beliau pun langsung menceritakannya dengan senang hati. Dari jawaban beliau, peneliti dapat melihat bagaimana drg. Juli begitu menerapkan komunikasi terapeutik bagi para pasien anaknya. Beliau mengaku tidak pernah memaksa anak untuk langsung dilakukan tindakan medis pada kunjungan pertamanya. Beliau memanfaatkan kunjungan pertama untuk berkenalan dan mendekatkan diri dengan pasien anaknya. Hal ini sesuai dengan fase kedua dalam komunikasi terapeutik yaitu ‘fase orientasi’, dimana tenaga medis menjalin hubungan yang baik dengan pasiennya, karena pada fase inilah ia akan membentuk citranya melalui pertemuan pertama dengan pasiennya Musliha Siti Fatmawati, 2010 : 117. Salah satu bagian dari komunikasi non verbal adalah ‘sentuhan’ Musliha Siti Fatmawati, 2010 : 16. Drg. Juli mengaku sering memeluk dan meminta maaf kepada pasien anaknya ketika perawatan giginya sudah selesai. Hal ini dilakukannya supaya di kemudian hari anak tersebut tidak takut lagi untuk datang ke dokter gigi. Universitas Sumatera utara 62 Universitas Sumatera Utara “Ada beberapa saya lihat orang tua yang tempramen. Kadang tidak segan membentak bahkan memukul anaknya di sini. Saya pun tidak tega melihatnya. Jika saya melihat orang tua yang seperti itu, maka saya akan meminta orang tuanya untuk bersabar dan jika memang masih tetap membentak anaknya maka saya akan memberitahukan orang tua tersebut kalau diruangan saya tidak boleh membentak ataupun memukul anak, hal ini saya lakukan agar dapat meredakan emosi orang tuanya.” Beliau mengakui bahwa ada beberapa orang tua yang tidak sabar ketika anaknya susah untuk dibujuk, terkadang mereka tidak segan memukul anaknya di depan beliau. Hal ini diakui beliau dapat mengganggu kenyamanannya dalam mendekatkan diri dengan pasien, sehingga terkadang beliau mengingatkan orang tua tersebut agar tidak memukul anaknya. Dalam melayani pasien anak jarang sekali saya menggunakan sebutan dokter, saya sering menggunakan panggilan kakak, agar anak tersebut merasa dekat dengan saya. Karena bagi sebagian anak, panggilan dokter itu memiliki image yang buruk dan menyeramkan. Biasanya saya akan kenali dulu pasien anaknya, kalau anak tersebut tipe yang koperatif dan tidak ada rasa takut maka saya akan lebih rileks dan langsung mengerjakan perawatan giginya, tetapi walaupun koperatif saya tidak akan langsung mengambil tindakan, melainkan saya akan permisi dulu kepada pasien anak tersebut, dan kemudian barulah saya memberitahukan apa yang akan saya lakukan kepada anak tersebut tetapi dengan menggunakan bahasa anak-anak yang mudah dimengerti dan tidak menakuti anak tersebut. Sedangkan dalam menghadapi pasien anak yang sangat ketakutan, maka pada kunjungan pertama kita lebih banyak cerita-cerita terlebih dahulu. Cara ini dilakukan untuk mengurangi rasa takut dalam dirinya. Jadi saya akan terlebih dahulu memperkenalkan alat-alat yang digunakan disini dan biasanya pada kunjungan pertama saya tidak akan langsung mengambil tindakan seperti pencabutan dan lain-lain yang langsung menyakiti anak, melainkan saya hanya akan melakukan tindakan yang sederhana seperti menunjukkan gigi anak yang bermasalah dan menceritakan apa yang akan saya lakukan nantinya. Dan kemudian saya akan meminta orang tuanya untuk membawanya kembali ke sini berselang satu atau dua hari agar terkesan tidak terlalu buru-buru hingga anak tidak merasa terlalu disakiti. Hal yang sangat perlu diperhatikan adalah psikologi anak, karena pas dia masuk ke ruangan praktek kita, kita langsung bisa lihat dia tipe anak yang mau dibujuk atau tidak, dia takut atau tidak, tipe anak yang manja atau tidak. Karena itu semua akan berpengaruh. Misalnya anak yang tipe manja akan sangat susah Universitas Sumatera utara 63 Universitas Sumatera Utara penanganannya, karena membujuknya akan sangat lama. Kadang orang tuanya juga harus disuruh keluar supaya anak tidak selalu bergantung sama orang tuanya. Karena orang tua sangat berpengaruh dalam rasa takut anak, cara asuh mereka dirumah juga mempengaruhi sikap anak. Jadi, seorang dokter gigi harus dapat mengenali pasiennya dan tahu bagaimana cara mengambil hati pasiennya agar kemudian mau diajak bekerja sama.” Drg. Juli mengakui bahwa komunikasi sangat dibutuhkan dalam pelayanannya kepada pasien anak. Komunikasi dilakukan untuk membantu beliau dalam mendekatkan diri dengan anak. Beliau sering menggunakan teknik “storytelling bercerita’ kepada pasien anaknya. Beliau sering menunjukkan kepada anak gigi mana yang sakit, dan kemudian apa tindakan yang akan dilakukannya kepada pasien anak tersebut. Beliau juga sering meminta izin kepada anak sebelum melakukan tindakan medis, hal ini dilakukan supaya anak tidak merasa diancam dan merasa dihormati. Beliau juga sering menggunakan teknik ‘respon fasilitatif’ yaitu melibatkan teknik mendengar dengan penuh perhatian dan kemudian mencerminkan kembali kepada pasien perasaan dan isi pernyataan yang mereka ungkapkan Damaiyanti, 2008 : 15. Teknik ini digunakan oleh drg. Juli ketika beliau bertemu dengan pasien anak yang mau diajak berbicara, sehingga ketika anak menjawab pertanyaannya dan menyampaikan keluhannya, beliau pun menggunakan teknik respon fasilitatif. “Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, semampu saya, saya akan mencoba untuk membujuk anak tersebut dengan mengambil hatinya ataupun dengan mendekatkan diri dengan anak. Bagi anak yang sudah dibujuk tetapi ia tetap berkeras hati untuk tidak mau membuka mulut dan keadaan gigi mereka sudah sangat parah, maka dengan seijin orang tuanya saya akan sedikit memaksa anak tersebut untuk membuka mulutnya, kadang ada beberapa pasien dimana ayahnya memegang kepalanya, ibunya memegang tangannya dan perawat memegang kakinya, dan kemudian saya akan mengobati giginya. Namun karena masalah gigi anak yang datang kesini kebanyakan bermasalah di gigi depannya, jadi itu sangat memudahkan saya. Karena meskipun dia menutup mulutnya, tapi dengan membuka bibirnya saja saya sudah dapat mengobati gigi anak tersebut. Tetapi biasanya dalam menghadapi beberapa pasien anak, saya langsung bisa melihat Universitas Sumatera utara 64 Universitas Sumatera Utara anak tersebut bisa dibujuk atau tidak. Tetapi setiap anak pasti akan saya bujuk-bujuk agar melawan rasa takutnya. Memang sebagian anak berhasil tetapi ada juga beberapa yang tidak berhasil dibujuk, jadi ketika anak tersebut tidak mau melakukan perawatan gigi meskipun sudah dibujuk-bujuk maka saya tidak akan memaksa anak tersebut. Saya akan meminta orang tuanya agar membawanya dulu ke rumah, agar dia bisa menenangkan anaknya terlebih dahulu, karena memang peran orang tua juga sangat penting dalam menghilangkan rasa takut anak terhadap dokter gigi. Dalam memotivasi pasien anak, saya selalu mengatakan kalau tindakan yang saya lakukan tidak akan menyakiti mereka. Dan saya mengatakan kepada anak tersebut jika giginya tidak diobati maka dapat membuat kuman penyakitnya bertambah banyak, tetap jika diobati maka giginya akan bersih dari kuman penyakit sehingga tidak akan sakit lagi. Manfaat yang saya rasakan setelah melakukan komunikasi terapeutik adalah anak yang tadinya datang dengan perasaan takut, menangis ataupun terkadang marah tetapi setelah saya bujuk-bujuk akhirnya dia mau bekerja sama. Ada juga beberapa pasien anak yang saya jumpai, malah dipertemuan berikutnya sudah tidak takut lagi bertemu dengan saya, malah ada yang menyuruh orang tuanya untuk menunggu diluar.” Dari jawaban yang diberikan oleh drg. Juli, peneliti dapat melihat bagaimana komunikasi terapeutik sangat diperlukan oleh dokter gigi dalam menangani pasien anak. Anak cenderung lebih sensitif dibandingkan pasien dewasa. Beliau dengan sabarnya berusaha untuk tidak terburu-buru dalam melakukan tindakan medis terhadap pasien anak, semampunya beliau berusaha untuk mendekatkan diri dengan anak yaitu dengan menimbulkan rasa nyaman dalam diri anak terhadap dokter gigi. Dengan melakukan komunikasi terapeutik drg. Juli dapat mempercepat kesembuhan pasien anaknya, karena dengan membujuk, anak akan berani melawan rasa takutnya. Perubahan juga terjadi dalam pola pikir anak, yang tadinya menganggap dokter adalah sosok yang menyeramkan kini dikalahkan oleh rasa nyaman yang dirasakannya ketika berada di dekat dokter gigi. Oleh karenanya, dengan komunikasi terapeutik, dokter gigi dapat merubah prilaku pasiennya. Universitas Sumatera utara 65 Universitas Sumatera Utara “Sejauh ini sih saya tidak merasa kesulitan. Semampu saya, saya akan mencoba mengerti mereka karena dengan begitu saya bisa lebih sabar dalam membujuk-bujuk mereka. Terkadang yang menjadi penghambatnya adalah kesabaran saya. Apalagi dalam waktu setengah jam sudah membujuk anak tetapi dia tetap tidak mau diajak bekerja sama, dan kadang saya melihat sudah banyak pasien yang lain mengantri maka kadang kesabaran saya juga sudah habis. Yang sering saya lakukan untuk mengatasi hambatan tersebut adalah dengan lebih bersabar lagi dalam menangani pasien anak tersebut. Dengan mendekatkan diri dengannya dan membujuk-bujuknya. Karena jika saya tidak bersabar dalam membujuknya dapat menimbulkan rasa trauma dalam dirinya”. Ketika peneliti menanyakan apakah beliau merasa kesulitan dalam melayani pasien anak, beliau menawab tidak. Beliau mengakui bahwa dalam melayani pasien anak sangat dibutuhkan kesabaran yang maksimal, karena jika tidak berhasil melakukan pendekatan dengan anak, bisa berakibat kepada gagalnya tindakan medis. Bisa saja anak tidak mau membuka mulutnya karena merasa tidak nyaman dengan dokter gigi tersebut. Untuk itu hal yang juga akan dilakukan beliau dalam mengatasi hambatan tersebut adalah dengan lebih menyabarkan diri ketika sedang melayani pasien anak. “Terkadang sih iya. Tetapi semampu saya, saya berusaha untuk meminimalisirnya sehingga bisa mengerti mengenai keadaan pasien anak tersebut. Saya selalu berusaha mengesampingkan urusan pribadi agar bisa total dalam melayani pasien anak”. Beliau juga mengakui bahwa terkadang kondisi fisikmoodnya berpengaruh terhadap rasa sabarnya. Namun ia tetap berusaha untuk mendewasakan diri dengan melupakan sejenak masalah yang sedang dihadapinya sehingga beliau dapat bekerja lebih maksimal lagi. Jawaban tersebut menutup pembicaraan informan dengan drg. Juli. Beliau tampak sangat antusias dalam menjawab pertanyaan peneliti, dan meminta peneliti untuk jangan merasa segan kepada beliau apabila di kemudian hari masih membutuhkan bantuan beliau. Peneliti pun mengucapkan terima kasih dan berpamitan untuk pulang. Universitas Sumatera utara 66 Universitas Sumatera Utara Kasus Keempat : Informan terdiri dari : Nama Informan : drg. Ida Kristina Usia : 50 tahun Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 180 P. Bulan, Simpang Kwala, Medan Dokter gigi inilah informan keempat yang peneliti wawancarai. Sewaktu dijalan pulang ketika selesai mewawancarai informan ketiga, peneliti melihat tempat praktek dokter ini. Jadi, peneliti berencana untuk mengunjungi tempat penelitian ini beberapa hari mendatang. Tepat pada hari Sabtu, peneliti datang ke tempat praktek ini pada pukul 16.00, karena kebetulan tempat praktek ini satu gedung dengan apotek, maka peneliti menanyakan kepada penjaga apotek mengenai dokter gigi ini. Namun, ia mengatakan bahwa tempat praktek ini hanya buka di hari Senin sampai hari Jumat sehingga peneliti memutuskan untuk datang di hari berikutnya. Pada hari Kamis tanggal 5 Februari 2015, peneliti kembali mengunjungi tempat praktek ini. Pada pukul 16.00 peneliti sudah sampai di tempat prakteknya, namun dokternya belum ada yang datang. Setelah hampir menunggu selama satu setengah jam, akhirnya salah seorang dokter gigi datang ke tempat praktek itu. Kemudian peneliti pun langsung menemuinya dan meminta izin melakukan wawancara dengan dokter gigi tersebut. Beliau pun langsung menyetujuinya tetapi meminta peneliti untuk menunggu sebentar karena beliau ingin membersihkan terlebih dahulu tempat prakteknya. Selang beberapa menit, seorang dokter gigi pun datang dan menanyakan tujuan kedatangan saya. Dan ternyata dokter gigi yang sebelumnya sudah menjelaskan kepada dokter tersebut mengenai maksud dan tujuan saya datang ke tempat praktek mereka. Pada pukul 18.00 barulah peneliti memiliki kesempatan untuk mewawancarai mereka. Karena mereka masuknya setiap hari secara bersamaan, maka peneliti pun meminta izin mereka untuk diwawancarai secara personal dan tidak bisa sekaligus berdua. Dan akhirnya mereka pun menyetujuinya. Universitas Sumatera utara 67 Universitas Sumatera Utara Kemudian saya pun meminta izin untuk mewawancarai drg. Ida Kristina terlebih dahulu. Setelah melakukan wawancara dengan beliau, peneliti akhirnya mengetahui beberapa informasi mengenai tempat praktek mereka. Drg. Ida Kristina ternyata sudah membuka praktek bersama rekannya mulai tahun 2005 tetapi bukan di daerah ini. Pada tahun 2009lah mereka membuka tempat praktek disini. Selain bekerja di tempat praktek ini, beliau juga dinas di puskesmas Desa Singa. Beliau juga menceritakan alasan mengapa ia membuka tempat praktek bersama. Awalnya, ia dan drg. Erni mengikuti tes pegawai negeri tetapi tidak lulus, dan mengingat umur mereka juga yang sudah melewati batas umur tertua untuk mengikuti tes CPNS maka mereka memutuskan untuk membuka tempat praktek bersama daripada tidak ada kerjaan sama sekali. Lalu beberapa saat kemudian, pemerintah ternyata membuka jalur penerimaan CPNS melalui jalur honor, sehingga pada akhirnya mereka berdua lulus menjadi PNS. Perkenalan diantara keduanya dimulai pada saat beberapa tahun lalu dimana mereka sama-sama PTT di Kabupaten Karo, drg. Ida di Tiganderket dan drg. Erni di Simpang IV. Urusan dinas mengharuskan mereka untuk sering datang ke kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, karena sering bertemu akhirnya mereka menjadi dekat sehingga pada akhirnya memutuskan untuk membuka tempat praktek bersama. Peneliti melihat ada hal yang unik dalam pasangan rekan kerja ini. Jika kebanyakan dokter gigi yang praktek bersama membagi pasien mereka berdasarkan hari kerja mereka, sedangkan kedua dokter gigi ini membagi pasiennya secara bergantian. Mereka berdua akan masuk setiap hari kerja, dan jika ada pasien yang datang maka mereka secara bergantian akan melayani pasien tersebut. Hasil yang mereka dapatkan dalam satu hari, akan dikumpulkan di satu laci dan kemudian jika waktu untuk menutup praktek sudah dekat maka mereka membagi sama rata hasil yang diperoleh selama satu hari tersebut. Peneliti melihat rekan kerja ini jauh lebih kompak jika dibandingkan dengan pasangan dokter gigi praktek bersama lainnya. Karena alasan kekompakan ini jugalah mereka tidak membutuhkan bantuan perawat dalam praktek mereka, mereka saling bahu- membahu dalam urusan praktek, mulai dari membersihkan tempat praktek hingga melayani pasiennya. Universitas Sumatera utara 68 Universitas Sumatera Utara “Tidak menentu, kadang sampai enam orang kadang lebih, kadang tidak ada”. Ketika peneliti menanyakan jumlah pasien anak beliau per minggunya, beliau mengatakan bahwa jumlahnya tidak menentu. Terkadang bisa sampai enam orang per minggu, tetapi terkadang tidak ada pasien anak per minggunya. “Tergantung anaknya, karena anak-anak ini kan banyak macam- macamnya. Ada yang penakut sekali dan sangat susah diajak bekerja sama, tetapi ada juga yang sangat koperatif sehingga gampang mengobati giginya. Saya rasa alasan anak takut ke dokter gigi karena melihat alatnya yang terlihat asing bagi sebagian besar anak-anak. Apalagi misalnya dia mendengar suara bur dan membayangkan apa yang dilakukan bur tersebut terhadap giginya, hal ini bisa memperbesar rasa takut anak. Terlebih lagi orang tua yang sering menakut-nakuti anaknya dirumah, sering mengancam jika anaknya nakal maka akan dibawa ke dokter biar disuntik. Ini juga sangat mempengaruhi rasa takut anak terhadap dokter gigi.” Beliau juga menjelaskan bahwa kebanyakan anak yang datang ke tempat praktek beliau sering merasa ketakutan dengan alat-alat medis yang mungkin asing baginya, seperti misalnya bunyi bur. Ditambah lagi dengan pola asuh orang tua di rumah yang sering mengancam akan membawa anaknya ke dokter agar disuntik jika anak tersebut nakal. Hal ini membuat anak terus menerus dibayangi oleh pikiran yang menganggap bahwa sosok dokter itu yang sangat menyeramkan. “Kasus pasien anak yang sering datang kesini kebanyakan sih karena giginya berlubang dan sudah sakit. Tetapi ada juga sebagian orang tua yang sudah mengerti kesehatan gigi anaknya, meskipun belum berlubang dan belum sakit tetapi karena sudah goyang maka ia akan membawa anaknya kesini supaya dilakukan pencabutan. Tindakan medis saya tergantung umurnya, kalau umurnya masih memungkinkan giginya untuk dirawat maka giginya akan dirawat namun kalau umur anak sudah mendekati masa pergantian gigi maka saya akan mencabutnya. Karena mencabut gigi anak tidak boleh sembarangan, dapat mempengaruhi pertumbuhan rahangnya di masa mendatang.” Berhubung karena rata-rata umur anak yang datang ke tempat praktek dokter ini berkisar antara tiga sampai sepuluh tahun, maka kasus gigi anak yang Universitas Sumatera utara 69 Universitas Sumatera Utara sering dihadapi beliau adalah gigi berlubang dan masalah pergantian gigi susu dengan gigi tetap. Kesadaran orang tua dalam memelihara kesehatan gigi anaknya sangat dibutuhkan agar perawatan gigi anak dapat optimal. Membawa anak ke dokter gigi dalam keadaan sakit tentu lebih merepotkan bagi dokter gigi dibandingkan membawa anak dalam keadaan yang tidak sakit. Karena anak yang sedang sakit gigi cenderung lebih sensitif dan susah diajak berbicara dibandingkan dengan anak yang tidak sakit gigi. “Kemarin kami pernah mengobati pasien anak laki-laki yang autis, dimana giginya harus dicabut karena tidak bisa dipertahankan lagi. Jadi kami meminta kerja sama dari ibunya, karena kalau tidak ada kerja sama dari ibunya pasti tidak akan berhasil. Susah sih sebenarnya karena untuk diajak