Sintesis Kebijakan Ketenagakerjaan dan Migrasi di Indonesia

287 pasar kerja dan peningkatan perekonomian secara serempak, baik di Jawa maupun luar Jawa, maka simulasi 2, 3 dan 5 merupakan alternatif kebijakan yang terbaik.

7.3.2. Sintesis Kebijakan Ketenagakerjaan dan Migrasi di Indonesia

Beberapa kebijakan ketenagakerjaan yang dirumuskan pemerintah bertujuan untuk memenuhi tuntutan buruh pada satu pihak dan memenuhi tuntutan pengusaha pada pihak lain. Kondisi ini menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan. Sebagai contoh, kontroversi terhadap Rancangan Undang- Undang RUU ketenagakerjaan yang ditutup dengan batalnya RUU tersebut pada September 2002. Pembatalan ini dilakukan karena penolakan terhadap RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan PPK dan RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial PPHI, baik dari kalangan pekerja maupun pengusaha. Meski kedua pihak menolak, argumen yang disampaikan oleh buruh dan pengusaha sangat berbeda. Pihak pengusaha merasa diberatkan dengan berbagai kewajiban seperti pesangon untuk pekerja yang mengundurkan diri, juga upah buruh mogok yang harus tetap dibayar. Pihak buruh memandang RUU tersebut tidak berpihak pada mereka dan masih bersifat represif. Kalangan pengamat menilai adanya tumpang tindih sistematika pasal-pasal dalam RUU tersebut dengan kitab undang-undang hukum pidana dan tugas aparat kejaksaan dan kepolisian Kuncoro, 2006. Demikian juga dengan Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003, yang kemudian direvisi, juga menimbulkan kontroversi antara buruh dan pengusaha. Menurut Kuncoro 2006, berbagai sumber menyebutkan ada tiga hal utama yang mengundang kontroversi. Pertama, berkaitan dengan rekrutmen, khususnya 288 tentang outsourcing dan penggunaan pekerja kontrak. Perlu adanya penegasan bagaimana rambu-rambu outsourcing bagi produk barang maupun jasa. Selain itu, bagi pekerja kontrak perlu diatur mengenai pembatasan waktu dan perlindungan bagi pekerja. Kedua, berkaitan dengan upah minimum, dimana terjadi kontroversi dalam menentukan pihak yang berwewenang menentukan upah minimum, yaitu dewan pengupahan dengan unsur tripartit pemerintah, pengusaha, serikat pekerja atau cukup bipartit pengusaha dan serikat pekerja, dan kontroversi dalam menentukan pemberlakuan upah minimum apakah hanya untuk pekerja sektor formal atau berlaku juga untuk sektor informal dan frekuensi waktu kenaikan upah minimum. Ketiga, berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja dan pesangon. Dibutuhkan perhitungan pesangon yang dapat diterima tenaga kerja agar lebih kompetitif di Asia. Perhitungan ini dibutuhkan karena pesangon yang berlaku bagi tenaga kerja di Indonesia saat ini dianggap cukup tinggi. Sebagai pembanding, di Jepang besarnya pesangon hanya 1.5 bulan gaji, Malaysia 2.4 bulan, Cina 3 bulan gaji, India dan Korea 2 bulan gaji. Besarnya pesangon selama ini menimbulkan disinsentif bagi perusahaan untuk menarik pekerja baru. Berdasarkan beberapa kebijakan ketenagakerjaan, terlihat bahwa fokus utama dari kebijakan tersebut menitikberatkan hanya pada pencapaian tingkat kesejahteraan buruh dan pengusaha, tanpa memperhatikan bagaimana caranya mengatasi masalah tenaga kerja yang sangat penting yaitu pengangguran yang terus meningkat, dan kualitas tenaga kerja yang rendah. Rendahnya tingkat pertumbuhan pasca krisis ekonomi telah berakibat pada tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Apabila dilihat dari pertumbuhan 289 ekonomi tahun 2006 yang tumbuh sebesar 6.1 persen, maka jumlah pengangguran terbuka sebesar 10.9 juta orang. Pada tahun 2007 perekonomian tumbuh dengan 6.3 persen, jumlah pengangguran terbuka diharapkan turun menjadi 10.0 juta orang. Pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi diharapkan akan tumbuh sebesar 6.8 persen, dan jumlah pengangguran terbuka akan turun dibawah 10 juta orang. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata belum mampu menyerap seluruh jumlah angkatan kerja baru yang masuk pada lapangan kerja yang tersedia. Penciptaan tenaga kerja hanya bersumber dari sektor informal, yang kebanyakan mengandalkan tenaga kerja low skill , low paid, dan tanpa proteksi sosial Habibie, 2008. Apabila dilihat dari perkembangan pengangguran berdasarkan latar belakang pendidikan, pada tahun 2006 terdapat 31 persen pengangguran berpendidikan SD ke bawah, 25 persen berpendidikan SLTP, 36 persen berpendidikan SLTA, dan 7 persen berpendidikan Perguruan Tinggi. Ditinjau dari lokasinya, jumlah pengangguran terbesar terdapat di Jawa yaitu sekitar 63.24 persen, 22.79 persen di Sumatera, 4.34 persen di Kalimantan, 7.69 persen di Sulawesi, dan 2.7 persen di Nusa Tenggara BPS, 2006. Tingginya jumlah pengangguran di Jawa dan Sumatera menggambarkan bahwa kedua pulau tersebut memiliki daya tarik bagi angkatan kerja sehingga terjadi migrasi secara besar-besaran dari pulau-pulau lainnya, padahal peluang kerja di Jawa dan Sumatera juga terbatas. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tinggi antara angkatan kerja daerah setempat dan angkatan kerja pendatang di kedua pulau tersebut, yang akhirnya meningkatkan jumlah pengangguran terbuka. 290 Data BPS 2006 menunjukkan peta sebaran angkatan kerja di Indonesia, yaitu sekitar 60.4 persen jumlah angkatan kerja di Indonesia masih berada di Pulau Jawa, kemudian Sumatera 19.94 persen dan paling sedikit di Papua sebesar 2.07 persen. Kondisi sebaran angkatan kerja ini menunjukkan bahwa Jawa masih merupakan tujuan utama migrasi karena tingginya kegiatan ekonomi dan pembangunan di pulau tersebut, padahal pada era otonomi daerah diharapkan terjadi pergeseran kegiatan dan pembangunan ekonomi ke luar Jawa. Kondisi ini menunjukkan bahwa setelah 7 tahun otonomi daerah diberlakukan, kegiatan dan pembangunan ekonomi di daerah belum sepenuhnya mempengaruhi sebaran angkatan kerja di Indonesia. Dampak dari masalah penggangguran adalah kemiskinan yang akan mendorong peningkatan kriminalitas. Ada empat penyebab utama masalah pengangguran atau ketenagakerjaan dan kemiskinan di Indonesia saat ini Habibie, 2008: 1. Ketidaksesuaian antara kompetensi yang dimiliki oleh tenaga kerja tamatan pendidikan formal dengan tuntutan kompetensi yang diminta oleh pengguna dunia usaha dan dunia industri baik di dalam maupun di luar negeri. Salah satu upaya untuk mengatasi kesenjangan ini adalah dengan menyediakan program pendidikan dan pelatihan bagi mereka dengan kurikulum yang berorientasi pada dunia kerja market oriented untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja demand driven yang dapat dilakukan baik melalui jalur pendidikan formal maupun informal. 2. Ketidakberdayaan angkatan kerja lulusan pendidikan formal karena selain kompetensi yang tidak memadai, juga karena kurang percaya diri, tidak mandiri, kurang inisiatif, tidak memiliki daya saing, dan belum mengetahui 291 secara pasti apa yang harus dilakukan setelah menyelesaikan studi. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan program pelatihan yang mampu membentuk tenaga kerja yang memiliki kompetensi sesuai permintaan pasar. 3. Jiwa kewirausahaan entrepreneurship dari angkatan kerja Indonesia yang rendah. Lulusan pendidikan formal cenderung lebih menitikberatkan pada upaya menjadi pencari kerja job seekers dan bukan pencipta lapangan kerja job creators. Penyediaan tenaga kerja dengan kompetensi yang sesuai dengan dunia kerja belum sepenuhnya menjawab tantangan masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Oleh karena itu, kurikulum yang perlu terus dikembangkan adalah materi tentang kewirausahawan. 4. Kemampuan berbahasa asing yang rendah menyebabkan tenaga kerja Indonesia tidak mampu bersaing dalam meraih peluang kerja di luar negeri. Kemampuan berbahasa asing merupakan kelemahan umum dari tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Terbatasnya peluang kerja di dalam negeri menyebabkan tidak berimbangnya pertambahan angkatan kerja dengan daya serap dunia kerja dalam negeri. Salah satu solusi yang dipandang tepat dan cepat bisa menanggulangi masalah kesempatan kerja adalah dengan meraih peluang kerja di luar negeri. Oleh karena itu dibutuhkan upaya untuk meningkatkan kompetensi calon tenaga kerja sehingga memiliki keunggulan agar dapat berkompetisi dan mendapatkan peluang kerja yang tersedia. Artinya, perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan pasar kerja di luar negeri. Berdasarkan data BPS 2006 menunjukkan bahwa dari 2.7 juta orang tenaga kerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri, telah berhasil 292 mengirimkan remitansi ke Indonesia mencapai 5.0 miliar dollar Amerika dari 15 negara penempatan. Angka ini merupakan angka yang tercatat melalui mekanisme perbankan, yang diperkirakan jumlahnya sekitar 50-60 persen, sedangkan sisanya dikirim melalui jasa non-Bank. Meskipun demikian jumlah tersebut sangat signifikan karena devisa tersebut langsung masuk ke daerah- daerah asal tenaga kerja migran terutama untuk membangun ekonomi keluarga. Permasalahan yang harus segera diatasi adalah dari 2.7 juta orang tenaga kerja migran, sekitar 70 persen adalah bekerja di sektor informal. Berbagai instrumen kebijakan telah dirumuskan sebagai upaya untuk melakukan perlindungan hukum bagi tenaga kerja migran, tetapi masih terdapat kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh pihak penerima tenaga kerja di luar negeri maupun oleh oknum petugas di dalam negeri. Advokasi dan pembelaan tenaga kerja migran di luar negeri ditempuh dengan melakukan kerjasama antar perwakilan Republik Indonesia dengan lembaga hukum di negara penempatan, serta pengangkatan atase tenaga kerja untuk negara-negara penerima tenaga kerja migran. Demikian juga upaya yang terus dilakukan oleh Polri dan aparat terkait untuk mengurangi pengrekrutan tenaga kerja migran ilegal di daerah asal maupun di daerah embarkasidebarkasi. Semua instrumen kebijakan tersebut dituangkan melalui INPRES Nomor. 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan tenaga kerja migran. Pemerintah Indonesia diharapkan dapat belajar dari beberapa negara lain, seperti Filipina, tentang pengelolaan tenaga kerja migran, termasuk upaya-upaya perlindungannya. Pemerintah Filipina mengakui bahwa negaranya banyak mengirimkan pekerja informal khususnya pembantu rumah tangga ke negara- 293 negara lain, terutama Singapura. Tetapi pemerintah Filipina sangat memperhatikan kualitas para pekerja informal ini serta pengertian terhadap hak dan kewajibannya. Di Singapura, para pembantu rumah tangga asal Philipina dikenal fasih berbahasa Inggris, dan membentuk suatu komunitas pekerja informal yang sangat solid. Pemerintah Filipina juga sangat tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi warga negaranya yang bekerja sebagai tenaga kerja migran. Di dalam negeri, pemerintah Filipina berusaha untuk mengurangi warga negaranya yang bekerja sebagai undocumented migrant worker lewat program pendidikan para pekerja migran, kampanye-kampanye yang bersifat edukatif dan informatif, pendirian migrant resource centers dan penyebarluasan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tenaga kerja migran di tingkat nasional maupun internasional. Pada tahun 2006 Filipina telah berhasil mengirimkan sekitar 6 juta tenaga kerja ke luar negeri Philipino Overseas Worker, dan memperoleh remitansi terbesar ke-4 dunia 12.6 miliar dolar Amerika, dengan 55 