Strategi Pertahanan Hidup Buruh Bagasi (Studi Deskriptif Terhadap Kehidupan Buruh Bagasi di Pelabuhan Belawan, Kecamatan Medan Belawan)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
STRATEGI PERTAHANAN HIDUP BURUH BAGASI
( Studi Deskriptif Terhadap Buruh Bagasi di Pelabuhan Belawan,
Kecamatan Medan Belawan )
SKRIPSI
Diajukan Oleh :
M ARTH A D OM I N TA D I AKON ESTI PARD ED E 020901030
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
(2)
ABSTRAKSI
Krisis moneter yang berkepanjangan di Indonesia menimbulkan munculnya berbagai kondisi yang memprihatinkan bagi masyarakat. Kesulitan memperoleh pekerjaan di sektor formal menyebabkan timbulnya pekerjaan sektor informal, seperti pekerjaan yang digeluti oleh informan penelitian ini, yakni asebagai buruh bagasi yang mengangkat barang penumpang kapal laut. Awalnya, bekerja sebagai buruh bagasi adalah pekerjaan yang cukup banyak memperoleh penghasilan. Hal ini disebabkan oleh jumlah buruh bagasi yang tidak begitu banyak, sementara intensitas keberangkatan kapal cukup besar, yakni sekali dalam 2 (dua) hari dengan kuantitas penumpang yang cukup padat. Namun, kenaikan harga BBM yang mengakibatkan naiknya harga tiket kapal laut, sementara harga tiket pesawat melonjak turun, mengakibatkan penumpang beralih ke pesawat yang memberi dampak buruk bagi penghasilan buruh bagasi.
Jenis penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif yakni data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, dan bukan angka-angka. Semua data yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian, laporan akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut, dimana hasilnya disajikan dalam bentuk deskriptif. Penelitian ini berlokasi di Pelabuhan Belawan, yang terdapat di Jalan Sumatera No.1 Belawan, Kecamatan Medan Belawan, yang diwakili informan sebanyak 8 (delapan) orang untuk menjawab permasalahan penelitian yakni bagaimana gambaran kehidupan sosial ekonomi buruh bagasi Pelabuhan Belawan ditinjau dari aspek sosiologisnya, serta menjawab strategi apa yang mereka lakukan untuk menambah pendapatannya agar dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.
Hasil yang diperoleh dari penelitian terhadap buruh bagasi ini menunjukkan bahwa ada berbagai macam strategi yang dilakukan para buruh bagasi dalam mengatasi kesulitan ekonomi. Coping strategi yang dikemukakan oleh beberapa pakar, dimana salah satunya adalah Edi Suharto, merupakan strategi – strategi yang juga mereka lakukan. Strategi – strategi yang mereka lakukan tersebut adalah : optimalisasi sumber daya manusia (yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk peningkatan penghasilan), penekanan/ pengetatan pengeluaran sehari – hari dimana peranan istri dalam hal ini sangat besar, serta pemanfaatan jaringan yang dilakukan beberapa buruh yakni dengan menjalin kerjasama dengan pedagang dalam mengangkat barang serta memanfaaatkan hubungan dengan atasan dalam pengadaan job yang dapat dilihat dalam perolehan data serta analisis yang disajikan dalam penulisan skripsi ini.
(3)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :
Nama : Martha Dominta Diakonesti Pardede
NIM : 020901030
Departemen : Sosiologi
Judul : Strategi Pertahanan Hidup Buruh Bagasi
(Studi Deskriptif Terhadap Kehidupan Buruh Bagasi di Pelabuhan Belawan, Kecamatan Medan Belawan)
Dosen Pembimbing, Ketua Departemen,
Harmona Daulay,S.Sos., M.Si Prof. Dr.Badaruddin, M.Si NIP : 131 086 737 NIP : 131 996 175
Dekan,
Prof. Dr.Arif Nasution, MA NIP : 131 757 010
(4)
KATA PENGANTAR
Terpujilah Tuhan Allah yang telah memberikan berkat, kekuatan, serta pertolongan kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan hingga pada tahap akhir yakni dalam penyusunan skripsi yang berjudul “ Strategi Pertahanan Hidup Buruh
Bagasi “. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat guna memperoleh gelar
sarjana dari Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini masih memiliki kekurangan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan, pengalaman, materi penulisan, serta kepustakaan. Untuk itu, penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan kritikan guna perbaikan skripsi ini kearah yang lebih baik lagi. Selama penulisan skripsi ini, penulis menerima banyak bantuan, saran, kritikan, motivasi, serta dukungan doa dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. DR. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. DR. Badaruddin, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Rosmiani, MA, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Harmona Daulay, S.Sos, M.Si, selaku dosen pembimbing penulis yang telah meluangkan waktu kepada penulis untuk membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini. Rasa kagum dan hormat penulis sampaikan atas kemurahan hati serta
(5)
5. Bapak Drs. Junjungan Simanjuntak, M.Si, selaku dosen wali penulis.
6. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh dosen Sosiologi dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan berbagai materi selama penulis menjalani perkuliahan di FISIP USU. 7. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis tercinta ayahanda Pdt. M.Pardede, S.Th
dan ibunda B.br. Siagian yang telah melahirkan, membesarkan, serta mendidik penulis tanpa henti – hentinya dengan penuh cinta dan kasih sayang, dan mendoakan penulis setiap hari.
8. Buat kakak – kakak dan abang iparku ( K’Ruth dan B’Nababan, K’Maria dan B’Simamora, K’Lidya dan B’Rajagukguk, K’Eva dan B’Naibaho, K’Melati dan B’Sitinjak, K’Rospita dan B’Julfrinson ) yang senantiasa mendukung penulis baik dana maupun motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Buat adik – adik dan sahabatku Filadelfia ( Julia, Silva, Rahmat, Ronald dan Urbanus ) serta Bezaleel ( Bastanna, Budi, Christina, Lemuel, dan Roy Hakim ) yang telah memberi semangat kepada penulis.
10.Terimakasih juga kepada anak – anak Sosiologi stambuk 2002, khususnya buat Pinta Ukur yang telah menemani penulis dalam penelitian ke lapangan.
11.Terima kasih kepada seluruh informan penelitian, yang telah memberikan informasi yang sesuai dengan permasalahan penelitian. Khusus buat buruh bagasi kelompok kantin atas, terima kasih buat sambutan yang hangat dan persaudaraan yang diberikan, terima kasih juga buat secangkir cappuccino setiap kali penulis datang ke lokasi penelitian.
(6)
12.Terimakasih buat k’Ria Hutagalung atas pertolongannya selama ini, k’Lisda yang selalu memberi semangat, k’Asti.
13.Terimakasih buat abangku, Septa G.Girsang, ST atas semangat yang selalu diberikan. 14.Terimakasih yang terdalam penulis sampaikan atas semangat yang luar biasa,
bantuan, doa, yang penulis peroleh dari abang sekaligus sahabat penulis, b’ Samuel Haratua Siswono, ST ( Sanders Hanko ).
Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran, dalam menyelesaikan skripsi ini. Besar harapan kiranya skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
Medan, Juni 2008 Penulis
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
Abstraksi ... i
Kata Pengantar ... ii
Daftar Isi ... v
Daftar Tabel ... vii
Daftar Matriks ... viii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Perumusan Masalah ... 9
1.3.Tujuan Penelitian ... 10
1.4.Manfaat Penelitian ... 10
1.5.Defenisi Konsep ... 11
BAB II. KAJIAN PUSTAKA ...Persoalan Kemiskinan ... 14
...Pengelompo kan Kebutuhan Hidup Manusia ... 18
...Pekerjaan Sektor Informal ... 19
...Coping Strategies : Suatu Strategi dalam Menangani Kemiskinan ... 22
...Interaksi Sosial ... 26
BAB III.METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 27
3.2. Lokasi Penelitian ... 28
3.3. Unit Analisis dan Informan ... 29
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 29
3.5. Interpretasi dan Analisis Data ... 30
3.6. Jadwal Kegiatan ... 31
3.7. Keterbatasan Penelitian ... 31
BAB IV.PENYAJIAN DAN INTERPRETASI DATA 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 33
4.1.1. Sejarah Ringkas Pelabuhan Belawan ... 33
4.1.2. Letak Geografis Medan Belawan ... 36
4.2. Deskripsi Keberadaan Buruh Bagasi ... 37
(8)
4.2.3. Buruh Bagasi Ilegal ... 42
4.3. Penurunan Komposisi Penumpang Kapal Laut ... 42
4.4. Profil Informan ... 44
4.5. Gambaran Sosial Ekonomi ... 53
4.5.1. Sistem Pendapatan ... 53
4.5.2. Interaksi Sosial Buruh Bagasi ... 57
4.5.2.1. Interaksi Sesama Buruh Bagasi... 65
4.5.2.2. Interaksi Buruh Bagasi dengan Atasan (Mandor dan KPLP) ... 65
4.6. Motivasi dan Strategi Pertahanan Hidup Buruh Bagasi ... 66
4.6.1. Motivasi Tetap Bertahan Sebagai Buruh Bagasi ... 66
4.6.2. Strategi Pertahanan Hidup Buruh Bagasi ... 68
4.7 Analisa Strategi Pertahanan Hidup Buruh Bagasi ... 74
BAB V.KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 85
5.2. Saran ... 93 DAFTAR PUSTAKA
(9)
DAFTAR TABEL
1. Angka Pengangguran (Tahun 2000 – 2005) ... 2 2. Perbandingan Harga Tiket Kapal Laut dengan Salah Satu Pesawat
Terbang ... 3 3. Persentase Kenaikan Harga BBM ... 3 4. Pembagian Jadwal Kerja Buruh Bagasi Pada Kapal Ferry ( dalam jangka
waktu 2 bulan ) ... 7 5. Jadwal Kegiatan ... 31
(10)
DAFTAR MATRIK
1. Latar Belakang Informan ... 53
2. Tanggapan Informan Terhadap Kerjasama ... 59
3. Tanggapan Informan Terhadap Konflik ... 61
4. Tanggapan Informan Terhadap Kompetisi ... 62
5. Motivasi Tetap Bertahan Sebagai Informan ... 67
6. Pekerjaan Sampingan Informan ... 69
7. Pekerjaan Istri ... 70
(11)
ABSTRAKSI
Krisis moneter yang berkepanjangan di Indonesia menimbulkan munculnya berbagai kondisi yang memprihatinkan bagi masyarakat. Kesulitan memperoleh pekerjaan di sektor formal menyebabkan timbulnya pekerjaan sektor informal, seperti pekerjaan yang digeluti oleh informan penelitian ini, yakni asebagai buruh bagasi yang mengangkat barang penumpang kapal laut. Awalnya, bekerja sebagai buruh bagasi adalah pekerjaan yang cukup banyak memperoleh penghasilan. Hal ini disebabkan oleh jumlah buruh bagasi yang tidak begitu banyak, sementara intensitas keberangkatan kapal cukup besar, yakni sekali dalam 2 (dua) hari dengan kuantitas penumpang yang cukup padat. Namun, kenaikan harga BBM yang mengakibatkan naiknya harga tiket kapal laut, sementara harga tiket pesawat melonjak turun, mengakibatkan penumpang beralih ke pesawat yang memberi dampak buruk bagi penghasilan buruh bagasi.
Jenis penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif yakni data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, dan bukan angka-angka. Semua data yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian, laporan akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut, dimana hasilnya disajikan dalam bentuk deskriptif. Penelitian ini berlokasi di Pelabuhan Belawan, yang terdapat di Jalan Sumatera No.1 Belawan, Kecamatan Medan Belawan, yang diwakili informan sebanyak 8 (delapan) orang untuk menjawab permasalahan penelitian yakni bagaimana gambaran kehidupan sosial ekonomi buruh bagasi Pelabuhan Belawan ditinjau dari aspek sosiologisnya, serta menjawab strategi apa yang mereka lakukan untuk menambah pendapatannya agar dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.
Hasil yang diperoleh dari penelitian terhadap buruh bagasi ini menunjukkan bahwa ada berbagai macam strategi yang dilakukan para buruh bagasi dalam mengatasi kesulitan ekonomi. Coping strategi yang dikemukakan oleh beberapa pakar, dimana salah satunya adalah Edi Suharto, merupakan strategi – strategi yang juga mereka lakukan. Strategi – strategi yang mereka lakukan tersebut adalah : optimalisasi sumber daya manusia (yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk peningkatan penghasilan), penekanan/ pengetatan pengeluaran sehari – hari dimana peranan istri dalam hal ini sangat besar, serta pemanfaatan jaringan yang dilakukan beberapa buruh yakni dengan menjalin kerjasama dengan pedagang dalam mengangkat barang serta memanfaaatkan hubungan dengan atasan dalam pengadaan job yang dapat dilihat dalam perolehan data serta analisis yang disajikan dalam penulisan skripsi ini.
(12)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perubahan yang signifikan dari keberadaan bangsa Indonesia yang
terpuruk akibat krisis moneter yang berkepanjangan, yang mulai melanda negeri
sejak pertengahan Agustus 1997 mengakibatkan berbagai krisis multidimensi
yang terus menimbulkan kerugian-kerugian bagi masyarakat. Salah satu yang
sangat memprihatinkan adalah pengangguran yang mengakibatkan berjuta-juta
pekerja mengalami penderitaan. Kesulitan-kesulitan hidup dirasakan hampir
seluruh penduduk Indonesia. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah belum
cukup membuat keresahan masyarakat berhenti, terutama dalam bidang ekonomi.
Kebutuhan hidup yang harganya terus meningkat mendorong masyarakat
untuk bekerja keras, melakukan banyak cara, demi memenuhi kebutuhan hidup
terutama kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar (basic needs). Untuk dapat
memenuhi semua kebutuhan tersebut, dituntut untuk bekerja, baik pekerjaan yang
diusahakan sendiri maupun bekerja bagi orang lain. Pekerjaan yang diusahakan
sendiri maksudnya adalah bekerja atas usaha modal dan tanggung jawab sendiri,
sedangkan bekerja bagi orang lain maksudnya adalah bekerja dengan bergantung
pada orang lain yang memberi perintah dan mengutusnya.
Di sisi lain, masalah lapangan kerja merupakan salah satu masalah besar
yang dihadapi masyarakat dari keseluruhan masalah bangsa yang sedang
menghadapi krisis multidimensi ini. Melihat angka pengangguran dalam 6 (enam)
(13)
tahun ke tahun angka pengangguran terus meningkat. Data Badan Pusat Statistik
(BPS) menunjukkan bila pada tahun 2000 angka pengangguran tercatat 5,8 juta
jiwa, maka pada tahun 2005 angka ini naik menjadi 12,6 juta jiwa (lihat tabel).
Tabel 1. Angka Pengangguran (Tahun 2000-2005)
Tahun Angkatan Kerja
Jumlah yang
Bekerja (%)
Jumlah
Pengangguran
(Juta)
2000 95,7 93,92 5,8
2001 98,8 91,90 8,0
2002 100,8 90,94 9,1
2003 100,3 90,50 9,5
2004 100,9 90,14 10,2
2005 106 88,11 12,6
Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, masyarakat dituntut untuk mampu bertahan untuk menghadapi
persaingan yang keras demi mendapatkan pekerjaan dan memperoleh penghasilan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terutama di daerah perkotaan.
Ketidakmampuan seseorang untuk bersaing dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
mengakibatkan timbulnya kemiskinan.
Scott (1979) berpendapat bahwa kemiskinan dapat didefinisikan dari segi
pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non
(14)
sebagai kondisi yang diderita manusia karena kekurangan atau tidak memiliki
pendidikan yang layak untuk meningkatkan taraf hidupnya, kesehatan yang buruk,
dan kekurangan transportasi yang dibutuhkan manusia. Kedua, kemiskinan
didefinisikan dari segi kurang atau tidak memiliki asset, seperti tanah, rumah,
peralatan, uang, emas, kredit, dll. Ketiga, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai
kekurangan atau ketiadaan non materi yang meliputi berbagai macam kebebasan,
hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga dan
kehidupan yang layak (Tjetjep Rohendi, 2000:24).
Berbagai wacana tentang kemiskinan telah menunjuk buruh-buruh di sub
sektor perkebunan teh rakyat sebagai contoh nyata dari proses kemiskinan suatu
golongan dalam masyarakat. Terbatasnya penguasaan dan akses terhadap sumber
daya menjadi masalah struktural yang selalu didengungkan kaum reformis dalam
menjelaskan fenomena tersebut. Salah satunya, yang menunjukkan hal tersebut
adalah hasil penelitian Grijns (1986) tentang buruh pemetik teh di wilayah
Selasari, Jawa Barat, yang menyatakan bahwa :
“In term of possesion and income they do belong to the poores group in their society, though they are not rock bottom, for they still have work…”
(Safaria, 2003:97).
(dalam hal kepemilikan dan pendapatan mereka adalah kelompok termiskin dalam masyarakatnya, meski mereka bukan kelas terbawah, karena mereka masih memiliki pekerjaan…).
Buruh, pada hakekatnya merupakan seseorang yang bekerja pada orang
lain (lazim disebut majikan) dengan menerima upah dan bekerja dibawah
pimpinan orang lain. Selain memperoleh upah yang telah ditetapkan oleh majikan
mereka juga mendapat jaminan kesejahteraan serta kesehatan sebagai tenaga
(15)
oleh para buruh. Hingga sampai saat ini, perjuangan berbagai kalangan
masyarakat yang bertemakan “Perjuangan nasib kaum buruh” masih terus
disuarakan melalui berbagai aksi komponen masyarakat.
Di antara banyaknya perjuangan serta masalah perburuhan yang ada
sekarang ini, terdapat suatu kehidupan komunitas buruh yang tampak terabaikan,
yakni buruh bagasi ataupun yang sering disebut dengan Porter yang bekerja di
pelabuhan. Mereka bekerja sebagai pengangkat barang penumpang kapal laut.
Secara historis, Pelabuhan Belawan yang merupakan salah satu
pelabuhan yang berada di daerah Sumatera Utara, memiliki kapal laut yang cukup
banyak serta penumpang yang cukup ramai. Masyarakat mulai dari golongan
menengah ke atas senantiasa bepergian dengan menggunakan jasa laut. Rute kapal
laut terdiri dari dua bagian yakni rute nasional dengan tujuan Batam dan Jakarta
dan rute internasional dengan tujuan ke Malaysia. Untuk rute pelayanan nasional,
biasanya kapal berangkat sekali dalam 2 (dua) hari. Hingga tahun 2003, terdapat
dua buah kapal laut nasional yakni Kapal Kelud dan Sinabung. Sedangkan untuk
rute internasional penumpang berangkat setiap hari dengan menggunakan jasa
kapal kecil yang disebut Ferry. Hal ini sangatlah menguntungkan bagi buruh
bagasi, karena pendapatan mereka cukup banyak akibat banyaknya penumpang.
Bekerja sebagai buruh bagasi tidaklah memerlukan kriteria khusus yang
harus dimiliki oleh seorang buruh bagasi. Seseorang cukup bermodalkan tenaga
yang cukup kuat dan kondisi fisik yang memungkinkan untuk mengangkat barang
penumpang seberat puluhan bahkan ratusan kilogram, dari tempat mereka
melakukan tawar-menawar harga sampai ke kapal laut ataupun sebaliknya dari
(16)
Dari buruh bagasi dituntut kecepatan dalam bekerja, karena semakin
cepat dia melakukan pekerjaannya, semakin besar kemungkinan untuk
memperoleh kesempatan mengangkat barang penumpang lainnya. Kompetisi,
tampak jelas dalam cara kerja mereka. Uniknya, para buruh bagasi memiliki trik
ataupun cara untuk mengangkat barang tersebut yakni menggunakan sehelai kain,
selendang ataupun sejenisnya yang mereka sebut sebagai “Senjata” mereka dalam
bekerja. Barang milik penumpang yang dikemas dalam kardus ataupun dalam
bentuk lainnya mereka ikat dengan “Senjata” tersebut dengan mengikatkannya
pada tali-tali pengikat barang penumpang. Dengan usaha keras mereka
mengupayakan agar barang seorang penumpang yang beratnya puluhan kilogram
dapat mereka bawa dalam sekali mengangkat. Mereka berjalan sampai
terbungkuk-bungkuk akibat beban di tubuh mereka yang sangat berat. Udara di
pelabuhan yang terasa sangat panas tidak lagi mereka hiraukan.
Namun, seiring dengan semakin banyaknya alat transportasi yang lebih
efektif dan modern yakni pesawat terbang, maka berangsur-angsur pula
berkurangnya jumlah penumpang kapal laut. Berkurangnya penumpang
mengakibatkan Kapal Sinabung akhirnya dipindahkan oleh pihak perusahaan ke
pelabuhan yang lain, dan karena itu pula jadwal keberangkatan kapal laut pun
menjadi hanya sekali dalam seminggu. Pada saat ini, harga tiket pesawat terbang
sudah semakin menurun, bahkan tidak jauh berbeda dari tiket kapal laut.
(17)
Tabel 2. Perbandingan Harga Tiket Kapal Laut dengan Salah Satu Pesawat Terbang
Tujuan
KELUD
Ferry
(Rupiah)
Batavia
(Rupiah) Ekonomi
(Rupiah)
Wisata
(Rupiah)
Jakarta 260.000 385.000 - 385.000
Malaysia - 400.000 425.000
Sumber : PT Suranta per 19 Juni 2006
Hal ini berkaitan pula dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan
harga BBM pada tanggal 01 Oktober 2005 lalu, yang menetapkan harga BBM
sebagai berikut :
Tabel 3. Persentase Kenaikan Harga BBM
Jenis BBM
Harga Lama
(Rupiah)
Harga Baru
(Rupiah)
Persentase
Kenaikan (%)
Premium 2.400 4.500 87,5
Solar 2.100 4.300 105
Minyak Tanah 700 2.000 186
Sumber : Grafik Analisa / Herman.
