71 tentang Tindak Pidana Subversi. Tetapi, perkembangan pertanggungjawaban
pidana secara langsung terhadap korporasi di negeri Belanda akhirnya berlaku secara umum dalam Hukum Pidana, dengan mengadakan perubahan Pasal 15
W.v.S Belanda pada tahun 1976. Akan tetapi perkembangan tersebut di Indonesia belum terjadi.
105
B. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Dengan demikian di dalam Hukum Pidana umum belum dikenal pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung. Indonesia dewasa ini,
pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung hanya terdapat dan berlaku dalam terhadap beberapa perUndang-undangan khusus diluar KUHP. Ternyata
dalam prospek pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi menganut pula perkembangan yang terjadi di negeri Belanda. Hal ini terlihat dalam Rancangan
KUHP Buku I Tahun 2011-2012 Pasal 182 yang berbunyi: “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang danatau kekayaan, baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum”.
1. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing disebut juga Torekenbaardheid atau criminal responsibility, yang menjurus kepada
pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang
105
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana itu adalah diteruskannya celaan objektif yang ada pada tindak pidana.
106
Terdapat dua pandangan tentang pertanggungjawaban pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis atau monisme
dikemukakan antara lain oleh Simon. Menurut aliran monisme, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif,
maupun unsur pembuat yang lazim dinamakan unsur subjektif. Oleh karena itu, dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka dapat disimpulkan
bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti
pelakunya dapat dipidana.
107
Penganut pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act berpendapat, bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut
pembuat delik meliputi :
108
a. Kemampuan bertanggungjawab;
b. Kesalahan dalam arti luas, sengaja danatau kealpaan;
c. Tidak ada alasan pemaaf.
Adapun orang pertama yang menganut pandangan dualistis adalah Herman Kontorowicz, pada tahun 1933 sarjana Hukum Pidana Jerman yang menentang
kebenaran pendirian mengenai kesalahan schuld yang ketika itu berkuasa yang beliau namakan objective schuld oleh karena kesalahan disitu dipandang sebagai
106
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hlm. 34
107
Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 63
108
A.Z Abidin, Op.Cit., hlm. 44-45
Universitas Sumatera Utara
73 sifat daripada kelakuan merkmal der handlung. Untuk adanya
Strafvoraussetzungen syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya strafbare handlung perbuatan
pidana, lalu setelah itu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif.
109
Hubungan kesalahan dengan pemidanaan menurut ajaran dualistis dapat digambarkan sebagai berikut:
Menurut ajaran dualistis, tindak pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana. Kesalahan sebagai penentu utama berat ringannya
pidana yang dijatuhkan meliputi dua hal, yakni menunjuk kepada tindakan yang tercela atau actus reus yaitu dilanggarnya standar etis masyarakat yang telah
diformulasikan dalam Undang-undang sebagai delik, dan pertanggungjawaban pidana atau mens rea, yaitu sikap bathin atau keadaan psikologis pelaku diukur
menurut nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh pelaku, tetapi dilanggar.
110
1. Kesalahan actus reus menentukan batas minimal dan maksimal yang
dibolehkan oleh undang-undang; 2.
Kesalahan pada mens rea menentukan range pemidanaan; 3.
Hal-hal lain yang memberatkan maupun yang meringankan menentukan pemidanaan antara batas range bawah sampai range atas.
109
Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 66
110
Prayitno Imam Santoso, Pertanggungjawaban Pidana Menurut Ajaran Dualistis, http:kepaniteraan.mahkamahagung.go.idkolom-hakim-agung347 pertanggungjawaban-pidana-
menurut-ajaran-dualistis-penulis-prayitno-iman-santosa-.html, diakses tanggal 16 Desember 2013
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian diatas, bahwa masalah pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur kesalahan, membicarakan unsur kesalahan dalam
Huku m Pidana ini berarti mengenai jantungnya. Sejalan dengan itu, menurut Sauer ada tiga pengertian dasar dalam Hukum Pidana, yaitu:
111
1. Sifat melawan hukum unrecht;
2. Kesalahan schuld;
3. Pidana strafe.
Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya
perbuatan.Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan atau tidak. Apabila memang mumpunyai kesalahan tentulah akan dipidana.
112
Berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana, Sudarto menyatakan pendapatnya sebagai berikut:
113
111
Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 14-15
112
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm. 75
113
Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 95
Dipidananya sesorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan
hukum.Jadi meskipun pembuatnya memenuhi rumusan delik dalam Undang-undang dan tidak dibenarkan an objective breach of a penal
provision, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana.Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang
melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah subjective guilt. Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya
atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
75 Secara lebih rinci, Sudarto menyatakan bahwa agar seseorang memiliki
aspek pertanggungjawaban pidana, dalam arti dipidananya pembuat, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
114
1. Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat;
2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan;
3. Adanya pembuat yang bertanggung jawab;
4. Tidak ada alasan pemaaf.
Dalam Hukum Pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa
latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea ini dilandaskan pada konsepsi bahwa suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang
bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat.Disini berlaku apa yang disebut asas “tiada pidana tanpa kesalahan” keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder
schuld atau nullapoena sine culpa. Dalam Hukum Pidana Inggris asas ini dikenal dalam bahasa Latin yang berbunyi “actus non facit reum misi mens sit rea” an
act does not make a person guilty, unless the mind is guilty.
115
Asas tersebut disebut juga dengan asas legalitas dan tercantum secara implisit dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP atau dalam
Di dalam doktrin ini terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang,
yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarangtindak pidana actus reus dan ada sikap batin jahattercela mens rea.
114
Ibid.
115
Moeljatno, Op.Cit., hlm. 153
Universitas Sumatera Utara
peraturan lain, akan tetapi berlakunya asas tersebut tidak diragukan lagi. Pasal 6 ayat 2 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
berbunyi:
116
Terdapat beberapa pengertian dari kesalahan menurut para sarjana, antara lain :
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang, mendapat keyakinan
bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”Dari bunyi pasal tersebut jelas unsur
kesalahan sangat penting bagi penentuan akibat dari perbuatan yang dilakukan seseorang yaitu berupa penjatuhan pidana.
117
1. Mazger mengatakan: “Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi
dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana. 2.
Simons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “social-ethisch”, dan mengatakan antara lain: “sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam
Hukum Pidana ia berupa keadaan psikis jiwa dari si pembuat, dan hubungannya terhadap perbuatannya dan di dalam arti bahwa berdasarkan
psikis jiwa itu perbuatannya dicelakan kepada si pembuat. 3.
Van Hamel mengatakan bahwa “kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psikologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan
terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah
116
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076
117
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 88-89
Universitas Sumatera Utara
77 pertanggungjawaban dalam hukum schuld is de verantwoor-
delijkheidrechtens”. 4.
Pompe mengatakan antara lain : “pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi
luarnya. Yang bersifat melawan hukum adalah perbuatannya. Segi dalamnya yang bertalian dengan kehendak si pembuat adalah kesalahan. Kesalahan ini
dapat dilihat dari dua sudutmenurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakan verwijtbaarheid dan menurut hakikatnya ia adalah hal yang dapat
dihindarkannya vermijdbaarheid perbuatan melawan hukum”. Dari pendapat-pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa kesalahan itu
mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana.Pencelaan disini bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan
pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sudarto bahwa untuk adanya kesalahan maka harus ada pencelaan ethics, betapa
pun kecilnya.
118
Sudarto membedakan pengertian kesalahan psikologis dan pengertian kesalahan normatif.Pengertian kesalahan psikologis yaitu bahwa kesalahan hanya
dipandang sebagai hukum psikologis batin antara sipembuat dan perbuatannya.Hubungan batin tersebut dapat berupa keengajaan atau
kealpaan.Pada kesengajaan hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatan beserta akibatnya dan pada kealpaan tidak ada kehendak demikian.Sehingga
118
Ibid., hlm. 89
Universitas Sumatera Utara
hanya menggambarkan keadaan batin sipembuat, sedangkan yang menjadi ukurannya adalah sikap batin yang berupa kehendak terhadap perbuatan atau
akibat perbuatan.
119
Adapun pengertian kesalahan normatif, menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasarkan sikap batin atau hubungan batin antara pembuat dan
perbuatannya, tetapi disamping itu harus ada unsur penilaian atau unsur normatif perbuatannya. Penilaian dari luar ini merupakan pencelaan dengan memakai
ukuran yang terdapat dalam masyarakat, ialah apa yang seharusnya diperbuat oleh si pembuat. Dalam pengertian ini, sikap batin si pembuat adalah merupakan
kesengajaan dan kealpaan tetap diperhatikan, namun hanya merupakan unsur dari kesalahan atau unsur lain yaitu penilaian mengenai keadaan jiwa si pembuat, ialah
kemampuan bertanggungjawab dan tidak hanya penghapus kesalahan.
120
Berdasarkan uraian mengenai pengertian kesalahan di atas, dapat dikatakan bahwa kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban
pidana.Kesalahan merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya.Adanya kesalahan pada seseorang maka
orang tersebut dapat dicela. Mengenai keadaan jiwa seseorang yang melakukan perbuatan merupakan apa yang lazim disebut sebagai kemampuan bertanggung
jawab, sedangkan hubungna batin antara si pembuat dan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf. Dengan demikian, untuk
119
Ibid., hlm. 90
120
Ibid., hlm. 91
Universitas Sumatera Utara
79 menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa unsur antara
lain :
121
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat;
2. Hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang merupakan
kesengajaan dolus datau kealpaan culpa ini disebut bentuk kesalahan; 3.
Tidak adanya alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf. Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Yang satu bergantung kepada yang lain, yang disebutkan kemudian bergantung kepada yang disebutkan terlebih dahulu, artinya ketiganya
berhubungan satu dengan yang lainnya. Konkretnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan ataupun kealpaan, apabila orang itu tidak
mampu bertanggung jawab.Begitupula tidak dapat dipikirkan tentang alasan pemaaf apabila orang tidak mampu bertanggung jawab dan tidak pula adanya
kesengajaan atau kealpaan.Selanjutnya karena tidak ada gunanya mempertanggungjawabkan terdakwa yang melakukan perbuatan apabila
perbuatannya tidaklah bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut sekarang dapat pula dinyatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya
perbuatan pidana, dan kemudian unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan. Sehingga untuk adanya kesalahan yang
mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah: a melakukan
121
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
perbuatan pidana, b mampu bertanggung jawab; c dengan kesengajaan atau kealpaan; d tidak adanya alasan pembenar dan pemaaf.
122
Mengenai rumusan bertanggung jawab KUHP tidak memberikan perumusan, hanya terdapat dalam Memorie van Toelichting memori penjelasan
secara negatif menyebutkan mengenai pengertian kemampuan bertanggung jawab itu, yaitu tidak adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat:
123
a. Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memiliki antara berbuat dan
tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang atau diperintahkan, dengan kata lain dalam hal perbuatan dipaksa.
b. Dalam hal pembuat ada dalam suatu keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat
menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan tidak mengerti akibat perbuatannya itu nafsu patologis, gila dan sebagainya.
Mengenai kesengajaan atau kealpaankelalaian Dalam Criminal wetboek tahun 1809 di cantumkan: “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan yang di larang atau di perintahkan oleh Undang-undang.” Dalam Memorie van Toelichting MvT Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan
Criminal Wetboek tahun 1881 yang menjadi kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia 1915, di jelaskan: “sengaja“ diartikan: “dengan sadar dari
kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu”. Undang-undang tidak memberi definisi apakah kelalain itu. Hanya
memorie penjelasan Memori van Toelichting mengatakan bahwa kelalaian
122
Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 76
123
Ibid., hlm. 77-78
Universitas Sumatera Utara
81 culpa terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimanapun juga culpa itu di
pandang lebih ringan di banding dengan sengaja. Oleh karena itu Hazewinkel- suringa mengatakan bahwa delik culpa itu merupakan delik semu quasidelict
sehingga di adakan pengurangan pidana. Bahwa culpa itu terletak antara sengaja dan kebetulan kata Hazewinkel-suringa di kenal pula di Negara-negara anglo-
saxon yang di sebut per infortunium the killing occurred accidently. Mengenai tidak adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf, apabila tidak
dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik disebabkan karena hal-hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat
melawan hukunya perbuatan, maka dikatakanlah hal-hal tersebut sebagai alasan- alasan pembenar. Didalam KUHP hal ini diatur pada:
124
a. Pasal 48, mengenai keadaan terpaksa;
b. Pasal 49 ayat 1, mengenai pembelaan darurat;
c. Pasal 50, mengenai menjalankan peraturan perundang-undangan;
d. Pasal 51 ayat 1, mengenai melaksanakan perintah jabatan yang sah.
Sebaliknya apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik disebabkan karena tidak sepantasnya
orang itu dicela, tidak sepatutnya ia disalahkan, maka hal-hal yang menyebabkan ia tak patut dicela disebut sebagai alasan pemaaf. Di dalam KUHP hal ini diatur
dalam:
125
a. Pasal 44, mengenai tidak mampu bertanggung jawab;
124
Ibid., hlm. 51
125
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
b. Pasal 49 ayat 2, melakukan pembelaan yang melampaui batas;
c. Pasal 51 ayat 2, melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah, tetapi
dipandang sebagai perintah yang sah. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai
diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya
itu. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak
pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan
menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.
126
Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya.
Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.
Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya
merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh Hukum Pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atau ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu.
127
2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi