3000 TCD = Ton Cane Day hal ini disebabkan oleh mesin yang telah berumur lebih dari 75 tahun serta tidak mendapat perawatan yang memadai sehingga
mengakibatkan biaya produksi per kg gula tinggi. Setelah mengalami berbagai perubahan pasang surut, industri gula Indonesia
sekarang hanya didukung oleh 58 pabrik gula yang aktif. yaitu 42 PG yang dikelola BUMN dan 16 PG yang dikelola oleh swasta DGI, 2005.
2.1.6 Tanaman Tebu Saccharum officinarum L.
Tanaman tebu atau dengan nama latin Sacharum Officinarum adalah pohon tanaman yang hidup di daerah tropika dan sub tropika yaitu di antara 39
LU dan yaitu di antara 35
LS dengan suhu rata-rata 21 C. Tebu dapat ditanam dari
dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1000 m di atas permukaan laut.
Di dalam masa pertumbuhannya tanaman tebu membutuhkan cukup air, sedangkan pada waktu masak diperlukan keadaan kering. Apabila terlalu banyak
hujan menyebabkan rendemen gula menjadi rendah. Tanah yang cocok untuk bertanam tebu adalah tanah yang subur berupa tanah lempung kapur yang dalam
serta mempunyai pengairan dan pengaliran air yang baik. Penanaman tebu di Jawa pada umumnya bulan Mei, Juni dan Juli mengingat pada masa tersebut curah
hujan yang mencukupi. Gula yang ada pada batang tebu merupakan hasil kerja sintesa dari tanaman tebu
itu sendiri yang hasilnya dari berbagai unsur yang berinteraksi yaitu unsur air, CO
2
di udara dan sinar matahari. Ketiga unsur akan berinteraksi membentuk heksosa dan pada fase pemasakan heksosa tersebut akan disintesa menjadi
sukrosa. Tebu mengandung berbagai komponen antara lain serabut, air dan sukrosa. Sebelum diolah, tebu digiling terlebih dahulu hingga dihasilkan nira.
2.1.7 Proses Pembuatan Gula Pasir
Menurut Nurizzati dalam Wahyuni 2007 proses produksi gula pasir melalui enam tahapan atau stasiun yaitu :
1. Stasiun penggilingan Pada stasiun penggilingan tebu dimasukan ke dalam mesin penggilingan dari
mesin akan dihasilkan nira perahan pertama dan ampas tebu. Nira perahan pertama lalu dimasukan ke gilingan II, III, dan IV. Pada gilingan IV
ditambahkan air imbibisi untuk digunakan dalam mesin giling III, dan dari gilingan III ke gilingan II. Pemberian air imbibisi pada pemerahan tebu
bertujuan untuk menekan kadar gula yang ada dalam ampas. Nira yang diperoleh dari mesin gilingan I dan II dinamakan nira mentah. Ampas yang
dihasilkan digunakan sebagai bahan bakar pada ketel uap yang merupakan pusat penggerak dari mesin-mesin yang ada di dalam pabrik. Jadi tujuan
stasiun pengilingan adalah memisahkan nira tebu dari sabut dan menekan kehilangan gula dalam ampas sekecil-kecilnya.
2. Stasiun pemurnian Stasiun pemurnian bertujuan untuk memisahkan kotoran terlarut, kolodial, dan
bukan gula dalam nira yang dihasilkan di stasiun penggilingan. Pada stasiun penggilingan dihasilkan nira yang mengandung gula dan kotoran. Nira tersebut
berwarna hitam kecoklatan. Untuk menghilangkan kotoran tersebut digunakan kapur sebagai bahan pengendap. Nira mentah tersebut ditambahkan susu
kapur., kemudian dipanaskan pada suhu 70- 75○C yang merupakan pemanasan
I PPI. PP I dilakukan dengan tujuan membunuh mikroorganisme yang
terdapat di dalam wadah. Kemudian nira mentah ditambah belerang dan dipanaskan kembali PP II dengan suhu 100-
105○C untuk menyempurnakan proses reaksi dan memperbaiki proses pengendapan. Nira mentah tersulfitir ini
ditambah bahan pengendap seperti superflock sampai nira kotor dan nira jernih terpisah. Sehingga hasil dari tahap pemurnian ini adalah nira bersih dan nira
kotor. Nira kotor kemudian dimasukkan dalam saringan hampa sampai didapatkan blotong dan nira tapisan. Blotong dimanfaatkan sebagai pupuk
organik, sedangkan nira tapisan dimasukan lagi pada nira mentah tersulfitir guna mengalami proses lebih lanjut.
3. Stasiun penguapan Stasiun penguapan bertujuan untuk menguapakan sebagian air yang terkandung
dalam nira encer pada suhu 100- 105○C sehingga didapatkan nira kental yang
mempunyai konsentrasi tertentu dan uap nira penguapan dilakukan suatu evaporator.
