Perkembangan Asas Strict Liability

BAB III ASAS STRICT LIABILITY DAN ASAS VICARIOUS LIABILITY DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

A. Perkembangan Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability

1. Perkembangan Asas Strict Liability

Asas ini pertama kali diterapkan dalam kasus Rylands vs. Fletcher pada tahun 1868 di Inggris. Dalam kasus ini penggugat adalah seorang pelaksana kegiatan penambangan batubara yang lokasinya berdekatan dengan areal tanah tergugat yang diperuntukkan untuk reservoir bagi penyuplaian air untuk mesin penggilingan. Dalam pelaksanaan pembangunan reservoir, para teknisinya tidak menyadari bahwa sisi perbatasan dengan areal penggugat adalah bekas wilayah tambang yang sedang dipergunakan oleh penggugat. Ketika instalasi reservoir semuanya sudah selesai dan air diisi ke dalamnya, tak lama kemudian reservoir itu pecah dan menggenangi wilayah tambang sebelahnya sehingga menimbulkan kerusakan atau kerugian bagi penggugat. Pengadilan tingkat pertama menyatakan bahwa dalam diri tergugat tidak terdapat unsur kelalaian, di mana pembangunan reservoir dilakukan oleh tenaga insinyur dan kontraktor yang profesional serta tidak menyadari sama sekali bahwa pada sisi perbatasan ada kawasan tambang yang sedang dikerjakan penggugat. Kasus ini di tingkat Pengadilan Pertama, yakni The Court of Exchequer, dimenangkan oleh tergugat. Tetapi ketika di tingkat banding, The Court of Exchequer Chamber, hakim berpendapat lain, di Universitas Sumatera Utara 113 mana dikatakan bahwa setiap orang dalam kegiatan menyimpan, mengumpulkan, atau membawa segala sesuatu meskipun di atas tanahnya tetapi dapat merugikan orang lain harus bertanggung jawab atas hal ini. 176 Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan bahwa apa yang dilakukan tergugat dengan memanfaatkan sumber daya alam adalah bersifat di luar kelaziman non natural use, dimana dengan memasukkan atau membawa air dalam jumlah besar ke dalam tanah galian yang secara alami air disitu tidak ada. Dengan demikian jika terjadi suatu akibat dari pemanfaatan seperti itu, maka ia harus bertanggung jawab. Seseorang hanya dapat dibebaskan jika dapat membuktikan kerugian yang timbul dari kesalahan penggugat sendiri atau karena sebab bencana alam. Dalam kasasinya pada House of Lord, ternyata putusan banding dikukuhkan oleh hakim kasasi. 177 Menurut N.H.T Siahaan yurisprudensi ini kemudian berkembang menjadi suatu dasar nilai hukum, bukan saja dalam aspek lingkungan, tetapi juga bagi masalah-masalah lain yang bersifat sangat pelik bila dikaitkan dengan berbagai perkembangan kehidupan, bahkan dipakai pula dalam sistem hukum pidana. 178 Masih menurut N.H.T Siahaan tidak begitu mudah menentukan suatu aktivitas sebagai membawa dampak berbahaya abnormally dangerous activity. Tetapi dengan kecekatan para hakim untuk menentukan kriteria yang tepat, di Amerika Serikat dengan ditunjang Common Law, maka konsep hukum 176 Eva Novianty, Op.Cit., hlm. 56 177 Ibid. 178 N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga, 2004, hlm. 313 Universitas Sumatera Utara berkembang pesat sejalan dengan teknologi dan ekonomi, termasuk dalam menentukan tanggung jawab ganti rugi dari hal-hal yang diakibatkannya. Di Amerika Serikat asas strict liability berkembang melalui putusan-putusan pengadilan yang kemudian menciptakan sejumlah kriteria untuk dapat disebut sebagai kategori sangat berbahaya extrahardous atau abnormally. Asas strict liability ini dicapai melalui dua sumber yakni, The Restatement second Torts and Statutory Laws. Melalui The Restatement second of Torts ROT, sebagaimana dalam Pasal 519 ayat 1 dan 2 menentukan bahwa seseorang yang melakukan kegiatan “abnormally dangerous” adalah bertanggung jawab atas kerusakankerugian pada orang, tanah atau harta benda bergerak yang bersumber dari akibat itu, meskipun ia melakukan sangat hati-hati utmost care to prevent harm. 179 Berdasarkan ROT, dapat diketahui sejauh mana suatu kegiatan dapat berkategori berbahaya abnormally dangerous atau hanya berakibat biasa saja. Untuk itu di bawah ini, ROT menentukan kriteria atau