Tujuan dan Manfaat Penulisan Metode Penulisan

21 sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Mengetahui bentuk pertanggungjawaban terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. 2. Mengertahui penerapan asas strict liability dan asas vicarious liability terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Adapun manfaat yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah : a. Secara Teoritis 1 Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan Hukum Pidana dan khususnya masalah asas strict liability dan asas vicarious liability terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana. 2 Hasil penulisan diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi kepada pendidikan ilmu hukum mengenai penerapan asas strict liability dan asas vicarious liability terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana Universitas Sumatera Utara berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3 Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pembuat Undang-undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut mengenai asas strict liability dan asas vicarious liability terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana. b. Secara Praktis Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan penjelasan bagi Mahasiswa maupun bagi masyarakat pada umumnya mengenai asas pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana khususnya mengenai asas strict liability dan asas vicarious liability berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

E. Tinjauan Pustaka 1. Pidana, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana

Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana. Untuk pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah-istilah lain, yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana dan hukuman pidana. Moeljatno mengatakan, istilah hukuman yang berasal dari “straf” dan istilah “dihukum” berasal dari “wordt gestraft” merupakan istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah itu dan menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata “straf” dan diancam Universitas Sumatera Utara 23 dengan pidana untuk menggantikan kata “wordt gestraft”. Menurut Moeljatno, kalau kata “straf” diartikan sebagai “hukuman” maka “strafrecht” seharusnya diartikan sebagai hukuman-hukuman. 14 Istilah “hukuman” yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak saja hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya. 15 Sudarto mengartikan pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Oleh karena itu, pidana merupakan istilah khusus sehingga perlu adanya pembatasan pengertian dari pidana. 16 Roeslan Saleh memberi pengertian pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pelaku delik itu. Dalam kamus Black’s Law Dictionary dinyatakan bahwa punishment adalah: 17 14 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 185 15 Ibid. 16 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 109-110 17 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 186 Any fine, or penalty or confinement upon a person by authority of the low and the judgement and sentence of a court, for some crime on offence committed by him, or for his omission of a duty enjoined by law. setiap denda atau hukuman yang dijatuhkan pada seseorang melalui sebuah kekuasaan suatu hukum atau vonis serta putusan sebuah pengadilan bagi kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan olehnya, atau karena kelalaiannya terhadap suatu kewajiban yang dibebankan oleh aturan hukum. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan pengertian pidana yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa pidana memuat unsur-unsur sebagai berikut: 18 1 Pidana pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; 2 Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan oleh yang berwenang; 3 Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh negara atas diri seseorang karena telah melanggar hukum; 4 Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Istilah tindak pidana diartikan beberapa sarjana sebagai perbuatan pidana atau peristiwa pidana, istilah-istilah ini digunakan untuk mengartikan strafbaar feit. Sarjana-sarjana yang mengartikan strafbaar feit sebagai peristiwa pidana adalah Simon, seorang guru besar ilmu hukum pidana Universitas Utrecht, serta van Hamel guru besar ilmu hukum pidana Universitas Kerajaan di Leiden. Menurut Simons strafbaar feit terjemahan secara harfiah: peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan schuld seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus sengaja dan culpa alpa atau lalai. Dari rumusan tersebut Simons menyatukan unsur-unsur perbuatan pidana meliputi perbuatan dan sifat melawan hukum dan 18 Ibid. Universitas Sumatera Utara 25 pertanggungjawaban pidana meliputi kesengajaan, kealpaan, kelalaian dan kemampuan bertanggung jawab. 19 Van Hamel menguraikan strafbaar feit sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang, melawan hukum, straafwardig patut atau bernilai untuk dipidana, dan dapat dicela karena kesalahan en aan schuld te wijten. Unsur-unsur strafbaar feit menurut van Hamel meliputi: 20 a. Perbuatan: perbuatan itu ditentukan oleh hukum pidana tertulis asas legalitas; b. Melawan hukum: bernilai atau patut dipidana sesuai dengan ajaran sifat melawan hukum materiil yaitu kesengajaan, kelalaiankealpaan dan kemampuan bertanggung jawab. Adapun menurut Moeljatno, istilah peristiwa pidana kurang tepat untuk digunakan sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkrit, yang hanya menunjukkan kepada suatu kejadian yang tertentu saja, misalnya matinya orang. Peristiwa ini saja tidak mungkin dilarang, Hukum Pidana tidak melarang adanya orang mati tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain. Jika matinya orang disebabkan oleh sakit, karena binatang, tertimpa pohon, maka peristiwa itu tidak peting sama sekali bagi Hukum Pidana. Baru apabila matinya 19 Zainal Abidin Farid, HukumPidana I, Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm. 224 20 Ibid., hlm. 225 Universitas Sumatera Utara ada hubungannya dengan kelakuan orang lain disitulah peristiwa itu menjadi penting bagi hukum pidana. 21 Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Antara larangan dan ancaman pidana terdapat hubungan yang erat, maka antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang kejadian yang ditimbulkan olehnya. Untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka digunakan kata perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu. 22 Adapun istilah tindak pidana dipakai oleh Prodjodikoro untuk menyebut strafbaar feit. Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia memberikan definisi “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict. Tindak pidana berarti 21 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Keempat, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 55 22 Ibid., hlm 54 Universitas Sumatera Utara 27 suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana. 23 H.A. Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah juga lebih cenderung memakai istilah delik yang menurutnya netral dan praktis dan tidak adakritikan. Demikian juga dengan Sutan Remy Sjahdeini, lebih cenderung memakai istilah delik atau tindak pidana karena merupakan istilah resmi yang dipergunakan dalam perundang-undangan. 24 Tindak pidana lingkungan hidup adalah suatu bentuk tindak pidana yang timbul seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Perkembangan di dalam masyarakat dipastikan memberikan pengaruh terhadap perubahan dan perkembangan kualitas tindak pidana. Perserikatan Bangs-Bangsa dalam Kongres ke-6 tentang Prevention of Crime and The Treatment of offenders di Caracas tahun 1980 berpendapat bahwa antara pembangunan dan kejahatan terdapat hubungan yang saling berpengaruh yang melahirkan kriminalisasi sekaligus dekriminalisasi, oleh karena itu pasal-pasal undang-undang hukum pidana harus diperluas, mencakup tindakan-tindakan disengaja yang merusak kekayaan alam dan kesejahteraan nasional, misalnya pelanggaran-pelanggaran terhadap lingkungan hidup. 25 23 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2008, hlm. 58 24 Hasbullah F. Sjawei, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013, hlm. 250 25 Henny Damaryanti, Tesis: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Semarang: Universitas Diponegoro, 2002, hlm. 29 Universitas Sumatera Utara Kriminalisasi yang dimaksud adalah suatu proses yang menjadikan suatu perbuatan yang tadinya bukan merupakan tindak pidana karena belum diatur di dalam undang-undang hukum pidana, kemudian karena perbuatan tersebut dapat mengakibatkan kerugian bagi masyarakat bahkan dapat membahayakan kehidupan manusia, maka dirumuskan di dalam undang-undang Hukum Pidana dan diancam dengan pidana, sehingga perbuatan dimaksud dinyatakan sebagai tindak pidana. 26 Tindak pidana lingkungan hidup sering disebut dengan istilah delik lingkungan atau kejahatan lingkungan environmental crime, berkaitan erat dengan dan sering merupakan hasil dari kegiatan di bidang bisnis dan industri, sehingga dimasukkan sebagai salah satu bentuk dari “crimes as business” atau “economic abuses”. Pada hakikatnya tindak pidana lingkungan hidup berkaitan erat dengan “keseluruhan syarat hidup yang bersifat asasi bagi manusia” the totality of mankind’s basic natural living conditions, yang berarti berkaitan erat dengan keseluruhan kondisi struktur sosial socio-structural conditions, maka wajar dikatakan bahwa tindak pidana lingkungan hidup merupakan suatu bentuk kejahatan struktural structural criminality. 27 Adanya suatu tindak pidana, bukan berarti sudah pasti akan ada suatu pertanggungjawaban pidana karena tindak pidana atau perbuatan pidana hanya menunjukkan kepada dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Persoalan mengenai apakah orang yang melakukan perbuatan 26 Ibid., hlm. 12 27 Ibid., hlm. 30 Universitas Sumatera Utara 29 atau tindakan kemudian dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan. Sebab terdapat asas yang dikenal dalam hukum pidana yaitu tiada pidana tanpa kesalahan geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea. 28 Dengan demikian, membicarakan pertanggungjawaban pidana harus didahului dengan penjelasan tentang perbuatan atau tindak pidana. Seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia melakukan tindak pidana. Adalah dirasa tidak adil jika tiba-tiba seseorang harus bertanggung jawab atas suatu tindakan, sedangkan ia sendiri tidak melakukan tindakan tersebut. 29 Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” ini merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan “an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy”. Beradasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarangperbuatan pidana actus reus dan sikap batin jahattercela mens rea. 30 Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang 28 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 153 29 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 155 30 Ibid., hlm. 157 Universitas Sumatera Utara itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan. 31 Sudarto mengatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. 32 Konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana mengalami perkembangan sejak diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana disamping manusia. Manakala korporasi juga diakui sebagai subjek hukum disamping manusia, maka konsep pertanggungjawaban pidana harus diciptakan agar korporasi juga dapat dijatuhi pidana ketika terbukti melakukan tindak pidana. Secara teoritis, terdapat tiga teori atau sistem pertanggungjawaban pidana pada subjek hukum korporasi, yaitu teori identifikasi, strict liability dan vicarious 31 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, Jakarta: Kencana. 2006, hlm. 68 32 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 156-157 Universitas Sumatera Utara 31 liability. Ketiga teori atau sistem pertanggungjawaban ini, pada hakikatnya merupakan respon terhadap eksistensi korporasi yang dewasa ini diakui sebagai subjek hukum pidana. 33

