Pada tanggal 11 Februari 1929, dibangunlah rumah sakit yang berdampingan dengan rumah suster di Jl. Imam Bonjol Medan. Rumah ini kelak
akan menjadi rumah induk Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth di Indonesia. Dari tahun ke tahun Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth semakin
berkembang, baik dari jumlah anggota maupun dalam karya dan pelayanan. Karya pelayanan semakin bertumbuh dan beragam, mulai dari rumah peristirahatan
penderita TBC di Berastagi yang selanjutnya akan menjadi rumah retret Maranatha. Kemudian, karena calon suster FSE semakin banyak, maka sebagai
langkah awal dibangun rumah pembinaan di Jalan Slamet Riyadi Medan. Dalam masa pembinaan ini, kepada para calon mulai dikenalkan tentang
kongregasi FSE, juga ditanamkan tentang semangat pendiri, serta spiritualitas FSE sebagai pengikut Santo Fransiskus Assisi. Sebagai pengikut Santo Fransiskus
Assisi, para suster FSE dipanggil untuk hidup dalam kebahagiaan sejati Fransiskan yang nyata dalam karya pelayanan dan persaudaraan. Maka dari awal
berdirinya kongregasi, semangat kebahagiaan sejati Fransiskan sudah ditanamkan dari awal masa pembinaan, dan diharapkan meskipun masih dalam masa
pembinaan sudah memiliki semangat kebahagiaan sejati Fransiskan Kons. No. 12-16.
3. Spiritualitas Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth
Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth menghayati dan mengikuti semangat Santo Fransiskus Assisi sebagaimana yang telah diwariskan oleh ibu
pendiri. Karena itu kongregasi FSE mematuhi dan mengikuti Anggaran Dasar dan
cara hidup Ordo Ketiga Regular yang disahkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 08 Desember 1982 serta kharisma Kongregasi Fransiskanes Santa
Elisabeth. Sebagai pengikut Santo Fransiskus Assisi dengan cara hidup peniten
rekolek, kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth mengikat diri seumur hidup pada cita-cita Injili dengan hidup dalam ketaatan, dalam kemiskinan,
dan kemurnian AD III Reg.1 dalam kesatuan persaudaraan. Mereka dijiwai oleh semangat doa dan samadi, semangat pengabdian dan
pengorbanan, semangat tapa dan matiraga selaku peniten rekolek Kons, No 3.
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dilihat bahwa semua anggota
kongregasi FSE menjalani hidup seturut cita-cita Injili dengan hidup dalam ketaatan, kemiskinan dan kemurnian, yang diikrarkan dalam kaul-kaul suci. Para
suster FSE juga diharapkan hidup dalam semangat pengabdian dan pengorbanan, semangat tapa dan matiraga sebagai angggota peniten rekolek.
Adapun yang menjadi Kharisma kongregasi adalah ”Daya kasih Kristus yang menyembuhkan orang-orang kecil dan menderita sampai rela wafat di kayu
salib”. Kharisma inilah yang membakar jiwa pendiri yaitu Mathilda Leenders sendiri. Kharisma kongregasi ini memuat empat unsur yaitu kasih, penyembuhan,
orang kecil, dan salib. Allah adalah kasih 1Yoh.4:8. Melawat orang sakit dengan kasih merupakan dasar bagi para suster FSE. Pelayanan yang diberikan bukan
karena profesi melainkan karena identitas diri sebagai FSE. Sebagaimana identitas FSE bahwa “orang yang bersatu dengan Allah tidak menyia-nyiakan daya kasih
Kristus dalam bentuk pelayanan yang menyembuhkan orang-orang yang kecil, sakit dan menderita, seturut hidup peniten rekolek” Statuta. No. 2.3.
Menjadi penyembuh merupakan salah satu bagian dari semangat hidup Yesus. Karya penyembuhan itu nyata dalam pelayanan FSE baik karya maupun
persaudaraan. Untuk itu sebagai anggota FSE, pertama-tama setiap pribadi sudah menjadi penyembuh bagi dirinya sendiri. Hal ini nyata dalam sikap menerima diri
dan mensyukuri segala keberadaanya. Dengan demikian juga mampu menerima setiap saudari yang dianugerahkan kepadanya serta memiliki semangat
pengampunan, baik terhadap diri sendiri maupun kepada sesama. Maka untuk mendukung rahmat pengampunan, setiap saudari melakukan pengakuan dosa
minimal sekali sebulan, dan melakukan ibadat tobat pada Kamis Putih dan akhir tahun sebelum perayaan Ekaristi Statuta. No.15.
Unsur ketiga kharisma FSE adalah keberpihakan kepada orang kecil. Orang kecil yang dimaksud di sini bukan hanya yang miskin atau sakit secara
fisik, melainkan juga orang yang haus akan kasih dalam hidupnya. Orang kecil pada jaman ini dipahami semakin luas mencakup dalam karya pelayanan, dan juga
di tengah-tengah persaudaraan. Orang sakit yang datang ke rumah sakit ada kalanya tidak menemukan solusi kesembuhan karena dia tidak membutuhkan
resep dari dokter, tetapi ia membutuhkan lawatan hati. Demikian juga dengan orang kecil, mereka butuh didengarkan, butuh dipahami, dan butuh diperhatikan.
Demikian juga dalam persaudaraan tidak jarang saudari mengalami rasa minder, dan tidak diterima banyak orang. Seharusnya hal ini menjadi perhatian utama bagi
anggota persaudaraan kongregasi FSE Kons. No. 7 Salib merupakan jalan keselamatan bagi orang Kristen, terlebih bagi
seorang FSE. Menyadari bahwa melayani Yesus dalam diri orang menderita tidak
pernah terlepas dari salib, maka bersedia memanggul salib merupakan semangat pengorbanan demi cinta pada Kristus. Semangat pengorbanan yang dilakukan
merupakan kesempatan untuk membagikan kasih kepada sesama Statuta. No. 2.2
Sebagai Peniten Rekolek pertobatan terus-menerus, FSE hidup dalam semangat pertobatan kepada Allah dan sesama. Bersedia membagaikan kasih
Allah dalam semangat pengosongan diri, serta penuh kegembiraan dalam pengabdian kepada orang sakit dan menderita. Mencintai Yesus melalui orang
sakit dan menderita merupakan cita-cita Injili yang menjadi semangat pendiri Kons. No. 9
Melayani Yesus dalam diri orang sakit tertuang dalam motto kongregasi yaitu” ketika Aku sakit kamu melawat Aku” Mat. 25:36. Seorang FSE lebih
mengutamakan apa yang diutamakan Yesus, yaitu orang yang miskin dan menderita. Yesus menyamakan diri-Nya dengan orang yang miskin dan
menderita. Seperti yang tertulis dalam Kitab Suci, apa yang kamu perbuat bagi saudara-Ku yang paling hina ini kamu lakukan untuk Aku Mat. 25:40.
Orang yang dipandang hina, orang miskin dan tertindas sesungguhnya lebih mudah mengalami rasa sakit dan penderitaan daripada orang yang sakit
secara fisik. Maka bagi seorang anggota FSE, melayani Yesus akan menjadi nyata melalui pelayanan yang merangkul dengan penuh kasih dan kegembiraan pada
diri orang menderita. Kongregasi FSE mengikuti jejak Kristus yang tersalib. Persaudaraan ini
bertujuan untuk membaktikan diri kepada perutusan Gereja, khususnya lewat
usaha membuat anggotanya suci. Hal ini dilakukan lewat pelayanan kepada sesama, khususnya kepada orang sakit. Demikian juga dalam persaudaraan,
adanya kesatuan saling menerima keunikan masing-masing dengan gembira merupakan suatu rahmat dan pemberian Allah Kons. No. 7.
Konstitusi No.78 menyatakan bahwa: Hidup sebagai saudara merupakan sumber kegembiraan yang dapat
dinikmati setiap hari sebagai anugerah Allah. Di dalamnya Tuhan menantang kita untuk secara aktif menerima saudara yang diberikan Tuhan
bdk. Was. 14, menerima dan menghargai perbedaan guna saling melengkapi, saling mendengarkan, saling mempercayai, saling
mengampuni dan menghargai misteri perjalanan hidup masing-masing dalam rangka menuju Tuhan yang satu dan sama. Kegembiraan itu kita
alami lebih-lebih bila kita berhasil meringankan beban dan menanggung bersama kesulitan yang kita jumpai bdk. AD III.Reg.23.
Berdasarkan kutipan di atas kita dapat melihat bahwa sebagai suster FSE, yang menjadi wadah kebahagiaan adalah persaudaraan. Dalam persaudaraan
dianugerahkan saudari yang berbeda sebagai tantangan untuk mewujudkan kebahagiaan. Namun pada akhirnya kebahagiaan bukan hanya dalam hal memberi
dan menerima tetapi juga dalam hal pengorbanan diri dan menanggung kesulitan bersama untuk menuju Tuhan sang sumber kebahagiaan.
Agar persaudaraan yang membahagiakan dapat terpelihara dengan baik, maka setiap saudari secara pribadi maupun bersama harus menjalin persaudaraan
sejati. Kita bersaudara dengan siapa saja dan dengan ramah mau menerima siapa
pun juga yang datang kepada kita bdk. AngTBul. 7.14 . Dalam rangka itu, kita suka menerima tamu dan selalu bersedia membuka pintu bagi
sekalian orang Kons. No. 82.
Berdasarkan kutipan di atas kita dapat melihat bahwa sebagai suster FSE Persaudaraan yang dibangun, tidak terbatas hanya persaudaraan dalam kongregasi
saja, tetapi membangun persaudaraan dengan siapa saja.
B. Kebahagiaan
1. Definisi Kebahagiaan
Kebahagiaan berasal dari kata bahagia. Kebahagiaan biasanya sangat berdekatan dengan suasana hati, yang di dalamnya ada rasa damai dan tenang.
Bahagia merupakan kata yang tidak pernah bosan di telinga setiap orang. Arti kebahagiaan sendiri sangat luas, bahkan setiap orang bebas untuk mengungkapkan
pendapatnya. Arti kebahagiaan tergantung dari pemahaman dan pengalaman
setiap pribadi.
Semua orang mencari kebahagiaan, namun makna kebahagiaan sendiri sesungguhnya merupakan hal yang masih harus dipertanyakan. Tidak jarang
orang membuat syarat untuk dirinya supaya bahagia. Tetapi ketika syarat itu terpenuhi orang tersebut belum tentu juga bahagia. Dalam hal ini Gede Prama
menggunakan bahasa “kebahagiaan yang datang dan pergi” dengan “kebahagiaan yang lebih dalam”. Ada dua macam kebahagiaan. Kebahagiaan yang pertama
adalah kebahagiaan yang dicari di luar dan dibeli, ia bersifat sama, datang dan pergi. Sementara kebahagiaan yang kedua adalah, kebahagiaan dengan akar di
dalam dengan melewati tangga-tangga kesedihan. Kebahagiaan jenis yang kedua
merupakan kebahagiaan yang lebih dalam Gede Prama, 2007: 45.
Satu hal yang dapat diterima bersama bahwa semua orang menginginkan kebahagiaan, dan semua orang berhak untuk mendapatkannya. Demikian pula
cara untuk memperoleh kebahagiaan tidak mempunyai suatu patokan. Untuk memperoleh kebahagiaan, kadang-kadang orang tidak memikirkan kebahagiaan
orang lain. Namun agar kita bahagia kita harus hidup beragama Kasim, 1964:
28.
Kebahagiaan merupakan antonim dari penderitaan, namun keduanya adalah gambaran suasana batin dalam menghadapi kehidupan. Ukuran
kebahagiaan untuk setiap orang tidak dapat ditentukan. Hal ini tergantung dari sikap setiap pribadi dalam menghadapi situasi hidupnya. Artinya kebahagiaan
untuk orang tertentu, belum tentu menjadi kebahagiaan bagi orang yang lain. Dengan kata lain, penderitaan dan kebahagiaan lebih bersifat subjektif. Sesuatu
yang bagi seseorang tampaknya seperti penderitaan, namun dapat terjadi hal yang
sama justru merupakan kebahagiaan bagi orang lain Riyanto, 2008: 24.
Maka berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa kebahagiaan merupakan suasana hati yang nyata dalam diri seseorang yang mampu mengelola
perasaannya untuk tetap merasa damai dan nyaman terlepas dari segala situasi yang sedang terjadi. Dalam hal ini ukuran kebahagiaan tersebut tergantung dari
pemahaman dan penghayatan setiap pribadi.
a. Kebahagiaan Menurut Kitab Suci
Banyak hal yang menjadi alasan untuk bahagia bagi seorang kristiani. Dalam Kitab Suci sendiri, mulai dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru
terdapat banyak ajakan untuk berbahagia. Untuk itu berkaitan dengan kebahagiaan
sebagaimana yang termuat dalam Kitab Suci, sabda bahagia akan diulas secara khusus. ”Sabda bahagia sesuai dengan kerinduan kodrati akan kebahagiaan.
Kerinduan ini berasal dari Allah. Ia telah meletakkannya di dalam hati manusia, supaya menarik mereka kepada diri-Nya, karena hanya Allah dapat
memenuhinya” KGK art: 1718. Dalam arti ini semakin kita jauh melihat ke dalam, maka semakin disadari bahwa Allah memanggil manusia untuk
berbahagia. Panggilan menuju kebahagiaan sebagai umat Kristen tertuang dalam sabda bahagia. Umat kristen dipanggil untuk hidup dalam kebahagiaan, dan
kerinduan itu pertama-tama datang dari pihak Allah sendiri. Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan, membahagiakan manusia
yang tertindas oleh dosa. Hal itu dilakukan-Nya tidak hanya dengan tindakan dan teladan tetapi juga dengan ajaran. Wejangan-Nya tentang kebahagiaan dapat
ditemukan dalam kitab Injil, terutama Injil Santo Matius 5:3-12. Berikut adalah kutipan Sabda bahagia sebagaimana terungkap dalam kotbah Yesus di bukit.
Ayat 3. Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Ayat 4. Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.
Ayat 5. Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.
Ayat 6. Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.
Ayat 7. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.
Ayat 8. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.
Ayat 9. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
Ayat10. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Ayat 11. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.
Ayat 12. Bersukacita dan bergembiralah karena upahmu besar di Sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum
kamu”.
Kebahagiaan berhubungan dengan Allah. Orang yang dipuji bahagia dalam kotbah itu adalah orang yang berhubungan dekat dengan Allah. Orang itu
miskin di hadapan Allah ayat 3. Miskin di hadapan Allah arti aslinya adalah miskin dalam Roh, dalam bahasa Yunani hoi ptokhoi to pneumati. Orang
demikian adalah sederhana dan penuh hormat terhadap hal-hal yang rohani. Mereka hidup dalam kerendahan hati karena menyadari bahwa hidup spiritual
mereka bukan apa-apa Leks, 2003: 120. Mereka rendah hati dan tidak menggantungkan dirinya pada hal pemilikan materi. Maka sangat penting
menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk diri sendiri merupakan milik Allah. Kesadaran akan segala sesuatu milik Allah menghantar orang semakin dekat
dengan Allah itu sendiri. Sikap ini merupakan langkah awal menuju kebahagiaan Wesley, 2010: 42.
Secara rohani mereka adalah orang yang menggantungkan diri kepada Allah. Mereka menyadari keberdosaan dan ketidakberdayaannya. Kesadaran ini
membuat manusia datang kepada Allah, dan merasa tidak berdaya tanpa Allah sebab mereka sungguh menyadari kelemahannya. Kesadaran di hadapan Allah
sebagai yang miskin hanya ketika melepaskan seluruh rasa kepemilikan itu kepada Allah. Kepemilikan itu termasuk juga keangkuhan, maka ketika itu
dilepaskan orang akan merasa tenang, dan itu merupakan gambaran kerajaan surga. Disitulah letaknya Dia yang meraja Anand Krisna, 2001: 21.
Berhubungan dengan apa yang telah diungkapkan di atas, orang tersebut suci hatinya ayat 8. Adapun yang dimaksudkan dengan orang yang suci hatinya
adalah orang yang bermotivasi murni dan lurus. Karena kesucian itu keinginaan orang tersebut hanya untuk menyenangkan Allah. Apa yang menjadi
kepentingannya dipadukan dengan kepentingan Allah Leks, 2003: 124. Kesucian hati membuat orang memiliki pandangan yang jernih dan jelas, sehingga
orang mampu melihat Allah dibalik segala sesuatu Anand Krisna, 2001: 32. Maka orang demikian mengalami persekutuan dengan Allah yang membuat ia
mampu melihat Allah melalui hal-hal yang sangat sederhana sekalipun. Apa yang dilakukan Allah dapat dilihat sebagai kemurahan hati Allah baik untuk dirinya,
sesama dan dunianya Wesley, 2010: 78. Orang yang suci hatinya ini dapat juga dikatakan sebagai orang yang lapar
dan haus akan kebenaran ayat 6. Kebenaran adalah apa yang dikehendaki Allah untuk dilakukan. Kebenaran juga ada dalam diri manusia yaitu ketika orang
menyadari keilahian dalam dirinya sendiri. Untuk mengalami kesadaran itu orang harus berkorban banyak dengan tidak mau berkompromi dengan sesuatu yang
nilainya rendah, kecuali kebenaran itu sendiri. Maka orang tersebut akan selalu instrospeksi atau bertanya diri apa yang dikehendaki Tuhan untuk dia lakukan.
Orang tersebut akan menemukan apa yang dirindukannya Leks, 2003: 122; bdk Anand Krisna: 2001: 29.
Sebaliknya orang yang tidak haus akan kebenaran dan menjauh dari Allah akan mengalami dukacita, tetapi yang berdukacita karena-Nya akan dihibur oleh
Allah sendiri ayat 4. Dukacita yang dimaksudkan oleh Yesus alasannya karena
Yesus itu sendiri. Orang berdukacita karena menyadari bahwa tidak mengalami kehadiran Allah, hidupnya berlalu tanpa mengalami Allah. Dukacita karena alasan
demikian akan mendapat hiburan dari Dia sendiri, dan tidak mencari hiburan duniawi Anand Krisna, 2001: 24.
Dengan penghiburan yang diterima dari Tuhan sendiri tidak berarti bahwa orang tidak akan pernah mengalami pengalaman jatuh lagi. Perlu tetap disadari
bahwa semua perihal dukacita dan kemiskinan roh merupakan kebodohan bagi dunia. Hal ini sekaligus menjadi kekuatan dan penghiburan bagi mereka yang
berdukacita karena Allah Wesley, 2010: 52. Kebahagiaan karena dekat dengan Allah, menggantungkan hidup pada