Kenaikan harga BBM tentu saja mengakibatkan kenaikan harga tiket
kapal laut yang menggunakan bahan bakar minyak. Kenaikan harga BBM serta
semakin murahnya harga tiket pesawat terbang merupakan dua hal yang
menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk bepergian dengan menggunakan
(18)
Kondisi tersebut di atas sangatlah merugikan bagi para buruh bagasi.
Karena, semakin sedikit penumpang, semakin sedikit pula penghasilan yang
mereka peroleh. Karena besarnya upah yang mereka terima tergantung pada
jumlah barang penumpang yang mereka angkat. Sementara jumlah buruh bagasi
adalah sebanyak 164 orang termasuk diantaranya 4 orang mandor, dan tiap-tiap
mandor mengawasi sekitar 38 sampai 42 orang buruh bagasi.
Proses pembagian jadwal kerja mereka adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Pembagian Jadwal Kerja Buruh Bagasi pada Kapal Ferry (dalam jangka waktu 2 bulan)
Minggu
Group P Group Q Group R Group S
Mandor P Mandor Q Mandor R Mandor S
A B A B A B A B
I IA1 IB2
II IIA1 IIB2
III IIIA1 IIIB2
IV IVA1
IV B2
Sumber : Hasil Wawancara pra Survey dengan Salah Seorang Mandor, tanggal 07 Mei 2006.
Keterangan :
I, II, III, IV : Minggu ke-…
A / B : ½ jumlah satu group buruh 1 : Bulan pertama
2 : Bulan kedua
Dari tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa buruh-buruh tersebut akan
(19)
dalam dua bulan, di mana kapal berangkat hanya sekali dalam dua hari. Sementara
untuk Kapal Kelud mereka bekerja sekali dalam seminggu.
Ketika bekerja mereka diwajibkan mengenakan baju yang memiliki
nomor punggung masing-masing buruh. Hal ini penting karena jika terjadi sesuatu
pada barang penumpang (misalnya : hilang), maka yang bertanggung jawab
terhadap barang tersebut adalah sang buruh bagasi dan dia dituntut untuk
mengganti kerugian atas hilangnya barang tersebut. Padahal, mereka tidak
memperoleh jaminan apapun baik jaminan kesejahteraan maupun kesehatan dari
pihak pelabuhan, sementara dilihat dari aktivitasnya pekerjaan mereka cukup
rentan terhadap bahaya.
Sistem pengupahan buruh bagasi adalah sistem bargaining
(tawar-menawar) antara buruh bagasi dengan si pemilik barang. Dan harga tersebut
disesuaikan dengan berat barang. Biasanya harga mengangkat berkisar
Rp 5000,00 - Rp 30.000,00. Dengan sedikit memaksa, mereka berusaha keras
menawarkan jasa pada para penumpang. Dari pendapatan yang mereka peroleh
mereka pun harus membayar setoran kepada mandor masing-masing sebanyak
Rp 2000,00 setiap kali bertugas mengangkat barang. Uang tersebut akan
dialokasikan untuk perawatan baju buruh bagasi dan setoran pada pihak
pelabuhan, dan mandor memperoleh gaji sebesar Rp 800,00 dari setoran tersebut.
Ada atau tidak ada barang yang diangkat, buruh bagasi wajib membayar setoran
tersebut. Pendapatan seorang buruh bagasi, dengan perhitungan kasar, hanya
mencapai ± Rp 200.000,00 per bulan. Dengan jumlah pendapatan yang demikian mereka harus membiayai kebutuhan keluarganya sehari-hari.
(20)
Kondisi yang telah diuraikan di atas memunculkan pertanyaan, yaitu
bagaimana sebenarnya keadaan kehidupan buruh bagasi dalam pemenuhan
kebutuhan hidup serta keperluan lainnya terutama dalam keluarga, mengingat
kuantitas penumpang kapal laut mengalami penurunan. Dan untuk menjawab
pertanyaan tersebut maka perlu dilakukan sebuah penelitian sehingga hasilnya
akan memberi gambaran kehidupan para buruh bagasi di Pelabuhan Belawan.
1.2. Perumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya,
maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah gambaran kehidupan sosial dan ekonomi buruh bagasi
di Pelabuhan Belawan di tinjau dari aspek Sosiologisnya ?
2. Strategi apakah yang dilakukan oleh buruh bagasi untuk menambah
pendapatannya agar dapat memenuhi kebutuhan keluarganya ?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang akan diteliti, maka tujuan
daripada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mencari data dan fakta serta mendeskripsikan kehidupan buruh
bagasi.
2. Untuk mendeskripsikan strategi yang dilakukan buruh bagasi untuk
menambah pendapatannya agar dapat memenuhi kebutuhan hidup
(21)
I.4. Manfaat Penelitian
I.4.1. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan data dan sebagai acuan
dalam memecahkan permasalahan sejenis.
I.4.2. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diadakan untuk menambah pengetahuan peneliti mengenai
kehidupan buruh bagasi serta masalah-masalah yang mereka hadapi dan melatih
penulis mengembangkan kemampuan berpikir melalui karya ilmiah.
1.5. Defenisi Konsep
Untuk memperjelas maksud dan pengertian mengenai konsep-konsep yang
digunakan, maka penulis membatasi konsep-konsep yang digunakan.
1. Buruh
Adalah seseorang yang bekerja pada orang lain ( lazim disebut
majikan ) dengan menerima upah dan bekerja di bawah pimpinan
orang lain.
Buruh Bagasi
Adalah orang yang menjalankan aktivitas kerja sebagai buruh
bagasi yakni pengangkat barang penumpang kapal laut, dimana
seluruh buruh bagasi yang terdapat di Pelabuhan Belawan adalah
kaum laki – laki. Mereka memperoleh upah dari penumpang
(22)
Pekerjaan yang mereka lakukan adalah pekerjaan di sektor
informal.
2. Pelabuhan
Berdasarkan PP NO.11 Th.1983 Tenatang Pembinaan Pelabuhan,
pengertian sebagai prasarana dn sebagai sistem : Pelabuhan adalah
suatu lingkungan kerja yang dilengkapi dengan fasilitas yang
memungkinkan berlabuh dan bertambat kapal, untuk
terselenggaranya bongkar muat barang serta turun naiknya
penumpang dri suatu moda transportasi laut ( Kapal ) ke moda
transpotasi lainnya, atau sebaliknya.
Dalam penelitian ini pelabuhan merupakan tempat buruh bagasi
melakukan aktivitas kerjanya dimana pelabuhan merupakan tempat
berlabuhnya kapal laut. Kebanyakan orang yang bekerja di
Pelabuhan Belawan ini adalah kaum laki – laki bahkan hampir
semuanya adalah laki – laki. Daerah pelabuhan ini sering dianggap
daerah rawan oleh masyarakat, dimana pelabuhan ini merupakan
daerah rawan konflik.
3. Upah
Dalam karya tulis Edwin J.Flippo yang berjudul “ Principles of
Personal Management “, mengatakan yang dimaksud dengan upah
adalah : “ Harga untuk jasa yang telah diterima atau diberikan oleh
orang lain bagi kepentingan seseorang atau badan hukum. “
Batasan tentang upah menurut Dewan Penelitian Perupahan dalam
(23)
Upah adalah merupakan suatu penerimaan sebagai imbalan dari
pemberi kerja kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau
jasa yang telah atau akan dilakukan, yang berfungsi sebagai
jaminan kelangsungan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan
dan produksi dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang telah
ditetapkan menurut suatu persetujuan UU dan peraturan –
peraturan dan di bayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara
pemberi kerja dan penerima kerja.
Dalam penelitian ini upah yang dimaksud adalah pendapatan yang
diperoleh oleh buruh bagasi sebagai imbalan jasa atas pekerjaannya
yang diperolehnya dari penumpang.
4. Faktor
Adalah sesuatu hal, keadaan, dan sebagainya yang ikut
menyebabkan, mempengaruhi terjadinya sesuatu. Faktor disini
maksudnya adalah hal – hal yang menyebabkan buruh bagasi tetap
bertahan menekuni pekerjaannya sebagai pengangkat barang
penumpang kapal laut meskipun terjadi pengurangan jumlah
penumpang. Faktor – faktor yang dimaksud tidak terbatas dari segi
ekonomi saja.
5. Strategi
Merupakan suatu prosedur yang mempunyai alternatif – alternatif
(24)
Strategi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cara – cara atau
hal – hal yang dilakukan oleh buruh bagasi untuk menambah
pendapatannya guna mempertahankan hidup atau meningkatkan
kesejahteraan dengan segala kemampuan, pengetahuan, dan
(25)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persoalan Kemiskinan
Kemiskinan adalah sebuah kondisi kekurangan yang dialami seseorang atau suatu keluarga. Berdasarkan hasil identifikasi suatu seminar, Awan Setya Dewanta menyimpulkan bahwa penyebab mengapa orang menjadi miskin adalah :
1. Perbedaan akses ekonomi yang dimiliki
Perbedaan ini telah muncul sejak lahir dimana masing-masing individu dapat lahir dengan orang tua kaya atau orang tua miskin. Dari hal ini terjadi perbedaan endowment diantara individu atau telah terjadi ketimpangan kepemilikan akses ekonomi. Memang endowment yang dimiliki tersebut tetap harus dikembangkan sehingga tidak menutup kemungkinan bagi si miskin untuk berupaya menjadi kaya, dan sebaliknya. Dalam pengembangan diri ini, kelompok miskin perlu dibantu agar memiliki kemampuan ( keterampilan dan pendidikan ).
2. Ketidakberuntungan yang dimiliki oleh “ kelompok masyarakat miskin“. Kondisi tersebut adalah deprevation trap, yaitu : kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan masyarakat miskin dalam menghadapi perubahan-perubahan kebijaksanaan ekonomi dan non-ekonomi, fluktuasi pasar, dan kekuatan ekonomi yang lebih kuat.
(26)
3. Ketimpangan distribusi
Ketimpangan distribusi ini dapat disebabkan karena beberapa faktor produksi yang dimiliki. Pekerja yang hanya mengandalkan tenaga otot saja akan menerima bagian yang kecil, jika dibandingkan dengan pekerja yang mengandalkan kemampuan intelektual dalam berproduksi.
4. Pembangunan sebagai ideologi
Pancasila yang seharusnya menjadi etika pembangunan telah digeser oleh pembangunan itu sendiri. Akibatnya pembangunan itu menimbulkan dialektika pembangunan. Pembangunan itu sendiri telah dijadikan alat ampuh untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Peristiwa penggusuran demi pembangunan adalah suatu bentuk yang konkrit bagi pembangunan sebagai ideologi.
5. Strategi pembangunan dan industrialisasi
Pemilihan strategi pembangunan yang lebih mengutamakan pertumbuhan akan mengakibatkan aspek pemerataan menjadi tertinggal.
6. Intervensi pemerintah
Kebijakan pemerintah memang diperlukan untuk melakukan investasi sosial dan melakukan pemihakan kepada si miskin. Namun pada sisi lain, pemerintah melakukan kebijakan makro yang justru kurang menguntungkan bagi kebijakan pengentasan kemiskinan. Intervensi pemerintah juga mengalami bias birokrasi. Bias birokrasi ini mengakibatkan kebijakan pemerintah yang lebih menguntungkan kelompok kaya dibandingkan kelompok miskin. Bias ini disebabkan karena kurang tanggapnya kelompok miskin terhadap perubahan baru,
(27)
birokrat dikejar oleh target, dan pemilihan program yang kurang mengikutsertakan kelompok yang dikenai.
Di dalam bukunya yang berjudul “Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat“, Dr.Sunyoto Usman mengatakan bahwa kemiskinan merupakan salah satu problem sosial yang amat serius. Langkah awal yang perlu dilakukan dalam membahas masalah ini adalah mengidentifikasikan apa sebenarnya yang dimaksud dengan miskin atau kemiskinan itu dan bagaimana mengukurnya.
Sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim digunakan untuk mendekati masalah kemiskinan, yaitu : perspektif kultural (cultural perspektif)
dan perspektif struktural atau situasional (situasional perspektif). Masing-masing perspektif tersebut memiliki tekanan, acuan, dan metodologi tersendiri yang berbeda dalam menganalisis masalah kemiskinan.
Perspektif kultural mendekati kemiskinan pada tiga tingkat analisis yaitu individual, keluarga, dan masyarakat. Pada tingkat individual, kemiskinan ditandai dengan sifat yang lazim disebut dengan a strong feeling of marginality, seperti : sikap parokial, apatisme, fatalisme, atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior. Pada tingkat keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga yang besar, dan free union or consensual marriages. Dan pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan oleh tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi masyarakat secara efektif. Mereka seringkali memperoleh perlakuan sebagai objek yang perlu digarap daripada sebagai subjek yang perlu diberi peluang untuk berkembang.
Sedangkan menurut perspektif struktural, masalah kemiskinan di lihat sebagai akibat dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan
(28)
produk-produk teknologi modern. Penetrasi kapital antara lain mengejawantah dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan pertumbuhan (growth) dan kurang memperhatikan pemerataan hasil pembangunan. Program-program itu antara lain berbentuk intensifikasi, ekstensifikasi, dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan sebesar-besanya guna memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor.
Program-program semacam itu memang telah berhasil meningkatkan hasil produksi secara besar-besaran, tetapi ternyata hanya kelompok kaya yang dapat memanfaatkan surplus itu. Hal ini disebabkan karena : pertama, berkaitan dengan akumulasi modal. Kelompok kaya memperoleh kesempatan yang lebih banyak untuk mendapatkan aset-aset tambahan yang datang bersamaan dengan perkembangan teknologi modern. Konsekuensinya, mereka dapat lebih cepat berkembang. Kedua, berkaitan dengan fungsi lembaga. Dalam rangka menunjang introduksi teknologi baru, di bentuk lembaga-lembaga ekonomi. Lembaga-lembaga ini sangat dibutuhkan karena dengan adanya perubahan teknologi, fungsi produksi, struktur pasar, dan preferensi konsumen ikut berubah. Dalam kenyataannya, lembaga-lembaga semacam ini tidak dapat memberikan fasilitas secara optimal kepada semua lapisan masyarakat. Hanya kelompok kaya yang dapat menikmatinya. Kedua hal tersebut dituduh menciptakan “kolonialisme internal “ dalam kehidupan masyarakat.
Apabila yang dianggap menjadi akar kemiskinan berkaitan dengan faktor kultural, maka perlu menyusun strategi yang mampu meningkatkan etos kerja kelompok miskin, meningkatkan pendidikan supaya lebih memiliki pola pikir yang melihat ke masa depan, dan menata kembali institusi-institusi ekonomi
(29)
supaya dapat mewadahi kebutuhan serta aspirasi kelompok miskin. Sedangkan apabila akar kemiskinan berakar pada masalah struktural, strategi pembangunan perlu untuk dirumuskan kembali. Strategi pembangunan tidak lagi mementingkan pertumbuhan, tetapi lebih mementingkan pemerataan kesempatan.
Secara Sosiologis, dimensi struktural kemiskinan dapat ditelusuri melalui
institutional arrangements yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa kemiskinan tidak semata-mata berakar pada “kelemahan diri“, sebagaimana dipahami dalam perspektif kultural. Kemiskinan semacam ini justru merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan strategi pembangunan ekonomi yang selama ini dicanangkan serta dari pengambilan posisi pemerintah dalam perencanaan dan implementasi pembangunan ekonomi itu sendiri.
2.2. Pengelompokan Kebutuhan Hidup Manusia dan Pekerjaan Sektor Informal.
Setiap manusia mempunyai kebutuhan atau dengan kata lain tak ada manusia yang tidak mempunyai kebutuhan. Oleh karena itu, manusia akan selalu berusaha untuk mencapai kebutuhan tersebut, dimana usaha untuk mencapai kebutuhan tersebut akan mempengaruhi tingkah laku manusia. Menurut Kartini Kartono (1991 : 88), kebutuhan hidup secara umum dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu :
1. Kebutuhan tingkat vital biologis, antara lain berupa sandang, pangan, papan atau tempat tinggal, perlindungan atau rasa aman, air, udara, seks, dll.
(30)
2. Kebutuhan tingkat sosio-budaya (human-kultural) antara lain berupa empati, simpati, cinta-kasih, pengakuan diri, penghargaan, status sosial, prestise, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebutuhan berkumpul.
3. Kebutuhan tingkat religius (metafisik, absolut), yaitu : kebutuhan merasa terjamin hidupnya, aman sentosa dan bahagia.
2.3 Pekerjaan Sektor Informal
Dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup, seseorang haruslah bekerja. Akibat dari keterbatasan peluang kerja di sektor formal, maka muncullah berbagai lapangan usaha yang bersifat informal. Meluasnya fenomena sektor informal dan informalisasi tenaga kerja di Indonesia merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Istilah-istilah “sektor informal” biasanya digunakan untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Sektor informal merupakan suatu manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di negara berkembang.
Seorang Antropolog Inggris, Keith Hart, pernah mengadakan suatu penelitian pada penduduk di kota Accra dan Nima, Ghana. Dia mengatakan bahwa kesempatan memperoleh penghasilan di kota di bagi menjadi 2 kelompok, yaitu sektor formal dan sektor informal.
Keith Hart, menyatakan bahwa perbedaan sektor formal dan informal dilihat dari keterbatasan cara kerja, hubungan dengan perusahaan, curahan waktu, serta status kegiatan yang dilakukan. Hart juga membagi kesempatan memperoleh penghasilan di sektor informal menjadi 2 (dua) bagian, yakni sektor informal yang
(31)
sah, dan sektor informal yang tidak sah. Yang termasuk ke dalam sektor informal yang sah yaitu :
1. Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder pertanian, perkebunan, yang berorientasi pasar, kontraktor bangunan dan kegiatan yang berhubungan dengan pengrajin usaha sendiri, pembuat sepatu, pengusaha bir dan alkohol.
2. Usaha kecil dengan modal relatif besar, perumahan, transportasi, usaha-usaha untuk kepentingan umum, spekulasi barang-barang dagangan, kegiatan sewa-menyewa.
3. Distribusi kecil- kecilan, pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang kaki lima, pengusaha makanan jadi, pelayan bar, pengangkut barang, agen atas komisi, dan penyalur.
4. Jasa-jasa lain seperti pemusik (pengamen), pengusaha binatu, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, juru potret, pekerja reparasi kendaraan maupun reparasi lainnya, makelar, dan sebagainya.
5. Transaksi pribadi seperti arus uang dan barang, pemberian maupun semacamnya, pinjam-meminjam, pengemis, dan lain-lain.
Sedangkan yang termasuk ke dalam kesempatan memperoleh penghasilan di sektor yang tidak sah ialah:
a. Jasa kegiatan atau perdagangan gelap yang pada umumnya penadah barang-barang pencurian, lintah darat, pegadaian dengan tingkat bunga yang tidak sah, perdagangan obat bius, pelacuran, berbagai macam korupsi, perlindungan kejahatan.
(32)
b. Transaksi pencurian kecil (pencopetan), pencurian besar-besaran (pembongkaran), pemalsuan uang dan penipuan. (Manning, 1985 : 79-80).
Sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Keith Hart tersebut, pekerjaan sebagai buruh bagasi tergolong kepada sektor informal yang sah.
Ciri utama sektor informal adalah :
1.1 Tiadanya bantuan ekonomi dapat timbul , misalnya karena adanya perserikatan buruh, pemberian kredit dengan bunga relatif murah, perlindungan dan perawatan kerja, hak cipta. Tidak adanya bantuan di sini dalam arti accessability dan bukan sekedar kemudahan (fasilitas). Walau ada kemudahan, tapi tak ada access maka usaha tersebut masih disebut usaha dalam sektor informal.
1.2 Jam kerja bervariasi
1.3 Mudah dimasuki (karena sektor ini tidak membutuhkan modal/uang yang besar).
1.4 Tidak meminta keterampilan yang tinggi. 1.5 Dapat menggunakan bahan-bahan setempat.
1.6 Dan permintaan yang akan selalu ada akan barang/jasa yang di hasilkan sektor informal ( Ananta, 1985 : 65 ).
Dari hasil penelitian yang diadakan oleh Tim peneliti ILO, yang dikoordinir oleh Sethuraman (Srilanka), ditemukan bahwa mereka yang terlibat dalam sektor informal pada umumnya miskin, kebanyakan dalam usia kerja utama (prime age), berpendidikan rendah, upah yang diterima di bawah upah minimum,
(33)
modal usaha rendah, serta sektor ini memberikan kemungkinan untuk mobilitas vertikal.
Pekerjaan di sektor ini memiliki tujuan utama untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan daripada memperoleh keuntungan. Hal ini disebabkan karena mereka yang terlibat dalam sektor ini pada umumnya miskin, berpendidikan sangat rendah, tidak terampil dan kebanyakan para migran. Jelaslah bahwa mereka bukan kapitalis yang mencari investasi yang menguntungkan dan juga bukanlah pengusaha seperti yang dikenal pada umumnya. Cakrawala mereka nampaknya terbatas pada pengadaan kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan yang langsung bagi dirinya sendiri.
2.4 Coping Strategies : Suatu Strategi dalam Menangani Kemiskinan Coping strategies dikenal juga dengan coping behaviour, coping mechanisms, survival strategies, household strategies, dan livelihood
diversivication (Suharto, 2002). Kajian mengenai coping strategies dapat memberikan gambaran mengenai karakteristik dan dinamika kemiskinan yang lebih realistik dan komprehensif. Ia dapat menjelaskan bagaimana keluarga miskin merespon dan mengatasi permasalahan sosial ekonomi yang terkait dengan situasi kemiskinannya. Selaras dengan adagium pekerjaan sosial, yakni ‘to help people to help themselves ‘, teori coping strategies memandang orang miskin bukan hanya sebagai objek pasif yang hanya dicirikan oleh kondisi dan karakteristik kemiskinan, melainkan orang yang memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang sering di gunakannya dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial ekonomi seputar kemiskinannya.
(34)
Kesadaran akan pentingnya penanganan kemiskinan yang berkelanjutan yang menekankan pada penguatan solusi-solusi yang ditemukan oleh orang yang bersangkutan semakin mengemuka. Pendekatan ini lebih memfokuskan pada pengientifikasian “apa yang di miliki oleh orang miskin“ ketimbang “apa yang tidak dimiliki orang miskin“ yang menjadi sasaran pengkajian.
Pada mulanya, konsep coping strategies sering dipergunakan untuk menunjukkan strategi bertahan hidup (survival strategies) keluarga di pedesaan negara-negara berkembang dalam menghadapi kondisi kritis, seperti bencana alam, kekeringan, gagal panen, dst. Belakangan ini, beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsep ini ternyata dipraktekkan juga oleh keluarga di wilayah perkotaan dan tidak hanya di negara berkembang, melainkan pula di negara-negara maju.
Secara umum coping strategies dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Dalam konteks keluarga miskin, menurut Moser ( 1998 ), strategi penanganan masalah ini pada dasarnya merupakan kemampuan segenap anggota keluarga dalam mengelola atau memenej berbagai asset yang dimilikinya. Moser mengistilahkannya dengan nama “asset portfolio management“. Berdasarkan konsepsi ini, Moser (1998 : 4-16) membuat kerangka analisis yang disebut “The Asset Vulnerability Framework“. Kerangka ini meliputi berbagai pengelolaan asset seperti :
1. Asset tenaga kerja (labour assets), misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak-anak dalam keluarga untuk bekerja membantu ekonomi rumah tangga.
(35)
2. Asset modal manusia (human capital assets), misalnya memanfaatkan status kesehatan yang dapat menentukan kapasitas orang untuk bekerja atau keterampilan dan pendidikan yang menentukan kembalian atau hasil kerja (return) terhadap tenaga yang dikeluarkannya.
3. Asset produktif (productive asset), misalnya menggunakan rumah, sawah, ternak, tanaman untuk keperluan hidupnya.
4. Asset relasi rumah tangga atau keluarga (household relation assets), misalnya memanfaatkan jaringan dan dukungan dari sistem keluarga besar, kelompok etnis, migrasi, tenaga kerja dan mekanisme “uang kiriman“ (remittances).
5. Asset modal sosial (Social capital assets), misalnya memanfaatkan lembaga-lembaga sosial lokal, arisan, dan pemberi kredit informal dalam proses dan sistem perekonomian keluarga.
Di daerah pedesaan, coping strategies keluarga miskin sangat terkait dengan sumber daya alam dan sistem pertanian. Beberapa bentuknya antara lain meliputi :
• Akumulasi asset pada masa panen untuk digunakan pada masa paceklik.
• Sistem gotong royong diantara anggota keluarga dan anggota masyarakat dalam mengelola makanan dan sumberdaya alam pada masa krisis
• Migrasi ke kota untuk mencari pekerjaan
• Penggantian jenis tanaman dan cara bercocok tanam • Pengumpulan tanaman – tanaman liar untuk makanan • Penghematan konsumsi makanan
(36)
• Penjualan simpanan benda – benda berharga ( emas, perabotan rumah tangga )
• Penjualan asset produktif ( tanah, binatang, ternak ) • Penerapan ekonomi subsisten
• Produksi dan perdagangan skala kecil ( buka warung )
• Pemanfaatan bantuan pemerintah di masa krisis ( program JPS )
Di wilayah perkotaan, keluarga miskin cenderung menghadapi masalah yang lebih berat dan kompleks. Di perkotaan, sumber daya alam umumnya tidak
dapat digunakan secara bebas, sistem kekerabatan lebih lemah, kondisi lingkungan juga lebih berat dan kerap berbahaya (polusi, kejahatan). Dalam garis besar, beberapa bentuk coping strategies keluarga miskin dapat dikelompokkan menjadi tiga :
Peningkatan Asset
Melibatkan lebih banyak anggota keluarga untuk bekerja, memulai usaha kecil-kecilan, memulung barang-barang bekas, menyewakan kamar, menggadaikan barang, meminjam uang di bank atau lintah darat.
Pengontrolan Konsumsi dan Pengeluaran
Mengurangi jenis dan pola makan, membeli barang-barang murah, mengurangi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan, mengurangi kunjungan ke desa, memperbaiki rumah atau alat-alat rumah tangga sendiri.
(37)
Pengubahan Komposisi Keluarga
Migrasi ke desa atau ke kota lain, meningkatkan jumlah anggota rumah tangga untuk memaksimalkan pendapatan, menitipkan anak ke kerabat atau keluarga lain baik secara temporer maupun permanen.
2.5 Interaksi Sosial
Kehidupan sehari-hari dalam masyarakat luas senantiasa terlibat dalam suatu proses interaksi sosial yang merupakan hubungan antara tiap-tiap individu dalam berbagai bidang kehidupan. Proses interaksi inilah yang menentukan pola-pola interaksi sosial tertentu. Kimball Young, menyebutkan bahwa interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial sebab tanpa interaksi sosial tak akan ada kehidupan bersama ( Soekanto, 1987 : 50 ).
Awal dari suatu proses interaksi adalah adanya kegiatan dari dua orang atau lebih yang melibatkan sikap, nilai, maupun harapan masing-masing. Interaksi juga didasarkan atas persepsi, motivasi, dan sikap individu terhadap kelompok. Hal ini dapat bersifat terjadinya interaksi sosial secara negatif dan positif seperti terjadinya kerjasama, kompetisi, ataupun konflik serta bentuk-bentuk interaksi lainnya ( Horton, 1987 : 127 ).
(38)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Untuk menjawab pemasalahan yang akan diteliti, maka diperlukan adanya suatu metode penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang hasilnya akan disajikan dalam bentuk deskriptif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang di alami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll.,secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2005 : 6).
Metode kualitatif ini dipergunakan dengan berbagai pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berkaitan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan informan. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Semua data yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian, laporan akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Pada penulisan
(39)
laporan, peneliti menganalisis data yang sangat kaya tersebut dan sejauh mungkin dalam bentuk aslinya.
3.2. Lokasi Penelitian
Sesuai dengan judul penelitian ini yang menyangkut komunitas buruh bagasi, maka penulis memilih lokasi penelitian yaitu di Pelabuhan Belawan, yang terdapat di jalan Sumatera No. 1 Belawan, Kecamatan Medan Belawan. Selain itu, lokasi penelitian juga mudah untuk dijangkau sehingga memudahkan peneliti untuk mengadakan penelitian.
3.3. Unit Analisis dan Informan
• Unit Analisis
Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian ( Arikunto ; 1999 : 132 ).
Adapun yang menjadi unit analisis dari penelitian ini adalah buruh bagasi yang bekerja di Pelabuhan Belawan, Medan.
• Informan
Informan adalah individu, komunitas atau kelompok masyarakat atau institusi yang menjadi sumber informasi. Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah :
1. Informan Kunci
a. Buruh yang telah bekerja selama minimal 5 tahun ( sebelum masa kenaikan harga BBM ).
(40)
b. Buruh bagasi tersebut telah berkeluarga.
c. Buruh bagasi tersebut memiliki anak yang sedang ataupun telah tamat sekolah.
2. Informan Tambahan
Yakni orang-orang yang mengetahui bahkan terlibat dalam kehidupan pekerjaan buruh bagasi, diantaranya :
a. Koordinator KPLP (Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai) bagian buruh bagasi.
b. Koordinator ADPEL (Administrasi Pelabuhan) c. Pihak PELNI
d. Penumpang kapal laut
Dari informan tambahan (selain penumpang kapal laut), yang hendak diperoleh dari mereka adalah sebatas data mengenai lokasi penelitian, yakni Pelabuhan Belawan, serta data-data yang berkaitan dengan keberadaan buruh bagasi.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, maka diadakan teknik-teknik untuk memperoleh data. Mengumpulkan data adalah pekerjaan yang sukar, karena apabila diperoleh data yang salah, tentu saja kesimpulannya pun menjadi salah pula, dan hasil penelitiannya menjadi palsu ( Arikanto, 2002 : 24). Dalam penelitian ini, adapun yang menjadi teknik pengumpulan data adalah :
(41)
• Data Primer
1. Depth Interview ( Wawancara Mendalam )
Yakni melakukan wawancara mendalam secara personal kepada para informan, dengan harapan agar peneliti dapat mengetahui gagasan, ide, pengetahuan, dan isi hati objek dengan mengajukan pertanyaan pada informan yang mengacu kepada interview guide yang sebelumnya telah dibuat peneliti sesuai dengan perumusan masalah yang hendak diteliti.
2. Field Observation ( Observasi Lapangan )
Yakni pengamatan yang bermaksud untuk mengamati kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh buruh bagasi selama ia bekerja. Dengan ini diharapkan keakuratan data akan tercapai.
• Data Sekunder
Yakni mengumpulkan data dari berbagai sumber, misalnya buku yang berkaitan dengan masalah penelitian, data dari internet, dll, serta arsip ( dokumen ) untuk mendapatkan catatan dan data mengenai penelitian secara umum yang diperoleh dari pihak pelabuhan serta pengambilan foto di lapangan.
3.5. Interpretasi dan Analisa Data
Data yang diperoleh yakni catatan lapangan, gambar-gambar atau foto-foto serta hasil wawancara diuraikan dalam bentuk tulisan, kemudian dianalisa sesuai dengan analisa kualitatif yang diuraikan dalam bentuk deskriptif.
(42)
3.6. Jadwal Kegiatan
No Rencana Kegiatan
Bulan I Bulan II Bulan III Bulan IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
1 Persiapan
a. Seminar Proposal
b. Perbaikan Hasil Seminar Proposal
c. Pengurusan Izin Admonistrasi Penelitian
2 Operasional Penelitian
a. Pengumpulan Data
b. Interpretasi Data
3 Penyusunan Laporan
a. Analisa Data
b. Menyusun Laporan Hasil Penelitian
c. Perbaikan Hasil Laporan
4 Sidang Meja Hijau
3.6. KETERBATASAN PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan di Pelabuhan Belawan ini memiliki fenomena tersendiri. Di awal penelitian, muncul rasa khawatir di hati peneliti. Hal ini berhubungan dengan tanggapan beberapa orang ketika melihat judul skripsi ini yakni mengenai buruh bagasi yang bekerja di Pelabuhan Belawan. Pertama, buruh bagasi secara keseluruhan terdiri dari buruh laki-laki. Kedua, daerah Pelabuhan Belawan ini dikenal sebagai daerah yang rawan konflik. Kedua hal ini dikaitkan pula dengan peneliti yang adalah seorang perempuan, sementara ketika mendengar sebutan buruh bagasi orang langsung terbawa ke suatu pribadi yang keras, dikarenakan mereka mengerjakan pekerjaan kasar di lokasi yang cukup keras, sehingga membentuk karakter yang keras bagi orang yang bekerja di sana. Namun ternyata hal tersebut tidak peneliti temukan di lapangan. Yang menjadi
(43)
kendala adalah tidak adanya kelengkapan data yang berhubungan dengan keberadaan buruh bagasi. Yang ada hanya sebatas data nama-nama buruh yang terdaftar sebagai buruh bagasi di Pelabuhan Belawan tersebut. Bahkan data tentang Pelabuhan pun tidak peneliti temukan secara rinci di kantor ADPEL (Administrator Pelabuhan). Data yang mereka miliki belum diperbaharui sejak 2002. Dari hal ini peneliti melihat bahwa manajemen administrasi Pelabuhan Belawan belum tertata dengan baik. Dalam hal ini peneliti berusaha untuk mengambil informasi dengan mencari data-data tersebut dari situs internet.
Hal lain yang menjadi kendal dalam penelitian ini adalah sulitnya peneliti untuk memperoleh referensi yang berkaitan dengan buruh bagasi. Bahkan peneliti juga tidak menemukan adanya penelitian yang secara khusus membahas tentang kehidupan buruh bagasi.
(44)
BAB IV
PENYAJIAN DAN INTERPRETASI DATA
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1. Sejarah Ringkas Pelabuhan Belawan
Secara geografis, Pelabuhan Belawan sebagai salah satu pelabuhan utama di Indonesia Bagian Barat ( gate way port ) terletak di pantai timur Sumatera Utara, pada posisi 03 derajat – 48 derajat lintang utara dan 98 derajat – 45 derajat bujur timur.
Dari ibukota Propinsi Sumatera Utara, Medan, pelabuhan ini berjarak sekitar 27 km. Luas daerah pelabuhan darat 2767,9 ha dan luas perairan 9884,4 ha serta mempunyai sarana jalan sepanjang 9 km.
Sebagaimana halnya Kota Belawan, Pelabuhan Belawan mengawali keberadaannya sekitar abad ke XVIII pada masa pemerintahan kolonialisme Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan ini, ketika Kerajaan Sultan Deli berkedudukan di Labuhan Deli, pelabuhan kapal-kapal niaga berada di Labuhan Deli.
Namun karena alur pelabuhan disini makin hari makin dangkal, dan semakin padatnya lintas kapal niaga, Pelabuhan Deli tidak mampu bertahan lebih lama. Apalagi ketika itu, kapal-kapal niaga dalam ukuran besar sudah mulai muncul dan tidak dapat masuk ke pelabuhan.
Kemudian oleh Pemerintah Hindia Belanda dibuka pelabuhan baru di Kali Belawan Deli, yang letaknya kira-kira 6 km dari Labuhan Deli. Pelabuhan ini selanjutnya dijadikan sebagai jalur perdagangan pengusaha
(45)
Belanda, terutama setelah berkembangnya usaha perkebunan karet dan tembakau.
Pelabuhan baru Kali Belawan Deli seterusnya dikembangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, mengingat semakin meningkatnya hasil komoditas dari sektor pertanian dan perkebunan. Malah tidak lama kemudian, lonjakan komoditas semakin bertambah besar, sehingga tidak mampu mengimbangi sarana pelabuhan. Untuk itu pihak pengusaha Hindia Belanda lebih meningkatkan dan memperluas Pelabuhan Belawan, diantaranya dengan melengkapi fasilitas lainnya.
Pada tahun 1872, untuk pertama kalinya Pelabuhan Belawan disinggahi kapal dari British Indie Steam Navigation Coy. Tujuh belas (17) tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1889, Pelabuhan Belawan Deli dikunjungi pula oleh kapal Koniklijke Paketvaart Maatschappij atau KPM.
Tahun 1891, kunjungan kapal-kapal niaga semakin ramai di pelabuhan ini, akibat meningkatnya usaha perkebunan di daerah Sumatera Timur. Selanjutnya pada tahun 1899, pengusaha Belanda membuka perkebunan baru dengan nama Senembah Maatschappij.
Sejak itu kemajuan perdagangan hasil bumi dari daerah ini dengan luar negeri terus meningkat, menyusul semakin banyaknya perusahaan perkebunan. Kemajuan di sektor perdagangan otomatis memaksa berkembangnya perhubungan laut, khususnya yang menyangkut pengapalan dan pelayaran ( shipping ).
Melihat kondisi yang demikian, penguasa Hindia Belanda segera membenahi fasilitas Pelabuhan Belawan. Pada tahun 1899 itu juga, mereka
(46)
membangun sarana pelabuhan berupa dermaga, pergudangan, perkantoran, dan fasilitas lainnya
Jadi dapatlah dikatakan bahwa Pelabuhan Belawan mengawali keberadaannya sejak tahun 1899, selanjutnya berkembang pesat hingga menjadi salah satu pelabuhan ekspor terbesar saat ini.
Berikut ini dapat dilihat perkembangan status perusahaan pelabuhan Belawan:
1. Tahun 1945-1960 (Saat itu Pelabuhan Belawan dikelola oleh Jawatan Pelabuhan).
2. Tahun 1960-1969 (Berdasarkan Keputusan R.I No. 130 Tahun 1957, status Pelabuhan Belawan berubah menjadi Perusahaan Negara). 3. Tahun 1969-1983 (Berdasarkan PP No. 1 Tahun 1969 status
pelabuhan berubah lagi menjadi Badan Pengusahaan Pelabuhan). 4. Tahun 1983-1990 (Berdasarkan PP No. 4 Tahun 1985 Tanggal 5
Pebruari 1985 status pelabuhan berubah menjadi PERUM Pelabuhan). 5. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 1991 Tanggal 19
Oktober 1991 status pelabuhan berubah menjadi PT ( Persero ) Pelabuhan Indonesia I.
6. Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1985 dan Keppres No. 44 Tahun 1985 tentang ADPEL sebagai penanggungjawab tunggal pelayanan di daerah lingkungan kerja pelabuhan utama.
(47)
4.1.2. Letak Geografis Medan Belawan
Kecamatan Medan Belawan terletak di wilayah Utara kota Medan dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Marelan dan Kecamatan Medan Labuhan
Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka
Kecamatan Medan Belawan memiliki luas wilayah sebesar 26,25 km2. Kecamatan Medan Belawan adalah daerah pesisir Kota Medan dan merupakan wilayah bahari dan maritim yang berbatasan langsung pada Selat Malaka dengan penduduknya berjumlah 93,356 jiwa ( 2004 ).
Di Kecamatan Medan Belawan ini terdapat Pelabuhan Belawan yang merupakan pelabuhan terbuka untuk perdagangan internasional, regional, dan nasional. Pelabuhan Belawan ini merupakan urat nadi perekonomian Sumatera Utara khususnya arus keluar masuk barang dan penumpang melalui angkutan laut, sehingga Kota Medan dikenal dengan pintu gerbang Indonesia bagian Barat.
Di Kecamatan Medan Belawan ini juga terdapat Terminal Peti Kemas Konvensional Gabion Belawan, yang merupakan Pintu Gerbang ekspor dan impor barang Indonesia bagian Barat.
(48)
4.2 Deskripsi Keberadaan Buruh Bagasi
4.2.1 Gambaran Umum Buruh Bagasi di Pelabuhan Belawan
Pelabuhan Belawan merupakan urat nadi perekonomian Sumatera Utara khususnya arus keluar masuknya barang dan penumpang melalui angkutan laut. Setiap hari, pelabuhan ini ramai dikunjungi oleh masyarakat yang hendak melakukan perjalanan dengan kapal laut ataupun masyarakat yang datang dari daerahnya menuju Sumatera Utara.
Masyarakat yang menggunakan jasa angkutan laut ini lazimnya membawa barang-barang, baik itu barang pribadi maupun barang dagangan. Maka untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada penumpang, dan untuk menghindari adanya pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang akan membuat kekacauan di pelabuhan, maka pihak pengawas pelabuhan yakni KPLP menganjurkan kepada pihak penanggungjawab pelabuhan, yang saat ini bernama ADPEL, untuk menyediakan orang-orang yang akan bekerja sebagai buruh yang memberikan layanan jasa mengangkat barang penumpang.
Sempitnya lapangan pekerjaan mengakibatkan banyak orang yang tertarik bekerja sebagai buruh bagasi terutama mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang rendah. Untuk menjadi buruh bagasi tidak membutuhkan keahlian khusus, karena modal utama yang harus di miliki oleh buruh bagasi adalah tenaga yang kuat dan berotot.
Untuk membatasi jumlah Buruh Bagasi, maka pihak penanggungjawab pelabuhan menetapkan jumlah mereka yakni sebanyak 164 orang, termasuk di dalamnya 4 orang mandor untuk 4 kelompok. Tiap – tiap
(49)
mandor mengawasi sekitar 38 sampai 42 orang buruh. Mereka secara keseluruhan adalah laki – laki, dan terdaftar sebagai anggota tenaga kerja bagasi.
Berikut komposisi Buruh Bagasi menurut golongan usia :
NO Golongan Usia Jumlah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
20 – 24 24 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 – 69 70 - 74
7 13 15 21 27 31 18 19 3 2 1
Jumlah 164
Sumber : Data Baruna Barat Pelabuhan Belawan ( Data di olah kembali )
Untuk mengkoordinir para buruh, mereka dibagi dalam 2 ( dua ) kelompok dalam menjalankan tugasnya. Masing-masing 82 orang berseragam merah dan 82 lainnya berseragam coklat. Seragam tersebut dilengkapi dengan nomor punggung masing – masing buruh. Seragam yang mereka pakai berupa kemeja tersebut, menjadi penanda bahwa mereka adalah buruh bagasi yang siap melayani penumpang yang membutuhkan jasa.
Untuk menghindari rebutan penumpang, jadwal kedua kelompok ini diatur berdasarkan rute perjalanan kapal. Jika mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh pihak ADPEL yang dikoordinir oleh KPLP, maka buruh yang menurunkan bagasi adalah buruh yang mengenakan seragam merah dan yang menaikkan bagasi adalah buruh yang mengenakan seragam coklat ataupun sebaliknya sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh pihak pengelola
(50)
pelabuhan. Namun, belakangan peraturan tersebut mengalami pergeseran, yakni baik buruh yang berseragam merah maupun coklat tidak lagi bekerja sesuai jadwal yang telah ditetapkan, tetapi setiap kapal datang maupun pergi mereka diizinkan untuk bekerja. Hal itu disebabkan karena kapal hanya datang sekali dalam seminggu, sehingga mereka memohon agar diizinkan untuk tetap bekerja meskipun bukan pada jadwal mereka.
4.2.2. Kelompok Sosial
Sadar tidak sadar, setiap individu sejak lahirnya telah tergabung dalam suatu kelompok, bahkan sejak orang tersebut dilahirkan ke dunia ini. Adapun suatu himpunan dalam masyarakat dapat disebut sebagai kelompok yaitu apabila memenuhi syarat – syarat berikut ini :
1. Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang bersangkutan,
2. ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya,
3. ada suatu faktor yang dimiliki bersama, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama, dan lain – lain. Tentunya faktor mempunyai musuh yang sama, misalnya, dapat pula menjadi faktor pengikat / pemersatu,
4. berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku, 5. bersistem, dan berproses.
(51)
Dalam kehidupan buruh bagasi pun terbentuk kelompok – kelompok sosial, yakni kelompok yang terbentuk atas adanya kesadaran akan kesamaan status.
Dari hasil observasi yang dilakukan, ada tiga ( 3 ) kelompok yang terdapat dalam komunitas buruh bagasi. Hal ini tampak dari tempat mereka biasanya menunggu kapal dan dengan siapa mereka menunggu.
Kelompok yang terdapat pada buruh bagasi ini dapat dilihat dari tempat mangkal mereka di lokasi kerja. Biasanya mereka mangkal sambil menunggu kedatangan kapal.
Kelompok – kelompok tersebut antara lain :
1. Kelompok Kantin Atas
Yakni kelompok yang beranggotakan para buruh bagasi yang pada umumnya bekerja sebagai agen yang membeli dan menjual barang dari dan ke batam sebelum mereka bekerja sebagai buruh bagasi. Mereka pada umumnya memiliki fisik yang besar, beragama Kristen, dan bersuku Batak. Dapat di katakan kalau mereka ini adalah kelompok kelas atas dikalangan buruh bagasi. Pada umumnya mereka memiliki telepon selular ataupun handphone, dan telah tinggal di rumah sendiri. Kelompok ini juga menyadari bahwa mereka adalah kelompok paling elit di antara kelompok buruh bagasi lainnya. Meskipun mereka tetap bergaul dengan buruh bagasi lainya, namun mereka membatasi keanggotaan kelompoknya.
(52)
2. Kelompok Mesjid
Kelompok ini hanya beranggotakan 3 orang saja, karena buruh bagasi yang beragama Islam memang hanya tiga ( 3 ) orang saja. Mereka biasanya berkumpul di Mesjid yang terdapat di lokasi Pelabuhan Belawan ketika menunggu kedatangan kapal ataupun setelah kapal berangkat.
3. Kelompok Pohon Rindang
Kelompok ini memiliki anggota yang paling banyak. Walaupun kelompok ini terbentuk begitu saja tanpa adanya suatu persyaratan khusus. Kelompok ini merupakan kelompok buruh yang paling miskin, dan bertubuh kecil. Biasanya ketika menunggu kapal datang, mereka berkumpul di bawah pohon yang berada di samping Mesjid Pelabuhan sambil bermain catur, ataupun sekedar bercerita sambil minum kopi, ataupun mengerjakan kegiatan – kegiatan lainnya.
Hal menarik lainnya yang dapat di lihat dari komunitas Buruh Bagasi ini adalah tidak adanya akses mereka terhadap organisasi buruh resmi. Mereka juga tidak memperoleh fasilitas resmi dari pemerintah maupun pihak penanggungjawab pelabuhan, meskipun mereka resmi terdaftar sebagai tenaga kerja di Pelabuhan Belawan. Mereka tetap merupakan pekerja lepas, tanpa suatu perlindungan apapun.
(53)
4.2.3 Buruh Bagasi Ilegal
Di Pelabuhan Belawan ini terdapat juga buruh bagasi ilegal atau sering dikatakan dengan buruh bagasi liar. Meskipun petugas keamanan berada di pintu gerbang tangga kapal laut untuk mengawasi setiap penumpang dan buruh bagasi yang keluar masuk kapal laut, namun mereka mencoba untuk bisa mengangkat kapal penumpang dengan cara masuk dari celah-celah tangga tersebut. Tentu saja buruh bagasi liar ini harus memiliki tubuh yang kurus untuk bisa masuk lewat celah tangga tersebut.
Usaha yang dilakukan buruh bagasi liar tersebut tidak hanya itu saja. Bagi mereka yang memiliki relasi, mereka akan masuk mengangkat barang dengan meminjam tiket kapal laut penumpang tersebut. Hal ini tentu saja menambah kerugian bagi para buruh bagasi, karena menambah saingan mereka dalam mendapatkan penumpang. Buruh liar ini harus siap menghadapi resiko jika ketahuan dan tertangkap oleh petugas keamanan pelabuhan. Biasanya mereka dipukuli dengan pentungan yang dimiliki oleh petugas tersebut dan akan dipaksa untuk keluar.
4.3 Penurunan Komposisi Penumpang Kapal Laut
Jumlah penumpang kapal laut di Pelabuhan Belawan mengalami penurunan. Penurunan ini dikarenakan adanya kenaikan BBM sehingga mempengaruhi kenaikan harga tiket kapal laut. Kenaikan tersebut terjadi karena kapal penumpang yang memiliki ukuran serta daya angkut yang besar, tentu menyebabkan konsumsi BBM – nya makin besar juga.
(54)
Semenjak munculnya banyak perusahaan penerbangan, masyarakatlah yang diuntungkan. Tiket murah gampang didapat. Masyarakat tidak perlu bersusah – susah lagi menghabiskan waktu berhari – hari untuk bepergian ke suatu tempat, misalnya saja dari Medan ke Jakarta yang jika menaiki kapal laut akan memakan waktu 3 hari, tetapi jika naik pesawat terbang hanya 2 jam saja.
Mendadak terjadi perubahan besar di bandara – bandara setelah maraknya angkutan udara. Dulu, bandara – bandara di Indonesia hanya dipenuhi orang – orang yang berdasi dengan sepatu mengilat dan koper mahal. Memang, ketika itu harga pesawat sangat mahal, dan cuma bisa dijangkau masyarakat kelas atas. Namun,saat ini di bandara kita menemui wajah – wajah lugu sederhana yang baru turun dari pesawat, bahkan sebagian besar menenteng kantong plastik dan bersandal jepit.
Kenaikan harga BBM dapat mempengaruhi pola operasi kapal. Hal tersebut dikarenakan kenaikan biaya BBM sangat berpengaruh kepada biaya lainnya, antara lain untuk biaya makanan penumpang, docking, air tawar, dan
bunker service. Sementara di sisi lain terjadi reformasi dalam bidang penerbangan.
Saat ini langit Indonesia diramaikan 16 operator penerbangan dari 26 yang terdaftar. Padahal tiga atau empat tahun yang lalu, pesawat yang ada di Indonesia hanya Garuda, Merpati, Mandala, Bouraq, Dirgantara Air Service, Lion Air, Pelita Air Service, Bayu Indonesian Air, Jatayu Gelang Sejahtera, Airmark Indonesia, serta Awair Internasional ( sudah tidak beroperasi lagi sejak Mei 2002 ).
(55)
Sekarang sudah ada Kartika Air Lines, Indonesian Airlines Avi Patria, Star Air, Republik Express, Metro Batavia, Bali Internasional Air Service, Seulawah NAD Air. Belum lagi delapan maskapai yang belum dapat AOC ( sertifikat operasi dari Dephub ). Delapan maskapai itu, Internusa Air, Satrio Mataram Airlines, Asia Avia Megatama, Alatief Alair Internasional, Nusantara Internasional Services, Riau Airlines, Air Paradise Internasional, dan Fajar Air, bahkan telah ada pesawat yang tiketnya di peroleh dengan sistem bocking lewat internet dengan harga yang sangat murah, yakni Air Asia.
Tarif murah tersebut juga dipicu Keputusan Menteri Perhubungan melepas batas bawah tarif pesawat udara pada Februari 2002 lalu yang membuat semua airline domestik bersaing memperebutkan penumpang dengan cara menurunkan harga.
4.4. Profil Informan
Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah : 1. SIAGIAN
Siagian adalah seorang buruh bagasi yang sudah sangat lama bekerja di Pelabuhan Belawan. Mendiang ayahnya dahulu juga merupakan seorang buruh bagasi. Siagian adalah anak sulung dari 3 (tiga) bersaudara. Dia sendiri memiliki adik kembaran yang juga bekerja sebagai buruh bagasi. Sementara adiknya yang bungsu juga bekerja di Pelabuhan Belawan hanya saja dia bekerja di bagian traveling, dan ia pun terdaftar juga sebagai buruh bagasi.
(56)
Siagian menikah pada tahun 1992 dan di karuniai 3 orang anak, yang sekarang duduk di bangku SD dan SLTP. Ketiga anaknya ini semenjak kecilnya sudah dididik untuk hidup mandiri oleh pasangan Siagian. Hal ini tampak dari kegiatan yang mereka lakukan sepulang sekolah, yakni menggunting sandal ( merapikan sisa – sisa bahan yang terdapat di sandal setelah selesai diolah ) di sebuah pabrik. Setiap menggunting satu sandal mereka diberi upah Rp 25,00. Sehari biasanya mereka menggunting ±100 sandal. Dalam sebulan mereka bisa mengantongi uang ±Rp 65.000,00. Uang tersebut sebagian mereka tabung dan sebagian lagi mereka pergunakan untuk uang jula – jula yang mereka adakan di rumah mereka. Hasilnya mereka dapat menambah biaya keperluan sekolah mereka.
Buruh yang juga merangkap sebagai mandor ini berkediaman di jalan Sei Mati, Medan Labuhan. Wajahnya yang sangat ramah dan mudah senyum ini membuat dia akrab dengan banyak orang. Meskipun tubuhnya kecil, namun ia memiliki wibawa untuk memimpin buruh-buruh yang adalah anggotanya. Kehidupan yang berat yang di jalaninya dalam mencari nafkah bagi keluarganya tidak tampak di wajahnya, oleh karena semangat yang ada padanya.
2. Parlin Marpaung
Parlin Marpaung adalah seorang buruh bagasi yang berasal dari Porsea yang telah menggeluti pekerjaan sebagai buruh bagasi selama hampir 12 tahun, yakni sejak tahun 1995. Sebagai seorang pendatang dari Porsea yang hanya mengecap pendidikan sampai jenjang SLTP, pekerjaan sektor
(57)
informal yang mengandalkan tenaga adalah pekerjaan yang mampu untuk dilakukannya. Parlin Marpaung adalah seorang kepala keluarga yang memperistri seorang guru SD. Mereka dikaruniai 5 orang anak. Dua anaknya yang tertua telah berumah-tangga,sehingga ada tiga orang anak lagi yang hidupnya masih dibiayai oleh Marpaung yang masih bersekolah di tingkat SMA dn SLTP.
Awalnya, ia bekerja sebagai seorang agen yang menjual dan membeli barang – barang dari dan menuju Batam secara ilegal. Oleh majikannya, Marpaung pergi ke Batam dengan membawa hasil-hasil pertanian seperti jeruk, sayur-sayuran (palawija) untuk di distribusikan di Batam, dan dari Batam dia membawa barang-barang elektronika, seperti Televisi, Tape, Handphone, dll. Namun, karena pengawasan terhadap barang-barang tersebut semakin ketat, maka mau tidak mau ia harus meninggalkan pekerjaan tersebut.
Akhirnya, tanggungjawab sebagai kepala keluarga yang harus membiayai kebutuhan kehidupannya bersama istri dan anak-anaknya, mengharuskan ia untuk berjuang memperoleh uang. Menjadi buruh bagasi adalah pilihan yang paling tepat baginya, dan akhirnya dia pun memutuskan untuk mendaftarkan diri menjadi buruh bagasi dan diterima begitu saja disana.
Saat ini selain menjadi buruh bagasi Parlin Marpaung juga bekerja sebagai TKBM ( Tenaga Kerja Bongkar Muat ), dan money changer di lokasi Pelabuhan Belawan. Beserta istrinya yang adalah seorang Guru SD, dia berjuang menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak – anaknya.
(58)
3. Samosir
Seperti marga yang dimilikinya, informan ini merupakan buruh bagasi yang berasal dari Samosir. Lelaki yang berusia 41 tahun ini memiliki wajah yang tegas dan suara yang lantang. Melihat sorotan matanya yang tajam memungkinkan membuat orang yang melihatnya takut dan enggan untuk berinteraksi dengannya, seperti yang dialami oleh peneliti. Namun pandangan tersebut perlahan – lahan sirna saat terjadi perbincangan yang hangat antara peneiti dengan informan ini.
Samosir memiliki istri yang sehari – harinya bekerja sebagai pedagang pakaian bekas ( loak ) di lokasi pasar Belawan. Bersama istrinya ia membesarkan 4 orang anaknya, dimana tiga anaknya yang tertua sudah lulus SMA dan sudah merantau, sementara anak bungsunya yang merupakan satu – satunya perempuan masih duduk di kelas 3 SLTP.
Sama halnya dengan Parlin Marpaung, Samosir juga awalnya adalah seorang agen sebelum dia bekerja sebagai buruh bagasi. Nasib yang sama dengan Marpaung pun ia alami. Setelah kehilangan pekerjaannya ia pun mencoba untuk berjualan, yakni berjualan jengkol. Namun karena penghasilan yang dia peroleh sangat tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka, maka ia pun berjuang mencari pekerjaan yang menghasilkan uang yang lebih banyak. Maka ia pun bekerja sebagai buruh bagasi dan juga bekerja sebagai TKBM.
(59)
4. L.E.Sitorus.
Bapak L.E.Sitorus,adalah buruh bagasi telah berusia 46 tahun, sudah bekerja sebagai buruh bagasi selama 11 tahun. Ia berasal dari Samosir dan sejak tahun 1986 dia meninggalkan daerah asalnya dan penghidupan di Kota Medan. Dia memiliki 4 orang anak yakni anak pertama kelas 2 SMA, kedua kelas 1 SMA, ketiga kelas 1 SLTP, dan yang terakhir kelas 5 SD.
Bapak yang bertubuh besar dan ramah ini mengaku bahwa penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan sebagai buruh bagasi tidaklah cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan hidup mereka apalagi untuk keperluan sekolah anak – anaknya. Maka untuk mengatasi hal tersebut, maka ia pun mengerjakan pekerjaan lainnya yakni sebagai TKBM ( Tenaga Kerja Bongkar Muat ).
Selain itu, istrinya juga turut berusaha menambah pendapatan dengan berternak babi, dan menanam kangkung di ladang tetangganya. Kangkung tersebut selain dipergunakan untuk makanan ternak babi tersebut, juga dipakai sebagai sayuran.
5. M.Sipahutar
Bapak yang bertubuh kecil dan sudah berusia 64 tahun ini berasal dari Pahae, Tapanuli Utara. Dengan bermodalkan pendidikan SD, dia mencari pekerjaan di Kota Medan. Semula, dia bekerja sebagai penarik jangkar kapal laut di Pelabuhan Belawan. Upah yang di perolehnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, bahkan terkadang hanya untuk kebutuhan pangannya selama di perantauan. Kemudian ia menikahi seorang gadis yang
(60)
ternyata juga berasal dari daerah yang sama dengannya. Setelah menikah, upah yang diperolehnya otomatis tidak cukup untuk mereka berdua, apalagi setelah anak pertama mereka lahir. Memang mereka sering mendapat bantuan dari keluarga mereka di kampung baik dalam bentuk dana, beras, ataupun kiriman hasil-hasil ladang.
Kesadaran bahwa mereka tidak mungkin terus-menerus mengharapkan bantuan tersebut membuat M.Sipahutar berjuang untuk mencari pekerjaan, dan dia melihat ada peluang yang cukup besar di sana. Oleh karena dia sudah tidak asing lagi di lokasi pelabuhan, dia pun di terima untuk bekerja di sana.
Bapak yang tampak bungkuk dan memiliki penyakit paru – paru ini tidak lagi segesit dahulu dalam memburu penumpang yang baru tiba atau turun dari kapal, namun ia berusaha sekuat tenaga untuk bisa tetap bekerja, bersaing dengan buruh lainnya untuk mendapatkan penumpang yang membutuhkan bantuan mengangkat barang mereka. Pekerjaan ini tetap di pertahankannya karena sangat tidak memungkinkan lagi baginya untuk mencari pekerjaan lainnya apalagi dengan latar belakang pendidikannya yang sangat rendah, dan usianya yang sudah tua, sementara dia memiliki 7 (tujuh) orang anak dan biaya hidup 6 (enam) orang di antaranya masih ditanggung oleh M.Sipahutar.
(61)
6. Tumirin
Tumirin adalah salah satu dari tiga buruh bagasi yang bukan bersuku batak, tetapi bersuku Jawa. Perawakannya yang kalem dan tenang serta tutur bahasanya yang halus tidak mencerminkan kalau dia adalah seorang buruh bagasi yang bekerja di area yang penuh dengan kekerasan. Tumirin telah berusia 56 tahun. Meskipun rambutnya sudah hampir semua berubah menjadi uban, namun parasnya masih tampak awet muda.
Tumirin, ketika masih duduk di bangku sekolah, yakni STM, sering datang ke Pelabuhan Belawan, sekedar untuk menangkap ikan bersama teman – temannya, karena ketepatan rumahnya tidak begitu jauh dari Pelabuhan Belawan, yakni di daerah Medan Labuhan.
Karena faktor ekonomi, akhirnya Tumirin hanya menyelesaikan studi hingga kelas 3 STM. Anak ke 3 dari 5 bersaudara ini akhirnya berusaha untuk membantu ibunya mencari nafkah yakni dengan bekerja sebagai buruh bagasi, sejak tahun 1972. Kemudian dia menikah dengan seorang gadis yang bernama Inah.
Hal yang unik dari bapak ini adalah dia mampu membiayai kebutuhan hidup keluarganya hanya dengan mengharapkan uang dari upah sebagai buruh bagasi. Bahkan ketiga anaknya telah berhasil menjadi pegawai negeri sipil. Saat ini, dia hanya membiayai kebutuhan hidupnya bersama istrinya. Untuk mengisi waktu, istrinya menanam jagung di ladang yang ada di belakang rumahnya, dan hasilnya sebagian dijual, dan sebagian lagi dijadikan makanan ayam.
(62)
7. Patar Gultom
Patar Gultom adalah buruh bagasi yang berusia 46 thn. Gultom adalah korban krisis moneter pada tahun 1999. Akibatnya, ia harus kehilangan pekerjaannya sebagai buruh pabrik tenun yang terdapat di Pematangsiantar, daerah asalnya. Bersama istrinya, ia pun pergi meninggalkan daerah asalnya dan mencari penghidupan di kota Medan.
Gultom yang mengaku hanya mengenyam pendidikan sampai sekolah menengah pertama hanya bisa mencari uang dari menjual otot dan tenaga. Bekerja sebagai buruh bagasi, walaupun penghasilannya tidak menentu, Gultom merasa beruntung masih mampu menghidupi istri dan anak – anaknya.
Selain bekerja sebagai buruh bagasi, Gultom juga bekerja sebagai TKBM. Biaya hidup yang mahal membuat ia juga terpaksa bekerja sebagai calo tiket, meskipun resiko yang harus ia hadapi cukup berat.
Istri Gultom juga turut bekerja menambah penghasilan dengan membuka kedai kelontong di depan rumah mereka. Dengan penghasilan yang demikian mereka bertekad untuk terus menyekolahkan anak – anak mereka hingga ke jenjang perkuliahan.
Saat ini, anak sulung Gultom sedang bekerja di sebuah perusahaan di Batam. Dari penghasilan yang diperolehnya, dia rutin mengirimkan uang untuk biaya perkuliahan adik keduanya yang sedang kuliah diploma, sehingga pasangan Gultom tinggal membiayai kebutuhan hidup mereka sehari-hari serta biaya pendidikan anak ketiga dan si bungsu yang saat ini masih sekolah ditingkat SMA dan SLTP.
(1)
5. Bagaimana anda menggunakan pendapatan anda tersebut ?
__________________________________________________________ __________________________________________________________ __________________________________________________________ __________________________________________________________ 6. Usaha apa yang anda lakukan jika anda kekurangan uang ? (mis :
meminjam, dll )
__________________________________________________________ __________________________________________________________ __________________________________________________________ __________________________________________________________ III. PROFIL SOSIAL
A. Interaksi Sosial
1. Bagaimana interaksi anda dengan atasan anda (Mandor, KPLP, Pihak ADPEL) ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ 2. Bagaimana interaksi anda dengan sesama buruh bagasi ? Apakah
anda senang bergaul dengan teman sekerja anda tersebut ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________
(2)
_______________________________________________________ _______________________________________________________ 3. Bagaimana hubungan anda dengan sesama buruh saat sedang
melakukan pekerjaan ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ 4. Bagaimana relasi anda dengan para penumpang ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ 5. Bagaimana dengan konflik sosial dalam berinteraksi diantara sesama
buruh bagasi ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ 6. Jika terjadi konflik, siapa yang menjadi mediator dalam penyelesaian
konflik tersebut ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________ B. Kelompok
(3)
_______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ 2. Dimana dan dengan siapa anda bergabung saat menunggu kapal
datang ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ 3. Bagaimana ikatan kelompok sosial / kekompakan diantara sesama
buruh ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ 4. Siapa yang termasuk ke dalam kelompok primer / sekunder anda ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________ 5. Bagaimana ikatan kekerabatan atau etnis dalam kelompok anda ?
(4)
_______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________
C. Masalah – Masalah Sosial
1. Apakah anda berniat untuk meninggalkan pekerjaan anda ? Mengapa ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ 2. Jika tidak, faktor – faktor apa yang menyebabkan anda tetap bertahan
menekuni pekerjaan anda sebagai buruh bagasi ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________
IV. STRATEGI PERTAHANAN HIDUP
1. Strategi apa yang anda lakukan sehingga anda dapat bertahan dalam memenuhi kebutuhan hidup anda dan keluarga anda ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________
(5)
2. Apa peran istri anda dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup keluarga anda ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ 3. Apakah anak anda juga terlibat dalam membantu ekonomi rumah
tangga anda ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ 4. Bagaimana dengan pemanfaatan sumber atau tanaman liar di
lingkungan anda ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ 5. Apakah anda mengikuti arisan ataupun kegiatan sejenisnya ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________
(6)
6. Jika anda mengalami goncangan dan tekanan non – ekonomi, pa yang anda lakukan ? dan kemana anda pergi ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________ 7. Apakah anda pernah mendapat bantuan dana ? Darimana ?
_______________________________________________________ _______________________________________________________ _______________________________________________________