2. Asas Strict Liability Terhadap Korporasi

Konsep strict liability merupakan konsep yang ada dalam sistem hukum Common Law. Pada mulanya, sistem pertanggungjawaban tersebut diterapkan dalam kasus-kasus perdata. Namun dalam perkembangannya, konsep strict liability juga diterapkan pada kasus-kasus pidana tertentu yang dianggap membahayakan sosial, seperti narkotika, pelanggaran lalu lintas, makanan dan lain-lain. 34 Asas strict liability diartikan sebagai pertanggungjawaban yang ketat, artinya seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan mens rea. Secara singkat, strict liability diartikan sebagai “liability without fault” pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan. 35 Dalam perbuatan pidana yang bersifat strict liability, hanya dibutuhkan dugaan atau pengetahuan dari pelaku terdakwa, sudah cukup menuntut pertanggungjawaban pidana dari padanya. Jadi tidak dipersoalkan adanya mens rea, karena unsur pokok strict liability adalah actus reus perbuatan, sehingga harus dibuktikan adalah actus reus perbuatan bukan mens rea. 36 33 Ibid., hlm. 160 34 Ibid., hlm. 163 35 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 111 36 Mahrus Ali, Loc.Cit. Universitas Sumatera Utara Ted Honderich menyatakan bahwa premise dalilalasan yang bisa dikemukakan untuk pembenaran strict liability dalam hukum pidana adalah: 37 a. Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untu tindak pidana tertentu. b. Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk menghindari adanya bahaya yang sangat luas. c. Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability adalah ringan. Prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak ini menurut Hukum Pidana Inggris hanya diberlakukan terhadap perkara pelanggaran ringan yaitu pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejahteraan umum tidak berlaku terhadap pelanggaran yang bersifat berat. Termasuk ke dalam kategori pelanggaran-pelanggaran tersebut diatas adalah: 38 1. Contempt of court atau pelanggaran terhadap tata tertib pengadilan; 2. Criminal Libel atau defamation atau pencemaran nama baik seseorang; 3. Public nuisance atau mengganggu ketertiban masyarakat umum. Akan tetapi kebanyakan strict liability terdapat pada delik-delik yang diatur dalam Undang-undang statutory offence; regulatory offences; mala prohibita yang pada umumnya merupakan delik-delik terhadap kesejahteraan umum public walefare offences. Termasuk regulatory offences misalnya, penjualan makanan dan minuman atau obat-obatan yang membahayakan, penggunaan gambar dagang yang menyesatkan dan pelanggaran lalu lintas. 39 37 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit.,hlm. 112 38 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990, hlm. 38 39 Ibid., hlm. 39 Universitas Sumatera Utara 33 Menurut Romli Asmasasmita, pembentuk Undang-undang telah menetapkan bila aturan tentang strict liability crimes dapat diberlakukan sebagai berikut: 40 1 Kejahatan yang dilakukan bukan kejahatan berat; 2 Ancaman hukuman yang berlaku adalah ringan; 3 Syarat adanya mens rea akan menghambat tujuan perundang-undangan; 4 Kejahatan yang dilakukan secara langsung merupakan paksaan terhadap hak- hak orang lain; 5 Menurut undang-undang yang berlaku mens rea secara kasuistik tidak diperlukan. Adapun kriteria penerapan strict liability dalam perkara pidana pada prinsipnya tidak bersifat generalisasi. Jadi tidak terhadap semua tindak pidana boleh diterapkan. Akan tetapi yang bercorak khusus, yaitu: 1 Ketentuan undang-undang sendiri menentukan atau paling tidak undang- undang sendiri cenderung untuk menuntut strict liability; 2 Penerapannya hanya ditentukan terhadap tindak pidana yang bersifat larangan khusus atau tertentu. Penerapan strict liability sangat erat kaitannya dengan ketentuan tertentu dan terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi landasan penerapan strict liability, dapat dikemukakan beberapa patokan antara lain: 40 Romli Asmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2000, hlm. 78 Universitas Sumatera Utara a. Tidak berlaku umum terhadap semua jenis tindak pidana, tetapi sangat terbatas dan tertentu, terutama mengenai kejahatan anti sosial atau yang membahayakan sosial; b. Perbuatan itu benar-benar bersifat melawan hukum yang sangat bertentangan dengan kehati-hatian yang diwajibkan hukum dan kepatutan; c. Perbuatan itu dilarang dengan keras oleh undang-undang karena dikategorikan sebagai aktivitas atau kegiatan yang sangat potensial mengandung bahaya kepada kesehatan, keselamatan dan moral publik; d. Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan dilakukan dengan cara tidak melakukan pencegahan yang sangat wajar. Jika pengertian strict liability dikaji dari kesalahan normatif, maka konsekuensinya akan berlainan. Kesalahan normatif pada intinya menyatakan bahwa kesalahan ada jika kelakuan tidak sesuai dengan norma yang harus diterapkan. Kesalahan dipandang ada sepanjang norma hukum menentukan bahwa pembuatnya dapat dicela karena melakukan tindak pidana. Sebagai suatu pengertian kesalahan yang normatif, kesalahan merupakan masalah penilaian yang dilakukan berdasarkan sistem norma. Sistem norma yang menjadi patron penilaian kemudian diorientasikan terhadap fungsi dan sistem norma tersebut. Kesalahn berarti pembuat seseorang atau badan hukum, telah berbuat bertentangan dengan yang diharapkan. Pembuat telah berbuat bertentangan dengan harapan masyarakat. Hukum sebenarnya mengharapkan kepadanya untuk dapat beerbuat lain, selain tindak pidana. Dilakukannya tindak pidana pembuatnya dikatakan bersalah karena telah berbuat berbeda dari yang diharapkan masyarakat. Padahal Universitas Sumatera Utara 35 pada dirinya selalu terbuka kemungkinan untuk dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan tindak pidana tersebut. 41 Oleh karena itu, berdasarkan teori kesalahan normatif konsep strict liability tidak dianggap sebagai bentuk pengecualian dari konsep tiada pidana tanpa kesalahan tetapi sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana berdasar kesalahan. Pada strict liability pembuatnya tetap dapat diliputi kesalahan yaitu kesalahan dalam pengertian normatif. 42 Berkaitan dengan asas strict liability terdapat perbedaan pendapat dikalangan sarjana mengenai tepat atau tidaknya konsep strict liability tepat diterapkan untuk kejahatan korporasi. Mahrus Ali, guru besar ilmu hukum pidana Universitas Islam Indonesia, menyatakan penerapan konsep pertanggungjawaban strict liability tidak sesuai atau bertolak belakang dengan karakteristik kejahatn korporasi yang termasuk dalam kategori serious crime, sedangkan konsep pertanggungjawaban strict liability hanya untuk jenis kejahatan yang bersifat ringan seperti pelanggaran lalu lintas, penghinaan pengadilan yang sifatnya berupa pelanggaran. Pijakan yuridis yang dibangun untuk menuntut korporasi atas konsep pertanggungjawaban strict liability tidak kuat dan tidak beralasan. 43

