Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perubahan yang signifikan dari keberadaan bangsa Indonesia yang terpuruk akibat krisis moneter yang berkepanjangan, yang mulai melanda negeri sejak pertengahan Agustus 1997 mengakibatkan berbagai krisis multidimensi yang terus menimbulkan kerugian-kerugian bagi masyarakat. Salah satu yang sangat memprihatinkan adalah pengangguran yang mengakibatkan berjuta-juta pekerja mengalami penderitaan. Kesulitan-kesulitan hidup yang dirasakan hampir seluruh penduduk Indonesia. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah belum cukup membuat keresahan masyarakat berhenti, terutama dalam bidang ekonomi. Menurut Elwin Tobing 2002, Mereka yang gagal memperoleh pekerjaan di sektor formal nyatanya sampai saat ini masih merupakan pekerjaan ideal, karena berbagai alasan memasuki jenis pekerjaan disektor informal. Bagi banyak orang, hal itu merupakan pilihan–pilihan terakhir, tetapi bukan tidak banyak yang memilih menjadi penganggur ataupun setengah penganggur. Umumnya yang terlibat pada sektor ini berpendidikan rendah, miskin, tidak terampil dan kebanyakan para migran. Karena itu, cakrawala mereka terbatas untuk mencari kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan langsung bagi dirinya sendiri http:www.theindonesianinstitute.orgdaily022002.htm. Betapa banyak tenaga kerja yang menganggur terutama didaerah perkotaan yang tidak lain adalah disebabkan sulitnya memperoleh pekerjaan di sektor formal yang sampai saat ini masih merupakan jenis pekerjaan yang sangat Universitas Sumatera Utara diminati. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi semula diharapkan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, namun tidak demikian kenyataannya. Persentase penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha menunjukkan bahwa sektor pertanian mengalami penurunan, tetapi sektor industri yang diharapkan dapat menampung tenaga kerja ternyata kurang dapat memenuhi harapan. Dalam usaha memenuhi berbagai jenis kebutuhannya, manusia harus melakukan usaha. Tetapi menjadi permasalahan bahwa ada kecenderungan, akhir–akhir ini semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan yang diinginkan. Dan karena itu terpaksa hidup dari belas kasihan lingkungan dan negara atau berupaya menyambung hidup disektor informal. Sektor informal tidak akan berkisar pada aspek produksi, tetapi berupa pencarian strategi kolektif untuk memperjuangkan pekerjaan dan standar hidup yang manusiawi Hadar, 2004: 84. Sektor informal sebagai fase yang harus ada dalam proses pembangunan dan berfungsi sebagai penyangga, setidaknya kegiatan–kegiatan di sektor informal memberikan pendapatan dan pekerjaan kepada penduduk betapapun sedikit dan tidak tetap Breman,1985:151. Buruh Bagasi sebagai salah satu profesi sektor infomal pada bidang pengangkut barang juga mengalami permasalahan sosial ekonomi khususnya dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sejalan dengan pertumbuhan manusia sebagai mahluk sosial, manusia memiliki kebutuhan yang semakin banyak dan beranekaragam. Kebutuhan–kebutuhan hidup tersebut dapat dipenuhi dengan baik apabila adanya pendapatan yang mendukung. Oleh karena itu yang dilakukan oleh buruh terutama buruh bagasi dalam pemenuhan kebutuhan hidup yaitu dengan menambah pekerjaan lain serta meminta partisipasi Universitas Sumatera Utara istri dan anak–anak untuk bekerja disektor lain untuk memberikan kontribusi kepada penghasilan rumah–tangga. Pada dasarnya manusia menginginkan suatu kehidupan yang baik untuk mampu memenuhi segala kebutuhan jasmani, rohani maupun sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan moral yang tinggi, kesabaran, ketabahan, keuletan, kejernihan pikiran dan berbagai keterampilan yang dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan hidup Sarwono, 1990:12. Dalam usaha mendapatkan pemenuhan kebutuhan tersebut dijumpai suatu keadaan yang saling mempengaruhi antara diri–sendiri dan dari luar. Kesulitan– kesulitan dalam situasi tertentu mempengaruhi kondisi mental moral seseorang. Cara – cara yang berbeda untuk bertahan hidup diantara buruh memiliki pengaruh terbesar terhadap perilaku mereka ditempat kerja, termasuk hubungan– hubungan mereka dengan para pekerja lainnya. Kinerja para buruh ditempat kerja ditentukan oleh sebuah keseimbangan keperluan–keperluan keterampilan. Keterampilan–keterampilan teknis perlu untuk memanipulasi barang–barang untuk tujuan–tujuan manusia, sedangkan keterampilan–keterampilan sosial menunjuk kepada kapasitas utnuk memasuki komunikasi dengan manusia– manusia lain. Keterampilan–keterampilan sosial mengimplikasikan respon–respon terhadap ide–ide orang lain dalam suatu cara tertentu untuk mempromosikan partisipasi yang tepat dalam tugas–tugas bersama Susetiawan, 2000: 298. Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat dituntut mampu bertahan untuk menghadapi persaingan yang keras demi mendapatkan pekerjaan dan memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terutama didaerah perkotaan. Ketidakmampuan Universitas Sumatera Utara seseorang untuk bersaing dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mengakibatkan timbulnya kemiskinan. Scott 1979 berpendapat bahwa kemiskinan dapat didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non materi yang diterima seseorang. Kemiskinan, pertama- tama dapat diartikan sebagai kondisi yang diderita manusia karena kekurangan atau tidak memiliki pendidikan yang layak untuk meningkatkan taraf hidupnya, kesehatan yang buruk, dan kekurangan transportasi yang dibutuhkan manusia. Kedua, kemiskinan didefenisikan dari segi kurang atau tidak memiliki asset, seperti tanah, rumah, peralatan, uang, emas, kredit, dll. Ketiga, kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kekurangan atau ketiadaan non materi yang meliputi berbagai macam kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah-tangga dan kehidupan yang layak Tjetjep Rohendi, 2000:24. Berbagai wacana tentang kemiskinan telah menunjuk buruh-buruh di sub sektor perkebunan the rakyat sebagai contoh nyata dari proses kemiskinan suatu golongan dalam masyarakat. Terbatasnya penguasaan dan akses terhadap sumber daya menjadi masalah structural yang selalu didengungkan kaum reformis dalam menjelaskan fenomena tersebut. Salah satunya, yang menunjukkan hal tersebut adalah hasil penelitian Grijns 1986 tentang buruh pemetik teh di wilayah Selasari, Jawa Barat, yang menyatakan bahwa : “In term of possession and income they do belong to the poores Group in their society, though they are not rock bottom, for they Still have work…’’ Safaria, 2003:97. dalam hal kepemilikan dan pendapatan mereka adalah kelompok Termiskin dalam masyarakatnya, meski mereka bukan kelas ter- Bawah, karena mereka masih memiliki pekerjaan….. Universitas Sumatera Utara Buruh, pada hakekatnya merupakan seseorang yang bekerja pada orang lain lazim disebut majikan dengan menerima upah dan bekerja dibawah pimpinan orang lain. Dalam karya tulis Edwin J.Flippo yang berjudul “Principles of Personal Management”, mengatakan yang dimaksud dengan upah adalah: “Harga untuk jasa yang telah diterima atau diberikan oleh orang lain bagi kepentingan seseorang atau badan hukum”. Batasan tentang upah menurut Dewan Penelitian Perupahan dalam UU No 13 Tahun 2003 pasal 1 ayat 2 adalah sebagai berikut : Upah adalah merupakan suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, yang berfungsi sebagai jaminan kelangsungan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan produksi dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang telah ditetapkan menurut suatu persetujuan UU dan peraturan – peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi kerja dan penerima kerja. Selain memperoleh upah yang telah ditetapkan oleh majikan, mereka juga mendapat jaminan kesejahteraan serta kesehatan sebagai tenaga kerja. Namun tak jarang terjadi berbagai tekanan dan ketidakadilan yang dialami oleh para buruh bagasi. Hingga sampai saat ini, perjuangan berbagai kalangan masyarakat yang bertemakan “Perjuangan nasib kaum buruh” masih terus diisuarakan melalui berbagai aksi komponen masyarakat. Diantara banyaknya perjuangan sera masalah perburuhan yang ada sekarang ini, terdapat suatu kehidupan komunitas buruh yang tampak terabaikan, yakni buruh bagasi ataupun yang sering disebut dengan Porter yang bekerja di pelabuhan. Mereka bekerja sebagai pengangkat barang penumpang kapal laut. Umumnya para buruh bagasi memiliki latar – Universitas Sumatera Utara belakang pendidikan yang rendah sehingga mereka bekerja hanya dengan mengandalkan kekuatan fisik dan sedikit keterampilan. Seperti pada tukang bangunan, mereka hanya pekerja lepas tanpa suatu perlindungan hukum apapun. Karena itu, tukang bangunan penting untuk memelihara berbagai hubungan sosialnya tidak terbatas hanya pada hubungan kerabat, tetapi juga diluar lingkungan asalnya atau dimana tempat mereka bekerja untuk mempertahankan survivalnya Sjahrir, 1986: 85. Secara historis, Pelabuhan Belawan yang merupakan salah satu pelabuhan yang berada didaerah Sumatera Utara, memiliki kapal laut yang cukup banyak serta penumpang yang cukup rama. Masyarakat mulai dari golongan menengah keatas senantiasa bepergian dengan menggunakan jasa laut. Rute kapal laut terdiri dari dua bagian yakni rute nasional dengan tujuan Batam dan Jakarta dan rute internasional dengaan tujuan ke Malaysia. Bekerja sebagai buruh bagasi tidaklah memerlukan kriteria khusus yang harus dimiliki oleh seorang buruh bagasi. Seseorang cukup bermodalkan tenaga yang cukup kuat dan kondisi fisik yang memungkinkan untuk mengangkat barang penumpang seberat puluhan bahkan ratusan kilogram, dari tempat mereka melakukan tawar-menawar harga sampai kekapal laut ataupun sebaliknya dari kapal ke tempat yang diinginkan si penumpang. Dari buruh bagasi dituntut kecepatan dalam bekerja, karena semakin cepat dia melakukan pekerjaannya, semakin besar kemungkinan untuk memperoleh kesempatan mengangkat barang penumpang lainnya. Kompetisi, tampak jelas dalam cara kerja mereka. Uniknya, para buruh bagasi memiliki trik ataupun cara untuk mengangkat barang tersebut yakni menggunakan sehelai kain, selendang ataupun sejenisnya yang mereka sebut sebagai”Senjata” mereka dalam Universitas Sumatera Utara bekerja. Barang milik penumpang yang dikemas dalam kardus ataupun dalam bentuk lainnya mereka ikat dengan “senjata” tersebut dengan mengikatkannya pada tali-tali pengikat barang penumpang. Dengan usaha keras mereka mengupayakan agar barang seorang penumpang yang beratnya puluhan kilogram dapat mereka bawa dalam sekali mengangkat. Mereka berjalan sampai terbungkuk-bungkuk akibat beban di tubuh mereka yang sangat berat. Udara di pelabuhan yang terasa sangat panas tidak lagi mereka hiraukan. Namun, seiring dengan semakin banyaknya alat transportasi yang lebih efektif dan modern yakni pesawat terbang, maka berangsur-angsur pula berkurangnya jumlah penumpang kapal laut. Berkurangnya penumpang mengakibatkan Kapal Sinabung akhirnya dipindahkan oleh pihak perusahaan ke pelabuhan yang lain, dan karena itu pula jadwal keberangkatan kapal laut pun menjadi hanya sekali dalam seminggu. Pada saat ini, harga tiket pesawat terbang sudah semakin menurun, bahkan tidak jauh berbeda dari tiket kapal laut. Kenaikan harga BBM tentu saja mengakibatkan kenaikan harga tiket kapal laut yang menggunakan bahan bakar minyak. Kenaikan harga BBM serta semakin murahnya harga tiket pesawat terbang merupakan dua hal yang menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk bepergian dengan menggunakan jasa pesawat terbang daripada menggunakan jasa kapal laut. Kondisi tersebut diatas sangatlah merugikan bagi para buruh bagasi. Karena, semakin sedikit penumpang, semakin sedikit pula penghasilan yang mereka peroleh. Karena besarnya upah yang mereka terima tergantung pada jumlah barang penumpang yang mereka angkat. Sementara jumlah buruh bagasi adalah 164 orang termasuk diantaranya 4 mandor, dan tiap-tiap mandor mengawasi sekitar 36 sampai 42 orang buruh bagasi. Universitas Sumatera Utara

1.2. Perumusan Masalah dan Lokasi Penelitian