Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

125 Universitas Sumatera Utara Setelah menyelesaikan tugasnya, drg. Erni juga tetap berusaha mendekatkan diri dengan Daniel. Beliau tetap menyemangati Daniel dan mengingatkannya untuk rajin menyikat gigi dan mengurangi mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula. Ini salah satu cara beliau agar Daniel tetap merasa nyaman dengannya meskipun proses pengobatannya sudah selesai.

4.3 Pembahasan

Pembahasan dari pengamatan peneliti adalah sebagai berikut: Peneliti mengambil sembilan orang dokter gigi di empat tempat praktek bersama sebagai informan dalam penelitian ini. Setelah peneliti mendapatkan jawaban yang rata-rata sama mengenai komunikasi terapeutik terhadap pasien anak diantara kesembilan dokter gigi tersebut, maka peneliti pun memutuskan untuk menghentikan penelitian. Kekuatan dalam komunikasi terapeutik dokter gigi terhadap pasein anak adalah pendekatan dan komunikasi persuasif yaitu dengan bujukan. Tanpa adanya pendekatan dan bujukan, dokter gigi tidak akan berhasil menaklukkan rasa takut anak. Proses komunikasi terapeutik yang baik dan efektif ternyata sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses pengobatan gigi anak. Berdasarkan kasus penelitian diatas, maka peneliti akan membuat pembahasan yang dikaitkan dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui proses komunikasi terapeutik antara dokter gigi dengan pasien anak di tempat praktek bersama, untuk mengetahui manfaat pelaksanaan komunikasi terapeutik dan pelayanan dokter gigi kepada pasien anak, dan untuk mengetahui hambatan- hambatan dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik oleh dokter gigi kepada pasien anak di tempat praktek bersama. Dari penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi untuk mengecek dan membandingkan data, yaitu sebagai berikut: Komunikasi dilakukan oleh para dokter gigi terhadap pasien anaknya dengan harapan dapat menimbulkan perubahan tingkah laku atau muncul perilaku baru sesuai dengan yang diinginkan oleh dokter gigi tersebut. Komunikasi merupakan alat bagi dokter gigi untuk mempengaruhi tingkah laku pasien anaknya dalam proses pengobatan giginya. Komunikasi dalam bidang kesehatan merupakan Universitas Sumatera utara 126 Universitas Sumatera Utara proses untuk menciptakan hubungan antara tenaga medis dengan pasien, untuk mengenal kebutuhan pasien dan menentukan rencana tindakan serta kerjasama dalam memeuhi kebutuhan tersebut Musliha Siti Fatmawati, 2010:24. Komunikasi terapeutik masuk ke dalam komunikasi dua arah, dimana komunikator mengirimkan pesan dan akan diterima oleh komunikan setelah disimpulkan kemudian komunikan akan mengirimkan umpan balik kepada komunikator tersebut. Terdapat lima komponen dalam komunikasi terapeutik, yaitu : a. Pengirim : Yang menjadi asal dari pesan. Dalam penelitian ini yang menjadi pengirim adalah dokter gigi. b. Pesan : Suatu unit informasi yang dipindahkan dari pengirim kepada penerima. Dalam penelitian ini yang menjadi pesan adalah informasi dan bujukan dokter gigi yang ditujukan kepada pasien anak. c. Penerima : Yang mempersepsikan pesan, yang perilakunya dipengaruhi oleh pesan. Dalam penelitian ini yang menjadi penerima adalah pasien anak. d. Umpan balik : Respon dari penerima pesan kepada pengirim pesan. Yang menjadi umpan balik dalam penelitian ini adalah tangisan, ucapan, sikap dan perubahan tindakan anak setelah menerima pesan dari dokter gigi. e. Konteks : Tatanan dimana komunikasi terjadi. Yang menjadi konteks dalam penelitian ini adalah tempat praktek bersama dokter gigi. Musliha Siti Fatmawati, 2010 : 114.

