Toleransi dalam Keragaman Etnik

71

4.3.2. Toleransi dalam Keragaman Etnik

Istilah budaya toleransi tampaknya belum banyak dikenal dalam wacana sosial-politik Indonesia, karena selama masa otoriter Orde Baru, toleransi menjadi salah satu nilai yang dimobilisasikan dan diintroduksikan secara represif dalam ideologi uniformitas Pancasila. Beberapa pakar kebudayaan mengungkapkan bahwa nilai toleransi bukanlah sebuah nilai yang hadir pada dirinya sendiri. Kadar toleransi bersumber dari adanya nilai empati yang secara inherent sudah ada dalam hati setiap manusia. Empati merupakan kemampuan hati nurani manusia untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, kemampuan untuk ikut bergembira ataupun berduka dengan kegembiraan dan kedukaan orang lain. Semakin tinggi kadar empati seseorang, semakin tinggi pula kemampuan orang itu membangun nilai toleransi, yaitu kemampuan untuk menerima dan menghargai adanya perbedaan. Masyarakat Bandar Selamat telah mempraktekan dalam kehidupan sehari-hari mereka sikap toleransi, baik toleransi dalam kehidupan antar-etnik maupun dalam kehidupan antar umat beragama. Sehingga, masyarakat yang mempunyai latarbelakang etnik yang berbeda merasakan ada rasa saling menghargai dan menghormati dari masyarakat yang berbeda tersebut, sehingga, konflik antar agama dan etnik dapat dibendung. Sikap toleransi tersebut dijadikan sebagai pegangan hidup dan dijaga oleh masyarakat Bandar Selamat sehingga bisa hidup harmonis dan saling mengisi dalam setiap kekurangan dan perbedaan yang ada. Sebagaimana hasil wawancara dengan pak Sayuti sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara 72 “Masyarakat di kelurahan ini memegang prinsip “Melayu, Jawa, Batak, dan yang lain sama-sama pendatang jadi lebih baik mengutamakan kerja sama dari pada mencari masalah yang hanya merugikan semua dan gak ada untungnya.” Bahkan pada waktu pembangunan masjid pun orang-orang dari berbagai etnik ikut bekerja membangun. Hal tersebut di atas,merupakan manifestasi rasa dari kesaksian bersama bahwa sudah sepantasnyalah perjalanan kehidupan ini berlangsung seirama, serasi dan sekeyakinan, agar kehidupan rukun yang telah dipelihara selama puluhan tahun akan tetap awet dalam bingkai keberagaman sebagaimana cita-cita dan amanat Bhineka Tunggal Ika. Gejolak yang sering terjadi dalam mewarnai kehidupan masyarakat di Bandar Selamat dapat diatasi dengan baik tanpa harus melalui konflik yang berkepanjangan seperti yang terjadi di berbagai daerah. Hal ini seperti yang diungkapkan pak Mukhtar sebagai berikut: “Masyarakat disini saling memahami perbedaan yang ada dan mengerti apa yang harus mereka perbuat kalau ada perbedaan yang terjadi. Pernah ada perbedaan pendapat saat pembentukan panitia pembangunan masjid, masalahnya ada orang-orang yang merasa tidak pantas dibidangnya karena tidak punya kemampuan untuk menanggungjawabi tugasnya akan tetapi selaku penasehat, saya mengarahkan bahwa perkara kepanitian ini cuma proses belajar untuk masing-masing orang sedangkan tanggung jawab adalah milik bersama...” Berdasarkan pernyataan diatas, toleransi dalam berbeda pendapat merupakan hal yang tidak akan bisa dipungkiri mengingat setiap orang memiliki cara berfikir yang berbeda dan beragam. Perbedaan tersebut berasal dari berbagai faktor seperti faktor budaya, pendidikan, emosional, dan lain-lain. Universitas Sumatera Utara 73 Jika kita berkaca pada masa yang silam, berjuta-juta nyawa telah melayang dan banyak orang menderita akibat intoleransi yang terjadi di berbagai negara. Samuel Huntington merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antar masyarakat di masa depan yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya. Blok-blok dunia juga akan banyak ditentukan oleh kepemihakan terhadap agama dan kebudayaan. Kutipan pernyataan futurolog ini hanya untuk mengingatkan bahwa kebudayaan tidak jarang membangun blok-blok yang dapat menimbulkan ketegangan dan bahkan peperangan. Masyarakat terutama yang mempunyai karakter multietnik dan multiagama perlu senantiasa menggali wawasan kebangsaannya untuk menghindari ketegangan-ketegangan baru. Konflik horizontal antar kelompok masyarakat tertentu di Indonesia Ambon, Kupang, Sambas, Palangkaraya, Sampit, Papua, Poso, Lombok, Tasikmalaya, Jakarta, Solo, Surabaya, dll seharusnya menggugah bangsa ini untuk kembali merenungi pertanyaan-pertanyaan mendasar.

4.3.3. Konflik Yang Terjadi Pada Masyarakat