7. Tanggungjawab badan hukum dibedakan dari tanggungjawab pendiri,
anggota, maupun pengurus badan hukum tersebut. Dengan demikian didalam Hukum Perdata, badan hukum sudah tidak
diragukan lagi adalah merupakan subyek hukum disamping orang natuurlijkperson, bagaimana didalam Hukum Pidana, apakah badan hukum
dapat dijadikan sebagai subyek Hukum Pidana ?
2. Perkembangan Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana
Dalam hukum dikenal pengertian subjek hukum yang dalam istilah Belanda meliputi “persoon” dan “recthpersoon”. Persoon adalah manusia atau
orang yang memiliki kewenangan untuk bertindak dalam lapangan hukum, khususnya hukum perdata. Rechtpersoon ialah badan hukum yang diberi
kewenangan oleh Undang-undang untuk dapat bertindak sebagaimana orang yang masuk dalam golongan persoon.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah
terlihat pada perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat sebagai subjek tindak pidana, juga terlihst dsri wujud
hukuman atau pidana yang termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda.
86
Korporasi sebagai subjek Hukum Pidana mulai berkembang sebagai akibat terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat dalam menjalankan aktivitas
86
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Edisi Kedua Cetakan Keempat, Bandung: PT Eresco, 1986, hlm. 55
Universitas Sumatera Utara
63 usaha. Pada masyarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup dijalankan
secara perorangan. Namun dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerjasama dengan pihak lain
dalam menjalankan kegiatan usahanya. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk mengadakan kerjasama tersebut adalah terhimpunnya modal yang lebih
banyak, tergabungnya keterampilan dalam suatu usaha jauh lebih baik dibandingkan dengan yang dijalankan seorang diri, serta dapat membagi resiko
kerugian secara bersama. Dalam pembahasan mengenai perkembangan konsep korporasi sebagai
subjek Hukum Pidana, Rudy Prasetyo mengatakan bahwa timbulnya konsep badan hukum dalam hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan
kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi badan hukum merupakan suatu ciptaan hukum, yakni pemberian status sebagai subjek hukum
kepada suatu badan, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah. Dengan demikian, badan hukum dianggap dapat menjalankan atau melakukan
suatu tindakan hukum.
87
Pemberian status subjek hukum khusus yang berupa badan tersebut, dalam perkembangannya dapat terjadi karena berbagai macam alasan danatau motivasi.
Salah satunya misalnya untuk memudahkan menentukan siapa yang harus bertanggung jawab diantara mereka yang terhimpun dalam badan tersebut, yakni
secara yuridis dikonstruksikan dengan menunjuk badan hukum sebagai subjek
87
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangan eksistensi sebagai subjek hukum, diakui pula oleh bidang hukum di luar hukum perdata,
misalnya hukum pajak, hukum administrasi negara, serta Hukum Pidana. Terdapat perbendaan pendapat mengenai kedudukan korporasi sebagai
subjek Hukum Pidana. Beberapa sarjana menyatakan korporasi tidak dapat dijadikan subyek Hukum Pidana dengan alasan sebagai berikut :
a. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan
kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah;
88
b. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat dapat
dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan dan
sebagainya; “selain itu juga disebutkan dalam buku Barda Nawawi dalam perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misal:
bigami, perkosaan, sumpah palsu”
89
c. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak
dapat dikenakan pada korporasi; “hal ini juga disebutkan Barda Nawawi dalam bukunya, yaitu dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat
dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misal pidana penjara atau pidana mati”
90
88
Syamsul Arifin dan Muhammad Hamdan, Op.Cit., hal 34
89
Barda Nawawi Arief , Op.Cit, hal 45-46
90
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
65 d.
Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah, misalnya para pemegang
saham dan karyawan;
91
e. Bahwa didalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas
dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana;
92
f. Sulit untuk membuktikan unsur kesengajaan dan perencanaan dari suatu
perbuatan badan hukum.
93
Sedangkan yang setuju menempatkan korporasi sebagai subyek Hukum Pidana menyatakan :
a. Mengingat di dalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin
memainkan peranan yang penting pula;
94
b. Hukum Pidana harus mempunyai fungsi didalam masyarakat dan
menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat;
95
c. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu upaya
untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai itu sendiri;
96
d. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represif
terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi.
91
Syamsul Arifin dan Muhammad Hamdan, Op.Cit., hal 35
92
Ibid.
93
Ibid.
94
Mahmud Mulyadi dan Ferri Antoni Surbakti, Op.Cit., hal 18
95
Ibid.
96
Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hal 47
Universitas Sumatera Utara
Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana korporasi; korporasi dan pengurus; atau pengurus saja.
97
Pengakuan korporasi rechtsperson sebagai subjek hukum dalam Hukum Pidana penuh dengan hambatan-hambatan teoritis, tidak seperti pengakuan subjek
Hukum Pidana pada manusia. Terdapat dua alasan mengapa kondisi tersebut terjadi. Pertama, begitu kuatnya pengaruh teori fiksi fiction theory oleh Von
Savigny, yakni kepribadian hukum sebagai kesatuan-kesatuan dari manusia merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada
manusia. Negara-negara, korporasi-korporasi, ataupun lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subjek hak dan perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah
badan-badan itu manusia. Semua hukum ada demi kemerdekaan yang melekat pada tiap individu. Oleh karena itu konsep asli kepribadian harus sesuai dengan
cita-cita manusia.
98
Kedua, masih dominannya asas universalitas delinguere non potest yang berarti badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana dalam sistem
Hukum Pidanadi banyak negara.Asas ini merupakan hasil pemikiran dari abad ke- 19, dimana kesalahan menurut Hukum Pidana selalu diisyaratkan dan
sesungguhnya hanya kesalahan dari manusia, sehingga erat kaitannya dengan individualisasi KUHP. Dalam konteks, KUHP yang hingga saat ini masih
diberlakukan di Indonesia, asas tersebut ternyata begitu mempengaruhi kemunculan Pasal 59 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
99
97
Syamsul Arifin dan Muhammad Hamdan, Loc.Cit.
98
Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 64-65
99
R.Soesilo, Loc.Cit.
“Dalam hal-hal di
Universitas Sumatera Utara
67 mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota
badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran
tindak pidana.” Pasal 59 KUHP tersebut esensinya berbicara tentang tindak pidana yang
hanya bisa dilakukan oleh manusia, tidak termasuk korporasi. Oemar Seno Adji berpendapat, sebagaimana yang dikutip oleh Mahrus Ali, bahwa Pasal 59 KUHP
menunjukkan bahwa tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh seorangmanusia. Fiksi badan hukum tidak berlaku dalam KUHP. Sedangkan Van Bemmelen secara
lebih rinci menyatakan bahwa pasal itu tidak membicarakan tindak korporasi, iahanya memuat dasar penghapus pidana bagi anggota pengurusnya atas suatu
pelanggaran yang dilakukan tanpa sepengetahuannya.
100
Dalam perkembangannya dua alasan tersebut lama kelamaan mulai melemah pengaruhnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya usaha untuk
menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dalam lingkungan pidana, yaitu adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya.Usaha tersebut dilatarbelakangi
fakta bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil kejahatan yang dilakukan oleh pengurusnya. Begitu juga dengan kerugian yang
dialami oleh masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindakan pengurus- pengurus korporasi.
101
100
Ibid., hlm. 65-66
101
Ibid.
Oleh karenanya, dianggap tidak adil bila korporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti halnya manusia.Kenyataan inilah yang
Universitas Sumatera Utara
kemudian memunculkan tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek huku m dalam Hukum Pidana.
Adapun tahapan-tahapan perubahan dan perkembangan kedudukan korporasi sebagai subjek Hukum Pidana dapat dibedakan dalam tiga tahap,
yaitu:
102
1. Tahap Pertama
Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan natuurlijk persoon.Sehingga apabila suatu
tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.Tahap ini merupakan dasar
bagi Pasal 59 KUHP. Melihat ketentuan tersebut diatas, maka para penyusun kitab Undang-
undang Hukum Pidana dipengaruhi oleh asas societas delinquere non potest, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.
Pengurus pada tahap ini tidak memenuhi kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat dinyatakan bertanggungjawab.Kesulitan
yang timbul dalam Pasal 59 KUHP ini adalah apabila hal pemilik atau pengusahanya adalah korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwa
pengurusnya bertanggungjawab, maka bagaimana memutuskan tentang pembuat dan pertanggungjawabannya? Kesulitan ini dapat diatasi dengan perkembangan
kedudukan dalam tahap kedua. 2.
Tahap Kedua
102
Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 24-28
Universitas Sumatera Utara
69 Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang
Dunia I dalam perumusan Undang-undang bahwa suatu tindak pidana, dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha korporasi.Tanggung jawab untuk
itu juga menjadi beban dari pengurus badan hukum tersebut. Tanggung jawab pada tahap ini perlahan-lahan beralih dari anggota
pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin secara sesungguhnya. Tahap ini menyebabkan
korporasi dapat menjadi pembuat delik, akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para anggota pengurus, asal dinyatakan dengan tegas dalam peraturan itu.
Walaupun pertanggungjawaban pidana secara langsung dari korporasi masih belum muncul.
3. Tahap Ketiga
Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu dan sesudah Perang Dunia II.
Pada tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut Hukum Pidana. Alasan lain adalah karena
misalnya dalam delik-delik ekonomi dan fisik keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya
sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Alasan yang diajukan bahwa dengan memidana para
pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Pemidanaan korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai
Universitas Sumatera Utara
dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati peraturan bersangkutan.
Adapun tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek Hukum Pidana di Indonesia ternyata mengikuti perkembangan yang terjadi di Belanda.
Pada tahap pertama dalam W.v.S. Belanda, Pasal 51 sebelum diadakan perubahan ketentuan tersebut rumusannya sama dengan ketentuan Pasal 59 KHUP. Hal ini
dipengaruhi oleh asas universitas delingquere nonpotest, yaitu sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan.
103
Pada tahap kedua baik di Belanda maupun di Indonesia, di dalam perumusan Undang-undang dikenal bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan
oleh korporasi, akan tetapi pertanggungjawaban pidana secara langsung belum timbul, sehingga yang dapat dipertanggungjawabkan adalah pengurus
korporasi.
104
Tahap ketiga di negeri Belanda maupun di Indonesia, pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung sudah dikenal.Di negeri Belanda perkembangan
pertanggungjawaban langsung pidana korporasi pada mulanya terdapat dalamperUndang-undangan khusu di luar KUHP, seperti Pasal 15 Wet op de
Ecconomische DelictenTahun 1950, Pasal 74 jo.Pasal 2 Rijksbelastingen Wet Tahun 1959. Perkembangan ini juga terjadi di Indonesia, seperti yang terdapat
dalam Pasal 15 Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi Undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955, Pasal 17 Undang-undang Nomor 11 PNPS Tahun 1963
103
Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 61
104
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
71 tentang Tindak Pidana Subversi. Tetapi, perkembangan pertanggungjawaban
pidana secara langsung terhadap korporasi di negeri Belanda akhirnya berlaku secara umum dalam Hukum Pidana, dengan mengadakan perubahan Pasal 15
W.v.S Belanda pada tahun 1976. Akan tetapi perkembangan tersebut di Indonesia belum terjadi.
105
B. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana