126
Universitas Sumatera Utara
proses untuk menciptakan hubungan antara tenaga medis dengan pasien, untuk mengenal kebutuhan pasien dan menentukan rencana tindakan serta kerjasama
dalam memeuhi kebutuhan tersebut Musliha Siti Fatmawati, 2010:24. Komunikasi terapeutik masuk ke dalam komunikasi dua arah, dimana
komunikator mengirimkan pesan dan akan diterima oleh komunikan setelah disimpulkan kemudian komunikan akan mengirimkan umpan balik kepada
komunikator tersebut. Terdapat lima komponen dalam komunikasi terapeutik, yaitu :
a. Pengirim : Yang menjadi asal dari pesan. Dalam penelitian ini yang
menjadi pengirim adalah dokter gigi. b. Pesan
: Suatu unit informasi yang dipindahkan dari pengirim kepada penerima. Dalam penelitian ini yang menjadi pesan adalah
informasi dan bujukan dokter gigi yang ditujukan kepada pasien anak.
c. Penerima : Yang mempersepsikan pesan, yang perilakunya dipengaruhi
oleh pesan. Dalam penelitian ini yang menjadi penerima adalah pasien anak.
d. Umpan balik : Respon dari penerima pesan kepada pengirim pesan. Yang menjadi umpan balik dalam penelitian ini adalah tangisan,
ucapan, sikap dan perubahan tindakan anak setelah menerima pesan dari dokter gigi.
e. Konteks : Tatanan dimana komunikasi terjadi. Yang menjadi konteks
dalam penelitian ini adalah tempat praktek bersama dokter gigi. Musliha Siti Fatmawati, 2010 : 114.
4.3.1 Proses Komunikasi Terapeutik
Dalam melaksanakan komunikasi terapeutik ada beberapa tahap yang akan dilalui oleh tenaga medis, yaitu fase preinteraksi, fase orientasi, fase kerja,
dan fase terminasi Musliha Siti Fatmawati, 2010 : 116. Fase preinteraksi merupakan masa dokter gigi untuk melakukan persiapan sebelum berinteraksi
langsung dengan pasiennya. Fase orientasi adalah masa dimana dokter gigi harus dapat menjalin hubungan yang baik dengan pasiennya, karena pada masa inilah
Universitas Sumatera utara
127
Universitas Sumatera Utara
dokter gigi mendapat kesempatan untuk membentuk citranya di depan pasiennya. Sedangkan fase kerja adalah tahap yang paling penting bagi dokter gigi, dimana ia
harus tetap menerapkan komunikasi terapeutik agar proses pengobatannya berjalan dengan lancar. Yang terakhir adalah fase terminasi, yang merupakan
tahap akhir dalam komunikasi terapaeutik ini dan akhir dari pertemuan antara dokter gigi dan pasiennya.
Dari hasil temuan peneliti di lapangan, keempat tahap diatas memang sudah dilakukan oleh sebagian besar dokter gigi. Peneliti mendapatkan temuan
bahwa dalam fase preinteraksi, dari sembilan dokter gigi yang peneliti wawancarai, ada empat orang informan yang mengaku jika kondisi fisik, mood,
ataupun beban pikiran mereka tidak mempengaruhi rasa sabar mereka dalam melayani pasien anak. Namun ada lima orang informan yang mengaku kalau
kondisi fisik, mood, dan beban pikiran mereka mempengaruhi rasa sabar mereka dalam melayani pasien anak. Meskipun begitu, kelima informan tersebut sangat
berusaha untuk melupakan segala permasalahan yang sedang dihadapinya agar dapat semaksimal mungkin memuaskan semua pasiennya.
Tahap kedua yang harus dilakukan dokter gigi adalah fase orientasi, yang merupakan masa perkenalan antara dokter dengan pasiennya. Semua informan
yang peneliti wawancarai, memulai tahap ini dengan mengajak pasien anaknya berkenalan terlebih dahulu. Mereka akan menanyakan nama, sekolah, kelas
berapa, dan alamat rumah untuk memancing anak agar mau bercerita dengannya. Mereka juga harus bisa membawakan diri selayaknya anak-anak, agar pasien
anaknya tidak takut kepada mereka dan mau menjawab pertanyaannya. Tidak jarang juga mereka memuji kecantikankegantengan pasien anaknya dan memuji
barang-barang yang mereka gunakan agar anak merasa diperhatikan oleh dokter gigi tersebut. Menurut beberapa informan yang peneliti wawancarai, semua anak
akan merasa sangat senang jika kita memuji barang-barang yang ia gunakan, hal itu akan dapat memancing anak untuk mau berkomunikasi dengan dokter.
Pada masa perkenalan ini, dokter gigi tidak akan memanggil dirinya dengan panggilan dokter. Mereka lebih memilih untuk memanggil dirinya dengan
sebutan kakak, tante atau bibi. Hal ini mereka lakukan karena sudah banyak anak yang mempunyai citra buruk terhadap panggilan ‘dokter’. Oleh karenanya,
Universitas Sumatera utara
128
Universitas Sumatera Utara
mereka harus menggunakan sebutan yang dapat membuat anak merasa lebih dekat dengannya. Selain itu, dokter gigi juga akan memanggil anak dengan nama
panggilannya di rumah, agar anak merasa lebih dekat lagi dengan dokter gigi tersebut. Dokter gigi juga tidak akan memaksa anak untuk langsung duduk di
kursi pasien, karena sebagian anak menganggap kursi itu menyeramkan. Oleh karenanya ketika mengajak anak berkenalan, dokter gigi akan meminta anak
duduk di kursi yang berhadapan dengannya agar komunikasi juga bisa berjalan lebih efektif.
Pada kunjungan pertama anak, dokter gigi mengaku tidak pernah memaksa agar tindakan medis dilakukan pada hari itu juga, karena hal itu dapat
menimbulkan rasa trauma dalam diri anak. Jika anak merasa sangat takut dengan dokter gigi, maka pada kunjungan pertama dokter hanya mengajaknya untuk
berkenalan dan memberikan obat penghilang rasa sakit. Setelah rasa sakitnya mulai berkurang, barulah dokter gigi meminta orang tuanya untuk membawanya
kembali ke tempat praktek agar dilakukan tindakan selanjutnya. Pada tahap ketiga yaitu fase kerja yang merupakan tahap terpenting bagi
dokter gigi, mereka harus mampu melakukan tindakan yang tidak menambah rasa sakit bagi anak. Bagi anak yang belum pernah ke dokter gigi sama sekali tentu
akan merasa sangat ketakutan ketika melihat peralatan medis dokter gigi yang masih asing baginya. Disinilah kesempatan dokter gigi untuk memperkenalkan
semua alat-alat medis yang ia gunakan beserta fungsinya, agar rasa penasaran anak dapat terjawab. Dokter gigi tidak boleh menggunakan kata-kata secara
sembarangan ketika memperkenalkan alatnya ke pasien anak, karena bisa saja penjelasannya tersebut dapat membuat anak merasa semakin takut, seperti
pengalaman yang diceritakan oleh informan keempat. Ketepatan dan kesederhanaan kata sangat dibutuhkan oleh dokter gigi ketika ia berkomunikasi
dengan pasien anak. Menurut informan ketiga, pada fase kerja pasien anak jangan sampai
dibohongi. Ketika diawal dokter gigi berjanji hanya akan melihat kondisi gigi anak, maka jangan sampai ia melanggar perjanjian tersebut lalu melakukan
tindakan medis terhadap pasien anak tersebut. Jika hal itu terjadi, anak tidak akan percaya lagi dengan perkataan dokter gigi. Ketika sedang melayani pasien anak
Universitas Sumatera utara
129
Universitas Sumatera Utara
yang sangat ketakutan merupakan tantangan tersendiri bagi setiap dokter gigi. Ada beberapa cara yang mereka lakukan agar proses pengobatan gigi anak dapat
berhasil. Cara yang paling banyak dilakukan oleh informan adalah dengan bujukan. Anak akan dibujuk-bujuk agar mau dilakukan perawatan gigi. Tidak
jarang juga dokter gigi memberikan hadiah berupa sikat gigi, odol atau mainan anak lainnya supaya anak mau diatur.