3. Asas Vicarious Liability Terhadap Korporasi

Asas vicarious liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain the legal responsibility of 41 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 163-164 42 Ibid. 43 Ibid., hlm. 168 Universitas Sumatera Utara one person for the wrongful acts of another. 44 Vicarious liability lazim disebut sebagai pertanggungjawaban pengganti, yaitu pertanggungjawaban seseorang atas salah yang dilakukan oleh orang lain. 45 Dalam Black’s Law Dictionary, vicarious liability diartikan sebagai berikut: “The liability of an employer for the acts of an employee, of an principle for torts and contracts of an agent” pertanggungjawaban majikan atas tindakan dari pekerja; atau pertanggungjawaban principal terhadap tindakan agen dalam suatu kontrak. 46 Vicarious liability berasal dari ajaran doctrine of respondeat superior dimana dalam hubungan karyawan dengan majikan atau antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa berlaku adagium qui facit per alium facit per se yang Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal perbuatan- perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu adalah dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatan. Jadi, pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya. Dengan demikian dalam pengertian vicarious liability ini, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih dapat dipertanggungjawabkan. Rasionalitas penerapan teori ini adalah ksrens majikan korporasi memiliki kontrol dan kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung dimiliki oleh majikan korporasi. 44 Romli Asmasasmita, Op.Cit., hlm. 79 45 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 118 46 Ibid., hlm. 119 Universitas Sumatera Utara 37 berarti seseorang yang berbuat melalui orang lain dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan oleh ia sendiri. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan orang lain dalam hal-hal sebagai berikut: 47 1. Ketentuan umum yang berlaku menurut Common Law ialah bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara vicarious liability untuk tindak pidana yang dilakukan oleh pelayanburuhnya. Pada prinsipnya, menurut Common Law, seorang majikan tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh pelayannya 2. Menurut Undang-undang statute law, vicarious liability dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut: a. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegasikan the delegation principle; b. Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisikjasmaniah dilakukan oleh buruhpekerjanya apabila menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikan the servant’s act is the master’s act in law. Jadi apabila si pekerja sebagai pembuat materilfisik auctor fisicus dan majikan sebagai pembuat intelektual auctor intellectualis. 47 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 31 Universitas Sumatera Utara Dalam vicarious liability terdapat dua syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan asas vicarious liability terhadap perbuatan pidana, yaitu: 48 1 Harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan pekerjaan antara majikan dengan pekerja; dan 2 Tindak pidana yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya. Prinsip hubungan kerja dalam vicarious liability disebut dengan prinsip delegasi, yakni berkaitan dengan pemberian izin kepada seseorang untuk mengelola suatu usaha. Si pemegang izin tidak menjalankan langsung usaha tersebut, akan tetapi ia memberikan kepercayaan mendelegasikan secara penuh kepada seorang manager untuk mengelola usaha tersebut. Jika manager itu melakukan perbuatan melawan hukum, maka si pemegang izin pemberi delegasi bertanggung jawab atas perbuatan manager itu. Sebaliknya, apabila tidak terdapat pendelegasian maka pemberi delegasi tidak bertanggung jawab atas tindak pidana manager tersebut. 49 Jika teori vicarious liability dihubungkan dengan kejahatan korporasi, hal demikian merupakan upaya untuk menjerat korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh pegawainya. Pembebanan pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada atasan direktur atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh bawahan dalam sebuah struktur organisasi korporasi, dikarenakan perbuatan yang 48 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 169-170 49 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Op.Cit., hlm. 119-120 Universitas Sumatera Utara 39 dilakukan oleh bawahan tersebut adalah untuk kepentingan korporasi itu sendiri, sehingga dengan sendirinya pertanggungjawaban tersebut dibebankan kepada atasan direktur yang dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama korporasi. Keuntungan yang diperoleh dari hasil kejahatan yang dilakukan oleh bawahan pada dasarnya akan kembali dan merupakan keuntungan dari korporasi. Alangkah tidak adil jika yang dibebani pertanggungjawaban adalah bawahan atas kesalahan yang dilakukannya, sedangkan dia sendiri bekerja untuk kepentingan korporasi, dan keuntungan yang diperoleh tidak dimiliki olehnya tetapi dimiliki oleh korporasi. 50 Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada atasan direktur atas dasar pertanggungjawaban pengganti vicarious liability dimaksudkan untuk mencegah atau paling tidak meminimalisir tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi melalui pengurusnya. Hal ini karena korporasi memainkan peranan penting dalam segala aspek kehidupan, dan tidak jarang korporasi mempunyai peranan yang sangat besar bagi terjadinya kejahatan-kejahatan yang menimbulkan korban dan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat. Dengan adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada atasan direktur yang merupakan perpanjangan tangan korporasi atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh bawahannya, diharapkan korporasi melalui pengurusdirektur dapat lebih berhati-hati didalam menjalankan aktivitasnya, khusunya yang bersinggungan langsung dengan kepentingan masyarakat luas. Didalam menjalankan aktivitasnya 50 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Op.Cit., hlm. 170 Universitas Sumatera Utara korporasi tidak hanya memikirkan bagaimana memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyak, tetapi lebih jauh juga memikirkan atau mengkaji kemungkinan- kemungkinan negatif yang akan timbul akibat aktivitasnya itu, yang tidak jarang menimbulkan kerugian yang sangat besar baik di bidang ekonomi, sosial dan lain sebagainya. 51

3. Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Subjek tindak pidana yang diakui oleh KUHP adalah manusia natuurlijk person. Konsekuensinya, yang dapat menjadi pelaku tindak pidana adalah manusia. Hal ini dapat dilihat dari rumusan delik dalam KUHP yang dimulai dengan kata-kata “barang siapa”. Kata “barang siapa” menunjukkan pada orang atau manusia, bukan badan hukum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam ketentuan umum KUHP Indonesia yang digunakan sampai saat ini, Indonesia masih menganut bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia. Sedangkan fiksibadan hukum rechts person tidak diakui dalam hukum pidana. 52 Namun dalam perkembangannya, ada usaha untuk menjadikan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana, yaitu adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya. Usaha tersebut dilatarbelakangi fakta bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil kejahatan yang dilakuka n pengurusnya. Begitu juga dengan kerugian yang dialami oleh masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindakan pengurus korporasi. Oleh karenanya tidak adil kalau korporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti manusia. 53 51 Ibid., hlm. 170-171 52 Ibid., hlm. 111 53 Ibid., hlm. 111-112 Universitas Sumatera Utara 41 Barda Nawawi Arief menyatakan, untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas lebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, artinya harus dipastikan dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subjek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk pidana yang bersangkutan. Setelah pelaku ditentukan, selanjutnya bagaimana mengenai pertanggungjawaban pidananya. 54 Adapaun mengenai penggolongan badan usaha dapat dijumpai dalam KUH Perdata dan KUH Dagang, diantaranya: Berkaitan dengan tindak pidana lingkungan hidup, korporasi sudah diakui sebagai subjek tindak pidana lingkungan hidup. Hal ini bisa dilihat dari pengertian “setiap orang” dalam Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah orang perorangan atau badan usaha baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 55 1. Persekutuan diatur dalam Pasal 1618 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1652 KUH Perdata; 2. Perkumpulan diatur dalam Pasal 1653 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1665 KUH Perdata; 54 Muladi dan Dwidja Prayitno. Op.Cit., hlm.82 55 Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta: PT Softmedia, 2011, hlm. 55 Universitas Sumatera Utara 3. Firma diatur dalam Pasal 16 KUH Dagang sampai dengan Pasal 35 KUH Dagang; dan 4. Komanditer Pasal 16 KUH Dagang sampai dengan Pasal 35 KUH Dagang. Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli Hukum Pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa Belanda disebut rechtpersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal body. 56 Menurut terminologi Hukum Pidana, bahwa “korporasi adalah badan atau usaha yang mempunyai identitas sendiri, kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan anggota”. 57 A.Z Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum, untuk tujuan tertentu. 58 Muladi dan Dwidja Prayitno, dalam bukunya Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, menyatakan bahwa korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum, yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Badan hukum oleh karena itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum. 59 Korporasi dalam ruang geraknya dimaksudkan untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat luas, sehingga tujuan memajukan kesejahteraan 56 H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Malang: Bayumedia, 2003, hlm. 2 57 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 17 58 A.Z Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983, hlm. 54 59 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 31 Universitas Sumatera Utara 43 umum yang diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan guna meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia. Korporasi dapat melakukan tindak pidana melalui pejabat seniornya yang memiliki kedudukan dan kekuasaan untuk berperan sebagai otak dari korporasi. Pejabat senior tersebut adalah mereka yang mengendalikan korporasi, baik sendirian maupun bersama-sama dengan pejabat senior yang lain, yang mencerminkan dan mewakili pikiran atau kehendak dari korporasi. Para pengendali korporasi dalam pengertian luas terdiri dari para direktur dan manajer. Sedangkan, para pegawai biasa dan agen yang hanya melaksanakan apa yang telah diarahkan oleh pejabat senior. Tindak pidana yang dilakukan korporasi seringkali tidak tampak kelihatan karena kompleksitas dan dilakukan dengan perencanaan yang matang, serta pelaksanaannya yang rapi dan terkoordinasi serta memiliki dimensi ekonomi. Selanjutnya, tidak tampaknya tindak pidana yang dilakukan korporasi oleh karena dari tingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan bahkan dalam penegakan hukumnya lemah, karena ketentuan hukum positif yang mengaturnya masih dapat ditafsirkan ganda serta sikat tidak acuh masyarakat atas tindak pidana yang telah dilakukan oleh korporasi. 60 60 Alvi Syahrin, Op.Cit., hlm. 57 Universitas Sumatera Utara Tindak pidana lingkungan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi badan usaha, setidak-tidaknya didalamnya terdapat: 61 1. Tindakan illegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan prilaku kriminal kelas sosial ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas Hukum Perdata dan Hukum Administrasi; 2. Baik korporasi sebagai “subjek hukum perseorangan atau legal person” dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan as a illegal actors, dimana dalam praktek yudisialnya, antara lain bergantung pada kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan; 3. Motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan hanya bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional internal dan sub-kultur organisasional. Korporasi sebagai subjek hukum tidak hanya menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip ekonomi mencari keuntungan sebesar-besarnya tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Terjadinya pencemaran danatau kerusakan lingkungan, kebanyakan dilakukan dalam konteks menjalankan suatu usaha ekonomi dan sering juga 61 Ibid., hlm. 58 Universitas Sumatera Utara 45 merupakan sikap penguasa maupun pengusaha yang tidak menjalankan atau melalaikan kewajiban-kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup terus meningkat sejalan dengan meningkatnya kegiatan industri atau sejenisnya, tentunya lingkungan hidup perlu mendapat perlindungan hukum. Lingkungan hidup dengan sumber dayanya adalah kekayaan bersama yang dapat digunakan setiap orang, yang harus dijaga untuk kepentingan masyarakat untuk generasi mendatang. Perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alamnya dengan demikian mempunyai tujuan ganda, yaitu melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhannya dan melayani kepentingan-kepentingan individu. 62

F. Metode Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini agar menjadi tulisan karya ilmiah yang memenuhi kriteria, dibutuhkan data-data yang relevan dari skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut: 1. Pendekatan Penelitian Penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum doctrinal atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara 62 Ibid., hlm. 62 Universitas Sumatera Utara meneliti bahan pustaka dan data sekunder. 63 Penelitian asas-asas hukum menurut Scholten, sebagaimana yang dikutip oleh Amiruddin dan H. Zainal Asikin, merupakan kecendrungan-kecendrungan dalam memberikan suatu penilaian susila terhadap hukum, artinya memberikan penilaian yang bersifat etis. Asas-asas hukum tersebut ditarik darimana asalnya dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya. Metode penelititian hukum normatif pada penulisan skripsi ini yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum. 64 2. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian yuridis normatif adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian. Data sekunder diperoleh dengan cara menelurusuri bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah penerapan asas strict liability dan asas vicarious liability terhadap korporasi yaitu: 65 a. Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaidah dasar seperti peraturan perUndang-undangan. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti: Rancangan Undang-undang, buku-buku, artikel- artikel, hasil-hasil penelitian, pendapat para ahli hukum yang berkaitan dengan skripsi. 63 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2004, hlm. 118-119 64 Ibid., hlm. 123 65 Tampil Anshari Siregar, Metodologi penelitian Hukum, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2005, hlm. 76 Universitas Sumatera Utara 47 c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder contoh: kamus, ensiklopedia hukum, biografi hukum, direktori pengadilan. 3. Metode Pengumpulan Data Metode yang dipergunakan dalam pengumpulan data adalah Library Research Penelitian Kepustakaan yaitu dengan membaca dan mempelajari berbagai macam literatur yang berkaitan dengan skripsi ini. 4. Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan selanjutnya dilakukan pengolahan data.Setelah pengolahan data selesai dilakukan, selanjutnya akan dilakukan analisa data secara kualitatif untuk diambil suatu kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian skripsi ini terjawab.

G. Sistematika Penulisan

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Yayasan Yang Melakukan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor 275 K/ Pid.Sus/ 2012 Tentang Yayasan Uisu)

9 114 121

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 862 K/Pid.Sus./2010)

0 0 9

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA A. Tinjauan Umum Tentang Korporasi 1. Pengertian Korporasi - Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis

0 0 62

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 862 K/Pid.Sus./2010)

0 1 40

Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 862 K/Pid.Sus./2010)

0 1 9

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI (CORPORATE LIABILITY) DALAM TINDAK PIDANA PERIKANAN

0 1 133

DISERTASI ASAS STRICT LIABILITY DALAM HUKUM PIDANA NARKOTIKA

0 0 20

PENERAPAN ASAS PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK (STRICT LIABILITY) DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP - repo unpas

0 0 31