4. Stasiun Kristalisasi Kristalisasi merupakan proses mendapatkan kristal gula sebanyak-banyaknya
secara mudah, sederhana dan ekonomis dari suatu larutan yang mengandung sakarosa. Nira kental mengalami proses kristalisasi pada tiga tingkat masakan
yaitu masakan A, B dan C. Masakan A yaitu mengkristalkan sukrosa dari nira kental sampai ukuran tertentu dengan bibit gula C2. Masakan B yaitu
mengkristalkan sukrosa dari stroop B dan Klare C dengan bibit fondant bubuk gula. Masakan A dan B tidak mengalami pendinginan untuk kemudian
dimasukan pada saringan berputar guna memisahkan gula dan tetes. Sedangkan masakan C didinginkan selama 24 jam untuk kemudian diamsukan pada
saringan berputar guna memisahkan gul adan tetes. Dari masakan A dihasilakn
gula A dan tetes A, masakan B berupa gula B dan tetes B, serta masakan C berupa gula C dan tetes C. Proses kristalisasi juga menghasilkan uap nira. Uap
nira ini ditambahkan dengan air injeksi air pengembun yang menghasilkan air jatuhan. Air jatuhan tersebut digunakan untuk mengairi lahan pertanian tebu
dan palawija. Air jatuhan ditambah air sungai kembali menjadi air injeksi. 5. Stasiun pemutaran
Stasiun pemutaran bertujuan untuk memisahkan kristal gula dari larutan induknya molase dengan menggunakan prinsip sentrifugal. Jika dilakuakan
pemutaran dalam sentrifus. Terdapat perbedaan antar masakan. Kristal yang berasal dari masakan A, harkat kemurniaannya tinggi, dilapisi oleh larutan
induk yang sangat tipis dan berwarna muda. Sebaliknya masakan C, kristalnya dilapisi oleh lapisan larutan induk yang tebaldan berwarna kecoklatan. Lapisan
yang menempel pada kedua kristal ini tidak akan lepas walaupun tenaga sentrifugal diperbesar. Cara untuk mengurangi tebal tipisnya lapisan larutan
induk yang menempel pada kristal adalah dengan pencucian setelah pemusingan kering.
6. Stasiun penyelesaian Pada stasiun pemutaran gula sifatnya masih dianggap lembab atau kadar airnya
tinggi sehingga perlu dikeringkan sebelum disimpan. Pengeringan yang dilakukan pada gula hampir sama dengan butiran lainnya. Perbedaanya adalah
bahwa air yang diuapkan hanya terdapat pada permukaan kristal tergantung pada tebal tipisnya lapisan, cara pengolahan, dan komposisi kimia lapisan.
Setelah kering, gula disaring untuk memisahkan gula halus, kasar dan normal. Gula normal mempunyai ukuran kristal antara 0,6
– 1,05 mm yang digunakan sebagai gula produk gula yang diperdagangkan. Kristal halus dan kasar
dipisahkan dan dilebur untuk diolah kembali. Gula kemudian dikarungkan dan disimpan untuk dijual. Penyimpanan gula sebaiknya dilakukan sebagai berikut:
a. Gula harus dikarungkan dalam keadaan kering dengan suhu tidak boleh lebih dari 38○C, b.Bagian bawah karung dilindungi oleh kertas tahan lembab,
demikian pula bagian lapisan atas tumpukan karung berisis gula harus dilindungi oleh kertas lembab. Bahan baku untuk pengolahan gula putih yang
paling umum digunakan adalah batang tanaman tebu Saccharum officinarum L atau umbi tanaman bit gula Beta vulgaris. Batang tanaman tebu yang
masih segar hampir seluruhnya 99 tersusun atas unsur karbon C, hidrogen H, dan oksigen O. Dari sejumlah itu, kira-kira 75 diantaranya dalam
bentuk air H
2
O, dan sisana dalam bentuk bahan kering. Untuk kepentingan pengolahan gula, batang tanaman tebu dianggap tersusun atas nira tebu atau
umbi tanaman bit gula tersebut sebanyak-banyaknya Sudana, 2000. Batang
tanaman tebu
merupakan sumber
gula. Namun
demikian, rendemenpersentase gula yang dihasilkan hanya berkisar 10-15. Sisa
pengolahan batang tebu adalah : • Tetes tebu yang diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula dan masih
mengandung gula 50-60, asam amino, dan mineral. Tetes tebu adalah bahan baku bumbu masak MSG, gula cair, dan arak.
• Putik dan tebu yang diperoleh dari penebangan digunakan untuk pakan ternak dalam bentuk silase, pelet, dan wafer.
• Ampas tebu merupakan hasil sampingan dari proses ekstrasi cairan tebu. Dimanfaatkan sebagai bahan bakar pabrik, bahan industri kertas, particle
board, dan media untuk budidaya jamur atau dikompakkan untuk pupuk.
• Blotong yang merupakan hasil sampingan dari proses penjernihan. Bahan organik ini dipakai sebagai pupuk Hafsah, 2002.
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Konsumen