Masyarakat Majemuk KAJIAN PUSTAKA

22

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Masyarakat Majemuk

Kemajemukan seringkali menarik perhatian karena dikaitkan dengan masalah konflik antar kelompok maupun disintegrasi sosial. Sebetulnya kemajemukan memiliki dinamika dan dimensi-dimensi sosial yang lebih luas secara sosiologis dari pada sekedar ada tidaknya konflik. Kita perlu mendalami dan memahami dinamika sosial interaksi aksi dan reaksi antar aktor yang bersifat tatap muka dan kasat mata sampai pola hubungan sosial social relationship yang mencakup hubungan hak dan kewajiban serta hubungan kekuasaan antar aktor yang bersifat mendalam, kompleks dan tidak kasat mata hidden. Tokoh penting yang menggambarkan tentang kemajemukan masyarakat Hindia Belanda adalah Furnivall 1939. Ciri masyarakat Hindia Belanda pada masa itu terdiri dari berbagai kelompok etnik yang tinggal bersama dalam suatu wilayah namun tidak membaur dan masing-masing memiliki suatu perangkat pranata sosial sistem keluarga dan kekerabatan, agama, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya yang khas secara formal terpisah dan memenuhi kebutuhannya sendiri self contained serta tidak memiliki suatu cita-cita yang sama common social will. Di Hindia Belanda, kelompok etnik yang secara sosial-budaya terpisah tidak membaur ini hanya bertemu di pasar untuk melakukan perdagangan dan tukar menukar barang dan jasa. Integrasi sosial dalam masyarakat yang seperti ini dikendalikan oleh suatu Universitas Sumatera Utara 23 kekuatan dominan. Hal ini tercermin dalam stratifikasi sosial masyarakat Hindia Belanda yang terstruktur berdasarkan perbedaan rasial. Bangsa Eropa dan kulit putih menduduki strata teratas, kemudian ras Timur Asing Cina, India, Arab, dan lain-lain pada posisi kelas menengah dan golongan pribumi yang terdiri dari berbagai kelompok etnik yang beragam berada pada lapisan kelas bawah. Kondisi ini pada masa kemerdekaan mengalami perubahan sehingga teori Furnivall tidak relevan lagi, namun gambaran yang diberikannya tetap penting sebagai latar belakang sejarah. Walaupun kemajemukan seperti yang digambarkan Furnivall tidak ada lagi dalam masyarakat Indonesia saat ini, namun bangsa Indonesia tetap merupakan masyarakat majemuk. Karena itu, kondisi kemajemukan tetap perlu untuk diperhatikan. Schemerhon dalam Paulus wirutomo 2012 misalnya, mengajukan indikator untuk menggambarkan kondisi kemajemukan. Ia mengemukakan adanya 4 macam kemajemukan, yaitu kemajemukan ideologis adanya perbedaan tentang kepercayaan atau doctrinal beliefs, kemajemukan politis banyaknya satuan politik yang relatif otonom, kemajemukan kultural banyaknya unit-unit kebudayaan yang berbeda, dan kemajemukanstruktural banyaknya kelas sosial dalam stratifikasi. Jenis kemajemukan yang dikemukakan Schemerhon ini masih relevan untuk digunakan pada masa kini. Nasikun 2009:36 menyatakan bahwa masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang menganut berbagai sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehinggan para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai suatu Universitas Sumatera Utara 24 keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Karakteristik yang disebutkan Pierre L. Van den Berghe dalam Nasikun 2009:40 merupakan sifat-sifat dari masyarakat majemuk 1 Terjadi segmentasi ke dalam bentuk-bentuk kelompok subkebudayaan yang berbeda satu dengan yang lain. 2 Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi kedalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplomenter. 3 Kurang mengembangkan konsensus diantar para anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar. 4 Secara relatif seringkali mengalami konflik diantara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. 5 Secara relatif, integrasi sosial tumbuh diatas paksaan coercion dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi 6 Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari kelompok etnis yang beragam. Hubungan antara satu kelompok etnis dengan kelompok etnis lainnya beragam, ada yang cukup harmonis dan ada yang sering diwarnai dengan konflik. Menurut Abdullah 2001, pola hubungan antar etnis itu ditentukan oleh tiga corak ruang yang menentukan karakter dari hubungan antar etnis itu sendiri. Pertama, berbagai etnis Indonesia tersebar dalam wilayahnya sendiri-sendiri dengan batas-batas fisik physical boundary yang jelas menyebabkan pendefinisian diri lebih terikat pada daerah asal dan memiliki klaim terhadap asal usulnya sebagai pewaris Universitas Sumatera Utara 25 tradisi dan wilayah. Kedua, berbagai etnis di Indonesia tersebar di berbagai tempat dengan batas-batas fisik yang semakin tidak jelas dan memiliki sejarah masa lalu yang berbeda dengan etnis-etnis yang terlibat dalam interaksi sosial sehari-hari. Ketiga, munculnya wilayah baru seperti sub urban yang dibuka di berbagai tempat yang menyebabkan pertemuan antar etnis dalam suatu wilayah yang telah mengalami redefinisi atas status tanah dan wilayah yang bebas dari pemilikan suatu etnis. Dalam situasi semacam ini setiap etnis ditempatkan dalam posisi yang relatif egaliter Abdullah, 2001: 38. Perlunya pembahasan tentang kemajemukan sebagai bentuk ideologi yang mengarah pada kesetaraan sosiokultural berangkat dari persoalan dalam masyarakat majemuk karena seringnya terjadi gajala dimana kelompok minoritas selalu didiskriminasi atau dianggap sebagai masyarakat “kelas dua.”Hal ini terlepas apakah golongan minoritas tersebut didiskriminasi secara legal formal atau ilegal informal diskriminasi sosial budaya, seperti yang terjadi di negara Arika Selatan sebelum direformasi atau pada zaman penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang di Indonesia. Ada yang didiskriminasi secara sosial budaya dalam bentuk kebijakan pemerintah nasional dan pemerintah setempat seperti yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Hal yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak ialah menempatkan hak-hak kelompok minoritas yang semula ditempatkan sebagai “warga kelas dua” dalam struktur sosial yang diubah posisinya menjadi masyarakat majemuk dalam kesetaraan. Universitas Sumatera Utara 26

2.2. Integrasi Sosial