Deskripsi Lokasi Penelitian 1. DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

48

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1. Lokasi dan Keadaan Penduduk Kelurahan Sei Sikambing D adalah salah satu dari tujuh kelurahan yang ada di Kecamatan Medan Petisah. Luas dari kelurahan Sei Sikambing D adalah sekitar 91 Ha. Sebagian besar daerah ini terdapat pemukiman penduduk. Jumlah penduduk keseluruhan adalah 13.405 jiwa, dengan jumlah 1.773 Kepala keluarga. Kelurahan Sei Sikambing D berbatasan antara lain dengan: 1. Sebelah utara berbatasan dengan jalan Jendral Gatot Subroto, Kelurahan Sei Putih Barat, dan Sei Putih Tengah Kecamatan Medan Petisah. 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan jalan Gajah Mada, Kelurahan Babura, Kecamatan Medan Baru 3. Sebelah Barat berbatasan dengan jalan Sei Sikambing, Kelurahan Simpang Tanjung Kecamatan Medan Sunggal 4. Sebelah Timur berbatasan dengan jalan Iskandar Muda, Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah Lokasi Kelurahan Sei Sikambing D terletak cukup strategis, karena kelurahan ini berbatasan dengan jalan-jalan protokol yang dapat dengan mudah dijangkau oleh masyarkat. Masyarakat di Kelurahan Sei Sikambing D memiliki latar belakang suku, agama dan jenis pekerjaan yang berbeda-beda. Secara latar belakang agama masyarakat di kelurahan ini menganut berbagai jenis agama antara lain seperti Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Universitas Sumatera Utara 49 Hindu, dan Budha. Begitu juga dari segi latar belakang budaya atau etnis, masyarakat yang bermukim di Kelurahan Sei Sikambing D memiliki etnis antara lain seperti etnis Jawa, etnis Batak, etnis Minang, etnis Gayo, etnis Thionghoa, dan lain lain. Sehingga kelurahan ini dapat dikategorikan sebagai kelurahan yang multibudaya. 4.1.1.1.Kepadatan Penduduk Table 4.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin No Keterangan Jumlah 1 Laki-laki 6.482 Jiwa 2 Perempuan 6.923 Jiwa 3 Jumlah Penduduk 13.405 Jiwa 4 Kepadatan Penduduk 147 Jiwa per km Sumber: Data Kelurahan Sei Sikambing D Medan Tahun 2009 Masyarakat di Kelurahan Sei Sikambing D didominasi oleh perempuan, namun jumlahnya tidak jauh berbeda dengan penduduk yang berjenis kelamin laki-laki. Kelurahan Sei Sikambing D ini tidak termasuk kedalam kategori lingkungan padat penduduk. Karena kepadata penduduk hanya 147 jiwa per Km. Masyarakat di kelurahan ini adalah masyarakat yang dinamis, dan tidak bias gender. Karena baik laki-laki maupun perempuan didaerah ini dapat melakukan dan memilih pekerjaan yang diinginkan. Universitas Sumatera Utara 50 Table 4.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan No Status Jenis Jasa Perdagangan Jumlah orang 1 2 3 a. Pegawai Negeri Sipil 1.Pegawai Kelurahan 2.Guru 3.Pegawai Negri Sipil ABRI 4.Mantri Kesehatan Perawat 5.Bidan 6.Dokter 7. PNS lainnya b. Pensiunan ABRI c. Pegawai Swasta c. Pegawai BUMNBUMD d. Pensiunan Swasta 5 28 102 12 7 12 - 438 536 27 13 Sumber: Data Kelurahan Sei Sikambing D Medan Tahun 2009 Masyarakat di Kelurahan Sei Sikambing D memiliki berbagai jenis profesi. Profesi yang mendominasi masyarakat di kelurahan ini adalah profesi di bidang wiraswasta. Profesi wiraswasta banyak ditekuni oleh masyarakat di kelurahan tersebut, salah satu diantaranya adalah profesi dibidang jasa panti pijat tunanetra. Namun karena data dari kelurahan tidak mencantumkan jenis-jenis pekerjaan dibidang swasta, maka peneliti mencari data yang lebih akurat mengenai panti pijat tunanetra yang berada di Kelurahan Sei Sikambing D melalui Pertuni Persatuan Tunanetra Indonesia yang berada di Medan. Panti pijat tunanetra di Kelurahan Sei Sikambing D adalah: Universitas Sumatera Utara 51 1.Panti Pijat Tunanetra Cemerlang Abadi 2. Panti Pijat Tunanetra West 3. Panti Pijat Tunanetra Yakestra 4. Panti Pijat Tunanetra Sumatera Jaya Sumber: Data Pertuni 2008 Medan 4.1.1.2.Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Jenis Kelamin Table 4.2. Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasakan Jenis Kelamin No Jenis Kelamin Jumlah Persentase 1 Laki-laki 12 60 2 Perempuan 8 40 3 Jumlah 20 100 Sumber: Data Kelurahan Sei Sikambing D Medan Tahun 2009 Dari table diatas dapat kita lihat bahwa jumlah tukang pijat di Kelurahan Sei sikambing D Medan didominasi oleh laki-laki. Yang ditunjukkan dengan jumlah pemijat jenis kelamin laki- laki sebanyak 12 orang dengan jumlah persentase sebesar 60, dan selebihnya adalah tukang pijat dengan jenis kelamin perempuan sebayak 8 orang dengan persentase sebesar 40. Meskipun profesi memijat didominasi oleh pria, namun wanita juga dapat melakukannya. Universitas Sumatera Utara 52 4.1.1.3.Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Agama Table 4.3. Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Agama No Agama Jumlah Persentase 1 Islam 10 50 2 Kristen Katolik 5 25 3 Kristen Protestan 5 25 4 Hindu - - 5 Budha - - 6 Kong hu chu - - Jumlah 20 100 Sumber: Data Kelurahan Sei Sikambing D Medan Tahun 2009 Dari table diatas dapat dilihat bahwa agama mayoritas tukang pijat adalah agama Islam, hal ini dibuktikan dengan besarnya persentase tukang pijat yang beragama Islam yaitu 50. Agama yang dianut oleh tukang pijat lain adalah Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Meskipun memiliki agama yang berbeda-beda namun para pemijat ini saling menghormati satu sama lain.

4.1.1.4. Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Etnis

Table 4.4. Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Etnis No Etnis Jumlah Persentase 1 Batak 10 50 2 Jawa 4 20 3 Minang 2 10 4 Melayu 4 20 Jumlah 20 100 Sumber: Data Kelurahan Sei Sikambing D Medan Tahun 2009 Dari table diatas terlihat bahwa tukang pijat difabel mayoritas berlatar belakang etnis atau suku Batak. Hal ini terlihat dari persentase etnis Batak mencapai 50 dari jumlah keseluruhan Universitas Sumatera Utara 53 pemijat. Meskipun memiliki latar belakang suku yang berbeda-beda namun rasa toleransi sangat dijunjung tinggi. 4.1.1.5.Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan Tingkat Pendidikan Table 4.7 Komposisi Tukang Pijat Tunanetra Berdasarkan tingkat Pendidikan No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase 1 SD 12 60 2 SMP 5 25 3 SMA 2 10 4 Diploma dan Sarjana 1 5 Jumlah 20 100 Sumber: Data Kelurahan Sei Sikambing D Medan Tahun 2009 Berdasarkan table diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan tukang pijat difabel masih cukup rendah. Hal ini terlihat jelas dari persentase yang ada bahwa 60 tukang pijat difabel hanya menyelesaikan pendidikan di tingkat sekolah dasar. Namun meskipun demikian bukan berarti tukang pijat difabel tidak ada yang berpendidikan tinggi, ada satu orang yang dapat menyelesaikan pendidikannya dari perguruan tinggi. Universitas Sumatera Utara 54 PROFIL INFORMAN 4.2 . Data Pribadi Informan 4.2.1. Profil keluarga yang orangtua difabel yang bekerja sebagai tukang pijat 4.2.1.1. Keluarga Lukman Harahap Bapak Lukman Harahap berusia 43 tahun. Ia berasal dari Kabupaten Tapanuli Tengah. Namun sejak berusia 13 tahun keluarganya tinggal berdomisili di Medan. Bapak Lukman berlatar belakang suku Batak Mandailing. Ia menganut agama Islam. Meskipun difabel namun Pak Lukman mampu menyelesaikan pendidikan terakhirnya di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung. Istrinya bernama Kamilawati. Ia berusia 39 tahun, berlatar belakang suku Jawa dan Melayu. Ibu Kamila juga beragama agama Islam. Asalnya asli dari Medan. Pendidikan terakhir Ibu Kamila hanya sampai pada tingkat sekolah dasar. Mereka menikah pada tahun 1999, tepatnya tanggal 26 September 1999. Keluarga ini dikaruniai satu orang putri yang diberi nama Diah. Diah tidak mengalami seperti kedua orangtuanya, karena Diah adalah anak yang normal. Hal tersebut membuat orangtuanya semakin bersemangat didalam kehidupannya. Karena orangtuanya sangat menggantungkan harapan kepada Diah agar menjadi orang yang sukses, tidak seperti orangtuanya alami sekarang ini. Diah sekarang berusia tujuh tahun, yang sedang duduk dibangku sekolah dasar swasta di Medan. Bapak Lukman mengalami kebutaan pertama sekali pada usia 9 tahun, saat ia duduk dibangku sekolah dasar. Sedangkan Ibu Kamila mengalami kebutaan saat berusia 15 tahun, Kedua orangtua Pak Lukman bukan individu yang difabel. Begitu juga dengan orangtua Ibu Kamila bukanlah individu yang difabel. Bapak Lukman dan Ibu Kamila secara tidak sengaja mengalami kebutaan karena factor yang sama, yaitu karena demampanas tinggi yang dialami Universitas Sumatera Utara 55 mereka saat itu yang perlahan-lahan membuat mata mereka rabun dan lambat laun mengakibatkan kebutaan total pada indera matanya. Sehingga dapat dikatakan faktor yang menyebabkan mereka mengalami kebutaan bukanlah karena faktor keturunan, namun karena penyakit. Tidak hanya kedua orangtua, saudara dari Pak Lukman dan Ibu Kamila juga tidak mengalami hal sama. Mereka berdua tidak pernah merasa malu dengan kondisi yang dialaminya sekarang ini. Justru mereka bersyukur dengan kondisinya ini, karena dengan kondisi yang dialami membuat mereka terhindar dari perbuatan dosa yang disebabkan oleh kedua mata mereka. Bapak Lukman dan Ibu Kamila menyatakan bahwa meskipun mereka merupakan individu difabel, namun mereka tidak pernah diasingkan atau dikucilkan didalam keluarga. Karena pada faktanya yang terjadi adalah sebaliknya, mereka merasakan kasih sayang yang begitu besar yang diberikan oleh keluarga. Maka secara langsung hal tersebut membentuk kepribadian mereka dan menjadikan mereka individu yang tegar, kuat dan iklas menerima keadaan. Sehingga mereka tidak pernah merasa malu dan minder saat berada ditengah-tengah masyarakat. Karena mendapatkan keluarga penuh dengan kasih sayang, sehingga dalam mendidik anak mereka tidak merasa kesulitan. Sejak dini mereka mendidik anak agar dapat menerima kondisi kedua orangtuanya. Mereka senantiasa membawa anak mereka kemana pun mereka pergi, pada jarak yang dekat sampai pada jarak yang jauh sekalipun mereka tetap membawanya. Sehingga anak terbiasa dengan pandangan dan asumsi masayarakat mengenai kedua orangtuanya. Dengan cara demikian anak dapat menerima dan tidak malu lagi dengan orang