81
di beberapa lingkungan, Tadarusa Ibu-ibu, PKK, dan Yasinan. Kegiatan tersebut juga melibatkan seluruh etnik kecuali Tadarusan dan Yasinan hanya dilaksanakan oleh
etnik-etnik yang beragama Islam saja. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat menciptakan komunikasi yang cukup baik di antara masyarakat ketika berkumpul di forum-forum
tersebut sebagaimana dijelaskan oleh pak Rijal sebagai berikut: “Ukhuwah antar etnik di sini sering terjadi dan itu
kami pelihara selama bertahun-tahun melalui forum- forum yang ada, sehingga sudah melekat dalam diri
kami ukhuwah tersebut.”
4.4.2. Masjid sebagai wadah Dalam Pendidikan Multikultural Kepada Masyarakat
Bandar Selamat dikenal bukan hanya dengan masyarakat multietnik saja. Tetapi juga, dengan sebuah konstruksi sosial yang religius, yang terlihat di masjid.
Masjid tersebut diberi nama Al-Hikmah. Dalam menyulam selembar kain multikultural dan mengkonstruksi suatu keharmonisan, sangat dibutuhkan peran dari
masjid untuk memberi suatu pengetahuan mengenai keindahan sebuah hubungan yang terintegrasikan dalam kebersamaan. Masjid sebagai wadah mempunyai peran
besar dalam mensosialisasikan kepada ummatnya untuk memelihara sebuah kerukunan hidup antar umat beragama dan antar etnik. Disamping pembentukan
interaksi melalui pendidikan peran masjid bukan hanya pada proses pendidikannya saja, tetapi juga lebih pada konstruksi harmonisasi yang dilakukan dalam
menjembatani proses terbentuknya suatu interaksi pada masyarakat Bandar Selamat, misalnya, dari hasil wawancara dilapangan, peran masjid sebagai wadah dalam
Universitas Sumatera Utara
82
menjembatani proses interaksi di antara masyarakat juga dilakukan melalui kegiatan- kegiatannya yang bersifat integratif tanpa melihat latar belakang etnik. Contohnya, di
masjid sering melaksanakan kegiatan Majelis Ta’lim akbar, dalam kegiatan tersebut, semua etnik yang ada di Bandar Selamat tanpa terkecuali diundang untuk menghadiri,
undangan tersebut lebih bersifat mempererat ukhuwah antar etnik dan mendalami ilmu agama. Semua etnik melakukan pembauran tanpa melihat latar belakang,
mereka saling berinteraksi seakan tak ada pembedaan antara satu sama lain. Inilah konstruksi harmonisasi yang dilakukan oleh masjid dalam proses pengintegrasian
masyarakat seperti yang dijelaskan pak Sayuti sebagai berikut: “Adanya ukhuwah dan saling koordinasi jadi timbul
rasa cinta antar sesama. Masjid juga salah satu tempat yang proses ukhuwahnya antar etnik berjalan,
misalnya, ketika ada kegiatan Majelis Ta’lim Akbar yang dilaksanakan satu bulan sekali tepat pada minggu
ke tiga, kemudian juga tadarus Al-Qur’an dan Yasinan yang dilaksanakan satu bulan sekali yang dihadiri oleh
semua etnik yang beragama Islam. Dari kegiatan tersebut, terbangun ukhuwah yang baik, sehingga
interaksi antar etnik pun berjalan baik.”
Hal senada juga diungkapkan oleh pak Sugeng sebagai berikut:
“Masjid sering melakukan kegiatan-kegiatan yang mempunyai kandungan nilai persatuan antar etnik,
misalnya kegitan Tadarusan, Majelis Ta’lim Akbar, Istighosa, dan Yasinan. Kegiatan tersebut bukan hanya
dihadiri oleh satu etnik saja tetapi hampir semua etnik yang diundang pasti hadir...”
Dari hasil wawancara di atas, memberi gambaran tentang peran masjid dalam mempererat ukhuwah. Kondisi masjid Al-Hikmah yang lokasinya berada di
lingkungan masyarakat yang beragam etnik, mampu mengkonstruksi keragaman menjadi sebuah instrumen pemersatu masyarakat melalui kegiatan-kegiatannya yang
Universitas Sumatera Utara
83
cukup produktif dalam mempererat ukhuwah antar sesama. Inilah suatu kondisi yang mencerminkan manifestasi rasa dari kebhinekaan dan penerapan dari ideologi
Pancasila. Sebuah hubungan yang baik tentu akan melahirkan suatu cinta kasih dan toleransi di lingkungan kehidupan sosial. Bukan hanya pada proses pengintegrasian
masyarakat, tetapi juga masjid dituntut untuk mampu mengkolaborasikan proses interaksi di masyarakat maupun proses sosialisasi pendidikan multikultural kepada
masyarakatnya mengenai betapa indahnya kehidupan dalam keragaman yang saling menyapa.
Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial yang juga dapat dinamakan proses sosial karena interaksi sosial juga merupakan syarat utama
terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Bentuk lain proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-
hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antar orang perorangan dengan
manusia. Apabila dua orang bertemu maka interaksi sosial akan dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabatan tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin
berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial. Walaupun orang-orang bertemu muka tersebut tidak saling berbicara atau tidak saling
menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi, karena masing-masing sadar adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam perasaan maupun
syaraf orang-orang yang bersangkutan, yang disebabkan misalnya oleh bau keringat, minyak wangi, suara berjalan, dan lain sebagainnya. Semua itu menimbulkan kesan
Universitas Sumatera Utara
84
di dalam pikiran seseorang yang kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya.
Pendidikan adalah proses membuat orang berbudaya dan beradab. Pendidikan adalah kunci bagi pemecahan masalah-masalah sosial dan melalui pendidikan
masyarakat dapat direkonstruksi. Rekonstruksi berarti reformasi budaya, dengan melalui pendidikan reformasi dapat dijalankan, terutama reformasi budi pekerti,
reformasi kebudayaan keindonesiaan, dan reformasi nasionalisme NKRI. Pendidikan yang dinginkan masyarakat ialah proses pendidikan yang bisa
mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup dalam pergaulan manusia. Konsep sosialisasi pendidikan yang dapat diterapkan adalah cara berhubungan
antarindividu atau antarkelompok atau individu dengan kelompok yang menimbulkan bentuk hubungan tertentu. Masjid dapat dijadikan sarana pembauran multietnik. Para
Ustadz harus membina siswa agar bisa memiliki kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat, dan akrab dengan sesama teman dari berbagai latar belakang etnik. Proses
pembelajaran di kelas multietnik dapat menghasilkan peradaban baru sesuai dengan harapan reformasi.
Masjid Al-Hikmah yang berlokasi di Bandar Selamat merupakan sebuah rumah ibadah sekaligus pusat pendidikan yang membentuk sebuah pola pikir
masyarakatnya untuk saling menghargai perbedaan dari masing-masing latar belakang etnik maupun agama. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya banyak
anggota-anggota kepengurusan yang berasal dari etnik berbeda untuk memanejemen dakwah di masjid tersebut. Bahkan bukan hanya anggota, tetapi ketua-ketua bidang
juga berasal dari etnik yang berbeda. Dalam pendirian masjid itupun, tidak lepas dari
Universitas Sumatera Utara
85
kontribusi masyarakat yang berasal dari etnik yang berbeda, baik kontribusi dana, tenaga, maupun pikiran. Kehidupan sosial yang terbangun di masjid dalam keseharian
sangatlah rukun, meskipun tidak dapat dipungkiri ada berbagai masalah gesekan sesama warga yang berbeda etnik maupun sesama etnik, tetapi dapat diredam tanpa
harus melalui jalan konflik. Mereka mengutamakan sebuah kebersamaan karena terjadi pembauran. Sebagaimana yang diungkapkan oleh pak Sayuti sebagai berikut:
“Masjid diresmikan tahun 1985 november. Pak Datuk Zul ketua bidang pembangunan masjid , beliau etnik
Melayu yang waktu pembangunan masjid orang-orang Melayu ikut bekerja membangun. Ketua-ketua bidang
di masjid berasal dari berbagai etnik begitu juga dengan anggota-anggotany yang berasal dari berbagai
etnik antara lain, Batak, Melayu, Jawa, Karo, Minang, Sunda, dan ada juga Nias”.
Penjelasan dari wawancara di atas, merupakan bukti kerja sama dari masing- masing etnik dalam mengkonstruksi sebuah kehidupan yang harmonis dan juga
masjid mempunyai peran besar dalam mendidik jamaahnya untuk menjaga sebuah hubungan yang harmonis antara etnik yang berbeda. Potret keharmonisan hidup
tersebut penting untuk dijadikan sebagai cerminan dalam mengarungi lautan kehidupan masyarakat multikultural yang badai konfliknya sangat rentan. Karena jika
tak mampu dikendalikan oleh nahkoda, maka bahtera kehidupan yang ditumpangi oleh masyarakat multikultur dan agama tersebut akan tenggelam dalam disintegrasi,
bahkan akan lapuk dalam keegoisan kultural.
Universitas Sumatera Utara
86
4.4.3. Peran dan Intervensi Tokoh Dalam Permasalahan Di Masyarakat