BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, jika diamati bersama, kejahatan mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan globalisasi, dimana kejahatan yang terjadi pada
masyarakat agraris berbeda dengan kejahatan yang terjadi pada masyarakat industri. Bahkan jika dipandang dari sudut pelakunya semula pelaku yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam Hukum Pidana hanyalah orang perorangan atau individu, tetapi kini juga korporasi atau badan hukum atau disebut juga rechts
person, karena ternyata badan hukum atau korporasi juga dapat melakukan kejahatan yang dapat dipidana.
Dampak dari globalisasi salah satunya adalah kemajuan di bidang ekonomi. Kemajuan di bidang ekonomi seperti meningkatnya arus informasi,
uang dan perusahaan multinasional yang bergerak cepat melalui pasar bebas, arus modal dan penanaman modal dan penanaman modal dari luar negeri disatu sisi
membawa dampak positif bagi masyarakat. Namun disisi lain juga membawa dampak negatif yakni dengan memberikan peluang atas munculnya korporasi-
korporasi yang di dalam menjalankan usahanya secara sadar atau tidak sadar telah melakukan kejahatan yang mengancam keselamatan bangsa, disebabkan
Universitas Sumatera Utara
11 banyaknya penyimpangan perilaku korporasi yang bersifat merugikan masyarakat
dalam berbagai bentuk yang berskala luas.
1
Sehubungan dengan kejahatan korporasi Soedjono Dirdjosisworo, sebagaimana yang dikutip oleh Muladi, menyatakan bahwa :
2
Kejahatan-kejahatan korporasi yang menonjol dewasa ini adalah price fixing memainkan harga barang secara tidak sah, false advertising penipuan
iklan, kejahatan di bidang perbankan: cyber crime, money laundering, illegal logging, dan kejahatan lingkungan hidup environmental crime.
kejahatan sekarang menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi juga menimbulkan kejahatan bentuk baru yang tidak kurang bahaya dan
besarnya korban yang diakibatkannya. Indonesia dewasa ini sudah dilanda kriminalitas kontemporer yang cukup mengancam lingkungan hidup,
sumber energi dan pola-pola kejahahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan bank, kejahatan komputer, penipuan terhadap konsumen berupa
barang-barang produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan dijajakan lewat advertensi secara besar-besaran, dan berbagai pola kejahatan
korporasi yang beroperasi lewat penetrasi dan penyamaran.
3
1
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Medan: PT Softmedia, 2010, hlm. 1
2
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cetakan Ketiga Edisi Revisi, Bandung: Kencana, 2012, hlm. 3
3
Ibid., hlm. 5
Salah satu bentuk kejahatan korporasi yang menjadi perhatian karena perkembangan yang
terus meningkat adalah bentuk kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup environmental crime. Kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup dapat
menimbulkan dampak serta korban yang besar dan kompleks yang tidak hanya menguras sumber daya alam, sumber daya manusia, modal sosial, bahkan modal
kelembagaan yang berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai contoh, pada tahun 1984, telah terjadi suatu bencana kimia akibat kebocoran gas pada pabrik milik Unicorn Carbide India Limited, di Bhopal India.
Kejadian tersebut sebagai akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan penghematan biaya yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dan efeknya akan
dirasakan hingga dua puluh tahun kedepan. Kasus the Benguet Minning Company di Filipina dimana untuk mencari
emas, Benguet Minning telah membuat lubang yang dalam di bukit-bukit, mengikis habis pepohonan dan tanah permukaan, dan membuang banyak sekali
bongkahan-bongkahan batu ke dalam sungai-sungai setempat. Dengan terkurasnya sumber daya tanah dan air, maka orang Igorot yang merupakan
penduduk asli kawasan tersebut merasakan kesulitan dalam menanam padi dan pisang disana dan harus pergi ke bukit yang satu lagi.
4
Kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo, Jawa Timur yang diindikasi sebagai kegiatan pengeboran yang dilakukan tidak memenuhi standarisasi human error
yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. Peristiwa Lumpur Lapindo Brantas mengakibatkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal dan segala harta bendanya
karena terendam lumpur, belum lagi industri-industri yang berada disekitar semburan lumpur yang mengakibatkan tidak bisa melakukan produksi dan ribuan
orang kehilangan pekerjaannya. Di Indonesia kasus serupa
terjadi di Teluk Buyat yang dilakukan oleh Newmont.
5
4
Ibid., hlm. 9
5
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit,. hlm. 3
Universitas Sumatera Utara
13 Kejahatan-kejahatan yang dilakukan korporasi tersebut tentu saja tidak
dapat dibiarkan begitu saja, sebab akibat yang ditimbulkannya sangat serius dan kompleks. Dampak kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh korporasi di bidang
lingkungan hidup adalah sistemik, dapat merusak satu kesatuan masyarakat bahkan bisa merusak satu generasi mengingat pentingnya untuk menjaga
keberlangsungan lingkungan. Penting untuk diingat bahwa sebagai manusia, hidup di dunia juga harus memikirkan penerus kelak, oleh karenanya adalah
kewajiban untuk memelihara lingkungan agar tidak rusak. Apalagi di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 28 H menyatakan
bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak setiap orang. Sehingga perlu pengaturan hukum yang tegas dari pemerintah untuk dapat menjatuhkan
hukuman pidana bagi korporasi yang melakukan kejahatan agar terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana diamanatkan dalam
sila kelima dan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Korporasi sebagai subjek tindak pidana masih merupakan hal yang baru
dan tercantum dalam beberapa peraturan perUndang-undangan dan penegakan hukumnya juga sangat lambat. Di Indonesia dalam perUndang-undangannya baru
muncul dan dikenal badan hukumkorporasi sebagai subjek hukum tindak pidana pada tahun 1951, yaitu dalam Undang-undang Penimbunan Barang-barang dan
mulai dikenal secara luas dalam Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang
Universitas Sumatera Utara
Tindak Pidana Ekonomi.
6
Akan tetapi secara umum, sebagaimana yang tercantum dalam KUHP Pasal 59 KUHP, subjek tindak pidana korporasi belum dikenal, dan yang diakui
sebagai subjek dalam tindak pidana secara umum adalah “orang”. Pasal 59 KUHP berbunyi:
Selain itu juga terdapat dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juga terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup PPLH dan Undang-undang lainnya.
7
Dengan demikian dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana, menimbulkan permasalahan baru dalam Huku m Pidana di Indonesia,
khususnya menyangkut masalah pertanggungjawaban korporasi yaitu apakah unsur kesalahan tetap dapat diterapkan seperti halnya kepada subjek manusia.
Sejalan dengan itu, menurut Sauer ada tiga pengertian dalam Hukum Pidana, yaitu:
“Dalam hal menetukan hukuman karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota salah satu pengurusatau komisaris, maka hukuman tidak
dijatuhkan atas pengurus atau komisaris, jika nyata bahwa pelanggaran itu terjadi diluar tanggungannya”.
8
1. Sifat melawan hukum unrecht;
2. Kesalahan schuld;
3. Pidana strafe.
6
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 14
7
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Cetakan Kedelapan, Bogor: Politea, 1985, hlm. 77
8
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 70
Universitas Sumatera Utara
15 Sehingga secara dogmatis dapat dikatakan bahwa dalam Hukum Pidana unsur
kesalahan harus ada sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana si pelaku tindak pidana.
Terdapat doktrin yang mewarnai Wet Boek van Straftrecht W.v.S Belanda 1889 yakni asas “universalitas delinquere nonpotest” atau “societas
delinquere nonpotest” yang berarti badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Namun seiring perkembangan zaman, doktrin badan-badan hukum
tidak dapat melakukan tindak pidana sudah mengalami perubahan sehubungan dengan diterimanya konsep pelaku fungsional functioneel daderschap karena
peran korporasi dalam kehidupan ekonomi dirasa penting.
9
Maka hal ini menimbulkan permasalahan dalam Hukum Pidana yaitu apakah badan hukum
dapat mempunyai kesalahan, baik kesengajaan maupun kealpaan. Sebab bagaimanapun juga Indonesia masih menganut asas “geen straf zonder schuld”
atau tiada pidana tanpa kesalahan. Asas ini terdapat dalam Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:
10
9
Ibid., hlm. 17
10
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Nomor
5076
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut Undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan
yang didakwakan atas dirinya”.
Universitas Sumatera Utara
Pada kenyataannya dalam praktik tidaklah mudah untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan pada korporasi karena korporasi sebagai subjek Hukum
Pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan kerohanian seperti halnya manusia alamiah naturlijk persoon, oleh karenanya dalam perkembangannya mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi, pertanggungjawaban setiap orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya, ada pandangan baru yang agak berlainan,
bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban pidana dari badan hukum asas kesalahan tidak perlu dibuktikan.
Ada beberapa teori pertanggungjawaban pidana korporasi, diantaranya doktrin pertanggungjawaban pidana langsung direct liability doctrine atau teori
identifikasi identification theory atau disebut juga teori atau doktrin ”alter ego” atau “teori organ”. Perbuatan atau kesalahan “pejabat senior” senior officer
diidentifikasikan sebagai perbuatan atau kesalahan korporasi. Doktrin pertanggungjawaban pidana pengganti vicarious liability. Bertolak dari doktrin
“respondeat superior”. Didasarkan pada employment principle bahwa majikan adalah penanggungjawab utama dari perbuatan buruh atau karyawan dan doktrin
pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut Undang-undang, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban atau kondisi atau situasi
tertentu yang ditentukan Undang-undang. Pelanggaran terhadap kewajiban korporasi dapat diterapkan doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat
menurut Undang-undang atau strict liability, apalagi kalau korporasi tersebut
Universitas Sumatera Utara
17 menjalankan usahanya tanpa izin, atau korporasi pemegang izin yang melanggar
syarat-syarat yang ditentukan dalam izin itu.
11
1 Bagi tindak pidana tertentu, Undang-undang dapat menentukan bahwa
seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya
kesalahan. Adapun dalam Hukum Pidana Indonesia sendiri terdapat ide untuk
memasukkan asas strict liability dan asas vicarious liability sebagai pengecualian terhadap unsur kesalahan terhadap tindak pidana tertentu. Hal ini dapat dilihat
dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 38 ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut:
2 Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang lain.
Dengan demikian berarti terdapat keinginan dari pembuat undang-undang untuk menerapkan asas strict liability dan asas vicarious liability secara umum
dalam hukum pidana Indonesia baik untuk menjatuhkan pidana kepada manusia maupun korporasi sebagai subjek hukum pidana.
Terkait korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup tidak hanya sebatas penempatan korporasi sebagai subjek Hukum Pidana tetapi perlu
adanya ketentuan khusus tentang “pertanggungjawaban pidana” untuk korporasi. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus lingkungan hidup diatur dalam
pasal 116 ayat 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
11
Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Edisi Revisi, Medan: PT Softmedia, 2009, hlm. 35
Universitas Sumatera Utara
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan pasal 116 ayat 1, yang berbunyi :
12
1. Badan usaha; danatau
Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada :
2. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
Lebih lanjut dalam Pasal 116 ayat 2 UUPPLH mengatur mengenai pertanggungjawaban pengganti atau vicarious liability dan pertanggungjawaban
yang ketat atau strict liability. Pasal 116 ayat 2 berbunyi: Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
1 dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan
usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut
dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Kapan dimintakannya pertanggungjawaban pidana kepada badan usaha,
orang yang memberikan perintah atau orang yang bertindak sebagai pemimpin, ini menjadi permasalahan dalam praktek, karena dalam kasus lingkungan hidup, ada
kesulitan untuk membuktikan hubungan kausal antara kesalahan di dalam sektor usaha dan perbuatan secara konkrit telah dilakukan. Untuk menghindari kesulitan
pembuktian diatas, memang bisa dilakukan dengan meletakkan soal dapat tidaknya dimintakan pertanggungjawaban pidana. Pelanggaran terhadap
kewajiban korporasi dapat diterapkan doktrin pertanggungjawaban pidana strict liability apalagi kalau korporasi tersebut menjalankan usahanya tanpa izin, atau
12
Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059
Universitas Sumatera Utara
19 korporasi pemegang izin yang melanggar syarat-syarat yang ditentukan dalam
izin.
13
B. Perumusan Masalah