kategori berbahaya, yaitu: 180 1. Aktivitas itu mengandung atau menimbulkan resiko berbahaya tinggi terhadap manusia, tanah atau harta benda bergerak; 2. Memungkinkan terjadinya bahaya besar; 3. Adanya ketidakmampuan untuk meniadakan resiko dengan tindakan atau sikap hati-hati yang layak reasonable care; 179 N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan, Edisi Revisi Cetakan Kedua, Jakarta: Pancuran Alam, 2008, hlm. 338-339 180 Ibid., hlm. 339 Universitas Sumatera Utara 115 4. Kegiatan tersebut bukan merupakan hal atau kegiatan yang lazim; 5. Terdapatnya ketidaksesuaian antara sifat aktivitas tersebut dengan lingkungan atau tempat kegiatan diselenggarakan; 6. Manfaat dari kegiatan tersebut bagi masyarakat dikalahkan oleh sifat-sifat bahaya dari kegiatan itu extent to which its value to the community is outwheigted by its dangerous attributes. Sebagaimana Achmad Santosa et. al. mencatat, seperti yang dikutip oleh N.H.T Siahaan, bahwa untuk menentukan apakah suatu aktivitas digolongkan di dalam kategori sangat berbahaya supaya dapat masuk ke dalam persoalan penerapan asas strict liability, maka Hakim disini senantiasa berpedoman kepada putusan-putusan Hakim terdahulu, yang kemudian oleh para pakar disarikan menjadi kriteria-kriteria yang tertuang dalam ROT. 181 Secara undang-undang statutory laws, asas strict liability dapat dilihat dalam beberapa perundang-undangan Amerika Serikat, yakni antara lain dalam: 182 1. Federal Water Pollution Control Act Pasal 331; 2. Trans Alaska Pipelines Authorization Act Section 204; 3. The Comprehensive Environmental Response Compensation and Liability Act CERCLA Pasal 107. Strict liability telah diterapkan di berbagai negara, selain Amerika Serikat, Inggris bahkan juga Belanda dan Indonesia. Di Belanda, menurut van den Berg selain tanggung jawab berdasarkan kesalahan schuldaansprakelijkheid dikenal 181 Ibid. 182 N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan, Op.Cit., hlm. 340 Universitas Sumatera Utara pula tanggung jawab berdasarkan strict liability, yang disebut dengan “risico aansprakelijkheid”, yakni tanggung jawab yang dipertajam, tanpa mendasarkannya kepada kesalahan, yang diberlakukan kepada nuclear installation, transport of fissionable material dan the sea transport of crude oil. 183 E. Saefullah Wiradipradja, tentang masalah prinsip pertanggungjawaban mutlak menyatakan: 184 Romli Asmasasmita, menyatakan Hukum Pidana Inggris selain menganut asas “actus non facit reum nisi mens sit rea” a harmfull act without a blameworthy mental state is not punishable, juga menganut prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak tanpa harus membuktikan ada atau tidaknya unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana. Prinsip pertanggungjawaban pidana tersebut dikenal sebagai strict liability crimes. Prinsip pertanggungjawaban mutlak no-fault liability or liability without fault di dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan absolute liability atau strict liability.Dengan prinsip pertanggungjawawaban mutlak, dimaksudkan tanggungjawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain, suatu prinsip tanggung jawab yang memandang ‘kesalahan’ sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak. 185 Barda Nawawi Arief mengartikan pertanggungjawaban tanpa kesalahan sering diartikan secara singkat liability without fault atau dikatakan sebagai “the nature of strict liability, liability offences is that they are crimes which do not require any mens rea with regard to at least one element of their actus reus”. Pada dasarnya pertanggungjawaban mutlak tanpa kesalahan merupakan suatu 183 Ibid., hlm. 340-341 184 E. Saefullah Wiradipradja, Tanggungjawab Pengangkutan Dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, Yogyakarta: Liberty, 1989, hlm. 22 185 Romli Atmasasmita, Op.Cit., hlm. 76 Universitas Sumatera Utara 117 bentuk kejahatan yang di dalamnya tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahan dalam pemidanaan, tetapi hanya disyaratkan adanya suatu perbuatan. 