Peneliti sangat tertarik dengan tindakan yang dilakukan oleh informan kedepalan pada saat sedang melayani pasien anak yang sangat ketakutan. Ketika
bujukan sudah tidak dapat diandalkan lagi, maka beliau memilih untuk mempraktekkan tindakan medisnya di tangannya untuk membuktikan kepada
anak bahwa tindakannya tersebut tidak akan menyakiti anak. Jika ingin menyuntik bius anak, beliau akan mempraktekkannya dengan menyuntikkan sedikit jarum
suntik tersebut ke kulit jari jempol tangannya. Karena kulit di sekitar jari jempol bersifat lebih tebal maka ketika disuntik tidak akan mengeluarkan darah. Setelah
itu ia akan menunjukkannya kepada anak dan mengatakan bahwa hal yang sama akan terjadi kepada gigi anak itu. Sedangkan jika ingin membur gigi anak,
informan kedepalan tersebut juga akan mempraktekkannya di kuku jari jempol tangannya. Setelah itu ia akan menunjukkannya kepada anak dan mengatakan
bahwa hal yang sama akan terjadi kepada anak. Beliau mengaku hal ini cukup berhasil bagi sebagian besar anak.
Ada juga beberapa informan ketika ingin menyuntik bius gigi anak, akan mengatakan bahwa jarum suntik tersebut tidak akan menimbulkan rasa sakit yang
parah. Rasa sakitnya hanya seperti rasa sakit ketika digigit oleh semut merah karena jarum suntiknya memang khusus untuk anak padahal ukuran jarum suntik
akan sama untuk semua jenis usia. Ketika mereka ingin menyuntik gigi anak, maka mereka akan menyimpan jarum suntik tersebut dibalik punggungnya agar
anak tidak bisa melihatnya. Begitu juga dengan alat medis lainnya seperti tang, bur, dan lain-lain.
Cara lain yang dilakukan dokter gigi adalah dengan mengajak anak untuk terus berbicara sehingga dapat mengalihkan perhatian anak. Ketika anak tetap
merasa takut pada saat dokter gigi sedang mengobati giginya, dokter gigi dapat mengajak anak tersebut untuk terus berbicara mengenai hal-hal yang disukai anak
Universitas Sumatera utara
130
Universitas Sumatera Utara
pada umumnya, seperti film kartun sehingga perhatian anak dapat teralihkan. Cara ini juga diakui dokter gigi ampuh bagi sebagian anak.
Sama halnya seperti yang peneliti amati ketika informan kelima sedang menangani pasien anaknya, dimana ia tidak berusaha untuk memaksakan tindakan
medisnya agar cepat selesai. Ketika Daniel merasa kesakitan, beliau pun menghentikan sebentar pekerjaannya, ketika Daniel sudah merasa lega baru
kemudian ia melanjutkan pekerjaanya. Kesabaran dan bisa membawa diri selayaknya anak-anak diakui oleh informan ketujuh sebagai faktor yang sangat
mempengaruhi keberhasilan dokter gigi menangani pasien anaknya. Tahap terakhir dalam proses komunikasi terapeutik adalah fase terminasi,
yang merupakan akhir dari pertemuan antara dokter gigi dan pasiennya. Fase Terminasi terbagi dua, yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir. Ketika
dokter gigi sudah menyelesaikan tindakan medisnya, mereka juga harus tetap bersikap ramah dan bersahabat kepada pasien anak tersebut. Beberapa informan
mengaku akan tetap menjalin komunikasi dengan pasien anaknya meskipun sudah selesai mengobati anak tersebut. Mereka juga sering memotivasi pasien anaknya
dengan sering mengingatkan mereka untuk rajin menyikat gigi minimal dua kali sehari, pagi setelah sarapan dan malam sebelum tidur. Mereka juga
mempraktekkan cara menyikat gigi yang benar dengan menggunakan model gigi agar dapat memudahkan anak untuk mengerti.
Beberapa informan juga mengaku akan tetap memberikan semangat kepada pasien anaknya meskipun sudah selesai mengobati anak tersebut. Tidak
jarang juga mereka menyalam dan mengelus rambut pasien anaknya, juga meminta maaf kepada pasien anaknya jika ada tindakan mereka yang melukai
anak tersebut. Hal ini mereka lakukan agar anak tetap mengingat pengalaman menyenangkan mereka ketika bertemu dengan dokter gigi, sehingga pada
kunjungan berikutnya mereka tidak akan takut lagi bertemu dengan dokter gigi.
4.3.2 Manfaat Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik