b. Pasal 49 ayat 2, melakukan pembelaan yang melampaui batas;
c. Pasal 51 ayat 2, melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah, tetapi
dipandang sebagai perintah yang sah. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai
diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya
itu. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak
pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan
menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.
126
Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya.
Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.
Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya
merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh Hukum Pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atau ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu.
127
2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Sehubungan dengan kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai pelaku tindak pidana, timbul pertanyaan kriteria apa yang digunakan untuk
126
Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 75
127
Chairul Huda, Op.Cit., hlm. 68
Universitas Sumatera Utara
83 menentukan kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subjek Hukum
Pidana mengingat bahwa korporasi tidak mempunyai sifat kejiawaan sebagaimana halnya dengan manusia alamiah.
Menurut Rolling, sebagaimana yang dikutip oleh Mahmud Mulyadi, badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana, bilamana perbuatan yang
terlarang yang pertanggungjawabannya dibebankan kepada badan hukum korporasi dilakukan dalam rangka tugas dan pencapaian tujuan-tujuan badan
hukum tersebut. Menurutnya kriteria ini didasarkan pada delik fungsional. Sehubungan dengan hal tersebut, yang dimaksud dengan delik fungsional adalah
delik-delik yang berasal dari ruang lingkup atau suasana sosial ekonomi dimana dicantumkan syarat-syarat bagaimana aktivitas sosial atau ekonomi tertentu harus
dilaksanakan dan terarah atau ditujukan pada kelompok-kelompok fungsionaris tertentu.
128
Mencermati ajaran atau konsep pelaku fungsional, yakni perbuatan fisik seseorang yang sebenarnya telah menghasilkan perbuatan fungsional lainnya,
maka kemampuan bertanggung jawab masih berlaku dalam mempertanggungjawabkan korporasi dalam Hukum Pidana. Korporasi tidaklah
dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan korporasi tersebut selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Dengan demikian kemampuan
bertanggung jawab oleh orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dapat dialihkan menjadi kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subjek
128
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hlm. 46
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana. Diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana oleh beberapa peraturan perUndang-undangan diluar KUHP termasuk didalam Rancangan
KUHP menunjukkan bahwa terjadi perluasan mengenai siapa yang dikatakan sebagai pelaku tindak pidana, dimana suatu badan hukum korporasi apabila
dituntut telah melakukan tindak pidana baik dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan.
129
Membicarakan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, Mardjono Reksodiputro, sebagaimna yang dikutip Mahmud Mulyadi, menyatakan bahwa
cara berpikir dalam hukum perdata dapat diambil alih ke dalam hukum pidana. Sebelumnya dalam hukum perdata terdapat perbedaan pendapat apakah suatu
badan hukum dapat melakukan perbuatan melawan hukum onrechtmatigedaad. Namun melalui asas kepatutan dan keadilan sebagai dasar utama, maka Ilmu
Hukum Perdata menerima suatu badan hukum dapat dianggap bersalah yang merupakan perbuatan yang melawan hukum, lebih-lebih dalam lalu lintas
perekonomian. Berkaitan dengan kesengajaan dan kealpaan korporasi timbul pertanyaan
apakah badan hukum korporasi yang tidak memiliki jiwa kemanusiaan dan unsur-unsur psikis dapat memenuhi unsur kesalahan atau dengan kata lain apakah
asas kesalahan berlaku untuk dasar pemidanaan korporasi sebab asas tiada pidana tanpa kesalahan geen straf zonder schuld adalah merupakan asas yang
fundamental dalam hukum pidana.
130
129
Ibid., hlm. 47
130
Ibid., hlm. 48
Universitas Sumatera Utara
85 Ajaran ini mendasarkan pada pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh
pengurus harus dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum, karena pengurus dalam bertindak tidak melakukannya atas hak atau kewenanngannya
sendiri, tetapi melainkan atas hak atau kewenangan badan hukum yang bersangkutan. Dengan demikian bahwa badan hukum juga tidak dpat melepaskan
diri dari kesalahan kesengajaan atau kealpaan yang dilakukan oleh pengurusnya. Cara berfikir dalam Hukum Perdata ini dapat diambil alih ke dalam Hukum
Pidana.
131
Mengenai alasan penghapusan pidana korporasi, timbul pertanyaan apakah alasan-alasan penghapusan pidana yang umumnya berlaku kepada seseorang
manusia juga dapat diberlakukan bagi badan hukum korporasi. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu, bahwa alasan penghapusan pidana yang
dikenal dalam KUHP adalah alasan pembenar dan alasan pemaaf. Dari kedua alasan ini terlihat bahwa alasan penghapusan pidana itu bersifat kejiwaan pada
manusia pribadi, yang tidak mungkin dimiliki badan hukum. Dengan demikian alasan yang seperti ini, tidak dapat diberlakukandigunakan oleh badan hukum.
Alasan yang dapat digunakan badan hukum adalah dengan cara kembali kepada peraturan Undang-undang yang mengaturatau yang menyatakan bahwa suatu
badan hukum itu dapat dituntut atau dijatuhi sanksi pidana, atau kembali kepada ajaran atau teori yang mengatur tentang hal tersebut. Dari ajaranteori inilah dicari
alasan-alasan yang dapat digunakan oleh badan hukum.
132
131
Ibid.
132
Syamsul Arifin dan Muhammad Hamdan, Op.Cit., hlm. 69
Universitas Sumatera Utara
Kedudukan korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan Hukum Pidana,
terdiri dari beberapa hal yakni:
133
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab
secara pidana. Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha agar sifat tindak
pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan.Mengenai pengurus korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab, maka terhadap pengurus
diberikan kewajiban-kewajiban yang sebenarnya adalah kewajiban korporasi.Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan
pidana.Adapun yang menjadi dasar pemikirannya adalah bahwa korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, tetapi
selalu penguruslah yang melakukan delik itu.Dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.
Sistem ini dinilai, tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan KUHP yang menganut bahwa subjek tindak pidana adalah orang naturalijk persoon dengan
dilatarbelakangi pengaruh asas “societas delinguere non potest” yaitu badan hukum tidak mungkin melakukan tindak pidana. Ketentuan yang mengatur hal ini
terdapat dalam KUHP, seperti pasal 169 KUHP, Pasal 398 KUHP dan 399 KUHP.
Menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi dengan menggunakan sistem ini dapat ditentukan beberapa ilustrasi, yaitu:
134
133
Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 86
Universitas Sumatera Utara
87 1
Berkaitan dengan fungsi, yakni: perbuatan yang dilakukan atau diperintahkan oleh pelaku tindak pidana, akan tetapi perbuatan tersebut tidak ada kaitannya
dengan tugas dan pekerjaan pengurus, maka tidak berwenang mengambil keputusan yang mengikat untuk korporasi dalam melakukan tindak pidana.
2 Pengurus atau pegawai korporasi yang tidak ada kaitannya dengan tugas dan
pekerjaan pengurus tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan yang mengikat korporasi dalam melakukan atau tidak melakukan perbuatan
itu agar dilakukan oleh orang lain, merupakan yang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud korporasi sebagaimana yang ditentukan dalam anggaran
dasarnya maka korporasi tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. b.
Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi yang bertanggung jawab secara pidana.
Dalam sistem ini korporasi sebagai pembuat, penguruslah yang ditunjuk untuk bertanggung jawab. Sistem ini ditandai dengan adanya pengakuan yang
timbul bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha korporasi akan tetapi tanggung jawab itu menjadi beban dari pengurus
badan hukum tersebut. Sehingga apa yang dipandang dilakukan oleh korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat kelengkapan koporasi menurut wewenang
berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, pada pokoknya tindak pidana dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dan
badan hukum tersebut.
134
Mahmud Mulyadi dan Ferri Antoni Surbakti, Op.Cit., hlm. 52
Universitas Sumatera Utara
Menetapkan korporasi sebagai pembuat, dapat dilakukan dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan pencapaian tujuan badan
hukum.Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah merupakan perbuatan seseorang sebagai pengurus badan hukum tersebut.Sifat dari perbuatan yang
menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk.
135
c. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang bertanggung
jawab secara pidana. Suatu perbuatan dipandang
sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh pegawaipengurus dari korporasi yang memiliki
kewenangan untuk bertindak mewakili kepentingan dari korporasi itu sendiri.
Sistem ini memandang korporasi sebagai pelaku yang bertanggung jawab. Alasannya adalah bahwa dengan memperhatikan perkembangan dari korporasi itu
sendiri, yaitu bahwa untuk beberapa delik tertentu, ditetapkannya pengurus saja yang dapat dipidana ternyata tidak cukup. Misalnya berbagai delik-delik ekonomi,
bukan mustahil hukuman yang dijatuhkan kepada pengurus atas kerugian ditimbulkan dalam masyarakat dibandingkan keuntungan yang diperoleh
korporasi, tidak akan seimbang sehingga tidak cukup untuk menjatuhkan hukuman hanya kepada pengurus saja.
Sutan Rehmi Sjahdeini menambahkan satu bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, sehingga menurut Sutan Rehmi Sjahdeini
terdapat empat bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai berikut:
135
Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 55
Universitas Sumatera Utara
89 d.
Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi lah yang bertanggung jawab secara pidana
Penjatuhan pidana kepada pengurus tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.Oleh
karena itu diperlukan pula untuk memidana korporasi dan pengurusnya. Alasan-alasan pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi
khususnya menyangkut pengurus dan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan pula yang bertanggung jawab, dapat diberlakukan terhadap keduanya:
136
1 Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka
tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian akibat perbuatan pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan
untuk memberikan keuntungan bagi korporasi; 2
Apabila hanya korporasi yang dibebani pertanggungjawaban pidana sedangkan pengurus tidak memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan
dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tangan”; 3
Pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi hanya mungkin dilakukan secara vicarious liability;
4 Segala perbuatan hukum dilakukan oleh manusia dalam menjalankan
kepengurusan korporasi sehingga tidak seharusnya hanya korporasi saja yang dimintai pertanggungjawaban pidana sedangkan pengurusnya dibebaskan
maupun sebaliknya.
136
Ibid., hlm. 55-56
Universitas Sumatera Utara
Lebih lanjut dalam perusahaan dibedakan antara tanggung jawab pribadi dengan tanggung jawab fungsional. Pengurus korporasi tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya secara pribadi selama ia menjalankan tugasnya sesuai dengan ketantuan yang berlaku, baik sesuai peraturan perUndang-undangan
maupun sesuai dengan peraturan internal yang berlaku bagi korporasi tersebut. Menurut pendapat Elliot dan Quinn, pentingnya pertanggungjawaban
korporasi dibandingkan dengan pertanggungjawaban individual, adalah:
137
1 Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan
korporasi bukan mustahil dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana
yang merupakan kesalahan perusahaan; 2
Dalam beberapa delik, demi tujuan prosedural, lebih mudah untuk menuntut korporasi daripada para pegawai atau pengurusnya;
3 Sebuah korporasi lebih memilih kemampuan untuk membayar pidana denda
yang dijatuhkan daripada pegawai tersebut; 4
Ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong pemegang saham untuk mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan;
5 Apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha
yang illegal, seharusnya perusahaan perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas tindak pidana yang telah dilakukan bukannya pegawai perusahaan saja;
6 Pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan untuk
menekan pegawainya baik secara langsung maupun tidak langsung, agar para
137
Mahmud Mulyadi dan Ferri Antoni Surbakti, Op.Cit., hlm. 54
Universitas Sumatera Utara
91 pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari kegiatan usaha yang
illegal; 7
Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan korporasi itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk
melakukan kegiatan illegal. Adapun menurut Muladi, pembenaran pertanggungjawaban korporasi
sebagai pelaku tindak pidana, dapat didasarkan pada hal-hal berikut:
138
1 Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas
dasar keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial;
2 Atas dasar kekeluargaan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
3 Untuk memberantas anomie of success;
4 Untuk perlindungan konsumen;
5 Untuk kemajuan teknologi.
Menurut C.M.V Clarkson sebagaimana dikutip oleh Kariawan Barus,
139
a. Identification Doctrine
terdapat beberapa konsep tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang merupakan dasar pembenaran dapat dipidananya korporasi yaitu :
Menurut doktrin ini, bila seseorang yang cukup senior dalam struktur korporasi, atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu
kejahatan dalam bidang jabatannya, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat diidentifikasi
dengan perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung.
b. Aggregation Doctrine
138
Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 89
139
Kariawan Barus, Op.Cit., hlm. 92-93
Universitas Sumatera Utara
Menurut pendekatan ini, tindak pidana tidak hanya bisa diketahui atau dilakukan oleh satu orang. Oleh karena itu, perlu mengumpulkan
semua tindakan dan niat dari beberapa orang yang relevan dalam korporasi tersebut, untuk memastikan apakah secara keseluruhannya tindakan
mereka akan merupakan suatu kejahatan atau senilai dengan apabila perbuatan dan niat itu dilakukan oleh satu orang.
c. Reactive Corporate Fault
Menurut pendekatan ini, suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama sebuah korporasi, pengadilan harus
diberi kewenangan untuk memerintahkan korporasi untuk melakukan investigasi sendiri guna memastikan orang yang bertanggung jawab dan
dan mengambil suatu tindakan disiplin yang sesuai atas kesalahan orang tersebut dan mengambil langkah-langkah perbaikan untuk menjamin
kesalahan tersebut tidak akan terulang kembali. Apabila korporasi mengambil langkah penanganan yang tepat, maka tidak ada tanggung
jawab pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi. Tanggung jawab pidana hanya bisa diterapkan terhadap korporasi apabila korporasi gagal
memenuhi perintah pengadilan dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, kesalahan korporasi bukanlah kesalahan pada saat kejahatan
terjadi tetapi kesalahan karena korporasi gagal melakukan tindakan yang tepat atas kesalahan karena korporasi gagal melakukan tindakan yang tepat
atas kesalahan yang dilakukan oleh pekerjanya.
d. Strict Liability
Menurut doktrin ini, bila korporasi melakukan suatu perbuatan yang telah melanggar apa yang dirumuskan dalam suatu peraturan
perundang-undangan, maka ia dapat dibebankan tanggung jawab atas perbuatan tersebut tanpa perlu dibuktikan apakah korporasi tersebut
memenuhi unsur kesalahan kesengajaankelalain.
e. Vicarious Liability
Menurut doktrin ini, bila seseorang agen atau pekerja korporasi bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk
menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak menjadi masalah
apakah perusahaan secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak atau apakah aktivitas tersebut telah dilarang oleh perusahaan atau tidak.
f. Management Failure Model
Menurut pendekatan ini, bahwa kejahatan tanpa rencana manslaughter yang dilakukan oleh korporasi ketika ada kesalahan
manajemen oleh korporasi yang menyebabkan seseorang meninggal dunia dan kegagalan tersebut merupakan perilaku yang secara rasional berada
jauh dari yang diharapkan dilakukan oleh suatu korporasi. Kejahatan ini didefenisikan dengan mengacu ke kegagalan manajemen sebagai lawan
dari kegagaln korporasi.
g. Corporate Mens Rea Doctrine
Telah dikemukakan bahwa perusahaan itu sendiri tidak dapat melakukan kejahatan, mereka tidak dapat berpikir atau memiliki kemauan.
Universitas Sumatera Utara
93 Hanya orang-orang yang ada di dalam perusahaan yang dapat melakukan
kejahatan. Namun demikian orang dapat menerima bahwa seluruh gagasan tentang personalitas korporasi adalah fiksi tetapi dibuat dengan baik dan
sangat berguna. Berdasarkan pandangan ini, maka korporasi dapat diyakini sebagai agen yang melakukan keslahan yang bertindak melalui staff
mereka dan pekerja dan mens rea-nya dapat ditemukan dalam praktek dan kebijakan korporasi. Ini penting untuk ditekankan bahwa keduanya, yaitu
kesembronoan recklessness atau maksud, dapat ditemukan di dalam kebijakan-kebijakan, operasional prosedur dan lemahnya tindakan
pencegahan korporasi.
h. Specific Corporate Offences
Dalam hal ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan penegasan tentang kesalahan korporasi, seperti pembuktian dari niat atau
kesembronoan, dapat diatasi dengan membuat defenisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada korporasi.
Langkah pertama untuk menerapkan pertanggungjawaban pidana korporasi diambil oleh negara-negara Common Law seperti Inggris, Amerika
Serikat dan Kanada, dikarenakan revolusi indutrri lebih dahulu terjadi pada negara-negara ini. Tanpa mengingat keengganan semula untuk menghukum
korporasi,
140
pengakuan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi oleh pengadilan Inggris dimulai pada tahun 1842, saat korporasi didenda karena gagal
dalam menjalankan tugasnya menurut pertauran perundang-undangan.
141
Beberapa kurun waktu, pengadilan Inggris memakai doktrin respondeat superior atau vicarious liability, dimana tindakan bawahansubordinat
dilimpahkan kepada korporasi. Meskipun demikian, tanggung jawab eksplisit
140
Beberapa alasan keengganan tersebut yaitu: korporasi merupakan subjek hukum fiksi, dan menurut paham ultra vires bersalah karena bertindak melewati kewenangan kesalahan yang
dapat dihukum apabila melanggar Anggaran Dasar Perusahaan, terdapat hambatan-hambatan lain seperti kurangnya mens rea serta siapa yang harus dihadirkan ke persidangan secara pribadi.
141
Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Edisi Revisi, Jakarta: PT Softmedia, 2009, hlm. 24
Universitas Sumatera Utara
hanya digunakan dalam kasus-kasus pelanggaran tertentu, dan kemudian digantikan oleh teori identifikasi identification theory.
142
Korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana berdasarkan vicarious liable untuk delik strict liability sama dengan pertanggungjawaban
manusia atau orang. Korporasi juga dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas pelanggaran kewajiban menurut Undang-undang yang diberlakukan
terhadapnya dalam kapasitas tertentu seperti “occupier” atau “keeper”. Pertanggungjawaban pidananya lebih dari ini dan mencakup tanggungjawab
langsung “direct liability” atas perbuatan yang dilakukan oleh manusia atau orang yang diidentifikasi dengan ini, yaitu identification doctrine.
143
Di Amerika Serikat, sistem pertanggungjawaban pidana korporasi mengacu kepada Model Penal Code, Official Draft and Explanatory Notes, yang
diterbitkan oleh The American Law Institute, 1985. Di dalam MPC asas yang dipergunakan adalah asas strict liability sebagaimana diatur dalam Section 2.07
2 MPC yang menyatakan bahwa dalam delik-delik strict liability, MPC menganggap bahwa pembuat Undang-undang
bermaksud untuk mempertanggungjawabkan korporasi berdasarkan teori respondeat superior
kecuali Undang-undang dengan tegas menyatakan lain.
144
Pengadilan Kanada menerapkan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi atas dasar kesalahan senior corporate manager yang diidentifikasi
sebagai tujuan korporasi. Diskusi yang terjadi di Pengadilan Kanada tentang
142
Ibid., hlm. 25
143
Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 238-239
144
Ibid., hlm. 230
Universitas Sumatera Utara
95 dasar-dasar untuk pertanggungjawaban pidana lebih banyak berfokus pada
masalah menyatakan dengan jelas sebuah pengujian atau mekanisme untuk menemukan directing mind suatu korporasi sehingga mens rea dari directing
minds itu dapat ditujukan terhadap korporasi.
145
Australia, sampai tahun 1995 menerapkan konsep pertanggungjawaban pengganti vicarious liability, selanjutnya peraturan pidana Australia berganti
menjadi pertanggungjawaban pidana yang berbasis pada “budaya korporasi” ... to base corporate criminal liability on a test of the corporate culture, yang diartikan
sebagai suatu tingkah laku, kebijakan, peraturan, maksud dari suatu langkah ataupun kegiatan yang terdapat dalam lingkungan perusahaan itu secara umum
atau dalam bagian lain dari perusahaan tersebut dimana kegiatan yang relevan terjadi ... an attitude, policy, rule, course of conduct or practice existing within
the body corporate generally or in the part of the body corporate in which the relevant activities take place.
146
Dalam konsep corporate culture ini terdapat unsur yang harus dapat dibuktikan, yaitu: “suatu kebiasaan atau tingkah laku perusahaan yang
memerintah, mendorong, mentoleransi ataupun membiarkan suatu tindakan yang itdak sesuai dengan peraturan; atau perusahaan tersebut gagal untuk
mempertahankan suatu kegiatan yang sesuai dengan peraturan, perlu juga mengetahui bahwa dewan direktur secara sengaja, mengetahui atau membiarkan
145
Ibid., hlm. 256
146
Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Op.Cit., hlm. 25-26
Universitas Sumatera Utara
terjadinya suatu tindakan atau secara terang-terangan atau diam-diam memerintah atau mengizinkan suatu tindakan yang melanggar aturan.
147
Mengenai hal dewan direksi, dapat diajukan pembelaan berdasarkan konsep due diligence tindakan yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawab,
jika orang tersebut dapat membuktikan bahwa ia telah sejalan dengan due diligence tersebut untuk menghindari atau memerintah atau memberi izin untuk
terjadinya tindakan yang melanggar hukum tersebut.
148
147
Ibid.
148
Ibid.
Sistem hukumpidana civil law merupakan sistem yang berdasar pada pencarian kesalahan individu, oleh sebab itu, memasukkan pertanggungjawaban
pidana korporasi ke dalam Hukum Pidana mereka menuai bermacam kritikan, meskipun demikian, menghukum korporasi dalam jurisdiksi seperti itu juga
berpangkal pada prinsip pertanggungjawaban pengganti vicarious liability atau teori identifikasi identification theory.
Bagaimana dengan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Hukum Pidana di Indonesia ? Di Indonesia, pengakuan korporasi sebagai subjek hukum
pidana belum berlaku secara umum dalam hukum pidana sebagaimana negara- negara lain. Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana hanya diatur pada
peraturan perUndang-undangan tertentu saja. Oleh karenanya pengaturan mengenai sistem pertanggungjawaban pidananya pun tersebar dalam berbagai
peraturan perUndang-undangan yang mencatumkan korporasi sebagai subjek hukum pidana.
Universitas Sumatera Utara
97 Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup misalnya, sistem pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada asas strict liability sebagaimana diatur dalam Pasal 88 dan
didasarkan pada asas vicarious liability sebagaimana diatur dalam Pasal 116. Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 19 1 juga mengatur mengenai tanggung jawab mutlak strict liability pelaku usaha korporasi. Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 20 diatur tentang asas vocarious liability.
Sebagai ius constituendum asas pertanggungjawaban berdasarkan strict liability dan vicarious liability dalam Hukum Pidana Indonesia telah diatur di
dalam Pasal 38 ayat 1 dan 2 Rancangan KUHP 2011-2012 yang berbunyi: 1
Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya
unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.
2 Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang lain.
Dengan demikian berarti Indonesia mempergunakan sistem pertanggungjawaban pidana berdasarkan asas strict liability dan asas vicarious liability untuk
membebankan suatu pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.
C. Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana Dalam Peraturan Perundang- undangan di Indonesia