Sejarah Industri Gula Indonesia

3. Cairan yang ditampung diambil secara bertahap, biasanya 2-3 kali. Cairan ini kemudian dipanaskan dengan api sampai kental. Setelah benarbenar kental, cairan dituangkan ke mangkok-mangkok yang terbuat dari daun palma dan siap dipasarkan. Gula merah sebagian dipakai sebagai bahan baku kecap manis.

2.1.5 Sejarah Industri Gula Indonesia

Industri gula di Indonesia dimulai pada ke -17 ketika VOC mengusahakan kira- kira seratus perkebunan gula di sekitar Batavia. Ketika VOC dibubarkan pada akhir abad ke-18, pemerintah hindia Belanda melanjutkannya bersamaan dengan hal-hal lain yang serupa, untuk meningkatkan penanaman tebu dan mengekspor gula dalam rangka cultuur stelsel. Dengan stelsel ini para petani diharuskan untuk menanam tebu atau tanaman perdagangan lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah di atas tanah mereka. Hasil panen diserahkan kepada pemerintah sebagai pembayaran pajak in natura. Pemerintah memiliki dan menyelenggarakan pabrik gula dan dapat pula memerintahkan kerja paksa kepada pendudukan desa untuk menjalankan pabrik. Setelah agrarische Wet tahun 1870, secara berangsur- angsur pemerintah menarik diri industri gula yang berarti terbukanya kesempatan bagi capital swasta Belanda .Paksaan untuk menanam jenis-jenis tanaman perdagangan di atas tanah milik petani diganti dengan paksaan jenis lain dalam bentuk keharusan menyewakan tanah kepada perusahaan-perusahaan perkebunan. Perusahaan-perusahaan tersebut juga berhak memperoleh tenaga kerja paksaan dari petani. Walaupun sekitar tahun 1870 “tanah kosong” sudah sangat sedikit yang bisa disewa untuk jangka panjang dari pemerintah dan ada undang-undang pemindahaan milik tanah ke tangan asing yang ketat yang melarang penjualan tanah kepada pihak bukan Indonesia, tetapi perusahaan-perusahaan itu dengan bantuaan pemerintah bisa memperoleh tanah yang cukup luas untuk menanam tebu melalui sistem sewa-menyewa yang banyak lika likunya. Ketika kerja paksa telah dihapus, keharusan menyewakan tanah untuk tebu masih diteruskan, kemudian diganti dengan sistem tanam tebu bebas sejak tahun 1870 yaitu dengan dikeluarkannya undang-undang agraria. Antara tahun 1830 sampai 1870 produksi gula terus meningkat dari produksi 40.500 ton menjadi 405.000 ton setahun. Perkembangan terjadi dalam periode itu, baik dalam areal penanaman ataupun yang lebih penting lagi dalam produktivitas per hektar, yang menimbulkan peningkatan produksi yang optimal sehingga pada tahun 1895 mencapai 1.458.000 ton. Perkembangan demikian itu dimungkinkan oleh penanaman dan pemeliharaan tebu yang intensif dan oleh peralatan serta mesin-mesin yang efisien. Untuk hal yang terakhir itu, karena membutuhkan modal yang sangat besar, baru bisa dilaksanakan setelah banyak perusahaan-perusahaan perkebunan kecil, sebagai akibat jatuhnya harga gula sekitar tahun 1880 terpaksa menjual perusahaan besar seperti HVA dan CMV yang mengusai kapital-kapital raksasa. Perusahaan-perusahaan besar inilah yang berjasa menciptakan jaringanjaringan irigasi, jalan kereta api dan lembaga-lembaga penelitian yang memberikan perkembangan besar terhadap efisiensi industri gula. Hasil gula per hektar yang tinggi bisa dicapai berkat sistem penanaman yang efisien karena ada sistem irigasi yang baik, penggunaan tanah paling subur di setiap daerah dan last but not least dengan menggunakan stek tebu yang paling unggul dikembangkan oleh lembaga penelitian yang dibiayai dan diselenggarakan oleh pabrik-pabrik gula. Dalam masa pendudukan Jepang areal penanaman tebu berkurang separuh dari keadaan sebelum perang. Jepang tidak mendorong penanaman tebu dan kebanyakan tanah-tanahnya dialihkan untuk penanaman padi dan tanaman- tanaman makanan lainnya. Pada masa awal kemerdekaan, banyak pabrik gula yang dibumihanguskan oleh pemuda dan tentara dalam perang melawan Belanda. Setelah perang, berbagai usaha telah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang bersangkutan untuk merehabilitasi industri gula akan tetapi tidak begitu berhasil. Masyarakat yang membutuhkan lebih banyaknya kesulitan dalam memperoleh tanah untuk menanam tebu, kemudian tebu rakyat sebagai tanaman perdagangan mulai memegang peranan yang lebih penting terutama di Jawa. Pada tahun 1928 terdapat 178 pabrik gula yang diusahakan perkebunanperkebunan di Jawa dengan luas areal tebu yang dipanen kira-kira 200.000 hektar dan menghasilkan hampir tiga juta ton gula dimana hampir setengahnya diekspor. Akan tetapi pada masa depresi sekitar awal tahun tiga puluhan, industri gula hampir hancur. Luas areal penanaman merosot dari 200.000 hektar pada tahun 1931 menjadi hanya 30.000 hektar pada tahun 1935 dengan total produksi yang anjlok dari 3.000.000 ton menjadi hanya 500.000 ton saja. Pada tahun 1936 pabrik gula menyusut menjadi 35 pabrik. Kebutuhan gula dalam negeri makin lama makin bnayak yang dipenuhi oleh gula rakyat baik Jawa maupun luar Jawa. Namun pada tahun 1937 industri gula pulih kembali. Pada tahun 1957 sebagai akibat semakin gentingnya hubungan antara Indonesia dengan Belanda mengenai Irian Barat pabrik-pabrik gula diambil alih oleh Perusahaan Pemerintah PN. Pemimpin-pemimpin pabrik gula Belanda meninggalkan Indonesia, pabrik-pabrik tersebut dan pengusahaannya sepenuhnya ada di tangan bangsa Indonesia. Ganti rugi dibayarkan kepada pemihak-pemihak Belanda sesuai dengan hasil persetujuan antara pemerintah Indonesia dan Belanda pada tahun 1963. Tahun 1967 industri gula mengalami kerugian lebih dari lima milyar rupiah dan pada tahun 1968 harus meminta bantuan tambahan sebesar empat setengah milyar untuk membayar sewa tanah tahun 1969. Sejak tahun 1975, pabrik gula telah dinyatakan secara resmi sebagai usaha pemroses dan pengolah tebu sehingga menjadi gula pasir. Selain itu pabrik gula juga berfungsi sebagai pembimbing petani yang bekerja sama dengannya untuk mendapatkan tebu dengan jumlah dan kualitas yang diharapkan. Sebagai imbalan atas pemrosesan te bu menjadi gula pasir, pihak pabrik mendapat “ongkos giling” yang dinyatakan dalam persen dari hasil. Sistem pembagian ini ditetapkan oleh pemerintah. Adanya prinsip dasar yang digunakan dalam proses pembagian adalah semakin tinggi rendemen tebu yang digilingkan, semakin banyak bagian petani. Meskipun beberapa kali telah dilakukan peninjauan, ketentuan bagi hasil ini tidak banyak berubah. Ketentuan bagi hasil yang tercantum dalam SK mentan No.03SKMentanBIMASVI87 menjelaskan bahwa : 1. Petani tebu akan mendapatkan 62 persen gula yang dihasilkan dari tebu yang berendemen sampai dengan 8 persen, apabila rendemen melebihi 8 persen maka petani akan mendapatkan tambahan hasil. 2. Petani tebu akan mendapatkan bagian tetes sebanyak 4,5 kg untuk setiap kuintal tebu yang diinginkan. Seiring dengan semakin kurangnya pasokan tebu dan menurunnya produksi gula maka banyak pabrik gula yang ditutup. Sampai sekarang ini jumlah pabrik gula di Jawa maupun di luar Jawa sekitar 12 pabrik gula. Pada umumnya pabrik-pabrik yang ada beroperasi di bawah kapasitas giling. Sebagian besar PG mempunyai kapasitas giling yang kecil kurang dari 3000 TCD = Ton Cane Day hal ini disebabkan oleh mesin yang telah berumur lebih dari 75 tahun serta tidak mendapat perawatan yang memadai sehingga mengakibatkan biaya produksi per kg gula tinggi. Setelah mengalami berbagai perubahan pasang surut, industri gula Indonesia sekarang hanya didukung oleh 58 pabrik gula yang aktif. yaitu 42 PG yang dikelola BUMN dan 16 PG yang dikelola oleh swasta DGI, 2005.

2.1.6 Tanaman Tebu Saccharum officinarum L.