4.3.1 Proses Komunikasi Terapeutik

Dalam melaksanakan komunikasi terapeutik ada beberapa tahap yang akan dilalui oleh tenaga medis, yaitu fase preinteraksi, fase orientasi, fase kerja, dan fase terminasi Musliha Siti Fatmawati, 2010 : 116. Fase preinteraksi merupakan masa dokter gigi untuk melakukan persiapan sebelum berinteraksi langsung dengan pasiennya. Fase orientasi adalah masa dimana dokter gigi harus dapat menjalin hubungan yang baik dengan pasiennya, karena pada masa inilah Universitas Sumatera utara 127 Universitas Sumatera Utara dokter gigi mendapat kesempatan untuk membentuk citranya di depan pasiennya. Sedangkan fase kerja adalah tahap yang paling penting bagi dokter gigi, dimana ia harus tetap menerapkan komunikasi terapeutik agar proses pengobatannya berjalan dengan lancar. Yang terakhir adalah fase terminasi, yang merupakan tahap akhir dalam komunikasi terapaeutik ini dan akhir dari pertemuan antara dokter gigi dan pasiennya. Dari hasil temuan peneliti di lapangan, keempat tahap diatas memang sudah dilakukan oleh sebagian besar dokter gigi. Peneliti mendapatkan temuan bahwa dalam fase preinteraksi, dari sembilan dokter gigi yang peneliti wawancarai, ada empat orang informan yang mengaku jika kondisi fisik, mood, ataupun beban pikiran mereka tidak mempengaruhi rasa sabar mereka dalam melayani pasien anak. Namun ada lima orang informan yang mengaku kalau kondisi fisik, mood, dan beban pikiran mereka mempengaruhi rasa sabar mereka dalam melayani pasien anak. Meskipun begitu, kelima informan tersebut sangat berusaha untuk melupakan segala permasalahan yang sedang dihadapinya agar dapat semaksimal mungkin memuaskan semua pasiennya. Tahap kedua yang harus dilakukan dokter gigi adalah fase orientasi, yang merupakan masa perkenalan antara dokter dengan pasiennya. Semua informan yang peneliti wawancarai, memulai tahap ini dengan mengajak pasien anaknya berkenalan terlebih dahulu. Mereka akan menanyakan nama, sekolah, kelas berapa, dan alamat rumah untuk memancing anak agar mau bercerita dengannya. Mereka juga harus bisa membawakan diri selayaknya anak-anak, agar pasien anaknya tidak takut kepada mereka dan mau menjawab pertanyaannya. Tidak jarang juga mereka memuji kecantikankegantengan pasien anaknya dan memuji barang-barang yang mereka gunakan agar anak merasa diperhatikan oleh dokter gigi tersebut. Menurut beberapa informan yang peneliti wawancarai, semua anak akan merasa sangat senang jika kita memuji barang-barang yang ia gunakan, hal itu akan dapat memancing anak untuk mau berkomunikasi dengan dokter. Pada masa perkenalan ini, dokter gigi tidak akan memanggil dirinya dengan panggilan dokter. Mereka lebih memilih untuk memanggil dirinya dengan sebutan kakak, tante atau bibi. Hal ini mereka lakukan karena sudah banyak anak yang mempunyai citra buruk terhadap panggilan ‘dokter’. Oleh karenanya, Universitas Sumatera utara 128 Universitas Sumatera Utara mereka harus menggunakan sebutan yang dapat membuat anak merasa lebih dekat dengannya. Selain itu, dokter gigi juga akan memanggil anak dengan nama panggilannya di rumah, agar anak merasa lebih dekat lagi dengan dokter gigi tersebut. Dokter gigi juga tidak akan memaksa anak untuk langsung duduk di kursi pasien, karena sebagian anak menganggap kursi itu menyeramkan. Oleh karenanya ketika mengajak anak berkenalan, dokter gigi akan meminta anak duduk di kursi yang berhadapan dengannya agar komunikasi juga bisa berjalan lebih efektif. Pada kunjungan pertama anak, dokter gigi mengaku tidak pernah memaksa agar tindakan medis dilakukan pada hari itu juga, karena hal itu dapat menimbulkan rasa trauma dalam diri anak. Jika anak merasa sangat takut dengan dokter gigi, maka pada kunjungan pertama dokter hanya mengajaknya untuk berkenalan dan memberikan obat penghilang rasa sakit. Setelah rasa sakitnya mulai berkurang, barulah dokter gigi meminta orang tuanya untuk membawanya kembali ke tempat praktek agar dilakukan tindakan selanjutnya. Pada tahap ketiga yaitu fase kerja yang merupakan tahap terpenting bagi dokter gigi, mereka harus mampu melakukan tindakan yang tidak menambah rasa sakit bagi anak. Bagi anak yang belum pernah ke dokter gigi sama sekali tentu akan merasa sangat ketakutan ketika melihat peralatan medis dokter gigi yang masih asing baginya. Disinilah kesempatan dokter gigi untuk memperkenalkan semua alat-alat medis yang ia gunakan beserta fungsinya, agar rasa penasaran anak dapat terjawab. Dokter gigi tidak boleh menggunakan kata-kata secara sembarangan ketika memperkenalkan alatnya ke pasien anak, karena bisa saja penjelasannya tersebut dapat membuat anak merasa semakin takut, seperti pengalaman yang diceritakan oleh informan keempat. Ketepatan dan kesederhanaan kata sangat dibutuhkan oleh dokter gigi ketika ia berkomunikasi dengan pasien anak. Menurut informan ketiga, pada fase kerja pasien anak jangan sampai dibohongi. Ketika diawal dokter gigi berjanji hanya akan melihat kondisi gigi anak, maka jangan sampai ia melanggar perjanjian tersebut lalu melakukan tindakan medis terhadap pasien anak tersebut. Jika hal itu terjadi, anak tidak akan percaya lagi dengan perkataan dokter gigi. Ketika sedang melayani pasien anak Universitas Sumatera utara 129 Universitas Sumatera Utara yang sangat ketakutan merupakan tantangan tersendiri bagi setiap dokter gigi. Ada beberapa cara yang mereka lakukan agar proses pengobatan gigi anak dapat berhasil. Cara yang paling banyak dilakukan oleh informan adalah dengan bujukan. Anak akan dibujuk-bujuk agar mau dilakukan perawatan gigi. Tidak jarang juga dokter gigi memberikan hadiah berupa sikat gigi, odol atau