lain meskipun kondisi orangtuanya tidak sempurna. Bapak Lukman sudah menekuni profesi sebagai tukang pijat sudah 20 tahun. Istrinya sudah menekuni profesi memijat sudah 15 tahun. Mereka mendapatkan kesempatan belajar Universitas Sumatera Utara 56 memijat saat berada di panti sosial milik Pemerintah yang berada di kota Tebing tinggi, yang bernama Panti Sosial Bina Netra. Di panti tersebut Pak Lukman dan istri tinggal selama 3 tahun. Selama berada dipanti mereka diberikan banyak pengetahuan, antara lain seperti pengetahuan umum, pembentukan mental, dan keterampilan atau skill. Sebelum memasuki tahap pendidikan mengenai teknik memijat terlebih dahulu mereka memasuki tahap pendidikan dan pembentukan psikologis, lalu selanjutnya mereka memasuki tahap pendidikan keterampilan umum seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah yang secara bersamaan diberikan pendidikan berkomposisi seperti pengetahuan agama, dan pengetahuan umum, jika sudah menyelesaikan kedua tahap tersebut mereka maka akan diberikan pendidikan mengenai teknik memijat. Mereka mempelajari teknik memijat selama kurang lebih 1,5 tahun. Tidak seluruh difabel yang dapat menyelesaikan pendidikan dipanti selama 3 tahun, karena tergantung dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing difabel. Setelah menyelesaikan pendidikan di Panti Sosial tersebut mereka mendapatkan sertifikat resmi dari Dinas Sosial. Sertifikat tersebut harus dimiliki setiap difabel yang ingin membuka panti pijat. Karena sertifikat adalah bukti kongkrit yang menunjukkan nahwa Pak Lukman dan istri telah lulus dan dapat membuka praktek memijat. Di tahun 2002 Pak Lukman membuka panti pijat yang diberi nama “Cemerlang Abadi”. Sebelum membuka panti pijat tersebut mereka masih bekerja di tempat praktek teman sesama difabel. Sekarang ini Pak Lukman dan Istri tidak lagi bekerja untuk teman namun mereka sudah mampu membuka praktek pijatnya sendiri. Mereka memiliki keahlian lain yang dapat digunakan untuk mencari nafkah, misalnya Pak Lukman mampu mengajar mengaji, dan Ibu Kamila mampu memasak kue. Sehingga dengan keterampilan yang mereka miliki, dapat menambah pendapatan sehari-hari. Keahlian yang mereka miliki dapat mereka gunakan disaat pendapatan dari memijat menurun. Memijat dipanti Universitas Sumatera Utara 57 pijat ini ditarif Rp.30.000. Meskipun demikian pendapatan keluarga ini tidak dapat ditetapkan, karena setiap harinya pasien yang datang kepanti pijat tidak dapat dipastikan jumlahnya. Meskipun pasien yang datang tidak tentu jumlahnya, namun mereka tidak pernah mau dikasihani oleh orang lain. Mereka selalu berusaha mencari uang tambahan dengan cara yang lain. Sehingga mereka mengatakan pendapatan setiap bulan dapat mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. 4.2.1.2. Keluarga Pak Payan Simanjuntak Bapak Payan lahir di Laguboti pada tahun 1956, saat ini ia sudah berusia 45 tahun. Ia berasal dari Kabupaten Tapanuli Utara. Bapak Payan berlatar belakang suku Batak Toba. Agama Pak Payan adalah Kristen Protestan. Pendidikan trakhir yang dapat diselesaikan oleh Pak Payan hanya sampai sekolah dasar. Istri Pak Payan bernama Sri Tambunan. Ia berusia 41 tahun, berlatar belakang suku Batak Toba. Ibu Sri juga beragama Kristen Protestan. Ia berasal dari Balige. Pendidikan terakhir Ibu Sri hanya sampai pada tingkat sekolah dasar. Mereka menikah pada tahun 1992. Keluarga ini memiliki tiga orang anak yang terdiri dari dua orang putra dan satu orang putri. Anak pertama bernama Budi, anak kedua bernama Panji, dan anak ketiga bernama. Ketiga anak Pak Payan sedang menimba ilmu di salah satu perguruan swsata di Medan. Anak-anaknya tidak mengalami kondisi seperti mereka, anak-anak Pak Payan adalah anak-anak yang normal. Memiliki anak yang normal membuat Pak Payan dan Ibu Sri sangat bahagia dan selalu bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena dengan demikian harapan Pak Payan agar anak-anaknya menjadi individu yang sukses dapat tercapai. Mereka tidak menginginkan anak-anaknya merasakan kesusahan dikemudian hari seperti yang mereka rasakan sekarang ini. Bapak Payan buta sejak pada usia 6 tahun, sedangkan Ibu Sri buta saat berusia 2 tahun. Kebutaan yang mereka alami bukan merupakan faktor keturunan, didalam keluarga Pak Payan Universitas Sumatera Utara 58 dan Ibu Sri tidak ada yang mengalami hal yang sama dengan mereka. Faktor penyebab kebutaan Pak Payan dan Ibu Sri adalah sakit campak yang mereka alami saat kecil. Perlahan-lahan membuat mata mereka rabun dan mengakibatkan kebutaan total pada mata. Sehingga dapat disimpulka faktor penyebab kebutaan mereka bukan karena faktor keturunan, namun karena penyakit. Saat masih kecil Pak Payan dan Ibu Sri merasa sangat malu dan tidak dapat menerima keadaan yang mereka alami. Mereka menginginkan agar mereka dapat melihat kembali. Keluarga besar Pak Payan dan Ibu Sri juga melakukan usaha agar mereka dapat melihat lagi, namun dokter mengatakan bahwa virus yang menyerang merusak kornea mata mereka sehingga mata mereka tidak dapat melihat kembali. Saat duduk dibangku sekolah dasar banyak teman yang mengejek dan mengina keadaan mereka. Hal tersebut membuat mereka terpuruk dan akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah lagi. Didalam keluarga Pak Payan dan Ibu Sri tidak pernah diasingkan atau dijauhkan didalam keluarga. Karena keluarga mereka tidak berasumsi bahwa buta bukanlah suatu aib yang memalukan. Karena kasih sayang keluarga cukup besar kepada mereka, sehingga membuat Pak Payan dan Ibu Sri menjadi individu yang kuat dan sabar dan tidak merasa malu lagi dengan keadaan yang mereka alami. Begitu juga mereka lakukan dalam mengasuh dan mendidik anak- anak mereka. Mereka membiasakan agar anak-anak tidak malu dan minder dengan kondisi orangtuanya. Bapak Payan profesi sebagai tukang pijat sudah 24 tahun. Istrinya juga berprofesi sebagai tukang pijat yang sudah memijat selama 15 tahun. Mereka belajar memijat di panti sosial yang sama dengan keluarga pak Lukman yakni panti social yang bernama Panti Sosial Bina Netra. Universitas Sumatera Utara 59 Pak Payan tinggal dipanti tersebut selama 4 tahun, dan Ibu Sri tinggal dipanti tersebut selama 3 tahun. Selama berada dipanti mereka mendapatkan banyak pengetahuan, antara lain seperti pembentukan psikologis, pendidikan dan keterampilan umum dan keterampilan khusus. Sebelum memasuki tahap pendidikan mengenai teknik memijat terlebih dahulu mereka memasuki tahap pendidikan dan pembentukan psikologis, lalu selanjutnya mereka mendapatkan pendidikan keterampilan umum seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah yang secara bersamaan diberikan pendidikan berkomposisi seperti pengetahuan agama, dan pengetahuan umum, jika sudah menyelesaikan kedua tahap tersebut mereka maka akan diberikan pendidikan mengenai teknik memijat. Mereka mempelajari teknik memijat selama kurang lebih 2 tahun. Tidak seluruh difabel dapat menyelesaikan pendidikan memijat dipanti dengan cepat, hal tersebut tergantung dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing difabel. Setelah menyelesaikan pendidikan di panti sosial tersebut mereka mendapatkan sertifikat resmi dari Dinas Sosial. Sertifikat tersebut harus dimiliki setiap difabel yang ingin membuka panti pijat. Karena sertifikat adalah bukti nyata yang menunjukkan nahwa Pak Payan dan istri telah lulus dan dapat membuka praktek memijat. Di tahun 2000 Pak Payan membuka panti pijat yang diberi nama “West”. Mereka membuka praktek dijalan KH. Wahid Hasyim. Awal-awal setelah menyelesaikan pendidikan, mereka tidak langsung dapat membuka praktek pijat sendiri, karena diperlukan perlengkapan dan dana yang cukup. Sebelum membuka panti pijat tersebut mereka masih bekerja di tempat praktek teman sesama difabel. Sekarang ini Pak Payan dan Istri tidak lagi bekerja untuk teman namun mereka sudah mampu membuka praktek pijatnya sendiri. Mereka tidak memiliki keahlian lain yang dapat digunakan untuk mencari nafkah, misalnya. Keahlian yang mereka miliki dapat mereka gunakan disaat pendapatan dari memijat menurun. Memijat dipanti pijat ini diberikan tariff Rp.35.000 sekali memijat. Pendapatan Universitas Sumatera Utara 60 keluarga setiap bulannya tidak dapat ditetapkan, karena setiap harinya pasien yang datang kepanti pijat tidak dapat dipastikan jumlahnya. Meskipun pasien yang datang tidak menentu, namun mereka mengatakan pendapatan setiap bulan dapat mencukupi kebutuhan mereka sehari- hari. 4.2.1.3.Keluarga Bapak Tigor Munthe Bapak Tigor lahir di Kabanjahe, saat ini ia sudah berusia 40 tahun. Ia berasal dari Kabupaten Tanah Karo. Bapak Tigor berlatar belakang suku Batak Karo. Bapak Tigor menyelesaikan pendidikannya sampai pada tingkat menengah atas. Bapak Tigor memiliki istri yang bernama Nurhayati saat ini ia berusia 38 tahun. Latar belakang suku Aceh. Ia berasal dari Aceh, ia merantau ke Medan saat berusia 18 tahun. Pendidikan terakhir Ibu Sri hanya sampai pada tingkat sekolah dasar. Mereka menikah pada tahun 1995. Keluarga ini menganut agama Islam. Keluarga ini hanya memiliki satu orang anak perempuan yang diberi nama Vina. Saat ini ia sedang duduk dibangku sekolah menengah pertama di salah satu perguruan swasta di Medan. Ia adalah termasuk kedalam anak yang normal, karena tidak mengalami seperti yang dialami oleh orangtuanya. Sebelum ia melahirkan Vina, Ibu Nurhayati sempat mengalami kecelakaan kecil yang menurut bidan saat itu dapat mengakibatkan kecacatan pada diri Vina. Kabar tersebut membuat Pak Tigor dan Ibu Nurhayati sedih. Namun karena berkah Tuhan, Vina lahir dengan keadaan normal dan tidak mengalami cacat sedikit pun didalam tubuhnya, hal tersebut membuat keluarga ini sangat bahagia dan selalu bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keadaan yang dialami Pak Tigor sekarang ini telah dialami Pak Tigor selama 20 tahun. Kebutaan yang mereka alami bukan merupakan faktor keturunan, sehingga anak mereka tidak mengalami hal yang sama. Keluarga besar Pak Tigor dan Ibu Nurhayati juga tidak ada yang Universitas Sumatera Utara 61 mengalami kebutaan. Meskipun didalam keluarga mereka tidak ada yang mengalami hal demikian namun mereka tidak merasa sendirian. Keluarga