berkomunikasi pun si anak tersebut tidak akan mengerti, jadi lebih baik meminta ibunya untuk bekerja sama. Butuh waktu yang lama sehingga pada akhirnya kami berhasil mencabut gigi anak tersebut, mereka sempat datang tiga kali ke tempat praktek ini, namun pas datang yang ke empat kalilah baru kami berhasil mencabut giginya itu. Pernah juga kemarin ada pasien anak yang datang ke tempat praktek ini, saya melihat anak ini bukanlah tipe anak yang penakut dan manja karena dia datang dalam kondisi yang ceria dan tidak menangis ataupun marah-marah. Dia justru banyak bertanya kepada saya, ini apa itu apa, ini fungsinya apa, itu fungsinya apa. Namun setelah saya menjelaskan semua pertanyaannya, dia malah takut dan tidak mau diobati. Jadinya, saya menyuruh orang tuanya untuk membawanya pulang terlebih dahulu lalu besok atau lusa baru dibawa kembali ke tempat praktek ini”. Menurut pengalaman yang beliau sampaikan dalam melayani pasien anak yang berkebutuhan khusus, komunikasi terapeutik jarang dilakukan karena untuk diajak berbicara pun anak autis jarang mengerti akan makna kata yang kita sampaikan. Jadi, beliau lebih mengutamakan bantuan orang tuanya. Berbeda dengan pengalaman beliau yang kedua, dimana anak pada saat datang tidak merasa takut kepada dokter gigi dan dia aktif bertanya kepada drg. Ida, namun setelah beliau menjelaskan mengenai pertanyaan tersebut, hal itu justru membuat anak menjadi takut dengan peralatan dokter gigi. Dalam hal ini peneliti melihat adanya kekurangan komunikasi terapeutik drg. Ida dalam menjelaskan alat-alat medisnya kepada anak sehingga menyebabkan anak Universitas Sumatera utara 70 Universitas Sumatera Utara semakin takut dengan semua peralatan tersebut. Dalam penyampaian penjelasannya, mungkin beliau kurang dapat menjelaskannya dengan menggunakan bahasa anak-anak, sehingga membuat anak menjadi semakin takut. “Pernah tetapi bukan sering. Ada beberapa orang tua yang mau memukul, dan mencubit karena mereka tidak sabar. Jadi, saya biasanya akan menyuruhnya berhenti memukul atau mencubit anaknya, lebih baik dibawa ke rumah dulu, kalau memang tidak mau lebih baik di bujuk daripada dikasari, kasian kan kalau anak- anak dipukul dan dicubit hanya karena orang tua yang kurang sabar.” Beliau juga mengakui terkadang ada orang tua pasien anak yang kurang bersabar dalam membujuk-bujuk anaknya. Anak yang takut akan dokter gigi harusnya diberikan penjelasan secara pelan-pelan agar ia tidak takut lagi, tetapi jika langsung dipukul atau dimarahi bisa saja membuat anak semakin merasa terancam sehingga membuat rasa takutnya semakin besar. “Pertama-tama saya akan mengajaknya berkenalan terlebih dahulu. Saya akan menanyakan namanya meskipun sebelumnya saya sudah mengetahui namanya dari orang tuanya, sekolah dimana, rumahnya dimana, sudah kelas berapa dan tak jarang juga saya memuji kecantikan dan kegantengannya begitu juga memuji barang-barang yang ia gunakan seperti baju, tas, jam tangan, jepit rambut,dll. Ini saya lakukan agar bisa membangun komunikasi yang baik dengan pasien anak tersebut sehingga ia bisa merasa lebih dekat dan lebih nyaman. Biasanya pasien anak yang berkunjung untuk pertama kalinya pasti saya akan ajak berbicara terlebih dahulu, saya akan menjalin pendekatan dengan anak tersebut. Lebih banyak bercerita aja biar anaknya tidak takut. Kalau saya langsung memintanya untuk membuka mulut, bisa aja anak tersebut malah makin takut sama dokter gigi. Dan juga saya tidak langsung menyuruhnya untuk duduk di kursi pasien, melainkan saya menyuruhnya untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan saya selain dapat mengefektifkan proses komunikasi tetapi juga ternyata dapat mengurangi rasa takut anak, karena menurut pengalaman saya ada beberapa anak yang takut dengan kursi pasien, dan ketika disuruh duduk di kusi pasien dia langsung merasa gugup ketika melihat peralatan-peralatan yang ada di kursi tersebut. Jadi, lebih baik saya memintanya duduk berhadapan dengan saya terlebih dahulu. Hal terpenting yang perlu diperhatikan dokter gigi adalah bagaimana ia dapat dengan sabar membujuk pasien anaknya agar mau melawan rasa Universitas Sumatera utara 71 Universitas Sumatera Utara takutnya. Intinya dalam melayani pasien anak, janji harus di tepati. Jadi kalau diawal kita bilang kita hanya akan memeriksa mulutnya, maka kita harus menepati janji tersebut dan jangan melakukan tindakan yang menyakiti anak tersebut di kunjungan pertama, agar si anak tidak merasa kecewa karena dibohongi.” Dalam melakukan pendekatan dengan pasien anaknya drg. Ida selalu berusaha dengan sabar menanyakan nama pasien tersebut, tidak jarang juga dia memuji kecantikan kegantengan pasiennya tersebut. Hal ini diakui beliau dapat membuat anak merasa lebih nyaman lagi ketika berkomunikasi dengan beliau. Beliau juga tidak memaksa pasiennya untuk langsung duduk di kursi pasien, karena banyak anak yang langsung merasa ketakutan ketika disuruh duduk di kursi pasien, beliau akan memintanya duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter tersebut, agar proses komunikasinya juga bisa berlangsung lebih lancar. “Bagi anak yang mempunyai masalah gigi serius, pengobatannya tidak harus dilakukan di hari itu juga, jika sudah sangat mengganggu kenyamanan mulutnya biasanya kami akan memberikan obat pengurang rasa sakit, dan kemudian meminta orang tua untuk membujuk anaknya dirumah lalu meminta mereka untuk datang keesokan harinya, karena jika harus dipaksa pun kasihan anaknya, bisa menimbulkan trauma dalam dirinya. Biasanya saya akan membujuknya maksimal setengah jam, jika ia tetap tidak mau melakukan perawatan gigi maka saya akan meminta orang tuanya untuk memberinya hadiah karena terbukti dari beberapa pasien anak cara ini berhasil dalam membantu anak untuk melawan rasa takutnya. Tetapi pernah juga kami menyuruh orang tuanya untuk menunggu diluar supaya anak tidak terlalu bergantung kepada orang tua. Dan ternyata cara ini juga berhasil bagi sebagian anak.” Beliau tidak pernah memaksakan akan melakukan tindakan medis pada hari itu juga, jika beliau melihat kondisi anak yang sangat ketakutan, maka pada kunjungan pertama anak tersebut akan beliau manfaatkan untuk melakukan pendekatan dengan anak. Jika anak tetap merasa ketakutan, maka beliau akan memberikan obat pengurang rasa sakit. Jalan keluar lain yang beliau dapatkan adalah dengan bantuan orang tua pasien. Orang tua yang menjanjikan akan memberikan hadiah kepada anaknya jika ia mau mengikuti petunjuk dokter gigi, Universitas Sumatera utara 72 Universitas Sumatera Utara akan membuat anak mau menahan rasa takutnya demi mendapatkan hadiah dari orang tuanya. “Saya sering mengatakan kalau gigi yang rusak itu dipenuhi oleh kuman penyakit dan bisa merusak gigi yang lainnya juga, jadi kalau tidak di bersihkan kumannya maka bisa merusak gigi yang lainnya. Sering sekali saya menjelaskan kepada anak mengenai apa yang terjadi dengan giginya tetapi dengan menggunakan bahasa anak agar dapat mudah dimengerti olehnya. Hal ini saya harapkan dapat memotivasi dia supaya mau melakukan perawatan dan mengobati gigi yang bermasalah. Manfaat yang saya rasakan setelah melakukan komunikasi terapeutik yaitu dapat mengurangi rasa takut anak. Karena sering sekali, anak yang sewaktu datang kesini dipenuhi oleh perasaan takut dan marah, tetapi karena merasa nyaman dengan pendekatan yang kami lakukan dan merasa tidak terlalu disakiti dalam proses pengobatannya maka dalam kunjungan berikutnya, anak tersebut tidak akan takut lagi ketika diajak pergi ke dokter gigi.” Seperti itulah jawaban beliau ketika peneliti menanyakan bagaimana cara beliau memotivasi kesembuhan pasiennya. Manfaat komunikasi terapeutik yang dirasakan oleh drg. Ida adalah dapat membuat pasien anaknya lebih terbuka dengan dokter gigi, pasien yang tadinya dipenuhi perasaan takut kepada dokter gigi kini dalam kunjungan berikutnya sudah tidak takut lagi. “Saya tidak merasa kesulitan dalam menghadapi pasien anak. Saya juga tidak merasa terbebani dalam menghadapi pasien anak. Malah kalau saya sudah berhasil mengobati gigi anak tersebut, saya ngerasa bangga dan puas sekali karena pada akhirnya saya bisa menaklukkan rasa takut anak tersebut. Faktor penghambat yang saya rasakan adalah kesabaran saya sewaktu membujuk- bujuk anak tersebut kadang tidak maksimal. Apalagi jika si anak sangat susah untuk dibujuk dan saya melihat sudah banyak pasien yang mengantri dibelakangnya, biasanya kesabaran saya akan berkurang jika dalam kondisi seperti itu. Kalau dari saya faktor penghambatnya adalah kesabaran saya yang kadang tidak maksimal, kalau dari pasien anaknya kadang ada anak yang memang sangat susah dibujuk sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk membujuknya, dan kalau dari orang tua hambatannya adalah kurangnya kesabaran dalam membujuk anak, sehingga ada beberapa orang tua yang sampai memukul dan mencubit anaknya di depan saya. Yang saya lakukan untuk mengatasi hambatan tersebut adalah semampu saya, saya berusaha melatih kesabaran saya agar bisa lebih maksimal lagi Universitas Sumatera utara 73 Universitas Sumatera Utara dalam membujuk pasien anak. Kalau yang berkaitan dengan emosi orang tua, biasanya saya akan mengingatkan orang tua tersebut agar tidak memukul dan mencubit anaknya di depan saya. Ketika peneliti menanyakan apakah beliau merasa kesulitan dalam melayani pasien anak, beliau menjawab tidak. Bahkan beliau mengaku merasa sangat bangga ketika berhasil membujuk anak sehingga ia tidak takut lagi dirawat giginya. Meskipun ada beberapa hambatan yang beliau rasakan ketika melakukan komunikasi terapeutik terhadap pasien anak, sejuah ini beliau masih menemukan cara untuk mengatasi hambatan tersebut. “Tidak. Saya sangat berusaha untuk tidak mencampurkan antara urusan pribadi saya dengan kualitas pelayanan saya di praktek ini, agar saya bisa memberikan pelayanan yang maksimal bagi seluruh pasien saya.” Beliau mengakui bahwa kondisi fisikumurnya tidak berpengaruh terhadap kesabarannya dalam melayani pasien anak. Beliau sangat berusaha untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi setiap pasiennya. Demikianlah wawancara peneliti dengan informan keempat. Namun, berhubung setelah menyelesaikan wawancara dengan beliau hari sudah sangat sore dan peneliti melihat sudah ada beberapa pasien yang mengantri diluar, maka peneliti memutuskan untuk mewawancarai drg. Erni besok hari. Drg. E. Erni Ginting merupakan informan kelima peneliti. Peneliti mewawancarai beliau sehari setelah mewawancarai informan keempat yaitu pada Kasus Kelima : Informan terdiri dari : Nama Informan : drg. E. Erni Ginting Usia : 44 tahun Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 180 P. Bulan, Simpang Kwala, Medan Universitas Sumatera utara 74 Universitas Sumatera Utara tanggal 6 Februari 2015. Mereka berdua selalu bersikap ramah kepada peneliti, dan menjawab pertanyaan peneliti dengan senang hati. Hampir sama dengan yang diceritakan oleh drg. Ida, mereka sudah membuka praktek dari tahun 2005 tetapi tidak di tempat ini. Pada tahun 2009lah mereka membuka tempat praktek disini. Drg. Erni dinas di Puskesmas Munthe. Dan ketika menanyakan beberapa pertanyaan seperti alasan mengapa ia membuka tempat praktek bersama, bagaimana ia mencari rekan sekerja dalam praktek bersamanya, dan bagaimana cara pembagian pasien mereka, jawaban beliau sama seperti jawaban rekan kerjanya drg. Ida. “Tidak menentu, terkadang tidak ada dan kadang bisa pasien anak semua yang datang dalam satu hari itu.” Ketika peneliti menanyakan rata-rata jumlah pasien beliau per minggu, beliau menjawab bahwa jumlahnya tidak menentu. Terkadang tidak ada sama sekali pasien yang datang ke tempat prakteknya selama seminggu, namun pernah juga dalam satu hari pasien anak semua yang datang ke praktek beliau. “Saya harus bisa mengkondisikannya dengan pasien anak yang bersangkutan, karena anak-anak kan banyak tipenya ada yang penakut, ada yang manja, ada yang susah diajak bekerja sama tetapi ada juga yang pemberani dan gampang diajak bekerja sama. Semuanya tergantung anak tersebut. Menurut saya ada dua hal yang mempengaruhi rasa takut anak, yang pertama adalah pola asuh orang tua di rumah. Ada sebagian orang tua yang sering mengancam akan membawa anaknya ke dokter dan akan disuntik ketika anak tersebut berbuat jahat. Mungkin orang tua tersebut tidak sadar bahwa ucapan mereka tersebut akan terekam di benak anak bahwa sosok dokter itu sangat menakutkan. Apalagi terkadang saya mendengar orang tua tersebut mengancam anaknya di tempat praktek ini, kadang ada orang tua yang mengancam akan menyuruh dokter untuk menyuntik si anak jika ia tidak mau membuka mulut untuk diperiksa. Padahal cara ini sangatlah tidak baik karena bukannya dapat membuat anak menurut justru akan dapat memperbesar rasa takut anak tersebut. Faktor yang kedua yang juga sangat berpengaruh adalah informasi yang diterima anak dari orang tua, saudara ataupun temannya yang memiliki pengalaman yang buruk dengan dokter gigi, sehingga membuat anak merasa semakin takut ketika diajak pergi ke dokter gigi.” Universitas Sumatera utara 75 Universitas Sumatera Utara Beliau menjelaskan bahwa tidak semua pasien anak yang datang ke tempat prakteknya takut dengan dokter gigi, ada juga beberapa anak yang mau diajak bekerja sama. Ada dua hal yang mempengaruhi rasa takut dan berani anak tersebut menurut beliau, yaitu pertama pola asuh orang tua yang sering mengancam akan membawanya ke dokter dan disuntik jika anaknya nakal dan tanpa disadari oleh orang tua perkataan tersebut tertanam di dalam pikiran anak, sehingga membuat anak selalu menganggap dokter gigi itu sebagai sosok yang sangat menyeramkan. Faktor kedua adalah informasi yang sering diterima oleh anak dari orang lain misalnya kakakadik, teman sepermainan yang memiliki pengalaman buruk ketika berobat gigi membuat anak juga dengan mudan percaya akan informasi tersebut. Rasa takut ini sering disebut dengan rasa takut subjektif, yaitu jenis rasa takut yang paling sukar untuk mengatasinya Diktat Bahan Kuliah Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, 2014 : 20. “Kebanyakan pasien anak yang datang ke sini mengalami gigi berlubang yang sudah sakit yang menunjukkan bahwa kurangnya perhatian orang tua akan kesehatan gigi anaknya. Memakan makanan yang banyak mengandung gula dan juga kurang rajinnya menyikat gigi menyebabkan banyak anak yang terkena gigi berlubang. Biasanya saya akan membersihkan terlebih dahulu gigi yang berlubang tersebut, lalu merawatnya. Karena mencabut gigi anak tidak bisa dilakukan secara sembarangan, takutnya bisa mengganggu pertumbuhan rahangnya”. Beliau mengatakan bahwa kasus gigi pasien anak yang sering ditangani beliau adalah kasus gigi berlubang yang sudah menimbulkan rasa sakit. Mengingat umur rata-rata pasien yang datang ke tempat praktek beliau adalah tiga sampai sepuluh tahun, yang pada umumnya belum dapat dengan maksimal menjaga kesehatan gigi dan mulutnya sendiri, disinilah peran orang tua sangat dibutuhkan. Orang tua perlu mengontrol makanan anaknya agar tidak memakan makanan yang banyak mengandung gula, selain itu beliau juga mengatakan bahwa orang tua hendaknya selalu mengingatkan anak untuk rajin menyikat gigi minimal dua kali sehari. Universitas Sumatera utara 76 Universitas Sumatera Utara Gigi yang berlubang tersebut biasanya akan dibersihkan terlebih dahulu, barulah kemudian di rawat. Beliau tidak mau melakukan pencabutan gigi secara sembarangan karena dapat menganggu pertumbuhan rahang anak di kemudian hari. “Pernah sekali kami melayani seorang anak laki-laki yang autis. Tentunya sangat susah untuk membujuk anak yang seperti itu, karena terkadang kalau kita berbicara pun dia tidak mengerti. Kami sempat kebingungan menghadapinya, karena sudah datang tiga kali ke sini tapi tetap dia tidak mau bekerja sama padahal kondisi giginya sudah semakin parah. Namun, pas kunjungannya yang ke empat kali atas izin orang tuanya kami sedikit memaksa anak tersebut, ibunya memegang kepalanya, lalu saya juga berusaha memegang tangannya, barulah drg. Ida berhasil mencabut giginya. Kami berusaha melakukannya dengan tidak terburu-buru agar anak tersebut tidak merasa kesakitan sehingga dia tidak akan trauma untuk datang kesini lagi. Dalam menghadapi pasien anak yang paling saya ingat kebanyakan anak- anak biasanya membutuhkan kesabaran yang besar dari dokter gigi dalam membujuk-bujuk anak tersebut. Saya hanya mengingat sebagian besar pasien anak memang harus dibujuk agar dapat melawan rasa takutnya, tapi kalau kasus pasien anak yang datang kesini masih dalam tahap yang wajar, tidak ada kasus yang luar biasa sekali, paling yang susah kalau anaknya susah diajak kerjasama dan ternyata sudah banyak orang yang mengantri diluar. Terus orang tuanya juga tidak merasa jika sudah banyak orang yang mengantri, dan terus memaksa anaknya untuk membuka mulut. Terkadang ada perasaan kesal dalam diri saya, setidaknya orang tua tersebut bisa mengerti dan mau mengalah agar pasien yang lain duluan di tangani, karena kan tidak enak juga sama pasien yang lama menunggu dan ternyata si anak juga tetap tidak mau bekerja sama. Biasanya saya akan mengingatkan orang tua tersebut, tetapi terkadang saya juga ngerasa segan untuk mengingatkannya karena saya takut orang tua tersebut menganggap saya tidak sabar.” Dalam menghadapi pasien anak yang berkebutuhan khusus seperti autis, komunikasi terapeutik tidak bisa dijalankan, karena meskipun beliau membujuk- bujuknya, ia tidak akan dapat mengerti perkataan yang diucapkan oleh beliau. Oleh karena itu dalam pengerjaannya beliau sangat membutuhkan peran orang tua pasien, agar dapat bersama-sama memegang anak, dan kemudian salah satu dokter gigi dapat melakukan tindakan medis di mulut anak tersebut. Universitas Sumatera utara 77 Universitas Sumatera Utara Drg. Erni juga mengatakan bahwa kebanyakan pasien anak yang datang ke tempat beliau memiliki rasa takut yang normal, sehingga beliau masih bisa menguasai pasien anaknya dengan melaksanakan komunikasi terapeutik. “Iya terkadang ada beberapa orang tua yang tidak sabar dalam membujuk anaknya, sehingga tidak segan memukul, mencubit ataupun mengasari anaknya di depan saya. Biasanya saya akan meminta orang tua tersebut agar tidak bersikap kasar kepada anaknya, karena saya merasa kasihan. Lebih baik dibawa ke rumah dulu dan dibujuk supaya anaknya bisa merasa lebih tenang.” Agar perawatan gigi anak dapat dilakukan secara optimal, bukan hanya dokter gigi saja yang dituntut untuk bersabar, para orang tua juga harus ikut bersabar dalam menghadapi anaknya. Anak yang sedang dalam rasa ketakutan lebih baik dibujuk-bujuk daripada harus dimarahi dan dipukul. Hal ini dapat membuat anak semakin merasa diancam, dan bisa saja membuat anak trauma dengan proses berobat giginya. “Saya akan membuat anak tersebut seperti teman saya sendiri. Saya akan menanyakan nama, tinggal dimana, kelas berapa dan sering juga saya memuji wajahnya dan barang-barang yang ia gunakan. Saya juga menanyakan siapa yang membelinya, dimana dibeli, dan lain-lain. Saya berusaha bersikap seriang mungkin seperti anak-anak agar si anak tersebut bisa merasa nyaman dengan saya. Karena kalau kita tidak menempatkan diri kita seperti anak-anak bisa saja si anak tersebut tetap merasa segan dan takut dengan kita. Dan sebelum mengambil tindakan terhadap gigi anak, biasanya saya akan menjelaskan kepada anak tersebut bagaimana keadaan giginya, dan kemudian saya akan menjelaskan mengenai tindakan yang akan saya lakukan tetapi dengan kata-kata yang tidak menakuti anak-anak. Kemudian saya juga akan memperkenalkan alat-alat yang saya gunakan beserta dengan fungsinya. Misalnya mengidupkan bur agar ia bisa mendengar suaranya yang hampir sama dengan suara mobil- mobilannya dirumah. Dengan begitu iya dapat mengalahkan rasa takutnya. Kalau dalam kunjungan pertama, saya selalu berusaha untuk mendekatkan diri dengan anak tersebut. Saya berusaha menghidari melakukan tindakan yang menyakiti anak, meskipun terkadang gigi anak sudah sangat parah biasanya saya hanya akan melihat keadaannya saja dan akan memberikan obat pengurang Universitas Sumatera utara 78 Universitas Sumatera Utara rasa sakit. Karena kalau di pertemuan pertama pun kita langsung mencabut giginya, bisa saja di kesempatan berikutnya dia malah semakin takut dengan dokter gigi. Hal yang perlu diperhatikan dokter gigi adalah kesabaran dalam membujuk pasien anak. Karena penanganan pasien anak memang membutuhkan kesabaran yang jauh lebih besar dibandingkan pasien orang dewasa. Dan satu hal yang perlu diingat, kalau berjanji hendaklah ditetapi. Misalnya di awal pertemuan kita berjanji hanya akan melihat keadaan mulutnya, hendaknya kita menjalankan janji tersebut, jangan sampai kita melanggar janji tersebut lalu mencabut giginya karena hal ini akan merusak kepercayaan anak terhadap kita.” Beliau menjelaskan bahwa beliau selalu berusaha agar dapat menempatkan diri sebagai teman ataupun sahabat dari pasien anak tersebut. Diawal perjumpaan mereka, beliau berusaha untuk menanyakan nama, sekolah, tempat tinggal, dan lain-lain. Hal ini beliau tanyakan supaya anak dapat merasa lebih dekat lagi dengan dokter giginya. Begitu juga dalam kunjungan pertama anak, beliau selalu berusaha untuk tidak melakukan tindakan yang menimbulkan rasa sakit anak, karena rasa sakit inilah yang nantinya dapat menumbuhkan rasa trauma dalam diri anak. Oleh karena itu, dalam kunjungan pertama, beliau hanya berusaha untuk melihat kondisi gigi anak dan juga untuk melakukan pendekatan dengan anak, sehingga dalam kunjungan berikutnya anak tidak akan merasa takut lagi untuk bertemu dengan beliau. “Kan tindakannya tidak harus dilakukan dihari itu juga. Jadi biasanya ketika keadaan gigi anak sudah parah tetapi dia belum mau diajak untuk bekerja sama maka saya akan memberikan obat pengurang rasa sakit, dan meminta orang tuanya agar membawanya kembali ke sini sehari atau dua hari berikutnya. Hal ini dilakukan agar si anak tidak merasa terlalu dipaksa karena hal itu dapat membuat anak benci dengan dokter gigi. Biasanya saya selalu berusaha untuk membujuk anak, maksimal setengah jam. Banyak strategi yang kami lakukan, misalnya dengan menyuruh orang tuanya keluar ruangan agar anaknya tidak selalu bergantung kepada orang tuanya, kadang kami suruh orang tuanya untuk membujuk anaknya terlebih dahulu dirumah, jangan langsung dipaksakan, atau mungkin cara lain dengan meminta orang tuanya untuk memberikan hadiah ketika ia mau bekerja sama dengan dokter gigi. Dan kalau dengan cara seperti itu pun si anak tidak mau, maka kami meminta orang tuanya untuk membawanya dulu ke rumah dan jangan terlalu memaksa anaknya untuk melakukan Universitas Sumatera utara 79 Universitas Sumatera Utara perawatan di hari itu juga, tetapi tetap akan kami berikan obat pengurang rasa sakit.” Bahkan dalam kondisi gigi yang sudah sangat kritis pun beliau tidak mau terburu-buru dalam melakukan tindakan medis. Terlebih dahulu beliau akan memberikan obat peringan rasa sakit, agar dikemudian hari ketika rasa sakit itu sudah berkurang barulah tindakan medis dapat dilakukan. Beliau juga menjelaskan bahwa jika dalam keadaan yang sakit, gigi tidak boleh dicabut atau ditambal karena dapat menyebabkan infeksi di bagian sarafnya, untuk itu hal yang dilakukan beliau pada saat gigi anak sakit adalah dengan memberikannya obat penghilang rasa sakit. “Saya berusaha untuk tidak menakut-nakuti pasien dengan mengatakan hal yang berlebihan seperti monster, gigi drakula, dan lain-lain, tetapi dengan menggunakan bahasa yang sederhana saya berusaha menjelaskan bahwa kuman penyakit akan berkembang jika kita tidak membersihkan dan mengobati gigi yang sakit. Selain itu saya juga mengingatkan pasien untuk menyikat giginya minimal dua kali dalam sehari agar dapat membantu merawat kesehatan giginya sendiri dan mengurangi mengkonsumsi makanan yang mengandung kadar gula yang tinggi. Manfaat pelaksanaan komunikasi terapeutik adalah anak akan merasa lebih dimengerti, sehingga ia merasa tidak disalahkan ketika mengalami rasa takut terhadap dokter gigi. Tugas dokter gigi adalah untuk menghilangkan rasa takut tersebut, dengan merubah citra dokter yang tadinya di dalam pikiran anak bahwa dokter itu menyeramkan, kini berubah menjadi sosok yang baik, ramah dan bersahabat. Dengan komunikasi terapeutik ini, dokter gigi dapat mengakrabkan diri dengan pasien anaknya.” Dalam memotivasi kesembuhan pasiennya, drg. Erni selalu mengingatkan anak agar rajin menyikat gigi minimal dua kali sehari, karena pada masa pertumbuhannya anak sangat suka mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula seperti coklat, permen, dan lain-lain yang dapat merusak gigi. Oleh karenanya beliau juga mengingatkan pasien anaknya agar mengurangi mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula. Setelah melakukan komunikasi terapeutik, beliau menyadari betul manfaatnya. Karena dengan komunikasi terapeutik beliau dapat mengubah citra Universitas Sumatera utara 80 Universitas Sumatera Utara dokter gigi di dalam pikiran anak yang tadinya menyeramkan, kini berubah menjadi sosok yang ramah dan bersahabat. “Tidak. Saya sangat menikmati ketika menghadapi pasien anak, karena menghadapi pasien anak ini susah-susah gampang, bukan hanya keahlian teknis aja yang perlu diberikan tetapi keahlian dalam berkomunikasi juga sangat dibutuhkan. Ada perasaan puas dan bangga dalam diri saya ketika saya berhasil membujuk anak untuk mau melakukan perawatan gigi disini. Masing-masing mempunyai hambatan tersendiri, kalau saya hambatannya akan kehabisan masa sabar jika sudah setengah jam membujuk anak apalagi melihat ada pasien yang mengantri di belakangnya. Kalau hambatan dari orang tua, biasanya juga berkaitan dengan kesabaran. Banyak orang tua yang tidak sabar membujuk anaknya, sehingga membuat dia memukul ataupun mencubit anaknya di depan kami. Hambatan yang dirasakan anak mungkin besarnya rasa takut yang ada dalam dirinya sehingga membuatnya tetap berkeras hati meskipun sudah dibujuk-bujuk oleh orang tua dan dokter giginya. Kalau mengatasi hambatan yang datangnya dari saya ya tentu saya akan melatih kesabaran saya agar ke depannya bisa lebih sabar lagi dalam membujuk-bujuk dan mendekatkan diri dengan anak.” Ketika peneliti menanyakan apakah beliau merasa kesulitan dalam menangani pasien anak, beliau menjawab tidak. Beliau justru sangat tertarik dalam menangani pasien anak, karena bukan hanya kemampuan medis saja yang hanya diperlukan tetapi juga kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak juga sangat diperlukan ketika sedang melayani pasien anak. Beberapa hambatan yang beliau hadapi tidak membuatnya merasa bosan ataupun jenuh dalam melayani pasien anak, melainkan beliau berusaha untuk mengintrospeksi diri agar dapat lebih bersabar lagi dalam melayani pasien anak. “Tidak.Urusan pribadi akan saya lupakan ketika ada di praktek ini. Agar bisa memberikan pelayan yang terbaik bagi pasien saya.” Beliau juga mengatakan bahwa kondisi fisiknya sama sekali tidak mempengaruhi kesabarannya dalam membujuk-bujuk anak. Beliau berusaha Universitas Sumatera utara 81 Universitas Sumatera Utara melupakan segala urusan pribadinya ketika berada di tempat praktek, sehingga membuatnya lebih maksimal lagi dalam melayani pasien anak. Drg. Berna sudah bekerja di tempat praktek tersebut selama lima tahunan semenjak drg. Martha lulus dari pendidikan spesialis orthodontinya. Selain bekerja di tempat itu, beliau juga dinas PTT di Puskesmas Kuta Buluh. Beliau mengatakan bahwa alasannya membuka praktek bersama adalah untuk mengisi Kasus Keenam : Nama Informan : drg. Bernadetta Sembiring Usia : 30 tahun Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 548 , Pasar 1, Medan Drg. Bernadetta adalah informan keenam yang peneliti wawancarai, yaitu pada tanggal 9 Februari 2015. Setelah peneliti menyelesaikan proses wawancara dengan lima informan, peneliti kembali mewawancarai dokter gigi di tempat praktek bersama yang pertama peneliti datangi. Perawat sempat memberitahu peneliti bahwa jadwal kedatangan drg. Berna ke tempat praktek tidak menentu, terkadang hanya kalau ada pasien saja beliau datang ke tempat prakteknya. Namun karena peneliti sempat meminta nomor handphone perawat di tempat praktek tersebut maka peneliti menanyakan jadwal drg. Berna memalui telepon. Ketika peneliti menanyakan jadwal kedatangan beliau kepada perawatnya, ternyata perawatnya memberitahukan peneliti bahwa drg. Berna sedang ada di praktek. Maka peneliti pun langsung bergegas datang ke tempat praktek beliau. Sesampainya di tempat praktek beliau, peneliti melihat drg. Berna sedang asik duduk di kursinya sambil memainkan handphone-nya, sedangkan drg. Martha sedang menangani pasien orto di kursi pasien. Peneliti pun langsung menghampiri drg. Berna dan kemudian menyampaikan maksud dan tujuan peneliti datang ke tempat praktek tersebut. Beliau pun langsung mengizinkannya, dan berhubung karena tidak ada pasien yang mengantri pada saat itu, peneliti langsung memulai kegiatan wawancara. Universitas Sumatera utara 82 Universitas Sumatera Utara waktu kosongnya. Mengingat jadwal beliau yang setiap hari Rabu dan Kamis dinas PTT di Kuta Buluh, sehingga untuk hari Senin, Selasa dan Jumat beliau bekerja di praktek bersamanya. Berhubung karena drg. Martha adalah bibi kandungnya, yaitu adik kandung dari ayahnya membuat mereka dapat langsung bekerja sama dalam melayani pasien anak. Kesepakatan mereka dalam membagi pasiennya, drg. Martha khusus melayani pasien dengan kasus ortho ataupun ingin merapikan gigi, sedangkan pasien umum seperti penambalan, pencabutan, termasuk pasien anak diserahkan kepada drg. Berna. “Tidak bisa dipastikan, tapi kalau dirata-ratakan tiga orang per minggu.” Begitulah jawaban beliau ketika peneliti menanyakan rata-rata jumlah pasien anak per minggunya. Beliau tidak bisa memastikan berapa jumlah pasien anaknya, tetapi jika dirata-ratakan ada sekitar tiga orang per minggunya. “Tergantung pada pasien anaknya, tidak semua yang takut. Tetapi pada umumnya sih kebanyakan yang takut, toh orang dewasa juga banyak yang takut sama dokter gigi apalagi anak-anak. Tapi ada beberapa anak juga yang berani dan enak diajak untuk bekerja sama. Faktor yang mempengaruhi menurut saya adalah pengajaran orang tua di rumah. Banyak orang tua yang sering mengancam anaknya, misalnya kalau tidak mau makan nanti dibawa ke dokter biar disuntik. Lama-kelamaan kan anak menjadi takut, masa karena tidak mau makan aja langsung dibilang disuntik ke dokter. Faktor berikutnya adalah kurang bijaksananya orang tua dalam memperkenalkan dokter gigi kepada anaknya. Rata-rata pasien anak yang datang kesini sudah dalam keadaan yang sakit, hendaknya orang tua yang bijaksana haruslah memperkenalkan anaknya dengan dunia dokter gigi agar kelak tidak asing lagi dengan dokter gigi dan jangan ditunggu sampai ada masalah dengan gigi anaknya dulu baru dibawa ke dokter gigi. Ada baiknya orang tua membawa anaknya ke tempat praktek dokter gigi untuk sekedar mengenal dan memberitahukan bahwa tempat praktek dokter gigi itu tidaklah menyeramkan.” Drg, Berna menjelaskan bahwa tidak semua pasien yang datang ke tempat praktek beliau merasa takut dengan dokter gigi, ada juga anak yang sudah terbiasa Universitas Sumatera utara 83 Universitas Sumatera Utara bertemu dengan dokter gigi. Menurut beliau, sangatlah wajar jika anak takut kepada dokter gigi karena orang dewasa saja terkadang merasa takut ketika harus melakukan perawatan gigi. Hal yang mempengaruhi rasa takut tersebut menurut drg. Berna adalah pengajaran orang tua dirumah, ada beberapa orang tua yang sering mengancam akan menyuntik anaknya ke dokter jika anaknya susah diatur. Tanpa disadari, orang tua tersebut sudah menanamkan image buruk tentang dokter kepada anaknya. Hal kedua yang juga mempengaruhi adalah belum banyak orang tua yang dengan bijaksana mau memperkenalkan dunia kedokteran gigi kepada anaknya. Jika dunia kedokteran gigi sudah diperkenalkan kepada anak sebelum ia merasakan sakit gigi, maka hal itu dapat membuat anak dapat mengenal alat-alat medis yang digunakan sehingga ia tidak akan merasa takut dengan dokter gigi. “Banyak anak terkena gigi berlubang dan pencabutan gigi susu yang sudah goyang. Kalau yang terkena gigi berlubang biasanya dirawat dulu giginya, setelah itu baru ditambal, karena kalau gigi anak tidak boleh di cabut secara sembarangan kan. Dan untuk pasien yang gigi susunya sudah goyang ataupun gigi tetapnya yang sudah tumbuh meskipun gigi susunya masih menetap disitu, harus dicabut.” Kebanyakan kasus gigi anak yang datang ke tempat praktek drg. Berna adalah gigi berlubang dan pencabutan gigi susu yang sudah goyang. Mengingat rata-rata umur anak yang datang adalah tiga sampai sepuluh tahun, dimana pada masa itulah biasanya anak mengalami pergantian gigi susu menjadi gigi tetap. Tindakan medis yang biasa dilakukan oleh beliau adalah mencabut gigi susu yang sudah goyang. “Pernah kemarin ada pasien autis yang datang kepada saya. Dalam kunjungan pertama saya sempat berhasil menanganinya, karena melihat giginya yang butuh perawatan, jadi saya merawatnya aja dulu, tidak melakukan tindakan medis yang menyakitkan untuk menghindari munculnya rasa trauma dalam diri anak tersebut. Meskipun berhasil tetap saja memakan waktu hampir dua jam dalam mengobati giginya tersebut karena setiap saya mau pegang giginya dia menggigit tangan saya jadi bagaimana mungkin saya bisa mengobati giginya. Namun dalam kunjungan keduanya, saya membuat rujukan ke dokter gigi Universitas Sumatera utara 84 Universitas Sumatera Utara spesialis pedodonsia, karena menurut saya mereka lebih paham bagaimana cara menangani pasien anak yang berkebutuhan khusus. Ada juga pernah pasien anak saya datang bersama keluarga dari daerah Lau Baleng ke tempat praktek ini. Itu kan daerahnya jauh kali, berapa jam juga dari sini. Jadi mungkin kebetulan mereka lagi ada urusan di Medan dan katanya kurang percaya sama dokter gigi yang ada di sana. Ketika saya mengajak ngobrol si anak, ternyata dia sangat ketakutan, sudah saya lakukan pendekatan dan juga sudah saya bujuk-bujuk biar mau buka mulut. Sudah memakan waktu yang lama, tetapi tetap dia tidak mau diajak bekerja sama. Dia hanya menangis, dan menjatuhkan badannya di lantai, di ajak duduk di kursi antrian pun dia tidak mau, dia hanya menangis sambil tidur di lantai. Orang tuanya sempat emosi, karena mungkin sudah datang jauh tetapi tetap tidak mau diajak bekerja sama, ayahnya hampir memukul anaknya.Tapi saya bilang kalau di pukul pun tidak akan ada gunanya. Jadi saya bilang sama orang tuanya, kalo ke Medan gini kan terlalu jauh, jadi mending ke dokter gigi yang ada di Puskesmas Lau Baleng aja. Kemudian saya memberitahukan kepada ayahnya, siapa-siapa saja teman saya yang dinas di dekat daerah tersebut agar dikunjungan berikutnya mereka tidak perlu datang jauh-jauh ke Medan.” Dalam melayani pasien anak yang berkebutuhan khusus pun seperti autis, beliau selalu berusaha untuk tidak menyakiti pasiennya pada kunjungan pertamanya, karena hal itu dapat menimbulkan rasa trauma dalam diri anak tersebut. Untuk menghindari resiko dalam melayani pasien anak autis, beliau langsung memberikan rujukan kepada dokter gigi spesialis pedodonsia yang lebih mengerti dan memahami bagaimana cara menghadapi anak-anak berkebutuhan khusus seperti itu. Dalam melayani pasien anak yang susah dibujuk pun beliau tidak pernah memaksakan agar anak tersebut tetap menjadi pasiennya, seperti pasien anak yang datang dari Desa Lau Baleng, ia justru memberikan nama teman dokter giginya yang lebih dekat dengan tempat tinggal pasien agar pasien dapat lebih mudah bertemu dengan dokter tersebut. Beliau tidak pernah memaksakan bahwasanya anak harus mau diperiksa olehnya, jika anak tetap tidak mau dibujuk maka ia akan menyerahkannya kepada orang tuanya. “Ada beberapa saya jumpai orang tua yang tempramen. Kadang ada orang tua yang tidak sabar dalam membujuk-bujuk anaknya. Universitas Sumatera utara 85 Universitas Sumatera Utara Begitu juga dengan anak, kadang ada tipe anak yang dikasari dulu baru mau nurut, kalau dibujuk-bujuk malah makin merengek- rengek”. Beliau mengaku sudah pernah bertemu dengan orang tua yang tempramen sebelumnya, tetapi di satu sisi beliau juga tidak sepenuhnya menyalahkan orang tua ketika ia marah dan mencubit anaknya, karena ada sebagian anak yang memang harus dimarahi terlebih dahulu sehingga kemudian ia mau mengikuti perkataan dokter gigi meskipun sambil menangis. “Sebelum melakukan tindakan medis, saya akan mengajaknya untuk berkomunikasi terlebih dahulu. Menanyakan siapa namanya, sekolah dimana, kelas berapa untuk membuyarkan mindsetnya kalau ke dokter gigi itu menyeramkan. Biasanya saya tidak langsung menyuruhnya untuk duduk di kursi pasien, tetapi saya menemani dia duduk di kursi antrian sambil berkenalan dengannya. Kadang saya ajak bermain, bercerita atau menonton TV, setelah anak merasa nyaman dan dekat dengan saya, barulah saya menanyakan kondisi mulutnya, dan kemudian memintanya untuk membuka mulut biar diperiksa. Saya juga tidak menggunakan panggilan dokter karena kalau dipanggil dokter kan sepertinya kayak ada jenjang. Jadi saya akan menggunakan panggilan kakak atau tante supaya anak tersebut merasa lebih dekat dengan saya. Ketika menghadapi pasien anak yang baru kali itu ke dokter gigi, saya akan menjelaskan semua peralatan yang saya gunakan untuk menyembuhkan giginya, mulai dari namanya hingga fungsinya apa. Hal ini saya lakukan supaya anak tidak merasa asing lagi dengan semua peralatan yang ada di tempat praktek saya. Dan ketika dia sudah mau diajak bekerja sama untuk membuka mulutnya supaya diperiksa, saya tidak akan melakukan tindakan medis yang langsung menyakitinya. Saya tidak akan mencabut giginya di waktu kunjungan pertamanya tersebut, saya akan mengobati gigi yang sakitnya lebih ringan, dan kemudian saya akan memberi obat pengurang rasa sakit. Karena jika saya langsung melakukan tindakan yang menyakiti dia, dapat menimbulkan rasa trauma dalam dirinya terhadap dokter gigi di masa yang akan datang. Tak jarang juga saya mengakal-akali pasien anak tersebut, ketika dia bertanya giginya mau diapai, maka saya akan mengatakan bahwa saya mau menghitung jumlah giginya padahal yang sebenarnya mungkin saya ingin mengorek bagian giginya. Hal ini saya lakukan supaya anak tidak takut dengan alat yang saya masukkan ke giginya. Hal yang sangat perlu diperhatikan tentunya kesabaran, karena Universitas Sumatera utara 86 Universitas Sumatera Utara merupakan hal yang terpenting ketika kita sedang melayani pasien anak. Karena ketika kita menghadapi pasien anak sangat dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Sebenarnya ngerjain tindakan medisnya cepat, kadang sepuluh menit sudah selesai. Tapi membujuknya ini yang susah, kadang sampai berjam-jam”. Pada masa pendekatan, hal yang paling diperlukan oleh dokter gigi adalah sikap yang ramah, menyenangkan dan bersahabat. Jika anak merasa nyaman bercerita dengan dokter giginya, hal itu membuktikan bahwasaya dokter gigi sudah berhasil mendekatkan diri dengan anak. Hal selanjutnya yang perlu dilakukan oleh dokter gigi pada masa kunjungan pertama anak adalah memperkenalkan semua alat medis yang digunakan beserta dengan fungsinya tetapi haruslah menggunakan bahasa anak-anak, agar ia dapat lebih mudah mengerti. Dokter gigi harus mampu bersabar dalam menjawab semua pertanyaan yang disampaikan oleh anak karena disatu sisi dengan bercerita, dokter gigi dapat mengalihkan perhatian anak. “Saya akan memberikan obat peringan rasa sakit terlebih dahulu. Mana mungkin saya melakukan tindakan medis jika kondisi giginya sedang sakit, takutnya malah memperburuk keadaan. Sedangkan pasien dewasa aja kalau giginya dalam kondisi sakit, saya tidak berani melakukan tindakan media seperti mencabut. Jadi saya akan meminta orang tuanya untuk datang beberapa hari berikutnya agar dapat memeriksakan kondisi gigi anaknya. Kalau menghadapi pasien yang susah dibujuk biasanya sih saya akan berusaha semaksimal mungkin dalam membujuk pasien anak, kalau memang sudah susah sekali dibujuk maka harus dibantu sama orang tuanya. Terkadang ada orang tua yang menjanjikan akan memberikan hadiah kepada anaknya jika anaknya mau mengikuti saran dokter gigi, ada juga yang kadang diajak ke indomaret dulu buat jajan supaya anak tersebut mau diajak bekerja sama, dan kadang ada yang dihadiahi main timezone sepuasnya agar mau diperiksa giginya. Tetapi jika sudah dibujuk selama berjam-jam, dan dihadiahi pun tetap tidak mau juga kadang saya akan menyuruh orang tuanya untuk membawanya dulu ke rumah, besok atau lusa dibawa lagi kesini biar dia menenangkan hatinya dulu sambil di berikan penjelasan- penjelasan, biar nantinya tidak trauma. Buat apa kita berhasil mencabut giginya tetapi psikologisnya terganggu, itu lebih berat lagi.” Universitas Sumatera utara 87 Universitas Sumatera Utara Dengan memberikan obat peringan rasa sakit pada saat anak mengalami rasa sakit gigi bisa jadi membuat anak merasa dokter gigi adalah sosok orang yang baik. Karena pada saat merasakan sakit gigi, anak cenderung lebih sensitif jadi ketika dalam keadaan sakit dokter gigi langsung melakukan tindakan medis dapat membuat anak merasa trauma dengan dokter gigi tersebut. “Saya memotivasinya dengan menanyakan cita-cita mereka. Misalnya kalau anak perempuan sering sekali cita-citanya adalah menjadi dokter, jadi saya bilang mana bisa jadi dokter kalau giginya kayak gini, harus bersih dan terawat, tidak boleh ada yang busuk. Kalau untuk anak laki-laki kan biasanya cita-citanya jadi polisi atau tentara, itu juga saya bilang hal yang sama, kalau jadi polisi atau tentara mana bisa giginya busuk, harus bersih dan terawat. Jadi dari kecil harus pintar merawat giginya, harus rajin sikat gigi dua kali sehari. Terus kalau ada gigi yang sakit harus diobati ke dokter gigi biar kuman penyakitnya hilang. Biasanya sih untuk beberapa anak cara seperti ini ampuh. Manfaat komunikasi terapeutik yang saya rasakan adalah anak jadi mau bekerja sama dengan kita. Kalau menghilangkan rasa takutnya 100 mungkin sangat susah, setidaknya meskipun dia masih merasa takut tetapi dia mau melakukan perawatan gigi. Kan sebelumnya sudah dibujuk-bujuk dan diberikan penjelasan oleh dokter gigi, mungkin orang tuanya juga sudah menjanjikan hadiah jika ia mau mengikuti kata dokter gigi, jadi si anak akan berusaha untuk menekan rasa takutnya”. Salah satu cara yang juga bisa dilakukan dokter gigi untuk menimbulkan semangat dalam diri anak adalah dengan menggali cita-cita yang ada di dalam diri anak tersebut. Cita-cita adalah hal yang ingin dicapai oleh anak, sehingga jika kita meminta dia melakukan sesuatu agar dia kemudian dapat menggapai cita-citanya, maka kemauan anak untuk mengikuti petunjuk dokter gigi akan semakin besar. Ada beberapa orang tua yang mengaku sulit untuk menyuruh anaknya rajin menyikat gigi. Oleh sebab itu, mereka meminta dokter gigi yang mengatakannya kepada anak karena anak cenderung lebih mendengarkan perkataan dokter dibanding perkataan orang tuanya sendiri. Setelah melakukan komunikasi terapeutik, selain dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan pasiennya, dokter gigi juga dapat mengubah sikap dan prilaku pasiennya. Rasa takut yang dimiliki anak dapat diubah menjadi perasaan yang nyaman dan bersahabat setiap bertemu dengan dokter gigi. Tentunya Universitas Sumatera utara 88 Universitas Sumatera Utara kemampuan dan keahlian komunikasi dokter gigilah yang mampu menciptakan perubahan tersebut. “Saya tidak merasa kesulitan kok, hanya saja kesabaran dalam membujuk anak ini yang sangat diperlukan. Itu tadi kan saya sudah jelaskan bagaimana menghadapi pasien anak yang takut, kadang ada juga anak yang sangat kritis dalam bertanya, semua di tanya, ini fungsinya apa itu fungsinya apa dan kalau kita masukkan obat atau alat ke mulutnya, dia langsung bertanya itu apa dan fungsinya apa. Jadi akan memakan waktu yang sangat lama untuk menjelaskan semua alat dan obat yang saya gunakan mengingat kalau alat yang digunakan dokter gigi kan banyak jumlahnya. Padahal sepuluh menit saya sudah selesai melakukan tindakan medisnya, membujuk dan menjelaskan inilah yang memakan waktu lama. Faktor penghambatnya mungkin kadang kesabaran saya tidak stabil, apalagi ketika melihat sudah banyak pasien yang mengantri. Kan tidak mungkin saya terus membujuk dia sampai berjam-jam sedangkan pasien yang mengantri sudah banyak. Nanti pasien yang mengantri tersebut akan merasa kesal dengan saya. Kalau dari orang tua juga sama, kadang ada orang tua yang langsung emosi dan tidak sabar membujuk-bujuk anaknya. Kalau dari pasien anak, kadang ada anak yang rasa takutnya sangat besar dan dia tidak berani melawan rasa takut tersebut sehingga ia tidak akan mendengarkan apa pun yang kita katakan, ia hanya akan menangis dan teriak-teriak. Bagaimana bisa kita membujuknya jika dia menangis dengan suara yang kuat, pasti dia tidak akan mendengarkan kita. Untuk mengatasi hambatan yang datangnya dari saya, saya berusaha untuk menstabilkan emosi saya. Semaksimal mungkin saya akan membujuk anak tersebut agar mau diperiksa mulutnya. Kalau hambatannya datang dari anak atau orang tua, biasanya saya akan menyuruh orang tua untuk membawanya dulu ke rumah, dirumah diberikan penjelasan agar anak bisa mengerti nantinya, jangan dipaksa ataupun dipukul, karena percuma saja, malah bisa membuat anak semakin takut”. Ketika peneliti menanyakan apakah beliau merasa kesulitan dalam melayani pasien anak, beliau menjawab tidak. Hanya saja, beliau sadar bahwa dalam melayani pasien anak kesabaran maksimal sangat dibutuhkan. Dengan menjawab semua pertanyaan yang diberikan oleh anak kepada dokter gigi, mungkin anak akan merasa lebih tenang karena rasa penasaran yang ada di dalam dirinya sudah terjawab. Namun yang menjadi masalah adalah ketika drg. Berna merasa terganggu dengan pertanyaan tersebut. Pekerjaan yang biasanya dapat Universitas Sumatera utara 89 Universitas Sumatera Utara dilakukan dalam sepuluh menit, kini selesainya lebih lama lagi karena sebelum melakukan tindakan beliau harus menjelaskan terlebih dahulu kepada anak mengenai alat dan obat yang ia gunakan. Meskipun ada beberapa hambatan yang beliau temukan pada saat melakukan komunikasi terapeutik kepada pasien anak, namun beliau masih mempunyai cara yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Beliau sangat berusaha semaksimal mungkin untuk melayani pasien anaknya. “Terkadang mempengaruhi juga, tapi jarang kok. Saya akan berusaha menetralkan pikiran dan mood saya agar bisa dengan maksimal membujuk pasien tersebut. Agar dapat mengubah mindset anak mengenai citra dokter gigi yang tadinya menyeramkan kini menjadi sosok yang ramah dan bersahabat”. Kondisi fisik ataupun mood diakui beliau terkadang mempengaruhi rasa sabarnya dalam membujuk anak. Namun, ia tetap pada tujuannya yaitu untuk mengubah mindset anak mengenai citra dokter gigi. Demikianlah wawancara peneliti dengan informan keenam. Pada kunjungan peneliti berikutnya ke Rumah Sakit Siti Hajar, peneliti melihat pekerja di klinik tersebut tidak lagi sama dengan yang sebelumnya, Kasus Ketujuh : Nama Informan : drg. M. Ridwan Muchlis Usia : 24 tahun Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 2, Rumah Sakit Siti Hajar, Medan. Dokter gigi ini adalah informan ketujuh yang peneliti wawancarai, yaitu pada tanggal 12 Februari 2015. Rumah Sakit Siti Hajar merupakan lokasi penelitian pertama yang peneliti kunjungi, namun karena pada saat itu ada salah seorang pekerja kliniknya yang menyuruh peneliti untuk meneliti di praktek dokter gigi spesialis anak atau pedodonsia yaitu di tempat drg. Siti Salmiah Sp. KGA maka peneliti menunda untuk melakukan penelitian di rumah sakit tersebut. Universitas Sumatera utara 90 Universitas Sumatera Utara sehingga ketika peneliti meminta izin untuk penelitian di Rumah Sakit tersebut, beliau langsung mengizinkannya dan menyampaikan kepada dokter yang sedang bertugas di Rumah Sakit tersebut. Pada saat peneliti masuk ke ruangan tempat dokter bekerja, peneliti melihat ada dua orang dokter gigi yang sedang sibuk menangani pasiennya. Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk menunggu di ruangan tunggu. Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya ada seorang dokter yang memanggil peneliti untuk masuk ke dalam ruangan prakteknya, dan beliau adalah drg. M. Ridwan Muchlis. Peneliti pun meminta izin kepada dokter tersebut untuk melakukan wawancara dengan beliau, dan beliau pun mengizinkannya. Drg. Ridwan merupakan dokter gigi termuda yang peneliti wawancarai. Beliau sudah bekerja di RS. Siti Hajar selama sebulan, mengingat bahwa beliau merupakan mahasiswa FKG USU yang baru saja wisuda sehingga beliau belum lama bertugas di tempat tersebut. Beliau sempat bekerja di tempat praktek temannya di daerah setia Budi karena pada saat itu teman beliau sedang ada urusan di luar kota, maka beliaulah yang menggantikan temannya untuk berdinas di tempat praktek tersebut. Namun karena temannya sudah menyelesaikan urusannya di luar kota maka kontrak mereka sudah berakhir. Ketika ditanyakan mengenai alasan beliau membuka praktek bersama, beliau mengatakan bahwa beliau masih sangat membutuhkan pengajaran dari dokter gigi senior dalam melayani pasien. Dengan membuka praktek bersama seperti ini beliau merasa lebih lega karena ada patner kerja yang bisa diajak untuk berdiskusi. Sebelum beliau ikut bergabung dengan dokter gigi yang ada di Siti Hajar, sudah ada dua orang dokter gigi yang bertugas di tempat praktek tersebut. Namun, ketika beliau mendapatkan tawaran untuk bekerja disana, beliau langsung menyetujuinya karena beliau berharap dapat menambah pengalamannya dalam hal melayani pasien gigi di tempat tersebut. Mereka membagi waktu dinas di Siti Hajar, dimana drg. Ridwan bertugas setiap hari Selasa dan Kamis. Dalam hal pembagian pasien, drg. Ridwan biasanya lebih menangani pasien umum seperti penambalan, pembersihan karang gigi, Universitas Sumatera utara 91 Universitas Sumatera Utara pencabutan, perawatan saraf, dan lain-lain. Sedangkan kalau urusan orto biasanya diserahkan kepada dokter gigi yang lebih berpengalaman. “Disini jarang sih pasien anak, kadang ada, kadang tidak ada. Kadang cuma satu orang aja seminggu, kadang ada dua atau tiga orang”. Beliau mengatakan bahwa pasien anak jarang datang ke tempat praktek mereka. Tetapi kalau diratakan ada sekitar satu sampai tiga orang per minggu. “Tidak semua pasien anak yang datang kesini merasa takut, terkadang ada juga beberapa anak yang langsung bisa diajak bekerja sama. Mungkin yang membuat mereka takut itu ketika melihat peralatan-peralatan yang digunakan oleh dokter gigi, seperti tang, jarum suntik, suara bur, dan lain-lain. Apalagi kalau dia melihat benda asing dimasukkan ke dalam mulutnya, kadang ada beberapa anak yang merasa ngeri jika ada benda asing yang dimasukkan ke dalam mulutnya”. Beliau juga menambahkan bahwa tidak semua pasien anak yang datang ke tempat praktek beliau memiliki rasa takut kepada dokter gigi, ada beberapa anak yang langsung mau ketika diperintah oleh dokter gigi untuk membuka mulutnya. Hal yang mempengaruhi rasa takut tersebut menurut beliau adalah peralatan- peralatan medis yang digunakan oleh dokter gigi yang mungkin bentuknya terlihat asing dan menyeramkan bagi anak. “Kebanyakan sih terkena kasus gigi berlubang, apalagi jika anak aktif mengkonsumsi susu botol dan setelahnya jarang kumur- kumur dengan air putih, maka gula yang terdapat di dalam susu tersebutlah yang dapat merusak gigi anak, belum lagi ditambah dengan hobi anak yang suka makan permen dan coklat akan . Tindakan saya tergantung umurnya, kalau kita lihat keadaan giginya sudah parah dan berdasarkan umurnya kita tahu akan ada penumbuhan gigi tetap maka gigi tersebut bisa dicabut, tetapi terkadang ada anak yang umurnya belum sampai kepada pertumbuhan gigi tetap maka gigi yang berlubang tersebut haruslah dirawat dengan membersihkan kuman-kuman yang ada di dalamnyamemperparah keadaan giginya”. Universitas Sumatera utara 92 Universitas Sumatera Utara Kebanyakan kasus gigi anak yang dihadapi oleh drg. Ridwan adalah gigi berlubang. Mengingat rata-rata umur pasien anak yang datang berkisar lima tahun ke atas, dimana anak pada usia tersebut pada umumnya masih aktif dalam mengkonsumsi susu botol. Kurangnya perhatian orang tua untuk menyuruh anaknya menyikat gigi ataupun kumur-kumur setelah minum susu membuat sisa- sisa gula yang ada di dalam susu berpotensi menimbulkan kuman-kuman yang kemudian dapat merusak gigi anak. Tindakan medis drg. Ridwan tergantung kepada umur anak tersebut, jika ia melihat umur anak tersebut sedang pada masa pertumbuhan gigi yang baru maka ia akan mencabutnya. Beliau tidak mau sembarangan dalam melakukan tindakan medis kepada anak, karena dapat mempengaruhi pertumbuhan giginya di masa mendatang. “Mungkin karena pengalaman saya belum banyak dalam mengahadapi pasien anak, jadi saya belum pernah menjumpai pasien dengan kasus seperti autis dan penyakit jantung. Kemarin saya pernah mengobati pasien anak perempuan, sebenarnya kasus giginya adalah penambalan, kan kalau penambalan itu tidak menimbulkan rasa sakit sebenarnya, tetapi karena dia susah diajak untuk bekerja sama sehingga proses penambalannya berlangsung cukup lama, yaitu dari jam 9 pagi sampai jam 12 siang. Si anak tidak mau membuka mulutnya lama-lama, dia hanya mau membukanya selama 30 detik dan kemudian menutupnya, jadi dia berhitung di dalam hati sampai 30 lalu ditutup, begitu seterusnya. Kan saya jadi susah menambal giginya, padahal obat tambalan itu kan harus ditunggu kering dulu, tidak bisa langsung terkena air liur. Saya sempat kelabakan mengahadapinya, tetapi karena bantuan teman saya, beliau akhirnya berhasil mengalihkan perhatian anak tersebut dengan menunjukkan mainan kepadanya sehingga si anak tidak sadar kalau giginya sedang ditambal. Barulah saya langsung mengerjakan tambalan giginya sampai selesai.” Ketika peneliti menanyakan pengalaman beliau dalam melayani pasien anak yang memiliki kebutuhan khusus seperti autis ataupun penyakit berbahaya lainnya, beliau mengaku belum pernah bertemu dengan pasien yang seperti itu. Namun kemudian belau menceritakan pengalaman yang paling berkesan baginya ketika melayani pasien anak. Universitas Sumatera utara 93 Universitas Sumatera Utara “Belum pernah, karena selama praktek disini kan masih beberapa saja pasien anak yang saya obati. Kalau dulu di Rumah Sakit Kesehatan Gigi dan Mulut FKG USU, baru banyak pasien anak yang saya obati. Tapi peraturan disana kan kalau ada pasien anak yang sedang diobati, orang tuanya tidak bisa ikut ke ruangan. Sehingga saya belum pernah melihat orang tua yang tempramen sama anaknya.” Beliau juga mengaku belum pernah bertemu dengan orang tua pasien anak yang tempramen. Berhubung karena masih beberapa orang saja pasien anak yang sudah beliau tangani selama di praktek ini, maka beliau belum memiliki banyak pengalaman dalam hal melayani pasien anak. “Biasanya dengan berkenalan terlebih dahulu, menanyakan nama panggilannya, sekolah dimana, rumah dimana, sudah kelas berapa. Karena jika kita memanggil dia dengan nama panggilan biasanya si anak akan merasa lebih dekat dengan kita. Tak jarang juga saya memberikannya mainan agar dia merasa lebih dekat lagi dengan saya. Tetapi kalau anak yang belum pernah ke dokter gigi sama sekali biasanya pasti takut kan karena melihat benda-benda asing yang digunakan, oleh sebab itu ada baiknya kalau pas dikunjungan pertama saya memperkenalkan semua alat yang saya gunakan, beserta dengan fungsinya yang tujuannya untuk membuat anak mengerti dan bukan untuk menakut-nakuti anak, tentunya dengan menggunakan bahasa anak-anak agar dia lebih mudah mengerti. Yang terpenting bagi dokter gigi dalam melayani pasien anak adalah harus bisa membawakan diri, maksudnya kita harus bisa bersikap seperti anak-anak juga, menggunakan bahasa anak-anak juga dan ada baiknya kalau kita mengerti mengenai mainan anak dan film kartun yang sedang banyak diminati anak. Jika kita bisa membawakan diri, tentu si anak akan merasa lebih nyaman dengan kita. Jika ia sudah nyaman, barulah kita memeriksa mulutnya.” Beliau berusaha mendekatkan diri dengan mengajak anak tersebut berkenalan terlebih dahulu, ia juga memanggil anak dengan nama panggilan anak supaya anak tersebut merasa lebih dekat dengannya. Beliau juga tak segan memberikan mereka mainan. Dalam kunjungan pertama anak ke dokter gigi, beliau berusaha untuk memperkenalkan semua benda-benda yang ada di tempat prakteknya, yang fungsinya agar dapat menghilangkan rasa penasaran anak dan bukan untuk menakut-nakuti anak. Beliau berusaha mampu membawakan diri selayaknya anak-anak, agar dapat berkomunikasi dan bertindak seperti teman Universitas Sumatera utara 94 Universitas Sumatera Utara pasien anaknya tersebut. Hal ini dilakukan beliau agar anak merasa lebih nyaman dengan dokter gigi. “Terlebih dahulu saya akan memberinya obat penghilang rasa sakit, karena jika dalam keadaan yang sakit maka kita tidak boleh mengambil tindakan medis seperti penambalan dan pencabutan. Setelah rasa sakitnya mereda barulah kita bisa melakukan tindakan medis. Jadi bisasanya setelah memberikan obat penghilang rasa sakit, baru kemudian saya meminta mereka untuk datang kembali besok atau lusanya. Jika pasien anak tetap tidak mau dibujuk, saya akan menyerahkan keputusan kepada orang tuanya, jika orang tuanya menyuruh saya untuk memaksa anak tersebut, maka terkadang saya menyuruh perawat untuk memegang tangan atau kepalanya. Tapi biasanya saya akan mencoba membujuknya terlebih dahulu, jika dia tidak mau barulah saya melakukan hal tersebut. Sering juga saya tidak mau memaksa anaknya, karena takut malah membuatnya semakin takut dengan dokter gigi, biasanya saya akan meminta orang tuanya untuk membawanya dulu kerumah, agar dia bisa menenangkan dirinya”. Ketika menghadapi pasien anak yang krisis tetapi tidak mau dilakukan pemeriksaan, maka drg. Ridwan akan memberikan obat pengurang rasa sakit terlebih dahulu. Jika dalam beberapa hari sakitnya sudah mulai hilang, barulah beliau melakukan tindakan medisnya. Dalam melayani pasien anak yang susah dibujuk, peneliti melihat drg. Ridwan kurang dapat bersabar untuk mengambil hati pasiennya. Beliau langsung menyerahkan keputusan kepada orang tuanya. “Keterampilan berkomunikasi yang baik sangat diperlukan dalam menghadapi pasien anak jika dibandingkan dengan pasien dewasa. Terkadang jika kita bisa berkomunikasi dengan baik kepada anak, maka anak mau mengikuti petunjuk kita seperti membuka mulut, kumur-kumur, dan lain-lain. Saya sering mengingatkan kepada pasien saya bagaimana cara menyikat gigi yang benar dengan menggunakan model gigi agar ia dapat lebih mudah untuk mengerti, saya juga menyuruh mereka untuk sarapan terlebih dahulu baru mandi, agar kuman dari sisa sarapan kita pagi hari bisa hilang ketika kita menyikat gigi saat mandi di pagi hari, jadi kumannya tidak akan menempel lagi. Jika kita dapat berkomunikasi yang baik dengan anak, tentunya dapat mempengaruhi mereka agar mau mengikuti petunjuk dokter gigi. Biasanya jika si anak sudah merasa dekat dan nyaman dengan Universitas Sumatera utara 95 Universitas Sumatera Utara saya, maka dia sudah mau membuka mulutnya untuk saya periksa.” Beliau menyadari betapa pentingnya peran komunikasi dalam melayani pasien anak. Bahkan dalam memotivasi pasiennya pun, beliau menggunakan bahasa yang sederhana agar mudah dimengerti anak. Manfaat komunikasi terapeutik yang beliau rasakan adalah kedekatan dan perubahan sikap yang terjadi pada pasien anaknya yang disebabkan karena beliau berusaha melakukan komunikasi yang efektif kepada pasien anaknya. “Sulit sih tidak, tetapi dalam hal membujuknya ini yang sangat menantang. Mengingat kasus gigi mereka juga masih sangat sederhana, jadi dalam proses pengobatannya tidak akan memakan waktu yang lama, tapi membujuknya ini yang sampai berjam-jam. Yang menjadi penghambatnya adalah rasa takut anak yang sangat besar kadang membuat saya sangat susah membujuknya. Apalagi ketika menghadapi pasien anak yang nangis terus-terusan, terkadang ketika saya ingin mengajaknya untuk berbicara pun tidak kedengaran karena suara tangisannya yang begitu kuat. Oleh karenanya aktor penghambat yang paling besar itu datangnya dari anak yaitu rasa takut anak. Tapi kadang tidak bisa dipungkiri, kesabaran saya dalam membujuk anak pun kadang menjadi faktor penghambat komunikasi terapeutik dalam menghadapi pasien anak. Yang saya lakukan dalam menghadapi pasien anak yang terus-terusan menangis biasanya saya akan menyerahkannya kepada orang tuanya, tetapi kalau anak yang masih bisa diajak berkomunikasi pasti saya sangat berusaha untuk membujuknya agar mau diajak bekerja sama. Dan kalau mengatasi hambatan yang datangnya dari saya, saya lebih mengintrospeksi diri agar lebih bisa membawakan diri dalam menghadapi pasien anak.” Peneliti melihat tantangan terbesar drg. Ridwan dalam melayani pasien anak adalah kesabaran dalam membujuk anak tersebut. Karena berdasarkan jawaban dari dokter tersebut, peneliti bisa melihat hambatan komunikasi terapeutik yang datang dari dalam diri beliau adalah kesabaran yang menurun jika menghadapi anak yang susah dibujuk dan hanya menangis terus menerus. “Terkadang sih iya, apalagi kalau si anak tersebut sudah masuk antrian pasien ke berapa. Kalau jadi pasien pertama sih biasanya saya masih sangat sabar dalam membujuknya, tetapi kalau sebelum melayani dia saya sudah kecapekan dalam melayani Universitas Sumatera utara 96 Universitas Sumatera Utara pasien sebelumnya, maka otomatis akan mempengaruhi rasa sabar saya dalam membujuk pasien anak tersebut.” Kondisi fisik dan mood beliau juga terkadang mempengaruhi rasa sabarnya dalam melayani pasien anak. Apalagi jika sebelumnya beliau sudah melayani beberapa pasien yang menyebabkan tenaganya sudah berkurang. Peneliti melihat bahwa drg. Ridwan kurang bijaksana jika hanya dapat dengan sabar melayani pasien anak dalam urutan pertama, jika dalam urutan terakhir beliau mengakui kurang dapat bersabar dalam melayaninya. Deminikanlah wawancara peneliti dengan informan ketujuh. Kasus Kedelapan : Nama Informan : drg. Afrida Hanum Sitepu Usia : 34 tahun Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 2, Rumah Sakit Siti Hajar, Medan. Setelah mewawancarai informan ketujuh, keesokan harinya pada tanggal 13 Februari 2015 peneliti kembali datang ke RS Siti Hajar untuk mewawancarai dokter gigi yang lainnya. Drg. Afrida merupakan informan kedelapan peneliti. Peneliti tiba di RS Siti Hajar pada pukul 14.00 tetapi beliau belum datang. Setelah menunggu selama setengah jam, beliau pun datang ke tempat praktek. Peneliti pun langsung menemui beliau untuk meminta izin mewawancarai beliau. Beliau langsung menyetujuinya dan mengajak peneliti untuk berbicara di dalam ruang praktek. Drg. Afrida sudah bekerja selama delapan tahun di praktek gigi RS. Siti Hajar. Selain bertugas disana, beliau juga dinas di Puskesmas Kebang di dekat daerah Brandan. Alasan beliau membuka tempat praktek bersama karena beliau mengaku belum memiliki modal yang cukup untuk membuka tempat praktek sendiri di rumah, mengingat banyak hal yang harus dipersiapkan seperti kursi pasien, dan alat-alat medis yang mahal harganya. Universitas Sumatera utara 97 Universitas Sumatera Utara Beliau mengaku bahwa dulu awalnya beliau bertugas di sana karena sedang menggantikan teman yang sedang ada urusan di luar kota. Teman tersebut merupakan kenalan beliau sewaktu PTT di Binjai. Namun setelah temannya tersebut menikah dan mengikut suaminya pindah ke Bogor, maka beliaulah yang menggantikan temannya tersebut hingga sekarang ini. Di praktek gigi RS Siti Hajar ini, mereka sudah memiliki kesepakatan tersendiri mengenai pembagian pasiennya. Bagi pasien umum yang baru pertama kali datang ke RS. Siti Hajar maka akan diberikan kebebasan kepadanya untuk memilih siapa dokter gigi yang diinginkannya untuk mengobati giginya. Sedangkan untuk pasien orto behel biasanya ditetapkan per dokternya, jadi pasien orto drg. Afrida akan tetap menjadi pasiennya sampai gigi pasien tersebut sembuh. “Tidak bisa ditentukan, disini sih rata-rata pasien dewasa. Kalau dirata-ratakan sih lima orang per bulan.” Beliau mengatakan bahwa jumlah pasien anak mereka di RS Siti Hajar tidak bisa ditentukan. Tetapi beliau pernah melihat daftar buku pasien mereka, dan beliau melihat dalam sebulan hanya ada rata-rata lima orang pasien anak yang datang. “Tergantung anaknya, kadang ada yang takut ya dibujuk-bujuk, tapi kadang ada juga pasien anak yang langsung mau diajak bekerja sama. Rasa takut tersebut kadang dipengaruhi oleh pola asuh orang tua dirumah, yang sering mengancam anaknya jika nakal maka akan dibawa ke dokter gigi supaya disuntik. Siapa pun kalau di bilang disuntik pasti akan ketakutan. Makanya si anak jadi takut sama dokter karena dianggap sebagai sosok yang menyeramkan. Terkadang orang tua tidak sadar kalau sebenarnya faktor pemicu anak takut dengan dokter gigi yaitu karena dirinya sendiri yang sering mengancam anaknya dirumah.” Tidak semua pasien anak yang beliau layani takut dengan dokter gigi. Ada beberapa anak yang justru sudah terbiasa berhubungan dengan dokter gigi. Pola asuh orang tua di rumah yang sering mengancam akan membawa anaknya untuk disuntik ke dokter dapat membuat anak selalu mengingat bahwa sosok dokter Universitas Sumatera utara 98 Universitas Sumatera Utara adalah orang yang menyeramkan. Kesadaran orang tua sangat diperlukan dalam hal ini, agar ia dapat memberikan penjelasan mengenai dokter gigi kepada anaknya sehingga anak tidak akan takut lagi ketika bertemu dengan dokter gigi. “Kebanyakan sih kena kasus karies gigi berlubang karena banyak anak yang tidak mengerti cara membersihkan sisa-sisa makanan di mulut setelah makan ataupun ngemil. Kalau gigi yang berlubang belum pernah sakit bisa langsung ditambal, tapi kalau sudah pernah sakit ya harus dirawat dulu, biar sarafnya tidak sakit lagi,kalau langsung ditambal nanti bisa bengkak. Setelah dirawat barulah akan ditambal.” Rata-rata umur pasien anak yang sering beliau layani adalah lima tahun ke atas. Anak yang masih dalam umur lima sampai sepuluh tahun banyak sekali yang belum mnegrti bagaimana cara membersihkan gigi yang benar. Oleh sebab itu meskipun mereka rajin menyikat giginya tapi karena belum paham bagaiman cara yang benar, maka tetap saja kuman-kumannya akan tinggal dan merusak gigi anak tersebut. Peneliti melihat drg. Afrida tidak sembarangan dalam mengobati penyakit pasiennya. Beliau terlebih dahulu melihat kondisi gigi pasien anaknya. Jika memungkinkan untuk dirawat, maka beliau akan merawatnya. Namun jika giginya sudah tidak pantas lagi dipertahankan dan gigi tetapnya akan segera tumbuh maka beliau akan mencabut gigi yang bermasalah tersebut. “Belum pernah sih, karena biasanya kalau pasien anak yang autis gitu lebih baik dibawa ke spesialis pedodonsia dokter gigi anak karena disana mereka lebih telaten lagi dalam menghadapi pasien yang seperti itu. Karena mereka kan sudah belajar bagaimana teknik-teknik khusus untuk menghadapi semua anak-anak, pastinya mereka lebih berpengalaman dalam menghadapi pasien yang seperti itu. Kalau anak normal kebanyakan sih sama kasusnya, yaitu rasa takut. Selama ini saya belum pernah bertemu dengan pasien yang kasusnya luar biasa sehingga membuat saya berkesan. Sejauh ini sih sama-sama aja semuanya, ya kalau takut dibujuk pelan-pelan sampai dia mau, tapi kalau tidak mau pun saya akan meminta orang tuanya untuk datang lagi besok.” Peneliti melihat bahwa drg. Afrida tidak mau mengambil resiko dalam melayani pasien anak yang berkebutuhan khusus, seperti autis. Beliau lebih Universitas Sumatera utara 99 Universitas Sumatera Utara memilih untuk meminta orang tua anak tersebut agar membawa anaknya ke dokter gigi spesialis pedodonsia. Dalam melayani pasien anak biasa, beliau juga tidak pernah memaksa agar ketika anak itu datang ke tempat prakteknya harus dilakukan tindakan medis. Ketika anak sudah dibujuk tetapi tetap tidak mau diperiksa, maka beliau akan meminta orang tuanya membawanya dulu ke rumah dan datang kembali besok harinya. “Pernah sih, ada beberapa orang tua yang tidak segan memukul, dan kadang membentak anaknya. Hal itu disebabkan karena mereka tidak sabar membujuk anaknya. Tapi biasanya saya akan mengingatkan orang tua tersebut agar jangan memaksa anaknya dengan kekerasan seperti itu, karena jika dipaksa pun dapat menyebabkan anak trauma dengan dokter gigi, apalagi kalau traumanya bertahan sampai dia dewasa. Masalahnya akan menjadi semakin rumit.” Sikap orang tua yang tempramen terkadang mengganggu konsentrasi beliau dalam melayani pasien anak. Ketika beliau berusaha untuk membujuk- bujuk anak tetapi orang tuanya malah memukulnya, hal ini dapat membuat anak menjadi trauma setiap datang ke dokter gigi karena takut di pukul orang tuanya ketika anak tersebut tidak mau diperiksa. “Biasanya saya akan ajak kenalan dulu, saya tanya siapa namanya, sekolah dimana, sudah kelas berapa, dan lain-lain, dan juga saya tidak menggunakan panggilan dokter tetapi ibu supaya anak merasa nyaman dengan saya. Saya tidak akan langsung memintanya untuk membuka mulut, karena jika begitu dia akan merasa terancam dan malah semakin takut. Tak jarang juga saya memberikan mainan kepada mereka, toko obat kan sering ngasi hadiah-hadiah seperti odol, sikat gigi ataupun model gigi sebagai bentuk promosi, langsung saya berikan aja ke anak itu, biar dia merasa kalau dokter gigi itu bukanlah sosok yang menyeramkan tetapi sosok yang bersahabat bagi mereka. Kalau dalam kunjungan pertama kan biasanya dia belum tahu apa-apa tentang tindakan dokter gigi. Jadi saya akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai alat-alat yang saya gunakan juga fungsi alat itu, tetapi dengan menggunakan bahasa yang sederhana agar mudah dimengerti. Kalau obat bius anak kan ada dua macam, satu yang menimbulkan efek dingin dan satu lagi pakai suntik bius. Biasanya kalau yang memakai efek dingin itu, saya buatkan dulu Universitas Sumatera utara 100 Universitas Sumatera Utara sedikit ke tangannya, biar dia tahu gimana nanti rasanya jika obat itu sudah ada dimulutnya. Dan kalau yang menggunakan suntik bius, biasanya akan saya suntikkan sedikit ke jari jempol saya, kan kulit di dekat kuku jari jempol tebal, jadi saya bilang aja, ini lihat tangan ibu aja disuntik tidak sakit dan tidak berdarah, nanti di giginya juga gitu, kayak di gigit semut api aja kok sakitnya, cuma sedikit. Dan kalau menghadapi anak yang takut dengan bur, biasanya saya akan member sedikit kuku saya, supaya membuktikan kalau bur itu tidak akan menimbulkan darah di dalam mulutnya. Faktor yang diperlukan dalam melayani pasien anak tentunya kesabaran, karena kesabaran sangat mempengaruhi berhasil tidaknya perawatan gigi anak. Kalau dokternya sabar pasti bisa membujuk pasien anaknya. Kreativitas dokter yang tinggi juga sangat diperlukan dalam menghadapi pasien anak yang dapat mengalihkan perhatian anak, misalnya memeriksa gigi sambil menonton film kartun dan anak diajak mengobrol tentang film kartun tersebut, tentu anak akan lupa kalau giginya sedang diobati dan mereka akan cenderung mengabaikan rasa sakitnya.” Peneliti sangat tertarik dengan teknik yang digunakan oleh drg. Afrida. Selain mengajak anak untuk berkenalan, beliau juga sering memberikan hadiah kepada anak sebagai cara untuk mendekatkan diri dengan anak. Teknik beliau yang mau mencontohkan suntikan ke kuku jempol tangannya membuat peneliti merasa tertarik. Peneliti belum pernah mendapatkan teknik seperti ini dari dokter gigi sebelumnya. Drg. Afrida juga mencontohkan cara kerja bur di kukunya, hal ini beliau lakukan supaya dapat meyakinkan anak bahwa tindakan yang dilakukannya tidak akan menyakiti anak. Teknik beliau berikutnya adalah mengajak anak untuk menonton film kartun sewaktu diobati membuat anak tidak sadar kalau giginya sedang diperiksa. Peneliti sangat tertarik dengan kreativitas beliau dalam melayani pasien anak. “Biasanya akan saya berikan obat penghilang rasa sakit karena saya tidak akan mau memaksa anak yang kondisi giginya sedang sakit untuk langsung dilakukan tindakan medis. Jadi ketika rasa sakitnya sudah berkurang barulah saya melakukan tindakan medisnya. Namun jika saya sudah membujuk anak dan ternyata dia tetap tidak mau, saya tidak akan memaksanya, karena saya takut nantinya bisa membuat dia trauma dengan dokter gigi. Maka saya akan menyuruh orangtuanya untuk membawanya dulu ke rumah dan memberikan dia penjelasan mengenai dokter gigi agar kemudian dia dapat melawan rasa takutnya.” Universitas Sumatera utara 101 Universitas Sumatera Utara Ketika melayani pasien anak yang sudah kritis tetapi tidak mau diperiksa, beliau akan memberikan obat penghilang rasa sakit terlebih dahulu. Peneliti melihat bahwa drg. Afrida tidak mau memaksa pasien anaknya untuk diperiksa ketika anak tersebut tidak mau diperiksa, karena beliau tidak ingin jika nantinya muncul perasaan trauma dalam diri anak tersebut setiap kali berhubungan dengan dokter gigi. “Saya akan mengingatkan dan mencontohkan bagaimana cara menyikat gigi yang benar kepada anak tersebut. Saya juga mengingatkan mereka untuk sarapan dulu baru setelahnya mandi dan sikat gigi agar sisa-sisa makanan yang dimulut tidak merusak giginya. Manfaat komunikasi terapeutik yaitu dapat merubah sikap anak yang tadinya tidak mau diperiksa giginya kini setelah diajak berkomunikasi dan dilakukan pendekatan dia tidak takut lagi dan sudah mau diajak untuk bekerja sama.” Beliau juga sering mengingatkan pasien anaknya agar rajin menyikat gigi minimal dua kali dalam sehari. Kepedulian beliau terhadap pasien anaknya juga terlihat ketika beliau menyempatkan waktunya dalam mengajarkan bagaimana cara menyikat gigi yang baik dan benar dengan menggunakan model gigi. Manfaat yang beliau rasakan setelah melaksanakan komunikasi terapeutik adalah dapat mengubah sikap pasien anaknya sehingga sudah mau diperiksa dan tidak takut lagi ketika berhubungan dengan dokter gigi. “Kesulitan sih tidak, tapi kadang kalau anaknya tipe yang tidak bisa dibujuk capek juga menghadapinya. Apalagi disini kan dokter gigi umum dan bukan spesialis pedodonsia, jadi kalau saya sudah liat banyak pasien yang mengantri terkadang saya menjadi tidak sabar dalam membujuk pasien anak tersebut. Terkadang rasa takut anak yang berlebihan membuat saya susah untuk melakukan pendekatan dengan dia, karena jika diajak berkomunikasi pun dia tidak akan mendengar yang ada hanya menangis sekeras mungkin, jadi percuma saya ajak berbicara. Lagipula disini kan tidak ada pernak pernik anak-anak seperti sticker kartun, mainan gigi anak-anak, dan lain-lain, kalau yang spesialis pedodonsia biasanya pasti lengkap semuanya, sampai kursi giginya pun dibuat sarung yang bergambar kartun supaya anak tidak merasa Universitas Sumatera utara 102 Universitas Sumatera Utara asing lagi. Selain itu, terkadang kesabaran saya juga tidak stabil dalam mengadapi pasien anak ini, apalagi jika sudah dibujuk- bujuk sampai lima belas menit dan tetap tidak mau kadang membuat saya menyerah dan menyuruh orang tuanya untuk membawanya dulu ke rumah dan jangan dipaksa. Yang saya lakukan untuk mengatasi faktor penghambat yang datang dari saya adalah dengan menyabarkan diri dalam menghadapi pasien anak tersebut, dan untuk mengatasi faktor penghambat dari anak- anak biasanya saya akan membujuknya, tetapi jika dia tetap tidak mau maka saya akan meminta orang tuanya untuk membawanya kerumah dulu dan jangan dipaksa.” Peneliti melihat bahwa drg. Afrida tidak merasa kesulitan dalam melayani pasien anak. Hanya saja yang menjadi faktor penghambat beliau adalah kesabaran yang terkadang akan berkurang jika melihat sudah banyak pasien yang mengantri di luar. Hal ini tentunya membuat pelayanan beliau tidak maksimal kepada pasien anaknya. Namun begitu, beliau tetap berusaha untuk lebih menyabarkan dirinya ketika sedang melayani pasien anak, agar komunikasi teraepeutik beliau dapat berjalan dengan maksimal. “Terkadang sih pengaruh juga, apalagi kalau sudah menangani beberapa pasien sebelum si anak itu. Otomatis kan badan kita capek, jadi kadang terpengaruh juga ke kesabaran saya, jadi tidak sabar lagi membujuk-bujuknya. Kalau saya lagi capek kadang tidak sampai sepuluh menit pun saya langsung menyerah dalam membujuk anak tersebut.” Beliau mengakui bahwa terkadang kondisi fisik atau mood beliau mempengaruhi kesabarannya dalam membujuk anak. Terlebih jika sebelumnya beliau sudah menangani beberapa pasien sebelumnya, membuat tenaga beliau semakin berkurang sehingga berpengaruh terhadap kesabarannya juga. Demikianlah wawancara peneliti dengan informan kedepalan. Kasus Kesembilan : Nama Informan : drg. Indira Sembiring Usia : 37 tahun Universitas Sumatera utara 103 Universitas Sumatera Utara Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 2, Rumah Sakit Siti Hajar, Medan. Drg. Indira Sembiring adalah informan terakhir yang peneliti wawancarai. Dihari yang sama yaitu pada tanggal 13 Februari 2015, setelah mewawancarai drg. Afrida, peneliti melihat beliau sedang tidak menangani pasiennya. Sehingga peneliti memutuskan untuk meminta izin barulah kemudian peneliti mewawancarai dokter ini, beliau pun langsung mengajak peneliti untuk melakukan wawancara di ruangan kerjanya. Drg. Indira sudah bekerja di RS Siti Hajar selama tujuh tahun, dimulai pada tahun 2008. Selain bertugas disana, beliau juga terikat dinas di Puskesmas Dolat Rayat. Ketika peneliti bertanya mengenai alasan beliau membuka tempat praktek bersama, beliau pun mengatakan bahwa ia lebih nyaman jika membuka praktek bersama, selain itu alat-alat yang mereka perlukan juga sudah dilengkapi oleh pihak rumah sakit sehingga tidak memerlukan modal yang besar untuk bekerja disana. Awalnya beliau diajak oleh teman satu stambuknya sewaktu kuliah di FKG USU untuk bekerja di tempat praktek itu, beliau pun menyetujuinya. Namun karena temannya tersebut sedang mengambil spesialis di luar kota sehingga dokter gigi yang lain menggantikan posisi teman beliau tersebut. Mengingat bahwa pemilik RS Siti Hajar merupakan dosen mereka sewaktu kuliah, maka mereka tidak merasakan kesulitan pada proses pengurusan surat izin untuk bekerja di rumah sakit tersebut. Dokter gigi yang bekerja di RS. Siti Hajar memiliki kesepakatan dalam masalah pembagian pasien mereka. Bagi pasien yang baru pertama kali datang ke sana biasanya akan diberikan kebebasan untuk memilih dokter gigi mana yang dia inginkan untuk mengobati giginya. Berbeda untuk pasien orto behel yang tetap akan di layani oleh dokter yang sama sampai giginya sembuh. “Tidak terlalu banyak sih, kalau di rata-ratakan kadang dua orang perminggu. Tetapi terkadang tidak ada juga.” Universitas Sumatera utara 104 Universitas Sumatera Utara Jumlah pasien anak yang datang ke tempat praktek beliau tidak terlalu banyak. Jika rata-ratakan ada sekitar dua orang per minggu, namun terkadang tidak ada pasien anak yang datang dalam seminggu. “Beragam sih ya, kadang ada yang koperatif yang langsung enak diajak untuk bekerja sama, disuruh buka mulut juga langsung mau. Tapi terkadang ada juga pasien anak yang histeris ketakutan, kadang nangis ada juga yang tidak mau masuk ke tempat praktek ini. Ketakutan mereka mungkin karena alat-alat yang kami gunakan disini tampak asing bagi anak-anak. Bisa saja ketika mendengar suara bur dia ketakutan karena menganggap giginya akan dihancurkan oleh bur tersebut. Belum lagi melihat tang untuk mencabut gigi, tentunya sangat menyeramkan bagi anak- anak.” Tidak semua pasien anak yang datang ke tempat praktek beliau merasa takut ketika berhubungan dengan dokter gigi. Namun pada umumnya kebanyakan anak takut ketika diajak untuk berobat gigi. Hal yang mempengaruhi rasa takut mereka menurut drg. Indira adalah alat-alat medis yang terdapat di tempat praktek gigi yang terlihat asing bagi anak-anak. Suara bur dan bunyi alat lainnya yang nyaring membuat anak semakin takut ketika sedang berada di dalam ruangan praktek. Tak heran jika ada beberapa anak yang tidak mau masuk ke dalam ruangan kerja dokter gigi. “Kasus yang paling sering sih biasanya gigi berlubang dan gigi yang sudah goyang. Kalau giginya sedang sakit biasanya akan dirawat terlebih dahulu, kalau memang umurnya sudah untuk dicabut ya kita cabut. Tapi pada umumnya anak yang datang itu kan dalam kondisi gigi yang sakit, jadi lebih baik kita obati dulu rasa sakitnya, barulah beberapa hari lagi datang kembali supaya dilakukan tindakan selanjutnya.” Anak yang sedang berumur empat tahun ke atas sangat rentan terkena gigi berlubang, karena pada umur tersebut anak belum sepenuhnya memahami bagaimana cara merawat dan menjaga kesehatan giginya. Drg. Indira selalu berusaha untuk tidak sembarangan dalam mengambil tindakan medis untuk pasiennya. Ia selalu mempertimbangkan tindakannya. Jika anak tersebut sudah mendekati masa pertumbuhan gigi maka beliau akan mencabut giginya, tetapi jika belum beliau tidak akan mencabut gigi anak tersebut. Universitas Sumatera utara 105 Universitas Sumatera Utara “Autis pernah kemarin sewaktu saya bertugas di sekolah Siti Hajar, cuma anak itu kan ada pendampingnya, dia kan sekolahnya di sekolah biasa bukan di SLB karena otaknya memang mampu menerima pelajaran, jadi kemana pun dia pergi pendampingnya itu selalu menemani. Jadi kalau kita suruh buka mulut, kita sampaikan dulu ke pendampingnya barulah pendampingnya menyampaikan pesan itu kepada dia. Karena kalau pendampingnya kan pasti sudah tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan anak itu. Berhasil juga sih kemarin, tapi repotnya disitu, kita ngomongnya harus pakai perantara. Dan juga dalam pengerjaan giginya pun saya harus cepat-cepat karena kalau terlalu lama dia bisa tidak fokus lagi. Jadi pas dia lagi mau buka mulut, saya harus segera menyelesaikan proses pengobatan mulutnya. Kalau ditanya tentang pengalaman khusus dalam melayani pasein anak tidak ada, karena rata-rata anak kasusnya sama aja, yaitu rasa takut yang ada di dalam dirinya. Perbedaanya hanya di besar kecil rasa takutnya tersebut. Ada anak yang merasa ketakutan tetapi setelah dibujuk-bujuk maka akan mau mengikuti petunjuk saya, tapi ada juga anak yang kerasa kepala, jadi dia tetap mempertahankan rasa takutnya itu, pasien yang begitu yang susah. Tapi biasanya sih di hari itu juga haruskan ada tindakan ntah misalnya menghilangkan rasa sakitnya aja dulu, kalau kasusnya belum selesai maka saya akan meminta orang tuanya untuk membawanya kembali kesini dan saya akan melakukan tindakan lanjutan.” Peneliti melihat drg. Indira salah satu dokter gigi yang dapat dikatakan cekatan. Meskipun beliau merasa agak susah ketika melayani pasien anak autis karena harus berbicara lewat perantara, beliau berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menyelesaikan proses pengobatan gigi anak tersebut. Ketika anak mau membuka mulutnya, disitulah beliau berusaha secepat mungkin menyelesaikan tindakan medis beliau. Dalam melayani pasien anak yang takut, beliau juga selalu berusaha untuk membujuk-bujuk anak agar mau bekerja sama dengan beliau. “Kalau orang tua yang mengancam sih sering, tapi kalau yang langsung main fisik belum pernah. Biasanya orang tua tersebut mengatakan kalau anaknya tidak mau membuka mulut nanti dicubit ya atau dipukul. Kebanyakan sih gitu.” Universitas Sumatera utara 106 Universitas Sumatera Utara Karena beliau belum pernah bertemu dengan orang tua pasien yang tempramen, maka beliau belum mengetahui bagaimana cara mengatasi orang tua yang tempramen. Tetapi beliau tidak merasa terganggu jika ada orang tua yang mengancam anaknya, tetapi hanya menggunakan kata-kata. “Biasanya di ajak perkenalan dulu, ditanyakan siapa nama panggilannya, sekolah dimana, sudah kelas berapa, pokoknya diajak berkomunikasi dulu, karena dengan mnegobrol kita bisa mendekatkan diri dengan pasien tersebut. Dan kalau dia masih tetap ketakutan biasanya saya akan peragakan tindakan medis saya ke model gigi, untuk menyatakan bahwasaya tidak akan sakit dan tidak akan lama prosesnya. Kalau anak yang dalam kunjungan pertamanya pastinya diajak ngobrol dulu, di ajak cerita-cerita dengan menggunakan bahasa anak agar dia merasa nyaman. Selanjutnya saya akan memperkenalkan alat-alat yang saya gunakan kepada anak tersebut, agar ia tidak takut dengan benda yang asing di tempat praktek dokter gigi. Kadang saya memberikan kesempatan kepada anak untuk memegang alat saya, supaya semakin dapat meyakinkan dia kalau alat tersebut tidak akan membahayakan dirinya. Dan kalau untuk pasien yang baru kali itu ke dokter gigi maka saya akan meminta orang tuanya untuk mendampinginya agar ia merasa lebih aman. Kesabaran merupakan hal yang paling penting dalam menangani pasien anak. Dengan membujuk-bujuknya, dengan melakukan komunikasi dengannya biasanya dapat membuat dia lebih berani lagi dan melawan rasa takutnya. Tapi setidaknya dokter gigi jangan menambah rasa sakitnya, kan kalau biasanya anak datang dalam kondisi gigi yang sakit jadi dalam penanganannya jangan sampai dokter gigi tersebut memaksakan tindakannya sehingga membuat anak merasa lebih sakit, jika terjadi hal seperti itu maka bisa saja nantinya dapat membuat rasa takutnya semakin besar.” Pendekatan yang dilakukan oleh drg. Indira hampir sama dengan dokter gigi lainnya, yaitu dengan mengajak anak berkenalan. Dalam kunjungan pertamanya, pasien anak biasanya hanya akan diajak mengobrol untuk mengakrabkan diri. Beliau berusaha untuk tidak menambah rasa sakit anak yang dapat berujung kepada rasa trauma. Hampir sama dengan dokter gigi lainnya, sebelum memulai tindakan medisnya beliau terlebih dahulu mengenalkan alat-alat medisnya supaya anak tidak takut lagi. “Biasanya kalau masalah giginya sudah sangat serius saya akan memberikannya obat penghilang rasa sakit, karena kalau dalam Universitas Sumatera utara 107 Universitas Sumatera Utara kondisi yang sakit tidak mungkin kita melakukan tindakan medisnya pada saat itu juga, yang ada bisa memperparah keadaan giginya. Jadi saya akan suruh untuk minum obat dulu biar tidak sakit lagi. Sebenarnya dengan memberikan obat peringan rasa sakit, secara tidak langsung kita bisa melakukan pendekatan dengan anak tersebut. Jika besok setelah dia meminum obat rasa sakitnya hilang, maka hal itu akan membuat dia percaya kalau kita dapat menghilangkan rasa sakit giginya. Sehingga dalam kunjungan berikutnya dia akan mau dirawat oleh saya. Pernah juga kemarin ada pasien anak yang dibujuk sampai setengah jam. Saya sudah melakukan pendekatan, mengajak dia ngobrol dan berkenalan dengannya. Tapi ternyata dia tetap tidak mau membuka mulutnya, maka saya menyuruh orang tuanya untuk membawa dulu kerumah, jangan dipaksakan hari itu juga karena dapat menimbulkan efek trauma dalam diri anak tersebut.” Beliau tidak mau mengambil resiko untuk melakukan tindakan medis pada saat gigi pasiennya sedang sakit. Ketika gigi anak sedang sakit, beliau tidak akan memaksa untuk melakukan tindakan medisnya pada hari itu juga, beliau akan memberikan obat penghilang rasa sakit dan meminta orang tuanya untuk membawa anak itu kembali ke rumah dulu. Jika nanti rasa sakitnya sudah hilang barulah ia melakukan tindakan medisnya. “Biasanya saya akan mengajari pasien saya bagaimana cara menyikat gigi yang benar, saya akan mencontohkan di model gigi agar dia bisa lebih mengerti. Dan sales obat kan sering memberikan sampel-sampel odol atau sikat gigi ke sini, jadi saya akan berikan itu ke pasien anak itu, supaya dia lebih tertarik lagi untuk mengikuti saran saya. Karena kalau anak dikasi hadiah kan biasanya lebih bersemangat untuk menjaga kesehatan gigi dan mulutnya. Manfaat komunikasi terapeutik tentu dapat membuat anak mau bekerja sama dengan kita. Anak yang tadinya menangis karena ketakutan ketika diajak orang tuanya ke dokter gigi, kini dalam kunjungan berikutnya akan senang ketika diajak ke dokter gigi karena ia sudah merasa nyaman dengan dokter gigi, itulah manfaatnya.” Dalam memotivasi kesembuhan pasiennya, beliau sering mengingatkan anak bagaimana cara menyikat gigi yang benar. Beliau juga mencontohkannya di model gigi agar anak bisa lebih mengerti. Dengan menjalankan komunikasi terapeutik kepada pasien anaknya, beliau dapat mengubah sikap dan prilaku pasien anaknya, terbukti dari pasien anak yang sebelumnya sangat takut ketika Universitas Sumatera utara 108 Universitas Sumatera Utara berhubungan dengan dokter gigi kini berubah menjadi rasa senang ketika diajak untuk berobat gigi. “Kalau menghadapi anak yang tidak koperatif pasti sulit, karena membutuhkan kesabaran yang tinggi agar dapat membujuk- bujuknya supaya mau dirawat giginya. Anak yang terlalu takut sama dokter gigi membuat saya sangat susah untuk membujuk anak itu. Karena kalau dia sangat takut terkadang kita ajak berkomunikasi pun dia tidak mau, pas kita tanya pun dia tidak mau menjawab karena takut sama kita. Itu sih yang membuat saya merasa kesulitan dalam menghadapi pasien anak. Dominan hambatan saya datang dari anak. Karena jika rasa takutnya tak kunjung hilang meskipun sudah dibujuk-bujuk akan membuat saya kehabisan kesabaran dalam membujuknya. Dan terkadang rasa sabar saya juga lama-lama semakin habis kalau sampai membujuk anak setengah jam dan dia tetap tidak mau diajak bekerja sama. Kalau untuk menghadapi masalah pasien anak, sebisa mungkin saya akan membujuknya dengan melakukan pendekatan. Saya bayangkan aja kalau pasien anak itu adalah anak kandung saya sendiri supaya saya lebih sabar lagi dalam membujuknya.” Beliau mengaku merasa kesulitan ketika melayani pasien anak yang tidak koperatif, karena beliau harus membujuk-bujuknya sampai berjam-jam. Rasa takut anak yang sangat besar juga diakuinya sebagai salah satu hambatan terbesar dalam proses pengobatan gigi anak. Faktor penghambat berikutnya adalah rasa sabarnya yang kadang sudah habis jika harus membujuk anak sampai setengah jam. Namun, beliau selalu berusaha untuk mengatasi hambatan tersebut dengan menganggap pasien anak tersebut sebagai anak kandungnya sehingga beliau lebih bersabar dalam membujuknya. “Saya berusaha untuk tidak terpengaruh dengan masalah yang sedang saya hadapi. Jadi kalau saya sedang berada di praktek ini semua masalah yang ada saya lupakan dulu, biar bisa dengan maksimal melayani semua pasien saya.” Drg. Indira sangat berusaha untuk mengesampingkan urusan pribadinya ketika beliau berada di tempat praktek agar dapat semaksimal mungkin melayani pasiennya. Demikianlah hasil wawancara peneliti dengan informan terakhir. Universitas Sumatera utara 109 Universitas Sumatera Utara Dari jawaban perawat tersebut, peneliti menyadari bahwa kondisi umur drg. Martha sangat mempengaruhi kesabarannya dalam membujuk pasien anaknya. Terlebih lagi pendidikan spesialis orto yang sudah didapatkannya, membuat beliau lebih merasa tertarik untuk melayani pasien orto yang juga memberikannya pendapatan yang lebih besar dibandingkan perawatan gigi anak. Demikianlah wawancara peneliti dengan perawat di tempat praktek Drg. Martha. Kasus Ke-10 : Nama Informan : Merta, AMKG Perawat Gigi Usia : 24 tahun Keesokan hari setelah peneliti mewawancarai informan pertama yaitu pada tanggal 28 Januari 2015 pukul 16.00 WIB, peneliti kembali datang ke tempat praktek beliau untuk menanyakan kembali informasi mengenai drg. Martha kepada perawatnya, karena sebenarnya peneliti merasa kurang puas dengan jawaban dari beliau. Oleh karena itu peneliti memutuskan untuk bertanya kepada perawatnya secara singkat bagaimana sebenarnya beliau menghadapi pasien anak. “Sebelumnya maaf ya kak, mungkin semalam kakak kurang puas sama jawaban kak Martha. Kakak itu memang gitu kak, karena kalau sedang melayani pasien anak kakak itu memang kurang sabar dalam membujuknya, terkadang lebih banyak kami pun yang bujuk-bujuk pasiennya. Dan kakak juga tau kan, kakak itu kan udah spesialis orto, jadi dia lebih suka melayani pasien orto kak. Coba kakak bayangkan, kalau menghadapi pasien orto pasti kan tidak perlu dibujuk-bujuk kak, yang penting dikerjai aja behelnya, udah gitu uang yang didapat pun kan lebih banyak kak. Sedangkan dalam menghadapi pasien anak, udah harus dibujuk- bujuk, harus banyak bercerita, uang yang didapatkan pun tidak terlalu banyak. Dan kita juga bisa ngerti lah sama umur kakak itu kak, dia kan udah lima puluhan, mungkin pengalamannya dalam kedokteran gigi pun udah banyak, jadi kalau menghadapi pasien anak mungkin kakak ini udah mulai ngerasa jenuh, jadi biasanya kakak ini menyuruh orang tuanya untuk membujuk anak itu kak. Dan kalau anaknya memang susah kali untuk di bujuk, biasanya kami gak pernah maksa dia, pasti kami suruh dibawa pulang dulu sama orang tuanya, biar gak merepotkan juga disini kak.” Universitas Sumatera utara 110 Universitas Sumatera Utara Namun, diakhir kegiatan ketika peneliti meminta foto dokumentasi kepada beliau, beliau sama sekali tidak mengizinkannya, dengan alasan beliau sedang tidak dalam keadaan yang rapi sehingga membuat beliau enggan untuk difoto. Oleh karena itu, peneliti tidak mendapatkan foto dokumentasi ketika mewawancarai drg. Martha. Ketika peneliti mengikuti Margaret masuk ke ruangan kerja drg. Ida, peneliti melihat Garet langsung duduk di kursi pasien, seolah-olah dia langsung mengerti apa yang harus dilakukannya di ruangan praktek dokter gigi tersebut. Sedangkan ibunya hanya menunggu di depan pintu, tanpa harus mengikutinya duduk di dekat kursi pasien. Drg. Ida pun langsung menyapanya dengan ramah, menanyakan bagaimana kabarnya, bagaimana persekolahannya dan juga memuji pakaian yang sedang ia kenakan. Margaret tampak senang menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh drg Ida. Drg. Ida juga menanyakan apakah Kasus Ke-11 : Nama Informan : Ibu Mery Orang Tua Pasien Usia : 42 tahun Pada tanggal 16 Februari 2015, drg. Ida menghubungi peneliti dan mengatakan bahwa ada seorang pasien anak yang sedang berobat gigi ditempat prakteknya. Mendengar hal tersebut, peneliti langsung pergi ke tempat praktek beliau. Sesampainya di tempat praktek beliau, peneliti melihat seorang anak perempuan memakai baju berwarna merah jambu dan celana pendek, yang datang bersama ibunya sedang duduk di kursi antrian. Peneliti melihat anak tersebut terus berbicara kepada ibunya sambil sedikit merengek. Tidak lama kemudian, drg. Ida keluar dari ruang kerjanya sambil memanggil anak itu dengan nama ‘Garet’. Pada saat itu peneliti langsung mengerti bahwa pasien anak ini pasti sudah beberapa kali datang mengunjungi tempat praktek drg. Ida sehingga beliau mengetahui nama anak tersebut. Universitas Sumatera utara 111 Universitas Sumatera Utara Margaret sudah rajin menyikat giginya atau belum, sambil malu-malu Garet mengakui kalau malam hari dia sering lupa menyikat giginya. Peneliti mendengar dalam berkomunikasi dengan Garet, drg.Ida menggunakan panggilan tante, untuk mendekatkan diri dengan pasien anaknya. “Nah, sekarang tante lihat dulu ya gimana keadaan giginya. Jadi Garet buka mulut dulu, biar tante bisa lihat.” Drg. Ida tampak dengan lembut mengarahkan kepala Garet agar posisi duduknya dapat lebih nyaman. Garet tampak memejamkan matanya. Mungkin dia takut karena kali ini drg. Ida akan mencabut giginya. “Garet pernah nggak digigit semut merah? Atau dicubit sama mama?” Lalu Margaret pun mengangguk, sambil berkata : “Pernah tante”. “Nanti tante akan kasi obat penghilang rasa sakitnya dulu, rasa sakitnya cuma dikit aja kok. Kayak digigit semut merah, abis itu langsung hilang. Kalau Garet nggak percaya, nanti kalau Garet rasa sakit langsung angkat tangan aja, biar tante berhenti ngasi obatnya.” Lalu Garet pun mengangguk menyatakan bahwa ia setuju. Drg. Ida sengaja tidak mengatakan bahwa ia ingin menyuntik gigi Garet, karena beliau tahu hal itu dapat membuat rasa takut Garet semakin besar. Peneliti juga melihat drg. Ida menyembunyikan alat suntik di belakang punggungnya agar Garet dapat tidak melihatnya. Ketika drg. Ida sedang menyuntik bius, peneliti melihat Garet memejamkan matanya, mungkin ia sedang menahan rasa sakit yang ditimbulkan oleh jarum suntik. Setelah selesai menyuntik, drg. Ida kembali mengajak Garet untuk berbicara sambil menunggu obat biusnya bekerja. Selang beberapa menit, Garet tampak memegang-megang bibirnya sehingga membuat drg. Ida tertawa. Universitas Sumatera utara 112 Universitas Sumatera Utara “Garet udah ngerasa kebas ya nak? Pasti Garet pikir bibirnya udah tebal kan? Coba lihat di cermin ini, bibir garet nggak bengkak kok, itu Cuma pengaruh obat yang tadi tante kasi.” Garet pun tampak melihat-lihat keadaan bibirnya di dalam cermin. Setelah itu, drg. Ida pun mengetes obat biusnya, apakah sudah sepenuhnya bekerja atau belum. Setelah yakin obat biusnya sudah bekerja, drg. Ida pun langsung mencabut gigi Garet. Sambil mencabut gigi Garet, drg. Ida selalu berusaha bercerita kepada Margaret. Banyak topik yang mereka bahas, mulai dari film kartun Masha yang suka memakai baju berwarna merah jambu, sama seperti Garet, dan sampai ke cita-cita Garet yang ingin menjadi dokter. Drg. Ida berusaha untuk mengalihkan pikiran Garet dengan mengajaknya bercerita tanpa henti. Setelah selesai mencabut giginya, drg. Ida pun langsung memuji Garet di depan rekan kerjanya, yaitu drg. Erni. “Garet pinter kan te, jarang-jarang kita dapat pasien anak yang pinter kayak Garet, udah cantik, nggak cengeng, nurut lagi. Garet udah nggak takut lagi kan nak kalo cabut gigi? Sakitnya cuma sebentar kok kayak tadi, abis itu langsung selesai.” Garet pun hanya membalas perkataan dokter tersebut dengan senyuman saja, mungkin ia masih susah untuk berbicara, karena gigi yang dicabut adalah gigi depannya. Kemudian setelah itu, drg. Ida pun kembali mengingatkan Garet untuk rajin menyikat giginya dirumah dan menyuruhnya untuk mengurangi mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula, agar kesehatan giginya dapat lebih terawat. Peneliti pun kemudian menunggu Margaret dan ibunya di tempat atrian. Dan setelah mereka keluar dari ruangan kerja dokter, peneliti pun meminta izin wawancara kepada Ibu Mery dan beliau pun mengizinkannya. “Enggak dek. Beberapa minggu yang lalu kami udah pernah datang kesini. Kemarin Garet nambal gigi ke sini. Kami ke sini udah dua kali. Yang kemarin sama yang sekarang. Kalau ke Universitas Sumatera utara 113 Universitas Sumatera Utara tempat lain kami belum pernah dek, masih ini aja tempat praktek dokter gigi yang kami datangi. Udah lama sih kakak tahu tentang tempat praktek ini karena tempat prakteknya kan dipinggir jalan, jadi semua orang kalau sering lewat sini pasti tahu tentang tempat praktek ini. Dulu pertamanya kakak yang ngajak dia ke sini, tapi karena udah pernah ke sini sebelumnya dan Garet juga suka, yaudah tadi dia yang minta ke sini. Kalau dulu awalnya kami cuma coba-coba ajanya datang kesini, tapi karena pelayanan dokternya baik, jadi kami tetap datang kesini.” Ibu Mery mengatakan bahwa awalnya ia hanya mencoba-coba datang ke tempat praktek drg. Ida. Karena sering lewat di sekitaran daerah Jalan Jamin Ginting, beliau sering melewati tempat praktek tersebut sehingga ia tahu bahwa ada tempat praktek dokter gigi di sekitaran rumahnya. Namun setelah merasakan langsung dan puas dengan pelayanan drg. Ida dan drg. Erni, Ibu Mery pun terdorong untuk tetap membawa anggotanya berobat gigi ke tempat praktek dokter tersebut. “Kalau dulu sih kurang dek, tapi semenjak kemarin sepulang dari tempat praktek ini kakak jadi sering mengingatkan Garet untuk rajin sikat gigi minimal dua kali sehari. Nggak bisa dipastikan berapa bulan sekali kakak bawa dia ke sini, kalau ada masalah giginya baru kakak bawa dia ke dokter gigi kalau nggak ada ngapain juga kakak bawa dia ke dokter gigi. Dulu awalnya Garet takut kali sama dokter gigi mungkin karena dia takut sama alat- alat di tempat praktek dokter gigi ini, tapi lama-kelamaan rasa takutnya itu berkurang mungkin karena dokter giginya juga pintar mengambil hati si Garet. Sekarang pun masih adanya rasa takutnya, tapi tinggal sedikit. Mungkin karena dia belum terbiasa aja dengan semua alat-alat dokter gigi ini.” Peneliti melihat masih kurangnya perhatian orang tua dalam merawat kesehatan gigi dan anak mereka. Ibu Mery mengaku hanya akan membawa anaknya ke dokter gigi jika ada masalah dengan gigi anaknya, padahal seharusnya orang tua harus rajin memeriksa kesehatan gigi anak mereka secara rutin dalam enam bulan sekali. “Akar gigi Garet yang di depan sudah melukai bibirnya, kadang bisa buat bibirnya berdarah juga. Jadi karena umurnya juga sudah dekat sama usia pertumbuhan gigi anak, makanya dokter menyarankan untuk dicabut aja sebelum terlambat. Takutnya Universitas Sumatera utara 114 Universitas Sumatera Utara nanti ada gigi tetap yang tumbuh di belakang gigi susu itu, malahan dapat membuat giginya jadi berantakan. Waktu kakak ajak ke dokter gigi dia langsung setuju kok. Mungkin karena pengalaman sebelumnya juga tidak mengerikan baginya sehingga dia tidak trauma diajak ke dokter gigi. Kakak sering berjanji akan memberikan hadiah jika Garet mau ke dokter gigi. Hadiahnya terserah Garet, kadang boneka atau mainan masak-masakan. Yang penting dia mau ke dokter gigi aja kakak udah lega. Gak lama sih kakak ngebujuknya, tapi biasanya sehari sebelum mengajaknya ke dokter gigi kakak pasti meminta izinnya dulu. Supaya dia merasa dihargai dan bukan dipaksa.” Orang tua juga dapat membantu memudahkan dokter gigi dalam menangani pasien anak yang susah dibujuk. Selain dokter gigi yang harus berjuang untuk melakukan pendekatan dengan pasien anaknya agar mau berobat gigi, orang tua juga harus dapat membujuk anak mereka dengan cara yang berbeda. Salah satunya dengan memberikan anak hadiah yang diinginkannya ketika ia mau diajak untuk berobat gigi. Hal ini dapat memotivasi anak agar ia bersemangat ketika diajak berobat gigi. “Bagus kok, disini kan dokternya ada dua, jadi mereka saling membantu dalam mengobati pasiennya. Terus mereka juga ramah-ramah, mau berkenalan dengan pasien. Jadi anak kan merasa dekat kalau diajak ngomong-ngomong terus. Mereka juga pintar dalam mengalihkan perhatian anak. Tempatnya juga nyaman kok, bersih. Sambil menunggu kita bisa nonton TV di apotiknya, jadi nggak terlalu bosan. Cuma menurut kakak ruangan prakteknya terlalu sempit, jadi susah bergerak kalau kita nunggu di dalam. Itu aja sih kekurangannya. Kakak puas kok sama pelayanannya. Buktinya si Garet aja ketagihan datang ke sini hehe. Nanti kalau kakak juga kena sakit gigi, pasti kakak juga datang ke sini. Dokternya juga ramah-ramah jadi bikin kita nyaman.” Ibu Mery mengaku puas dengan pelayanan yang diberikan oleh drg. Ida dan drg. Erni. Bahkan beliau juga memuji keramahan dan kenyamanan tempat praktek drg. Ida. Demikianlah wawancara peneliti dengan informan tambahan yaitu Ibu Mery. Peneliti melihat dalam penanganan pasiennya, drg. Ida sangat berpengalaman. Mungkin sudah banyak pengalaman yang beliau pernah alami dalam menangani pasien anak. Oleh karena itu beliau tampak dengan mudah Universitas Sumatera utara 115 Universitas Sumatera Utara menaklukkan rasa takut pasiennya. Mengajak pasien anaknya untuk bercerita mengenai film kartun ataupun persekolahan anak dilakukan beliau untuk mengalihkan perhatian anak, agar anak tidak tersadar kalau giginya sedang diobati oleh dokter gigi. Namun ketika dokter menyuruhnya duduk di kursi pasien, dia menangis ketakutan sehingga ibunya memutuskan untuk ikut duduk dikursi tersebut. Lalu ibunya memangku Khansa sambil mengarahkan mulut Khansa kearah dokter gigi. Khansa tetap menangis ketakutan, meskipun begitu ia tetap membuka mulutnya. Drg. Juli berkata kepada ibu Khansa, “Dia mau kok dirawat buktinya dia masih buka mulutnya, tapi dia sedikit takut.” Khansa yang terus menangis sempat membuat drg. Juli dan bu Siti kebingungan, karena Khansa sambil menangis juga berusaha membelakangkan dokter, sedangkan dokter sedang berusaha untuk membur giginya. Kabel bur yang tidak begitu panjang membuat drg. Juli tidak dapat menjangkau gigi Khansa, sehingga drg. Juli berusaha untuk Kasus Ke-12 : Nama Informan : Ibu Siti Agustina Orang Tua Pasien Usia : 32 tahun Pada tanggal 23 Februari 2015, drg. Juli kemudian menghubungi peneliti dan mengatakan bahwa sedang ada pasien anak yang datang ke tempat prakteknya. Peneliti pun langsung bergegas untuk datang ke tempat praktek beliau. Sesampainya di tempat praktek beliau, peneliti melihat ada seorang anak perempuan yang sedang menangis karena ketakutan. Dia datang bersama ayah, ibu dan adiknya yang masih bayi. Namanya adalah Khansa Nativa, berumur empat tahun. Peneliti melihat drg. Juli sedang mengajak Khansa untuk berkenalan. Namun, Khansa hanya memeluk ibunya sambil ketakutan. Drg. Juli sudah berusaha untuk melakukan pendekatan, dengan menanyakan siapa namanya, sekolah dimana, dan menanyakan cita-citanya. Khansa pun sudah mulai mau menjawab pertanyaan beliau. Universitas Sumatera utara 116 Universitas Sumatera Utara memberhentikan sebentar pekerjaannya lalu membujuk Khansa agar Khansa tidak merasa dipaksa. Peneliti melihat drg. Juli tidak memakai sarung tangan ketika mengobati Khansa, hal ini ia dilakukan agar Khansa tidak merasa ketakutan. Sempat berhasil mengebur giginya beberapa menit, namun karena mesin pengisi angin drg. Juli berbunyi membuat Khansa merasa takut sehingga ia kembali menangis. Drg. Juli pun menghentikan pekerjaannya, sambil membujuk-bujuk Khansa. Setelah mesin tersebut berhenti berbunyi barulah kemudian dokter melanjutkan pekerjaannya. Namun Khansa tetap menangis. Peneliti pun mendengar drg. Juli terus mengajak Khansa berbicara sambil mengebur giginya. “Khansa kan anak pintar, cita-citanya mau jadi dokter. Kalo mau jadi dokter, giginya harus sehat, nggak boleh ada yang busuk. Coba buka mulutnya sebentar ya, biar kakak bisa lihat giginya.” Namun Khansa tetap menangis tanpa mendengarkan perkataan dokter. Lalu beberapa saat kemudian terdengar suara pintu depan tempat praktek yang sedang di tutup oleh perawat. Selang beberapa detik, terdengar suara adik Khansa yang sedang digendong oleh ayahnya menangis di luar ruangan praktek. Maka drg. Juli pun kembali berbicara kepada Khansa. “Tuh liat, kakak perawatnya udah mau nutup kita di dalam. Ini kan udah sore, jadi kakak perawatnya mau pulang. Sebentar ajaaa Khansa buka mulutnya, biar kita cepat selesai lalu kita pulang. Nanti kakak itu ngunci kita di dalam ruangan, jadi kita nggak bisa pulang. Udah gitu adik Khansa kan juga lagi nangis diluar, nanti kalau kelamaan nunggu Khansa bisa buat adik makin kuat suara nangisnya.” Dokter pun seolah-oleh berbicara dengan suara nyaring kepada perawat yang ada di depan tempat prakteknya. “Kak, jangan dikunci dulunya pintunya. Kami masih di dalam. Bentar ya kak, Khansanya baik kok, bentar lagi giginya udah siap. Bentar ya kak….” Universitas Sumatera utara 117 Universitas Sumatera Utara Khansa terlihat mempercayai kata-kata drg. Juli, selama dokter berbicara, Khansa tampak diam mendengarkan perkataan dokter tersebut. Tanpa disadari Khansa, drg. Juli ternyata sudah selesai membersihkan giginya sehingga dia sudah boleh pulang. Khansa pun terlihat sangat senang ketika dokter mengatakan bahwa pengobatannya sudah selesai. Khansa pun tersenyum bahagia dan ketika ibunya menyuruh Khansa untuk menyalam dokter dan mengucapkan terima kasih, ia pun langsung melakukannya. Drg. Juli pun berkata, “Nggak sakit kan Khansa? Nanti jangan nangis lagi ya kalau mama ngajak ke dokter gigi.” Drg. Juli pun langsung menyalam Khansa sambil mengelus rambutnya, hal ini beliau lakukan selain untuk membuat Khansa merasa nyaman dan dekat dengannya, juga agar membuat Khansa tidak trauma untuk bertemu dengannya lagi. Kemudian sesampainya di luar, peneliti pun meminta izin kepada bu Siti untuk melakukan wawancara mengenai pelayanan drg. Juli. Beliau pun mengizinkannya sehingga peneliti pun langsung memulai wawancara dengannya. Khansa merupakan anak sulung beliau. Sebelumnya, Khansa belum pernah ke dokter gigi jadi ini merupakan pengalaman pertamanya. Oleh karena itu ketika dia melihat peralatan dokter gigi yang terlihat asing baginya dan mengeluarkan suara yang nyaring membuat ia semakin takut. “Iya dek, dia baru pertama kali ke dokter gigi. Makanya dia takut kali ngeliat tempat praktek ini. Tapi bibinya juga dokter gigi kok, giginya sering diperiksa oleh bibinya tapi dia belum pernah di bawa ke tempat praktek dokter gigi. Kalau mengenai tempat praktek ini kakak udah lama taunya, tapi kakak belum pernah kesini. Yang pilih tempat praktek ini kakak dek, kalau Khansa mau di bawa kemana pun tetap nangisnya itu, karena dia takut kali memang sama alat- alat dokter gigi itu. Alasan kakak pilih tempat praktek ini selain karena dekat sama rumah, kakak dengar dari tetangga kalau dokter gigi disini masih muda dek. Kalau masih muda kan biasanya lebih sabar ngadapi anak, jadi kalau anak kita rewel pun biasanya pasti dibujuk dek.” Khansa Nativa yang merupakan anak sulung dari Ibu Siti sebelumnya tidak pernah diajak ke dokter gigi. Peneliti melihat bahwa Khansa merupakan tipe Universitas Sumatera utara 118 Universitas Sumatera Utara anak yang penakut dan cengeng. Mengingat usianya yang masih empat tahun, memang masih pantas jika anak bersifat cengeng. Meskipun ia takut dan terus menangis ketika melihat peralatan dokter gigi, namun ia tetap mau membuka mulutnya walaupun kepalanya dipegang oleh ibunya. Ibu Siti mengaku bahwa yang memilih untuk pergi ke tempat praktek drg. Juli adalah dirinya, dengan alasan selain tempat praktek tersebut dengan dengan rumahnya, juga informasi yang didapatkannya dari tetangga bahwa dokter yang bekerja di praktek itu masih muda membuatnya tertarik untuk datang ke tempat praktek tersebut. Ia berharap dokter gigi yang bertugas di praktek itu dapat dengan sabar membujuk anaknya yang penakut. “Kadang kalau ingat dan nggak sibuk kakak sikat giginya setiap pagi dan malam. Tapi kan adik khansa ini masih kecil, jadi kakak sering kerepotan dek. Kakak sering nyuruh si Khansa mandi sendiri, otomatis kalo sikat gigi sendiri kan pasti kurang bersih. Terus kadang Khansa ini nggak bisa dibilangi dek, kalau kakak larang makan permen atau coklat pasti dia langsung nangis. Makanya giginya bisa sakit kek gitu, soalnya keseringan makan coklat sama permen. Sebenarnya baru kali ini kakak periksakan giginya ke dokter gigi, tapi kakak berusahalah untuk sering memeriksakan gigi Khansa ke dokter gigi, biar kesehatan giginya bisa lebih terawatt lagi.” Ibu Siti mengakui bahwa dirinya kurang memperhatikan kesehatan gigi anaknya. Kurangnya pengawasan beliau dalam memeriksa apakah Khansa sudah menyikat gigi dengan bersih atau belum, membuat keadaan gigi Khansa semakin buruk. Namun Ibu Siti berniat akan lebih memperhatikan kesehatan gigi dan mulut anaknya, agar ke depannya Khansa tidak terkena gigi berlubang lagi. “Iya dek, takut kali pun. Liat aja dari tadi kan dia nangis terus. Sampe kakak aja harus ikut duduk di bangku pasien itu, untunglah dokternya sabar makanya bisa berhasil diobati giginya. Sebelumnya dia sering ngeluh kesakitan dek pas lagi makan, apalagi kalau ada makanan yang masuk ke lubang giginya, dia langsung nangis. Pas malam lagi sebelum dia tidur, dia sering nangis karena giginya berdenyut. Kakak aja sering diganggunya pas tidur malam karena dia udah nggak tahan sama rasa sakitnya, jadi kadang-kadang kakak sering kesal juga. Jadi kakak pikir lebih baik kakak bawa aja ke dokter gigi, biarlah dia nangis sebentar asal siap itu nggak mengganggu lagi setiap malam. Tapi Universitas Sumatera utara 119 Universitas Sumatera Utara waktu kakak aja ke dokter gigi, dia langsung nolak dek. Tapi kakak kasi penjelasanlah, kakak bilang biar giginya nggak sakit lagi kita harus ke dokter biar dihilangkan semua kuman- kumannya. Tadi pas di rumah udah iya nya katanya, tapi ternyata pas sampe disini nangis lagi dia. Kalau untuk membujuknya ya kakak bilang aja, Khansa kan cita-citanya mau jadi dokter gigi,kalau mau jadi dokter gigi nggak boleh giginya berlubang. Nanti nggak bisa jadi dokter. Terus kakak bilang juga kalau mau jadi dokter gigi harus berani sama dokter gigi, kalau penakut mana bisa jadi dokter. Udah tiga hari juga kakak bujuk-bujuk dia dek. Jadi setiap dia nangis waktu giginya sakit, kakak selalu bilang kan mama udah ngajak ke dokter gigi tapi tetap nggak mau, yaudah biarin aja kumannya hidup di gigi Khansa. Jadi lama-lama dia kan nggak tahan juga sama sakit giginya itu, makanya tadi dia mau kakak ajak ke sini.” Kasus gigi berlubang yang diderita Khansa membuatnya merasa terganggu sewaktu ingin makan dan tidur. Ketika ia memberitahukannya kepada ibunya, Ibu Siti malah mengajaknya ke dokter gigi, hal ini membuat Khansa semakin takut. Oleh karena itu ia berusaha untuk menahan rasa sakitnya tersebut. Namun karena sudah tidak tahan dan sudah dibujuk juga oleh ibunya, akhirnya Khansa mau berobat gigi. Beliau membutuhkan waktu selama tiga hari untuk membujuk anaknya agar mau diajak berobat gigi. Namun karena Khansa juga sudah tidak dapat menahan rasa sakitnya setiap malam, membuat Khansa akhirnya menuruti kata ibunya untuk berobat gigi. “Bagus kok, tadi kakak liat dokternya pinter kali mengalihkan perhatian Khansa, dia juga bisa mengendalikan rasa takut Khansa. Makanya proses pengobatannya bisa cepat selesai. Dokternya juga cekatan dalam mengobati gigi pasiennya. Kondisi tempat prakteknya bagus kok, bersih. Cuma yang kurang menurut kakak adalah stiker atau pajangannya kurang banyak disini, jadi anak kan nggak bisa ngelihat yang lain, paling Cuma TVlah. Padahal kalau banyak pernak-perniknya disini pasti anak-anak lebih tertarik lagi dengan tempat praktek ini. Kakak puas kok sama pelayanannya, nanti kalau Khansa atau saudara yang lain sakit gigi saya akan bawa mereka ke sini. Hehe.” Universitas Sumatera utara 120 Universitas Sumatera Utara Ketika peneliti menanyakan tentang pendapat Ibu Siti mengenai pelayanan drg. Juli, beliau mengaku puas dengan hasil kerja drg. Juli yang dapat mengalihkan perhatian anaknya. Ibu Siti juga berniat akan membawa anggota keluarga lainnya berobat ke tempat praktek drg. Juli ketika mereka sakit gigi. Ketika drg. Juli menangani Khansa, peneliti terus mengamati cara kerja beliau. Peneliti melihat drg. Juli sudah berpengalaman dalam menangani pasien anak. Terbukti dari keahlian beliau untuk mengalihkan perhatian anak. Sewaktu beliau membur gigi Khansa, peneliti melihat beliau terus bercerita kepada Khansa, mulai dari masalah perawat yang ingin menutup tempat praktek sampai suara menangis adik Khansa yang semakin kuat. Ketika ingin menggunakan alat medis yang agak menyeramkan bagi anak, drg. Juli selalu menyembunyikannya di balik punggungnya sehingga Khansa tidak dapat melihatnya. Drg. Juli juga sangat cekatan dalam menyelesaikan pengobatan gigi Khansa, hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, beliau langsung selesai membersihkan gigi Khasa sehingga belum sempat membuatnya bosan. Meskipun proses pembersihan giginya sudah selesai, drg. Juli tetap menjalin pendekatan dengan pasien anaknya, yaitu dengan menyalam dan mengelus rambut Khansa sesudah ia menyelesaikan tindakan medisnya. Sesampainya di tempat praktek beliau, peneliti melihat seorang anak laki- laki bersama ibunya sedang duduk di kursi antrian sambil menonton televisi. Setelah selesai menangani pasiennya, drg. Erni pun keluar dan memanggil nama “Daniel”. Ketika drg. Erni memanggil nama Daniel, peneliti langsung Kasus Ke-13 : Nama Informan : Ibu Indri Orang Tua Pasien Usia : 37 tahun Pada tanggal 24 Februari 2015, drg. Erni menghubungi peneliti dan mengatakan bahwa ada pasien anak yang sedang mengantri di tempat prakteknya. Peneliti pun langsung bergegas mendatangi tempat praktek beliau. Universitas Sumatera utara 121 Universitas Sumatera Utara menyimpulkan bahwa anak ini sudah pernah datang beberapa kali ke tempat praktek ini sehingga dokter sudah mengetahui namanya. Daniel terkena kasus gigi persistensi, dimana gigi gerahamnya sudah berlubang sehingga sering menimbulkan rasa ngilu dan sakit jika ada makanan yang masuk. Oleh karenanya drg. Erni ingin melakukan perawatan saluran akar agar kemudian dapat dilakukan penambalan. Peneliti melihat sepertinya Daniel sudah terbiasa berhubungan dengan dokter gigi. Ia tidak lagi merasa takut ketika masuk ke dalam ruangan dokter gigi. Namun tetap saja, drg. Erni mengajaknya mengobrol terlebih dahulu, untuk mencairkan suasana. Daniel adalah anak yang pendiam dan tidak banyak bicara sehingga ia hanya menjawab pertanyaan dokter seadanya. Drg. Erni dan drg. Ida saling bergantian mengajak Daniel berbicara. Setelah itu barulah drg. Erni memeriksa keadaan gigi Daniel. Daniel bukan tipe anak yang susah diajak bekerja sama, jadi ketika dokter memintanya membuka mulut, ia pun langusng melakukannya. Namun pada saat drg. Erni menyuruhnya untuk berkumur, ia pun merasakan ngilu di gigi gerahamnya tersebut sehingga sempat membuatnya merintih kesakitan. “Daniel, giginya kan sudah berlubang. Jadi tante harus bersihkan dulu lubangnya. Memang agak sakit sedikit, tapi setelah dibersihkan nantinya pasti nggak sakit lagi. Daniel tahan dikit sakitnya ya, nanti kalau sudah nggak tahan lagi, angkat aja tangannya. Nanti kalau Daniel angkat tangan, tante langsung berhenti.” Meskipun umurnya sudah delapan tahun, tetapi Daniel tetap saja masih takut dengan alat-alat medis seperti bur, tang, dan lain-lain. Oleh karena itu, drg. Erni tetap menyembunyikan alat-alat yang menyeramkan tersebut di tempat yang tersembunyi. Dan jika ingin memakainya, beliau akan menyembunyikannya di balik punggungnya. Karena keadaan gigi Daniel yang sudah agak parah, membuat drg. Erni susah untuk bekerja. Sedikit saja beliau membur giginya, Daniel langsung merasa ngilu dan mengangkat tangannya. Oleh karena itu, drg. Erni harus bersabar dalam melayani Daniel. Setiap beberapa detik sekali, drg. Erni harus memberhentikan Universitas Sumatera utara 122 Universitas Sumatera Utara pekerjaanya. Namun drg. Erni terlihat sangat sabar dalam mengobati gigi Daniel. Selama giginya proses pengobatan giginya, Daniel selalu menutup matanya. Hingga pada akhirnya drg. Erni menyelesaikan pekerjaannya. Begitu beliau mengatakan bahwa pengobatannya sudah selesai, Daniel langsung membuka matanya. “Daniel, matanya udah bisa dibuka. Tante udah selesai mengobati giginya. Tante nggak maksa Daniel kan? Kalau Daniel kesakitan kan tante berhenti ngobatin giginya. Lain kali, nggak usah takut lagi ya sama tante. Nggak mungkinlah tante buat yang sakit-sakit sama Daniel, nanti mama Daniel pasti marahlah sama tante. Jangan takut lagi ya nak. Oh iya, jangan lupa rajin sikat gigi pagi hari setelah sarapan dan malam hari sebelum tidur ya. Biar giginya sehat dan nggak berlubang kayak gini. Terus makan coklat sama permen jangan banyak-banyak ya nak, nanti giginya busuk semua. Oke?” Drg. Erni pun langsung mengelus kepala Daniel, Daniel pun tersenyum sambil mengucapkan terima kasih kepada beliau. Peneliti kemudian menunggu Daniel dan ibunya di ruang antrian untuk meminta izin wawancara. Setelah Ibu Indri mengizinkannya, peneliti langsung memulai wawancara. “Enggak dek, kami sudah tiga kali datang kesini. Kemarin sempat kami datang untuk mencabut giginya, tapi sekarang mau merawat giginya. Kakak udah lama tahu tentang praktek ini, kan tempat praktek ini sudah buka selama bertahun-tahun, udah gitu lokasinya strategis lagi, di pinggir jalan jamin ginting. Pasti orang gampang menemukannya. Yang pilih tempat praktek ini kakak dek, kalau anak-anak kan pasti kurang peduli sama tempat praktek dokter gigi. Kakak pilih tempat ini selain karena dekat dengan rumah, dokter-dokter disini juga baik dan ramah. Mereka juga mau mengajak anak untuk berkenalan lalu bercerita tentang kesehatan gigi. Terus kakak rasa mereka juga sabar dalam membujuk anak. Menurut kakak dokter gigi yang dulu sama yang sekarang ama aja sih sebenarnya dek, cuma kalau dokter disini kan ada dua orang. Jadi dalam pengerjaanya mereka sering mengajak anak bercerita jadi buat anak nggak sadar kalau giginya sedang di obati. Kalau ditempat praktek yang dulu, dokternya kebanyakan diam, jadi membuat anak ngerasa takut dek.” Meskipun pengalaman ini bukanlah pengalaman pertamanya berhubungan dengan dokter gigi, namun rasa takut dalam diri Daniel tetap saja masih ada. Universitas Sumatera utara 123 Universitas Sumatera Utara Kemampuan dokter gigi dalam mendekatkan diri dengan anak, juga membujuk anak agar mau diperiksa merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan pengobatan gigi anak. Dokter gigi yang sabar dan ramah selalu menjadi alasan para ibu rumah tangga untuk tetap mengobati anaknya di dokter yang sama seperti sebelumnya. “ Kurang sih dek, kakak cuma sering aja mengingatkan dia untuk rajin sikat gigi pagi sama malam hari. Tapi kakak jarang mengecek apakah dia menyikat gigi dengan bersih atau hanya sekedar menyikat aja. Kalau jadwal untuk periksa gigi nggak nentu dek, tapi yang jelas kalau dia sakit gigi aja baru kakak bawa ke dokter gigi. Kalau giginya nggak sakit ngapain juga kakak bawa dia ke dokter gigi. Dulu awalnya dia takut kali sama dokter gigi dek, kan biasanya anak-anak takut ke dokter gigi kan. Tapi kakak bujuk-bujuk lah dulu, baru akhirnya dia mau. Gigi geraham si Daniel kan udah berlubang dek, jadi dia sering merasa sakit kalau ada makanan yang masuk ke dalam giginya. Tapi kata dokter belum bisa dicabut karena umurnya belum bisa. Jadi kata dokter harus dirawat dek baru ditambal. Makanya kami disuruh datang berkali-kali ke sini.” Kurangnya perhatian orang tua dalam menjaga dan merawat kesehatan gigi anak dapat memburuk keadaan. Pada umumnya, anak belum mengerti seutuhnya bagaimana cara menyikat gigi yang benar. Banyak juga orang tua yang belum sadar untuk memeriksakan gigi anaknya setiap enam bulan sekali. Mereka hanya membawa anaknya ke dokter gigi jika sedang mengalami sakit gigi. “Udah beberapa kalinya kakak aja dia ke dokter gigi tapi dia bilang malas. Tapi mungkin karena rasa sakitnya lama-lama menyiksa dan nggak hilang-hilang akhirnya dia yang ngajak kakak kesini. Mungkin dia juga udah nggak kuat untuk nahan rasa sakitnya. Paling kakak bujuk pake kata-kata dek, tapi kalau dia minta dibelikan suatu kakak iya kan aja, supaya dia mau ke dokter gigi. Karena kadang kakak kesal juga kalau dia ngeluh sakit gigi dirumah,buat kakak emosi juga. Jadi asal dia mau berobat gigi, pasti kakak kabulkan permintaanya. Nggak lama kok kakak ngebujuknya dek, paling cuma satu hari. Karena dia juga sudah nggak tahan sama rasa sakitnya makanya akhirnya dia menyerah dan mau diajak berobat gigi.” Rasa sakit yang sudah tidak tertahankan lagi terkadang dapat membuat anak memaksakan diri agar berani datang ke tempat dokter gigi. Perasaan sakit Universitas Sumatera utara 124 Universitas Sumatera Utara dan takut semuanya bersatu ketika mereka berada di tempat praktek dokter gigi. Ibu Indri termasuk ibu yang bijaksana dalam menghilangkan rasa takut anaknya. Beliau berjanji akan memberikan apa yang diminta Daniel jika ia mau berobat gigi. Hal ini jugalah yang kemudian dapat menumbuhkan rasa semangat dalam diri Daniel sehingga ia mau berobat gigi. “Bagus kok dek, dokter giginya ramah dan sabar. Kadang kan ada dokter gigi yang nggak sabar ngebujuk anak. Tapi mereka berdua saling bantu dek dalam mengobati pasien. Mereka juga sering mengajak pasien cerita-cerita. Jadi kita kan merasa nyaman dek kalau dokternya ramah dan mau membujuk anak kita. Tempatnya bersih kok dek, jadi nyaman kalau kita nunggu. Terus pihak apotiknya kan menyediakan TV, jadi kita nggak terlalu bosan meskipun sedang mengantri. Tapi menurut kakak, ruangan praktek dokternya terlalu sempit, jadi kalau anak kita minta ditemani sewaktu diperiksa, dokternya jadi susah bergerak. Itu aja sih dek. Sejauh ini sih kakak puas dengan pelayanannya dek. Karena kan jarang juga kita dapat tempat praktek yang dokternya ramah dan bersahabat. Udah gitu, disini dokternya ada dua orang sekaligus menangani pasien, pasti hasilnya lebih optimal kan dibandingkan kalau dokternya sendirian.” Ibu Mery mengaku puas dengan pelayanan yang diberikan oleh drg. Erni dan drg. Ida karena mereka sangat sabar untuk membujuk dan mendekatkan diri dengan Daniel. Mereka juga membuat Daniel merasa lebih nyaman ketika berada di dokter gigi. Meskipun ada sedikit rasa sakit yang dirasakan Daniel pada saat giginya di obati oleh drg. Erni, namun hal tersebut tidak membuatnya trauma dengan dokter gigi. Demikianlah hasil wawancara peneliti dengan ibu Indri. Peneliti melihat drg. Erni sangat sabar dalam mengobati Daniel. Ketika Daniel mengeluh dan merasa kesakitan ketika giginya sedang diobati, drg. Erni lebih memilih untuk memberhentikannya sebentar daripada harus memaksa Daniel. Dengan sabar ia menunggu Daniel hingga akhirnya proses pengobatannya selesai. Meskipun ada pasien yang menunggu di luar, tidak membuat mereka terburu-buru dalam mengerjakan pasiennya. Terlebih lagi Daniel bukanlah anak yang cengeng, hanya saja ia tidak dapat menahan rasa ngilu dalam giginya ketika drg. Erni membur giginya. Universitas Sumatera utara 125 Universitas Sumatera Utara Setelah menyelesaikan tugasnya, drg. Erni juga tetap berusaha mendekatkan diri dengan Daniel. Beliau tetap menyemangati Daniel dan mengingatkannya untuk rajin menyikat gigi dan mengurangi mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula. Ini salah satu cara beliau agar Daniel tetap merasa nyaman dengannya meskipun proses pengobatannya sudah selesai.

4.3 Pembahasan