186 Pendapat lain mengenai strict liability dikemukakan oleh Roeslan Saleh, sebagaimana yang dikutip oleh Mahrus Ali, sebagai berikut: Defenisi ini menurut penulis kurang tepat karena untuk dapat dipidananya pelaku tindak pidana, unsur kesalahan merupakan syarat yang harus dipenuhi. Penulis lebih sependapat dengan pengertian strict liability yang dikemukakan oleh Romli Asmasasmita yaitu unsur kesalahan bukan ditiadakan melainkan tidak harus dibuktikan. 187 Dalam tindak pidana yang bersifat strict liability yang dibutuhkan hanyalah dugaan atau pengetahuan dari pelaku, dan hal itu sudah cukup menuntut pertanggungjawaban pidana daripadanya. Jadi tidak dipersoalkan adanya mens rea karena unsur pokok strict liability adalah actus reus perbuatan sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus perbuatan, bukan mens rea kesalahan. Dalam praktik pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap, jika ada salah satu keadaan yang memaafkan. Praktik pula melahirkan aneka macam tingkatan keadaan-keadaan mental yang dapat menjadi syarat ditiadakannya pengenaan pidana, sehingga dalam perkembangannya lahir kelompok kejahatan yang untuk penanganan pidananya cukup dengan strict liability. 188 L.B. Curzon mengemukakan tiga alasan mengapa di dalam strict liability aspek kesalahan tidak perlu dibuktikan. Pertama, adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk 186 Barda Nawawi Arief, Op.Cit.,hlm. 31-32 187 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Kotporasi, Op.Cit., hlm. 113 188 Ibid. Universitas Sumatera Utara kesejahteraan masyarakat. Kedua, pembuktian adanya mens rea akan menjadi sulit untuk pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan. 189 Sedangkan Lord Pearce sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali berpendapat bahwa banyak faktor yang melatarbelakangi pembentuk Undang-undang menetapkan penggunaan strict liability dalam Hukum Pidana, yaitu karena: 190 1. Karakteristik dari suatu tindak pidana; 2. Pemidanaan yang diancamkan; 3. Ketiadaan sanksi sosial the absence of social obluqoy; 4. Kerusakan tertentu yang ditimbulkan; 5. Cakupan aktivitas yang dilakukan; dan 6. Perumusan ayat-ayat tertentu dan konteksnya dalam suatu perUndang- undangan. Keenam faktor tersebut menunjukkan bahwa betapa pentingnya perhatian publik public concern terhadap perilaku-perilaku yang perlu dicegah dengan penerapan strict liability agar keamanan masyarakat public safety, lingkungan hidup environment, dan kepentingan-kepentingan ekonomi masyarakat the economic interest of the public, termasuk perlindungan konsumen terjaga. 191 Dalam ruang lingkup pertanggungjawaban pidana yang tanpa kesalahan, sering dipersoalkan apakah strict liability sama dengan absolute liability. 189 Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005, hlm. 142 190 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 114 191 Ibid. Universitas Sumatera Utara 119 Ungkapan strict liability pertama sekali dikemukakan oleh W.H Wienfield pada tahun 1926 dalam sebuah artikel yang berjudul The Myth of Absolute Liability sedangkan ungkapan frase absolute liability dipergunakan untuk pertama kali oleh John Salmond dalam bukunya berjudul The Law of Torts pada tahun 1907. 192 Ada dua pendapat yang saling bersebrangan berkaitan dengan apakah strict liability sama dengan absolute liability. Pendapat pertama yang menyatakan bahwa strict liability merupakan absolute liability sedangkan pendapat yang kedua menyatakan bahwa strict liability berbeda dengan absolute liability. 193 Alasan atau dasar pikiran yang menyatakan bahwa strict liability sama dengan absolute liability adalah bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang actus reus sebagaimana yang dirumuskan dalam Undang-undang, sudah bisa dipidana tanpa perlu mempersoalkan apakah pembuat mempunyai kesalahan mens rea atau tidak. Sebaliknya, pendapat yang menyatakan strict liability bukan absolute liability adalah bahwa meskipun terdapat orang yang telah melakukan perbuatan yang terlarang sebagaimana dirumuskan dalam Undang-undang, orang tersebut belum tentu dipidana. 194 Kritik terhadap pendapat yang kedua strict liability bukan absolute liability dikemukakan oleh Smith and Hogan dengan alasan bahwa suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara strict liability, jika tidak ada mens rea yang perlu dibuktikan satu-satunya unsur untuk actus reus yang bersangkutan. 192 E. Saefullah Wiradipradja, Op.Cit., hlm. 20 193 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 31-32 194 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 115 Universitas Sumatera Utara Unsur utama ini biasanya merupakan salah satu ciri, tetapi sama sekali tidak berarti mens rea tidak diisyaratkan sebagai unsur pokok yang tetap ada untuk tindak pidana. Smith dan Hogan mengajukan contoh A dituduh melakukan tindak pidana “menjual daging yang tidak layak untuk dimakan” karena karena dapat membahayakan kesehatan danatau jiwa orang lain. Perbuatan ini, di Inggris, termasuk tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara strict liability. Dalam kasus ini, tidak perlu dibuktikan bahwa A mengetahui daging itu tidak layak dikonsumsi, tetapi tetap harus dibuktikan bahwa A sekurang-kurangnya memang menghendaki sengaja menjual daging itu. Jadi, dalam kasus ini, strict liability tidak bersifat absolute. Dalam kasus-kasus strict liability memang tidak dapat diajukan alasan- alasan pembelaan mengenai particular act yang dinyatakan terlarang menurut Undang-undang. Misalnya mengajukan adanya reasonable mistake, sedangkan pembelaan tentang keadaan-keadaan lain tetap dapat diajukan. Misalnya dalam kasus mengendarai kendaraan yang membahayakan, dapat diajukan alasan pembelaan dimana dalam mengendarai kendaraan itu, ia berada dalam keadaan otomatis. Dalam kasus ini pun, strict liability bukan absolute liability. Menurut Prof. Winfield strict liability memang dapat digolongkan ke dalam jenis absolute liability karena telah melampaui liability based on risk tetapi lingkup dan isi absolute liability jauh lebih luas dan berat daripada strict liability, lingkup dan isinya sungguh berbeda dan berlainan sehingga perlu dibedakan dan dipisahkan secara tegas. Oleh sebab itu tidaklah tepat untuk menyamakannya. Adanya pihak yang menterjemahkan strict liability menjadi tanggung jawab Universitas Sumatera Utara 121 secara mutlak yang secara harafiah merupakan terjemahan-tepat dari istilah Inggris absolute liability dengan menampilkan terjemahan strict liability sebagai tanggung jawab mutlak maka orang lantas menyamakan arti strict liability dengan vicarious liability. 195 1. Tanggung jawab secara tegas; Secara harfiah strict liability berbeda dengan absolute liability, yaitu absolute liability jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “tanggung jawab secara mutlak”, karena dalam bahasa Inggris, absolute diterjemahkan menjadi mutlak. Sedangkan istilah Inggris “strict”, secara harafiah dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi: “Tegas, Tepat, Teliti, Keras” dengan memperbandingkan di terjemahkan ke dalam bahasa Belanda menjadi “strikt; stipt; nauwgezet; streng”. Dengan demikian, secara harafiah istilah strict liability itu diterjemahkan menjadi: 2. Tanggung jawab secara tepat; 3. Tanggung jawab secara teliti; 4. Tanggung jawab secara keras. Lebih lanjut dinyatakan bahwa “strict liability” adalah tanggung jawab yang timbul tanpa adanya kesalahan atau kelalaian. Sebaliknya, jika kesalahan dapat dibuktikan “adanya” maka “tanggung jawab” tersebut berubah menjadi “absolute” mutlak. Justru di sinilah letak perbedaannya. Beban kewajiban 195 Eva Novianty, Analisa Ekonomi Dalam Penggunaan Gugatan Strict Liability Kasus Lumpur Lapindo, Jakarta: Universitas Indonesia, 2011, hlm. 68-69 Universitas Sumatera Utara terkandung dalam absolute liability dengan sendirinya tentu lebih berat daripada beban kewajiban yang lahir dari strict liability. Terlepas dari perbedaan pandangan ahli terkait sama atau tidaknya strict liability dan vicarious liability, penerapan strict liability sangat erat kaitannya dengan ketentuan-ketentuan terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi landasan penerapan strict liability, dikemukakan beberapa patokan, antara lain: 196 1. Tidak berlaku umum terhadap semua jenis tindak pidana tetapi sangat terbatas dan tertentu, terutama mengenai kejahatan anti sosial atau yang membahayakan sosial. 2. Perbuatan itu benar-benar bersifat melawan hukum yang sangat bertentangan dengan kehati-hatian yang diwajibkan hukum dan kepatutan. 3. Perbuatan itu dilarang dengan keras oleh Undang-undang karena dikategorikan sebagai aktivitas atau kegiatan yang sangat potensial mengandung bahaya kepada kesehatan, keselamatan dan moral publik. 4. Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan dilakukan dengan cara tidak melakukan pencegahan yang sangat wajar. Menurut Romli Asmasasmita, pembentuk Undang-undang telah menetapkan bila aturan tentang strict liability crimes dapat diberlakukan sebagai berikut: 197 1. Kejahatan yang dilakukan bukan kejahatan berat; 2. Ancaman hukuman yang berlaku adalah ringan; 196 Ibid., hlm. 116 197 Romli Asmasasmita, Op.Cit., hlm. 78 Universitas Sumatera Utara 123 3. Syarat adanya mens rea akan menghambat tujuan perUndang-undangan; 4. Kejahatan yang dilakukan secara langsung merupakan paksaan terhadap hak- hak orang lain; 5. Menurut Undang-undang yang berlaku mens rea secara kasuistik tidak diperlukan. Prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak ini menurut Hukum Pidana Inggris hanya diberlakukan terhadap perkara pelanggaran ringan yaitu pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejahteraan umum tidak berlaku terhadap pelanggaran yang bersifat berat. Termasuk ke dalam kategori pelanggaran-pelanggaran tersebut diatas adalah: 1. Contempt of court atau pelanggaran terhadap tata tertib pengadilan; 2. Criminal Libel atau defamation atau pencemaran nama baik seseorang; 3. Public nuisance atau mengganggu ketertiban masyarakat umum. Akan tetapi kebanyakan strict liability terdapat pada delik-delik yang diatur dalam Undang-undang statutory offence; regulatory offences; mala prohibita yang pada umumnya merupakan delik-delik terhadap kesejahteraan umum public walefare offences. Termasuk regulatory offences misalnya, penjualan makanan dan minuman atau obat-obatan yang membahayakan, penggunaan gambar dagang yang menyesatkan dan pelanggaran lalu lintas. 198 Contoh kasus berkaitan dengan penerapan strict liability adalah kasus Prince yang intinya sebagai berikut: 199 198 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 39 199 Ibid., hlm. 39-40 Universitas Sumatera Utara Prince dituduh menarik dari kekuasaan orang tua seorang gadis yang berumur 16 tahun tanpa izin orang tuanya melanggar Pasal 55 Offences Againts the Person Act 1861 yang diperbaharui dengan Pasal 27 Sexual Offences Act 1956. Di muka sidang Prince mengemukakan alasan, bahwa ia memang mengetahui gadis itu di bawah kekuasaan orang tuanya, tetapi ia mengiraberkeyakinan bahwa gadis itu berumur 18 tahun, berdasarkan juga pengakuan gadis itu kepada Prince. Pengadilan berpendapat bahwa terhadap perbuatan “menarik gadis dari kekuasaan orang tua” harus tetap membuktikan adanya kesengajaan, tetapi terhadap “usia gadis tersebut”, yaitu 16 tahun tidak harus membuktikan karena Undang-undang tidak mensyaratkan pengetahuan terhadap umur dari gadis itu. Prince tetap dipidana. Contoh kasus pidana lainnya adalah kasus Alpaceel Ltd Vs Woodward 1972, yaitu: 200 Pertanggungjawaban tanpa kesalahan bukan hanya monopoli Common Law system saja karena dalam civil law system pertanggungjawaban semacam tersebut juga dikenal. Menurut Moeljatno di Belanda pertanggungjawaban semacam itu dikenal dengan nama Leer van heit materielle feit atau fait materielle atau tindakan materil. Ajaran ini dahulunya diberlakukan terhadap tindak pidana pelanggaran. Sebuah perusahaan dihukum oleh pengadilan tingkat pertama dengan tuduhan sebagai sebagai penyebab terpolusinya air sungai.Terdakwa menentang tuduhan itu dengan mengatakan bahwa jaksa harus membuktikan adanya kesengajaan, kelupaan atau kesembronoan dari terdakwa. House of Lord menolak argumen terdakwa dan tetap menjatuhkan hukuman kepada terdakwa. 201 200 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana , Op.Cit., hlm. 118 201 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 104 Namun Hoge Raad melalui Melkboer Arrest atau Water en Melk Arrest telah menolak ajaran fait materielle tersebut, melalui dasar pemaaf pidana awezigheid van alle schuld avas dimana seseorang tidak dipidana karena tidak Universitas Sumatera Utara 125 ada unsur kesalahan sama sekali atau tidak ada sifat tercela. 202 Dalam praktik di Indonesia, ajaran strict liability sudah diterapkan, antara lain untuk pelanggaran Ialu lintas. Para pengemudi kendaraan bermotor yang melanggar lampu lalu lintas, misalnya tidak berhenti pada waktu lampu lalu lintas menunjukkan lampu yang berwarna merah menyala, akan ditilang oleh polisi dan selanjutnya akan di sidang di pengadilan. Hakim dalam memutuskan hukuman atas pelanggaran tersebut tidak akan mempersoalkan ada tidak adanya kesalahan pada pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas itu. Pada Pasal 211 KUHAP pembuktian pelanggaran-pelanggaran jenis lalu lintas jalan tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan nyata seketika itu, karena tidak mungkin dipungkiri lagi oleh pelanggar. Berita acara yang ditiadakan diganti dengan bukti pelanggaran lalu lintas tertentu disingkat TILANG yang diisi oleh penegak hukum POLRI Satuan Lalu Lintas. Oleh karena itu, tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh Undang-undang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat tindakan pidananya telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur Sejak saat itu, asas ini dinyatakan tidak berlaku lagi. 202 Peristiwa Melkboer Arrest atau Water en Melk Arrest : seorang pengusaha susu sapi perah mencampurkan susu dengan air. Pegawainya tidak tahu tentang pencampuran ini. Kemudian pegawai ini mengantarkan susu tersebut kepada konsumen dengan merk susu sapi murni. Pada saat itu di Amsterdam terdapat larangan untuk mencampurkan susu dengan air dan menjualnya. Atas perbuatannya tersebut kemudian pengusaha tersebut diadukan ke polisi. Kemudian pengusaha dan pegawainya tersebut dijadikan terdakwa. Hakim memutuskan bahwa pegawai tersebut di bebaskan karena padanya tidak ada kesalahan sama sekali. Sedangkan pengusaha tersebut dipidana. Pengusaha tersebut kemudian mengajukan kasasi yang ditolak oleh Hoge Raad atas dasar tiada pidana tanpa kesalahan. Universitas Sumatera Utara tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Sebagai ius constituendum asas pertanggungjawaban strict liability diatur dalam konsep Rancangan KUHP 2011-2012 Pasal 38 ayat 1 yang berbunyi: “bagi tindak pidana tertentu, Undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan” Dalam penjelasan ketentuan Pasal 38 ayat 1 dinyatakan bahwa ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian terhadap asas pidana tanpa kesalahan. Oleh karena itu tidak berlaku bagi semua tindak pidana tetapi hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh Undang-undang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat tindak pidana telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Disini kesalahan pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas strict liability.

2. Perkembangan Asas Vicarious Liability

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Yayasan Yang Melakukan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor 275 K/ Pid.Sus/ 2012 Tentang Yayasan Uisu)

9 114 121

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 862 K/Pid.Sus./2010)

0 0 9

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA A. Tinjauan Umum Tentang Korporasi 1. Pengertian Korporasi - Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis

0 0 62

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 862 K/Pid.Sus./2010)

0 1 40

Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 862 K/Pid.Sus./2010)

0 1 9

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI (CORPORATE LIABILITY) DALAM TINDAK PIDANA PERIKANAN

0 1 133

DISERTASI ASAS STRICT LIABILITY DALAM HUKUM PIDANA NARKOTIKA

0 0 20

PENERAPAN ASAS PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK (STRICT LIABILITY) DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP - repo unpas

0 0 31