sangat membantu dan menolong mereka setiap saat. Saat masih kecil orangtua Ibu Nurhayati selalu membawanya kedalam masyarakat luas, agar ia terbiasa berintraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Selain itu agar ia dapat beradaptasi dengan asumsi dan pendapat orang lain terhadap dirinya yang buta. Rasa malu dan terasing ditengah-tengah masyarakat memang pernah dialami Ibu Nurhayati, namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Berbeda dengan suaminya, Pak Tigor pernah merasakan perasaan yang sangat terpuruk dan tidak dapat menerima dengan kondisi yang ia alami. Karena ia merasa dengan buta sudah pasti kehidupan akan berhenti. Namun perlahan tapi pasti ia dapat bangkit dan menerima keadaannya. Meskipun keadaan mereka sedikit menyulitkan keluarga, namun, Pak Tigor dan Ibu Sri tidak pernah diasingkan atau dijauhkan didalam keluarga. Karena keluarga memberikan kasih sayang yang besar kepada mereka, sehingga tercipta karakter individu yang kuat dan tangguh didalam diri mereka. Bapak Tigor memulai profesi sebagai tukang pijat saat berusia 24 tahun. Samapi saat ini ia telah menekuni profesi memijat selama 16 tahun. Sedangkan istrinya sudah berprofesi sebagai tukang pijat selama 14 tahun. Mereka belajar memijat di panti sosial yang sama dengan keluarga pak Lukman yakni panti sosial yang bernama Panti Sosial Bina Netra Baladewa. Pak Payan tinggal dipanti tersebut selama 4 tahun, dan Ibu Sri juga tinggal dipanti tersebut selama 4 tahun. Universitas Sumatera Utara 62 Panti Social Bina Netra Baladewa ini memberikan berbagai jenis pelatihan dan pendidikan secara cuma-Cuma. Karena yang membiayai segala keperluan di panti tersebut adalah Departemen Sosial Sumatera Utara. Selama berada dipanti mereka mendapatkan banyak pengetahuan, antara lain seperti pembentukan psikologis, pendidikan dan keterampilan umum dan keterampilan khusus. Sebelum memasuki tahap pendidikan mengenai teknik memijat terlebih dahulu mereka memasuki tahap pendidikan dan pembentukan psikologis, lalu selanjutnya mereka mendapatkan pendidikan keterampilan umum seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah yang secara bersamaan diberikan pendidikan berkomposisi seperti pengetahuan agama, dan pengetahuan umum, jika sudah menyelesaikan kedua tahap tersebut mereka maka akan diberikan pendidikan mengenai teknik memijat. Mereka mempelajari teknik memijat selama kurang lebih 2 tahun. Tidak seluruh difabel dapat menyelesaikan pendidikan memijat dipanti dengan cepat, hal tersebut tergantung dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing difabel. Departemen Sosial tidak hanya memberikan pelatihan dan pendidikan kepada individu difabel, namun mereka juga memberikan sertifikat resmi bagi individu difabel yang telah menyelesaikan pendidikannya. Sertifikat tersebut adalah salah satu syarat yang harus dimiliki setiap individu difabel yang ingin membuka panti pijat. Karena sertifikat adalah bukti nyata yang menunjukkan bahwa Pak Tigor dan istri telah lulus dan dapat membuka praktek memijat. Di tahun 1995 Pak Tigor bekerja sama dengan teman-temannya untuk membuka panti pijat yang diberi nama “Yakestra”. Mereka membuka praktek dijalan KH. Wahid Hasyim. Setelah menyelesaikan pelatihan dan pendidikan dip anti social Baladewa, mereka langsung membuka panti pijat sendiri, karena mereka langsung mendapatkan bantuan berupa perlengkapan memijat dari pemerintah seperti tempat tidur, sprei, dan bantal. Universitas Sumatera Utara 63 Keluarga ini menetapkan tarif memijat sebesar Rp.30.000. Namun pendapatan mereka sehari-hari tidak mencukupi, shingga mereka memiliki cara lain untuk mendapatkan pendapatan tambahan yaitu dengan menjual pulsa. Keahlian ini mereka pelajari dari temannya sesama difabel. Cara yang mereka lakukan sangat membantu keuangan keluarga dalam memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. 4.2.1.4. Keluarga Bapak Baktiar Bapak Baktiar sekarang berusia 48 tahun, istrinya bernama Siti Aminah. Ibu Siti saat ini berusia 45 tahun. Keluarga ini menganut agama Islam, dan memiliki latar belakang suku Melayu. Pendidikan terakhir Pak Baktiar adalah Sekolah Menengah Pertama, berbeda dengan suaminya, Ibu siti pernah belajar pada tingkat Sekolah Menengah Atas, namun ia tidak sampai menyelesaikannya sehingga pendidikan terakhir istrinya adalah Sekolah Menengah Pertama. Bapak Baktiar dan Ibu Siti menikah pada tahun1993 sehingga mereka telah berumah tangga selama 18 tahun. Keluarga ini dikaruniai tiga orang putra. Putra pertama mereka bernama Sony sekarang berusia 15 tahun yang sedang menyelesaikan pendidikan dibangku Sekolah Menengah Atas, putra kedua mereka bernama Bobby berusia 13 tahun saat ini sedang menyelesaikan pendidkan Sekolah Menngah Pertama, dan putra mereka yang terakhir bernama Eka berusia 10 tahun saat ini sedang duduk di Sekolah Dasar. Ketiga anak pak Baktiar bersekolah di sekolah swasta. Meskipun kedua orangtua mereka adalah individu difabel, namun anak-anak tidak ada yang mengikuti orangtua, anak-anak Pak Baktiar semua normal. Bapak Baktiar dan istri adalah orangtua yang sangat bertanggung jawab. Mereka tidak mau membuat sulit anak-anak mereka. Mendidik dan mengasuh anak dengan hati yang sabar dan Universitas Sumatera Utara 64 iklas, membuat anak-anak memiliki karakter sabar, rendah hati, dan tidak minder. Karena keadaan kedua orangtua. Pengetahuan memijat dari mereka ketahui dari Panti Sosial Bina Netra Baladewa. Panti social milik pemerintah ini dibawah pengawasan Departemen Sosial. Lamanya mereka tinggal dan belajar di Panti Sosial Baladewa selama kurang lebih 3 tahun. Setelah menyelesaikan pendidikan mereka mendapatkan sertifika karena srtifikat merupakan syarat utama jika ingin membuka panti pijat. Karena sertifikat adalah bukti nyata yang menunjukkan bahwa Pak Tigor dan istri telah lulus dan dapat membuka praktek memijat. Di tahun 2001 Pak Baktiar bekerja sama dengan teman-temannya untuk membuka panti pijat yang diberi nama “Sumatera Jaya”. Mereka membuka praktek dijalan Darusalam. Setelah menyelesaikan pelatihan dan pendidikan dipanti social Baladewa, mereka langsung membuka panti pijat sendiri, karena mereka langsung mendapatkan bantuan dari Departemen Sosial. Sehari-hari Bapak Baktiar dibantu oleh anak- anak. Keluarga ini menetapkan tarif dalam memijat sebesar Rp.30.000. Namun pendapatan mereka sehari-hari tidak mencukupi, shingga mereka memiliki cara lain untuk mendapatkan pendapatan tambahan yaitu dengan menjual pulsa, jual rokok, dan minuman ringan dirumah. Cara yang mereka lakukan sangat membantu keuangan keluarga dalam memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Universitas Sumatera Utara 65 4.3. Interpretasi Data 4.3.1 Karakteristik Orang Tua Difabel dan Pengaruhnya Atas Pola Asuh Terhadap