negara tujuan, diantaranya Timur Tengah. Sedangkan India memperoleh remitansi tertinggi yaitu 27.5 miliar dollar Amerika yang sebagian besar bekerja di sektor formal Habibie, 2008. Upaya untuk meningkatkan jumlah tenaga kerja migran Indonesia yang bekerja di sektor formal terkendala oleh ketersediaan calon tenaga kerja terampil dan profesional serta lemahnya penguasaan bahasa asing. Tingginya permintaan dunia terhadap tenaga kerja terampil sudah seharusnya diisi oleh Indonesia. Lembaga pendidikan dan pelatihan mempunyai ruang yang sangat besar untuk ikut berpartisipasi secara aktif mendidikmelatih guna mencetak tenaga kerja muda profesional mengisi pasar tenaga kerja dunia. 294 Dilihat dari aspek percepatan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia SDM, Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang mengalami perubahan yang lebih lambat dalam kehidupan masyarakat global. Perlambatan perubahan terutama disebabkan karena sistem pendidikan yang kurang mampu mengikuti percepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK yang sangat cepat dan kompleks, di samping faktor kultur dan ekonomi. Apabila Indonesia tidak bisa mengikuti perubahan yang terjadi melalui penyiapan SDM yang berkualitas, dipastikan bangsa Indonesia akan semakin tertinggal dan tersisih dari persaingan masyarakat global. Oleh karena itu tenaga kerja Indonesia diharapkan dapat terus meningkatkan kualitas SDM melalui peningkatan pengetahuan, kreatifitas dan daya saing, sehingga mampu bersaing dengan tenaga kerja asing yang berdatangan ke Indonesia atau berkompetisi untuk merebut peluang usaha dan bekerja di luar negeri. Pendidikan dan peluang lapangan kerja pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi SDM yang tidak kalah pentingnya dengan investasi modal fisik. Pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa pendidikan memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap pertumbuhan ekonomi. Tingkat pendidikan pekerja di Indonesia pada umumnya sangat rendah. Pada tahun 2004, sebanyak 57.1 persen dari pekerja hanya berpendidikan di bawah SLTA. Pada jenjang pendidikan tersebut, pekerja belum memiliki cukup keterampilan yang memadai untuk bekerja. Berdasarkan data Sakernas 2004, pekerja dengan keterampilan yang memadai dengan pendidikan tinggi di atas SMU hanya sekitar 12.3 persen dari 33.6 juta pekerja di sektor formal. Hal ini menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja di Indonesia masih didominasi dengan 295 pekerja tingkat kualitas dengan latar belakang pendidikan yang rendah BPS, 2004. Keberhasilan negara-negara maju dalam pembangunan berbagai bidang ditentukan oleh ketersediaan SDM yang berkualitas dan bukan oleh melimpahnya sumberdaya alam. Apabila ditinjau lebih jauh, keberhasilan yang diraih oleh negara-negara maju tidak terlepas dari kebijakan pembangunan yang dikembangkan pada bidang pendidikan. Dalam hal ini, negara-negara maju umumnya menempatkan pembangunan pendidikan pada bagian terdepan. Kebijakan ketenagakerjaan, khususnya mengenai upah minimum akan berpengaruh pada investasi. Umumnya investor akan melihat apakah upah minimum tenaga kerja di Indonesia cukup kompetitif dibandingkan negara lain. Apabila tuntutan upah tinggi sementara kualitas tenaga kerjanya rendah, akan berdampak pada penurunan perkembangan investasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu dalam menciptakan kondisi pasar kerja yang seimbang, maka kebijakan dibidang pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi dan balai latihan perlu diarahkan agar sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Keberadaan lembaga-lembaga pelatihan ini harus mempunyai sertifikat yang diakui baik secara nasional atau internasional.

7.3.3. Sintesis Dampak Simulasi Kebijakan Migrasi Internal dan