mainan anak lainnya supaya anak mau diatur. Peneliti sangat tertarik dengan tindakan yang dilakukan oleh informan kedepalan pada saat sedang melayani pasien anak yang sangat ketakutan. Ketika bujukan sudah tidak dapat diandalkan lagi, maka beliau memilih untuk mempraktekkan tindakan medisnya di tangannya untuk membuktikan kepada anak bahwa tindakannya tersebut tidak akan menyakiti anak. Jika ingin menyuntik bius anak, beliau akan mempraktekkannya dengan menyuntikkan sedikit jarum suntik tersebut ke kulit jari jempol tangannya. Karena kulit di sekitar jari jempol bersifat lebih tebal maka ketika disuntik tidak akan mengeluarkan darah. Setelah itu ia akan menunjukkannya kepada anak dan mengatakan bahwa hal yang sama akan terjadi kepada gigi anak itu. Sedangkan jika ingin membur gigi anak, informan kedepalan tersebut juga akan mempraktekkannya di kuku jari jempol tangannya. Setelah itu ia akan menunjukkannya kepada anak dan mengatakan bahwa hal yang sama akan terjadi kepada anak. Beliau mengaku hal ini cukup berhasil bagi sebagian besar anak. Ada juga beberapa informan ketika ingin menyuntik bius gigi anak, akan mengatakan bahwa jarum suntik tersebut tidak akan menimbulkan rasa sakit yang parah. Rasa sakitnya hanya seperti rasa sakit ketika digigit oleh semut merah karena jarum suntiknya memang khusus untuk anak padahal ukuran jarum suntik akan sama untuk semua jenis usia. Ketika mereka ingin menyuntik gigi anak, maka mereka akan menyimpan jarum suntik tersebut dibalik punggungnya agar anak tidak bisa melihatnya. Begitu juga dengan alat medis lainnya seperti tang, bur, dan lain-lain. Cara lain yang dilakukan dokter gigi adalah dengan mengajak anak untuk terus berbicara sehingga dapat mengalihkan perhatian anak. Ketika anak tetap merasa takut pada saat dokter gigi sedang mengobati giginya, dokter gigi dapat mengajak anak tersebut untuk terus berbicara mengenai hal-hal yang disukai anak Universitas Sumatera utara 130 Universitas Sumatera Utara pada umumnya, seperti film kartun sehingga perhatian anak dapat teralihkan. Cara ini juga diakui dokter gigi ampuh bagi sebagian anak. Sama halnya seperti yang peneliti amati ketika informan kelima sedang menangani pasien anaknya, dimana ia tidak berusaha untuk memaksakan tindakan medisnya agar cepat selesai. Ketika Daniel merasa kesakitan, beliau pun menghentikan sebentar pekerjaannya, ketika Daniel sudah merasa lega baru kemudian ia melanjutkan pekerjaanya. Kesabaran dan bisa membawa diri selayaknya anak-anak diakui oleh informan ketujuh sebagai faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan dokter gigi menangani pasien anaknya. Tahap terakhir dalam proses komunikasi terapeutik adalah fase terminasi, yang merupakan akhir dari pertemuan antara dokter gigi dan pasiennya. Fase Terminasi terbagi dua, yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir. Ketika dokter gigi sudah menyelesaikan tindakan medisnya, mereka juga harus tetap bersikap ramah dan bersahabat kepada pasien anak tersebut. Beberapa informan mengaku akan tetap menjalin komunikasi dengan pasien anaknya meskipun sudah selesai mengobati anak tersebut. Mereka juga sering memotivasi pasien anaknya dengan sering mengingatkan mereka untuk rajin menyikat gigi minimal dua kali sehari, pagi setelah sarapan dan malam sebelum tidur. Mereka juga mempraktekkan cara menyikat gigi yang benar dengan menggunakan model gigi agar dapat memudahkan anak untuk mengerti. Beberapa informan juga mengaku akan tetap memberikan semangat kepada pasien anaknya meskipun sudah selesai mengobati anak tersebut. Tidak jarang juga mereka menyalam dan mengelus rambut pasien anaknya, juga meminta maaf kepada pasien anaknya jika ada tindakan mereka yang melukai anak tersebut. Hal ini mereka lakukan agar anak tetap mengingat pengalaman menyenangkan mereka ketika bertemu dengan dokter gigi, sehingga pada kunjungan berikutnya mereka tidak akan takut lagi bertemu dengan dokter gigi.

4.3.2 Manfaat Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik

Ada beberapa manfaat yang dirasakan oleh informan sesudah mereka melaksanakan komunikasi terapeutik kepada pasien mereka. Manfaatnya pertama yang dirasakan oleh dokter gigi adalah komunikasi terapeutik dapat digunakan Universitas Sumatera utara 131 Universitas Sumatera Utara oleh informan sebagai suatu cara untuk mendekatkan diri dengan pasien anaknya. Jika ia sudah dapat mengakrabkan diri dengan anak, maka dokter gigi tersebut juga akan mendapat kesempatan untuk mengubah mindset anak tentang citra buruk dokter gigi. Manfaat yang berikutnya adalah dapat mengurangi rasa takut anak, meskipun tidak dapat langsung menghilangkannya secara drastis, tapi setidaknya dapat menguranginya. Dengan membujuk dan melakukan pendekatan dengan anak, ia akan merasa lebih nyaman dengan dokter gigi tersebut sehingga rasa takutnya akan semakin berkurang. Manfaat komunikasi terapeutik bagi dokter gigi selanjutnya adalah dapat merubah sikap dan prilaku anak. Anak akan merasa lebih dimengerti ketika dokter gigi tidak memaksakan tindakan medisnya pada kunjungan pertama. Jika rasa takut anak terhadap dokter gigi sudah berkurang, maka akan menimbulkan perubahan sikap dan prilaku dalam diri anak tersebut. Anak yang tadinya sangat takut ketika diajak orang tuanya ke dokter gigi, kini tidak akan merasa takut lagi dalam kunjungan berikutnya ke dokter gigi karena dokter giginya melaksanakan komunikasi terapeutik dengan benar. Ketika anak sudah tidak takut lagi bertemu dengan dokter gigi maka hal itu dapat memudahkan dokter gigi dalam proses pengobatan gigi anak karena anak tersebut sudah mau diajak untuk bekerja sama.

4.3.3 Hambatan Komunikasi Terapeutik

Kesembilan informan yang peneliti wawancarai mengaku merasa tidak kesulitan dalam melayani pasien anak. Hanya saja, mereka menemukan beberapa faktor penghambat yang dapat mengganggu keberhasilan komunikasi terapeutik. Faktor penghambat tersebut terbagi tiga, yaitu faktor penghambat yang datang dokter gigi itu sendiri, faktor penghambat yang datang dari pasien anak, dan yang terakhir adalah faktor penghambat yang datang dari orang tua. Faktor penghambat yang datang dari dokter gigi adalah kesabaran mereka yang terkadang akan berkurang ketika sudah lewat setengah jam membujuk anak. Apalagi jika sebelumnya dokter gigi tersebut sudah melayani beberapa pasien sebelumnya sehingga membuat tenaga dan kesabarannya berkurang. Hal ini membuat dokter gigi tidak lagi berusaha semaksimal mungkin untuk menerapkan Universitas Sumatera utara 132 Universitas Sumatera Utara komunikasi terapeutik kepada pasien anaknya. Mereka mengaku akan menyerahkan keputusan kepada orang tua pasien, jika ingin tetap dilakukan tindakan medis maka akan sedikit memaksa anak tersebut, tetapi jika tidak ingin memaksa anaknya maka dokter gigi tersebut akan menyuruh orang tuanya untuk membawa pasien anak tersebut ke rumah dulu. Faktor penghambat yang datang dari pasien anak adalah rasa takut yang sangat besar kepada dokter gigi. Hal ini diakui dokter gigi merupakan faktor penghambat yang sangat besar dan yang paling berpengaruhi, karena jika anak merasa sangat ketakutan maka ia akan terus menangis di depan dokter gigi sehingga ketika dokter berusaha mengajaknya untuk berbicara, ia tidak akan mendengarnya. Apalagi jika suara tangisan anak tersebut lebih kuat dibandingkan dengan suara dokternya, maka komunikasi terapeutik tidak akan dapat dilaksanakan. Faktor penghambat terakhir datangnya dari orang tua. Terkadang ada beberapa orang tua yang tidak sabar menunggu dokter dalam membujuk anaknya sehingga mereka tidak segan untuk memukul, mencubit dan memarahi anaknya di depan dokter gigi tersebut. Tentu hal ini dapat membuat anak semakin merasa terancam. Disaat ia takut bertemu dengan dokter gigi orang tuanya malah menambah rasa takutnya dengan memarahi dan bertindak kasar terhadap anak tersebut. Hal ini dapat menimbulkan rasa trauma di dalam diri anak. Namun, tak bisa dipungkiri, ada beberapa anak yang justru mau mengikuti perintah dokter gigi setelah di marahi oleh orang tuanya. Ia takut jika orang tuanya memukulnya di depan umum sehingga membuatnya lebih memilih untuk mengikuti perintah dokter gigi daripada dipukul oleh orang tuanya. Meskipun terdapat beberapa faktor penghambat komunikasi terapeutik, dokter gigi masih mempunyai cara untuk mengatasi faktor penghambat tersebut. Untuk mengatasi faktor penghambat dari dirinya sendiri, dokter gigi berusaha untuk melatih kesabaran di dalam dirinya agar dapat melayani pasien anak semaksimal mungkin. Untuk mengatasi faktor penghambat yang datangnya dari anak, sebisa mungkin mereka membujuk anak tersebut. Namun jika tetap tidak berhasil, mereka akan meminta orang tua pasien tersebut untuk membawa anaknya pulang ke rumah dulu dan memberikan mereka penjelasan di rumah, lalu Universitas Sumatera utara 133 Universitas Sumatera Utara beberapa hari lagi coba untuk mengajak anak tersebut untuk datang kembali ke tempat praktek tersebut. Sedangkan untuk mengatasi faktor penghambat yang datangnya dari orang tua, dokter gigi akan berusaha untuk mengingatkan orang tua pasien agar tidak memperlakukan anaknya dengan kasar ketika sedang berada di ruangan kerja dokter. Jika beliau memang tidak sabar dalam membujuk anaknya lebih baik ia menunggu di luar ruangan sehingga tidak mengganggu kinerja dokter gigi. Menurut Rogers, terdapat beberapa karakteristik dari seorang tenaga medis yang dapat memfasilitasi tumbuhnya hubungan yang terapeutik. Karakteristik tersebut antara lain: 1. Kejujuran Kejujuran merupakan modal utama agar dapat melakukan komunikasi yang bernilai terapeutik, tanpa kejujuran mustahil dapat membina hubungan saling percaya. Seperti yang dikatakan oleh informan ketiga, meskipun sedang menangani pasien anak seorang dokter gigi tidak boleh membohongi anak tersebut. Jika diawal dokter gigi mengatakan bahwa ia hanya akan melihat kondisi gigi pasiennya yang sakit, maka ia harus menepati kata- katanya tersebut. Ketika anak sudah mulai mau diajak bekerja sama dengan membuka mulutnya, dokter gigi tetap tidak boleh melakukan tindakan medis jika diawal ia sudah menjanjikan hanya untuk melihat keadaan gigi anak. Jika dokter gigi melanggar janji yang sudah diucapkannya diawal dapat membuat anak tidak akan mau percaya lagi dengan perkataan yang disampaikan oleh dokter gigi tersebut. Menurut informan kedua, pasien anak tidak boleh dibohongi ataupun ditakut-takuti dengan penggunaan bahasa seperti monster, dan lain-lain, melainkan dokter gigi harus dapat memberikan informasi yang jujur dan tidak berlebihan agar anak dapat mempercayainya. 2. Tidak membingungkan dan cukup ekspresif. Dalam berkomunikasi hendaknya tenaga medis menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh pasien. Komunikasi non verbal harus mendukung komunikasi verbal yang disampaikan. Semua informan yang Universitas Sumatera utara 134 Universitas Sumatera Utara peneliti wawancarai mengaku akan mengajak anak berkenalan terlebih dahulu untuk dapat mendekatkan diri dengan anak. Informan keempat mengaku akan menganggap pasien anaknya sebagai temannya sendiri sehingga ia mampu bersikap selayaknya anak-anak. Ia juga akan memuji kecantikankegantengan pasien anaknya tersebut agar dapat memancing anak untuk mau berkomunikasi dengannya. Beliau juga cukup ekspresif ketika berkomunikasi dengan anak, dengan riangnya beliau akan mengajak anak untuk terus berbicara. Menurut informan pertama, ketiga, kelima, keenam, ketujuh, kedepan dan kesembilan pada kunjungan pertama anak ke dokter gigi, dokter gigi perlu memperkenalkan semua alat-alat yang ia gunakan agar mampu menjawab rasa penasaran anak. Dalam menjelaskan nama dan fungsi dari alat-alat tersebut, mereka akan menggunakan bahasa yang sederhana dan tidak bertele-tele agar dapat memudahkan anak untuk mengerti. Informan kelima juga mengaku sering menceritakan bagaimana keadaan gigi anak kepada anak tersebut agar anak dapat mengerti betapa giginya sangat perlu untuk diobati. Beliau akan menggunakan bahasa sederhana dalam menjelaskan kondisi gigi anak agar anak tidak merasa kebingungan dalam menerima pesan yang disampaikan oleh beliau. 3. Bersikap positif Bersikap positif dapat ditunjukkan dengan sikap yang hangat, penuh perhatian dan penghargaan terhadap pasien. Sikap yang hangat dan ramah ditunjukkan semua informan ketika mereka mengajak anak untuk berkenalan, menanyakan siapa nama, sekolah dimana, rumahnya dimana, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan perhatian dokter gigi kepada pasien anaknya. Tak jarang juga beberapa informan mau memuji keberanian dan kehebatan pasien anaknya setelah menyelesaikan proses perawatan gigi anak tersebut. Hal ini dilakukan agar anak tidak merasa takut lagi ketika bertemu dengan dokter gigi di masa mendatang. 4. Empati bukan simpati. Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan tenaga medis, karena dengan sikap ini tenaga medis akan mampu merasakan dan memikirkan Universitas Sumatera utara 135 Universitas Sumatera Utara permasalahan pasien seperti yang dirasakan dan dipikirkan oleh pasien. Seperti yang dikatakan oleh informan ketujuh, hal yang sangat diperlukan oleh dokter gigi agar dapat melaksanakan komunikasi terapeutik kepada pasien anak adalah mampu membawakan diri selayaknya anak-anak. Jika dokter gigi dapat menempatkan dirinya di posisi pasien anaknya, maka dokter gigi tersebut akan lebih mengerti akan rasa takut yang sedang dialami anak tersebut. Ia juga akan lebih sabar dalam membujuk-bujuk anak tersebut karena ia menyadari sudah sepantasnya diumur yang masih muda dan belum memiliki banyak pengalaman bersama dokter gigi, anak akan merasa sangat ketakutan melihat semua peralatan dokter gigi yang terlihat asing baginya. 5. Mampu melihat permasalahan pasien dari kacamata pasien. Dalam memberikan asuhan keperawatan tenaga medis harus berorientasi pada pasien. Untuk itu agar dapat membantu memecahkan masalah pasien, tenaga medis harus memandang permasalahan tersebut dari sudut pandang pasien. Hampir semua informan yang peneliti wawancarai berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan pendekatan dengan pasien anaknya. Dokter gigi juga harus bisa memahami rasa takut anak sesuai dengan psikologi anak. Oleh karenanya dokter gigi dapat lebih sabar lagi dalam membujuk-bujuk pasien anaknya. 6. Menerima pasien apa adanya. Jika seseorang diterima dengan tulus, seseorang akan merasa nyaman dan aman dalam menjalin hubungan intim terapeutik. Dokter gigi tidak boleh menyalahkan pasien anaknya mengenai permasalahan gigi mereka, melainkan akan lebih baik jika dokter gigi mengingatkan dan mengajarkan anak bagaimana cara merawat gigi yang baik dan benar. Jika dokter gigi secara langsung menyalahkan anak yang sering memakan coklat dan permen sehingga membuat giginya rusak, maka anak akan merasa disudutkan. Hal ini dapat membuat anak merasa malas ketika diajak ke dokter gigi karena ia takut akan disalahkan mengenai kondisi giginya. 7. Sensitif terhadap perasaan pasien. Tanpa kemampuan ini hubungan terapeutik sulit terjalin dengan baik, karena jika tidak sensitif tenaga medis dapat saja melakukan pelanggaran Universitas Sumatera utara 136 Universitas Sumatera Utara batas, privasi dan menyinggung perasaan pasiennya. Ketika informan kelima sedang menangani anak dari informan ke-13, peneliti melihat bahwa informan kelima sangat peka terhadap perasaan pasien anaknya. Beliau tidak mau memaksa ketika sedang melakukan tindakan medis. Ketika beliau melihat wajah pasiennya yang mengkerut karena kesakitan maka beliau pun memberhentikan sejenak tindakan medisnya. Hal ini dilakukan oleh beliau agar anak tidak trauma dengan tindakan dokter gigi. Bahkan ketika pasien anaknya susah untuk dibujuk tetapi melihat ada pasien yang mengantri diluar informan keempat dan kelima juga mengaku berusaha berbicara kepada orang tua pasien agar mereka mau mengalah untuk mengantri diluar. Jika salah menggunakan kata-kata, bisa saja kedua informan tersebut menyinggung perasaan orang tua pasiennya. Untuk itu dalam menolak ataupun menyuruh orang tua pasien untuk membawa anaknya terlebih dahulu ke rumah, dokter gigi juga harus sensitif dan memilih kata-kata yang sopan sehingga tidak menyinggung perasaan pasiennya. 8. Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu pasien ataupun diri tenaga medis sendiri. Seseorang yang selalu menyesali tentang apa yang telah terjadi pada masa lalunya tidak akan mampu berbuat yang terbaik hari ini. Sangat sulit bagi tenaga medis untuk membantu pasiennya, jika ia sendiri memiliki segudang masalah dan ketidakpuasaan dalam hidupnya. Meskipun ada sebanyak lima dari sembilan informan yang mengaku bahwa kondisi fisik, mood, ataupun beban pikiran mereka berpengaruh terhadap rasa sabar mereka dalam membujuk anak, namum mereka tetap berusaha semaksimal mungkin untuk melupakan setiap permasalahan yang mereka miliki agar dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasiennya Musliha Siti Fatmawati, 2010:114. Dalam komunikasi tearapeutik, bukan hanya komunikasi verbal yang harus diperhatikan melainkan juga komunikasi non verbal. Komunikasi non verbal sangat berpengaruh dalam berhasil tidaknya komunikasi terapeutik karena pesan non verbal menambah arti terhadap pesan verbal. Secara umum, komunikasi non verbal terdiri dari : Universitas Sumatera utara 137 Universitas Sumatera Utara a. Kinesics Kinesics merupakan proses komunikasi yang dilakukan melalui pergerakan tubuh. Seperti yang dikatakan oleh informan kedua, begitu beliau melihat pasien anaknya, beliau langsung tahu apakah anak tersebut dapat dibujuk atau tidak. Beliau dapat menyimpulkan seperti itu karena beliau melihat dari gerakan tubuh dan psikologi anak tersebut. Anak yang sedang memegang erat bagian tubuh ataupun pakaian orang tuanya menunjukkan bahwa ia sangat takut dan merasa asing dengan kehadiran dokter gigi. Banyak gerakan tubuh anak yang ditangkap dan disimpulkan oleh dokter gigi untuk melihat perasaan pasien anak tersebut. Seperti halnya anak dari informan ke-13, anak tersebut memang sudah pernah sebelumnya ke dokter gigi, meskipun mengaku tidak takut lagi bertemu dengan dokter gigi namun tetap saja ekpresi wajahnya yang menutup mata ketika ditangani oleh dokter gigi menunjukkan bahwa ia masih merasa takut dengan tindakan yang dilakukan oleh dokter gigi. b. Paralanguage Paralanguage menunjukkan pada bahasa itu sendiri. Vocal dapat membedakan emosi yang dirasakan satu orang dengan orang lain. Dokter gigi harus dapat berbicara dengan irama yang bagus, volume yang pas dan kejernihan suara agar dapat memaksimalkan proses komunikasi terapeutik. Dokter gigi harus bisa berbicara dengan irama yang lembut dan volume yang tidak terlalu besar agar dapat membuat pasien anaknya merasa nyaman. Meskipun terkadang kesabaran dokter gigi sudah habis dalam membujuk anak, para informan akan tetap berusaha untuk tidak berbicara dengan volume yang berlebihan yang dapat membuat anak merasa semakin takut. c. Proxemics Proxemics adalah ilmu yang mempelajari tentang jarak hubungan dalam interaksi sosial. Jarak yang biasa digunakan informan ketika sedang berkomunikasi dengan pasiennya adalah jarak intim sampai dengan 18 inchi. Jarak ini digunakan oleh informan dapat bisa lebih mengenal pasien anaknya dengan jarak dekat. Jarak ini juga diharapkan oleh informan dapat Universitas Sumatera utara 138 Universitas Sumatera Utara membuat anak merasa lebih dekat dengan dokter giginya. Seperti yang dikatakan oleh informan keempat dan keenam, mereka akan mmenyuruh pasien anaknya terlebih dahulu untuk duduk berhadapan dengannya agar dapat memudahkan proses perkenalan. Jika sudah selesai berkenalan barulah kemudian mereka menyuruh pasien anaknya untuk duduk di kursi pasien. Dalam proses tindakan medisnya, informan juga diharuskan memakai jarak intim dengan pasien anaknya agar memudahkan fase kerja. d. Sentuhan Sentuhan merupakan alat komunikasi yang sangat kuat, dapat menimbulkan reaksi positif dan negatif tergantung dari orang yang terlibat dan lingkungan disekeliling interaksi tersebut. Beberapa informan mengaku bahwa mereka tidak mau memaksa untuk melakukan tindakan medis kepada pasien anaknya meskipun keadaan gigi anak tersebut sudah sangat kritis. Karena jika dipaksa, tentunya dengan orang tua yang memegang kuat anaknya dan dokter gigi memaksa membuka mulut anak dapat menimbulkan rasa trauma dalam diri anak. Ketika peneliti mengamati cara kerja informan keempat, peneliti melihat saat beliau ingin memperbaiki posisi duduk pasiennya, maka ia akan memindahkan posisi kepala pasiennya dengan lembut. Ia kemudian mengarahkan mulut pasien anaknya agar posisinya pas di depan wajah beliau dengan lembut. Karena jika anak diperlakukan dengan kasar dapat membuat anak merasa tidak nyaman. e. Cultural Artifact Artifact adalah hal-hal yang ada dalam interaksi seseorang dengan orang lain yang mungkin bertindak sebagai rangsangan non verbal seperti baju, kosmetik, parfum dan lain-lain. Cultural artifact yang peneliti temukan dalam penelitian ini adalah para informan yang berusaha untuk tidak memakai masker dan sarung tangan ketika melayani pasien anak yang sangat ketakutan. Hal ini dilakukan mereka agar anak merasa suasana tersebut tidak terlalu kaku dan juga karena sebagian besar anak merasa sangat asing dengan masker dan sarung tangan dokter gigi. f. Gaya Berjalan Universitas Sumatera utara 139 Universitas Sumatera Utara Gaya berjalan tentu dapat menunjukkan pesan tertentu. Dari gaya berjalan pasien anaknya, tentu dokter gigi langsung dapat mengetahui perasaan anak tersebut. Anak yang berjalan dengan lemas dan ditarik orang tuanya menandakan bahwa anak tidak bersemangat bertemu dengan dokter tersebut. Anak yang berjalan bersembunyi di belakang orang tuanya atau sedang digendong oleh orang tuanya menandakan bahwa anak tersebut merasa takut dengan dokter gigi. Sedangkan anak yang datang dengan gembira menandakan bahwa anak sedang bersemangat bertemu dengan dokter gigi. g. Penampilan fisik umum Dari penampilan fisik pasien anaknya, dokter gigi dapat melihat bagaimana kondisi anak tersebut. Pipi bengkak menandakan bahwa ada yang tidak beres dengan gigi anak tersebut. Pola nafas anak yang cepat menandakan bahwa anak tersebut sedang merasa cemas. Seperti halnya anak informan ke-11 yang memejamkan matanya sewaktu dokter menyuntik bius giginya, hal ini menunjukkan bahwa ia sedang merasa sakit dan takut terhadap jarum suntik tersebut Musliha Siti Fatmawati, 2010 : 16. Dalam menjalankan komunikasi terapeutik tenaga kesehatan tidak boleh sembarangan memilih tekniknya, karena jika tekniknya kurang tepat maka dapat membuat komunikasi terapeutiknya tidak berjalan dengan lancar. Terdapat beberapa teknik komunikasi terapeutik Damaiyanti, 2008 : 15. Namun peneliti melihat hanya beberapa teknik saja yang dilakukan oleh informan dalam penelitian ini. Berikut adalah penjelasannya: a. Respon ‘Fasilitatif’ Respon fasilitatif ditunjukkan oleh informan ketika ia berkenalan dengan pasien anaknya. Mereka akan berusaha untuk merespon jawaban anak, saat ia mengajak anak untuk berkenalan maka ia akan berusaha untuk dapat membawakan diri selayaknya teman dari anak tersebut. Begitu juga ketika informan berusaha untuk menceritakan nama dan fungsi dari alat-alat medisnya mereka akan berusaha memberikan respon fasilitatif dari setiap pertanyaan yang disampaikan oleh pasien anaknya. Hal ini dilakukan agar dapat menjawab rasa penasaran anak. Universitas Sumatera utara 140 Universitas Sumatera Utara b. Storytelling bercerita Tujuh informan yang mengaku sering memperkenalkan nama dan fungsi dari alat yang ia gunakan mengaku harus menggunakan bahasa anak yang sederhana agar mudah dimengerti oleh anak. Ketika informan kelima menjelaskan bagaimana keadaan gigi pasien anak tersebut kepada yang bersangkutan, beliau akan berusaha menjelaskannya dengan bahasa yang sangat sederhana selayaknya bahasa anak-anak. Dokter gigi akan menggunakan bahasa anak untuk masuk ke area berpikir mereka. c. Saling bercerita Teknik ini biasanya lebih efektif dibandingkan dengan teknik storytelling atau bercerita, karena dalam teknik ini bukan hanya dokter gigi yang bercerita melainkan anak juga dipancing untuk menceritakan kembali apa yang diketahuinya. d. Tiga harapan Sebenarnya dalam penelitian ini teknik tiga harapan tidak dijalankan oleh informan. Namun, informan keenam mengaku sering menanyakan cita- cita pasien anaknya agar dapat mengajak anak tersebut mau bekerja sama. Beliau mengaku jika kebanyakan anak perempuan memiliki cita-cita menjadi seorang dokter, maka beliau akan mengatakan bahwa seseorang yang memiliki kondisi gigi yang rusak tidak akan dapat menjadi seorang dokter. Begitu juga dengan pasien anak yang laki-laki, pada umumnya memiliki cita-cita menjadi seorang polisi ataupun tentara. Informan keenam akan mengatakan bahwa jika ingin menjadi seorang tentara ataupun polisi harus memiliki gigi yang sehat dan terawat. Hal ini diakui beliau berhasil bagi sebagaian anak. Sedangkan untuk teknik non verbalnya, para informan belum ada yang melakukannya. Mungkin disebabkan karena pertemuan dokter gigi dengan pasien anak tidak sesering dan selama pertemuan antara dokter umum ataupun dokter anak dengan pasien anaknya sehingga teknik non verbal belum dilakukan oleh dokter gigi. Universitas Sumatera utara 141 Universitas Sumatera Utara Menurut Egan, ada lima sikap ataupun cara untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi yang terapeutik bagi tenaga medis , yaitu: 1. Berhadapan. Artinya dari posisi ini adalah “Saya siap untuk Anda”. Informan keempat dan informan keenam sering mengajak anak duduk berhadapan dengannya pada saat berkenalan. Hal ini mereka lakukan agar komunikasi dapat berjalan dengan efektif. Namun bukan hanya dua orang informan tersebut yang melakukan sikap ini, hampir semua informan yang peneliti wawancarai akan duduk berhadapan dengan pasiennya ketika mengajak orang tersebut berkenalan dan melakukan pendekatan. 2. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai pasien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi. Mempertahankan kontak mata dengan pasien anak tak jarang dapat membuat anak merasa ketakutan. Ada baiknya dokter gigi jangan menatap mata anak dengan tatapan yang sinis, melainkan dengan tatapan yang hangat dan bersahabat. 3. Membungkuk ke arah pasien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau mendengar sesuatu. Hal ini dilakukan oleh para informan untuk dapat mendekatkan diri dengan pasien anaknya. 4. Mempertahankan sikap terbuka. Tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi. Salah satu sikap yang menunjukkan keterbukaan dokter gigi dalam berkomunikasi dengan anak adalah dengan tidak melipat tangan ketika berkomunikasi dengan pasiennya. Apalagi sampai bertopang dagu sewaktu berkomunikasi dengan pasiennya, hal tersebut menunjukkan bahwa dokter gigi tidak bersemangat dalam melayani pasiennya. 5. Tetap rileks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberikan respon kepada pasien. Ketika peneliti melihat informan ketiga dalam menangani anak dari informan ke-12, meskipun pasien Universitas Sumatera utara 142 Universitas Sumatera Utara anaknya terus menangis sewaktu ditangani, beliau tetap rileks mengerjakan pekerjaanya. Suara tangisan anak informan ke-12 tidak mempengaruhi kinerja beliau, beliau juga tidak terlihat gugup, beliau terlihat rileks mengobati gigi pasiennya Musliha Siti Fatmawati, 2010 : 121. Selanjutnya, ada tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi terapeutik yaitu sebagai berikut: 1. Ikhlas Semua perasaan negatif yang dimiliki oleh pasien harus bisa diterima dan pendekatan individu dengan verbal maupun non verbal akan memberikan bantuan kepada pasien untuk mengkomunikasikan kondisinya secara tepat. Dalam melayani pasien anaknya, dokter gigi harus mampu melayani mereka dengan ikhlas. Jika mereka dapat melakukannya dengan ikhlas, maka mereka akan dapat memberikan pelayanan yang maksimal dari diri mereka terhadap pasien anaknya. Dan kesabaran mereka juga akan bertambah jika mereka mau melayani pasien anaknya dengan ikhlas. 2. Empati Merupakan sikap jujur dalam menerima kondisi pasien. Objektif dalam memberikan penilaian terhadap kondisi pasien dan tidak berlebihan. Dokter gigi harus mampu menerima kondisi gigi pasiennya meskipun sudah sangat parah. Mereka tidak boleh menyalahkan anak tersebut mengenai kondisi mulutnya, hal ini dapat membuat anak merasa disalahkan dan disudutkan. Jika dokter gigi dapat menunjukkan sikap empatinya kepada pasien, maka secara langsung pasien juga akan merasa lebih dekat dan dihargai oleh dokter tersebut. 3. Hangat Kehangatan dan sikap permisif yang diberikan diharapkan pasien dapat memberikan dan mewujudkan ide-idenya tanpa rasa takut sehingga pasien dapat bisa mengekspresikan perasaannya lebih mendalam. Suasana yang hangat dan sikap dokter gigi yang ramah diakui oleh informan ke-12 dan ke- 13 membuat mereka merasa nyaman dan ingin datang kembali ke tempat praktek dokter gigi tersebut. Dengan menunjukkan sikap yang ramah, hal itu Universitas Sumatera utara 143 Universitas Sumatera Utara dapat menjadi magnet bagi dokter gigi yang dapat menarik pasiennya agar tetap datang dan berobat di praktek gigi tersebut Musliha Siti Fatmawati, 2010 : 135. Universitas Sumatera utara Universitas Sumatera Utara

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan