Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri implikasinya bagi pembinaan suster-suster yunior Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi.

(1)

vii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul:”UPAYA KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI: IMPLIKASINYA BAGI PEMBINAAN SUSTER-SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER FRANSISKAN SUKABUMI” dengan latar belakang bahwa upaya pendalaman spiritualitas yang dilakukan oleh Kongregasi SFS selama ini belum cukup memotivasi, mendorong dan menggugah para anggotanya; sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian.

Spiritualitas kongregasi yang diwariskan oleh pendiri kepada generasi penerusnya dapat mengalami perubahan maupun berkurang bahkan bisa hilang karena perubahan zaman. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri pada masa kini agar nilai-nilai spiritualitas pendiri tetap aktual dan relevan. Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri ini dibatasi pada bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan.

Fokus penelitian ini adalah upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri yang dilakukan oleh Kongregasi SFS beserta hasilnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Tempat penelitian di biara-biara cabang SFS di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Responden dipilih secara purposive sampling dengan teknik

snowball sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan studi dokumen.

Dari hasil wawancara kepada para responden disimpulkan bahwa pemahaman dan pergulatan perwujudan spiritualitas pendiri kongregasi masih sesuai dengan yang diharapkan oleh para pendahulu. Para responden juga memahami perkembangan konteks komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan yang sedang nge-trend sekarang ini. Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri kongregasi yang telah dilakukan selama ini membawa kemajuan dalam hidup persaudaraan, hidup rohani, dan karya pelayanan. Sedangkan implikasinya bagi pembinaan suster-suster yunior Kongregasi SFS memberikan peluang sekaligus tantangan.

Penulis mengusulkan agar pemahaman spiritualitas pendiri yang masih sesuai sebagaimana yang diharapkan tetap dipertahankan. Hambatan mendasar dalam perwujudan spiritualitas adalah cinta diri, maka pendidikan dan latihan terus-menerus perlu dilaksanakan lebih intensif. Perkembangan bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan dalam konteks sekarang ini dibutuhkan discerment dan sikap selektif berdasarkan analisa SWOT namun perlu bersikap tegas menolak apabila tidak sesuai dengan penghayatan spiritualitas kongregasi. Dalam pendidikan awal hingga ongoing formation perlu dikembangkan kecerdasan ganda hingga pada batas optimal. Pendidikan nilai dan keterampilan yang menunjang tugas pelayanan penting dan perlu dimasukkan dalam kurikulum pembinaan. Prinsip kepemimpinan adalah dimulai dari diri sendiri yang menuntut keteladanan dari para pemimpin agar semakin efektif dalam mempengaruhi anggota. Dibutuhkan pemahaman yang benar, menggali dan menghayati nilai-nilai spiritualitas pendiri kongregasi bagi seluruh anggota dalam kehidupan konkret sehingga upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri tetap aktual dan relevan dalam situasi zaman yang terus berubah.


(2)

viii ABSTRACT

This thesis entitles:”AN EFFORT TO CONTEXTUALIZE THE SPIRITUALIYT OF THE FOUNDER ITS IMPLICATION FOR THE FORMATION OF JUNIOR SISTERS OF FRANSISCAN OF SUKABUMI.” Its background is the effort to deepen the spirituality conducted by SFS Congregation has not been enough to motivate, to encourage and to inspire its members; thus encouraging the writer to do this research.

The spirituality of the congregation inherited by the founder to the next generation might be changed or diminished even be lost because of the change of the era. Therefore, it takes an effort to contextualize the spirituality of the founder at present so that spiritual values remain actual and relevant. An effort to contextualize spirituality of the founder is limited to the field of communication, culture, psychology, education, and leadership.

The focus of this research is an effort to contextualize spirituality of the founder that has been done by the SFS Congregation and its results. This research is a qualitative research. The research took place at SFS communities in Central and West Java. Respondents were selected purposively sampling with snowball sampling technique. Data was collected through interviews, observation and document studies.

By these respondents’ interviews can be concluded that the understanding and realization of spiritual based on the founder of the congregation is still as expected as its predecessors. The respondents also understand that the context of the development of communication, culture, psychology, education, and leadership is a today’s trend. The effort to contextualize the spirituality of the founder that has been done this far, brings progress in fraternity, spiritual life, and caritative service. While the implications for the formation of junior sisters of SFS Congregation provide opportunities and challenges.

The writer requires that the spirituality of the founder which fits and is well-expected can be kept and taught. The fundamental barrier in the manifestation of the spirituality is self-oriented. Therefore, education and continuous trainings should be given more intensively. The development of communication, culture, psychology, education, and leadership in nowadays’ context needs a discernment and selective attitude based on SWOT analysis yet to be assertive to refuse if it is not suitable for congregation spirituality. In the early education to the ongoing formation is better to develop a multi-intelligence to the optimal limit. The values of education and skill supporting services and duties are important and necessary to be included in formation curriculum. Principles of leadership start from ourselves who demand exemplaries from the leaders to become more effective in influencing our members. It indeed requires true understanding. Exploring and living the spirituality values from the founder of congregation is merely aimed to the members in the real life so that this effort of contextualizing spirituality of the founder remains actual and relevant in the keep-changing era.


(3)

i

UPAYA KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI

IMPLIKASINYA BAGI PEMBINAAN SUSTER-SUSTER YUNIOR

KONGREGASI SUSTER FRANSISKAN SUKABUMI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Sunarsi NIM: 081124039

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2012


(4)

(5)

(6)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada persaudaraan para suster Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi yang telah memberikan kesempatan dan mendukung penulisan skripsi ini dalam menanggapi panggilan Tuhan dengan mewujudkan semangat hidup Ibu Rosa de Bie pendiri Kongregasi.


(7)

v MOTTO

“Untuk segala sesuatu ada waktunya……..” (bdk. Pkh. 3: 1).


(8)

(9)

vii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul:”UPAYA KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI: IMPLIKASINYA BAGI PEMBINAAN SUSTER-SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER FRANSISKAN SUKABUMI” dengan latar belakang bahwa upaya pendalaman spiritualitas yang dilakukan oleh Kongregasi SFS selama ini belum cukup memotivasi, mendorong dan menggugah para anggotanya; sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian.

Spiritualitas kongregasi yang diwariskan oleh pendiri kepada generasi penerusnya dapat mengalami perubahan maupun berkurang bahkan bisa hilang karena perubahan zaman. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri pada masa kini agar nilai-nilai spiritualitas pendiri tetap aktual dan relevan. Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri ini dibatasi pada bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan.

Fokus penelitian ini adalah upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri yang dilakukan oleh Kongregasi SFS beserta hasilnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Tempat penelitian di biara-biara cabang SFS di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Responden dipilih secara purposive sampling dengan teknik

snowball sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan studi dokumen.

Dari hasil wawancara kepada para responden disimpulkan bahwa pemahaman dan pergulatan perwujudan spiritualitas pendiri kongregasi masih sesuai dengan yang diharapkan oleh para pendahulu. Para responden juga memahami perkembangan konteks komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan yang sedang nge-trend sekarang ini. Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri kongregasi yang telah dilakukan selama ini membawa kemajuan dalam hidup persaudaraan, hidup rohani, dan karya pelayanan. Sedangkan implikasinya bagi pembinaan suster-suster yunior Kongregasi SFS memberikan peluang sekaligus tantangan.

Penulis mengusulkan agar pemahaman spiritualitas pendiri yang masih sesuai sebagaimana yang diharapkan tetap dipertahankan. Hambatan mendasar dalam perwujudan spiritualitas adalah cinta diri, maka pendidikan dan latihan terus-menerus perlu dilaksanakan lebih intensif. Perkembangan bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan dalam konteks sekarang ini dibutuhkan discerment dan sikap selektif berdasarkan analisa SWOT namun perlu bersikap tegas menolak apabila tidak sesuai dengan penghayatan spiritualitas kongregasi. Dalam pendidikan awal hingga ongoing formation perlu dikembangkan kecerdasan ganda hingga pada batas optimal. Pendidikan nilai dan keterampilan yang menunjang tugas pelayanan penting dan perlu dimasukkan dalam kurikulum pembinaan. Prinsip kepemimpinan adalah dimulai dari diri sendiri yang menuntut keteladanan dari para pemimpin agar semakin efektif dalam mempengaruhi anggota. Dibutuhkan pemahaman yang benar, menggali dan menghayati nilai-nilai spiritualitas pendiri kongregasi bagi seluruh anggota dalam kehidupan konkret sehingga upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri tetap aktual dan relevan dalam situasi zaman yang terus berubah.


(10)

viii ABSTRACT

This thesis entitles:”AN EFFORT TO CONTEXTUALIZE THE SPIRITUALIYT OF THE FOUNDER ITS IMPLICATION FOR THE FORMATION OF JUNIOR SISTERS OF FRANSISCAN OF SUKABUMI.” Its background is the effort to deepen the spirituality conducted by SFS Congregation has not been enough to motivate, to encourage and to inspire its members; thus encouraging the writer to do this research.

The spirituality of the congregation inherited by the founder to the next generation might be changed or diminished even be lost because of the change of the era. Therefore, it takes an effort to contextualize the spirituality of the founder at present so that spiritual values remain actual and relevant. An effort to contextualize spirituality of the founder is limited to the field of communication, culture, psychology, education, and leadership.

The focus of this research is an effort to contextualize spirituality of the founder that has been done by the SFS Congregation and its results. This research is a qualitative research. The research took place at SFS communities in Central and West Java. Respondents were selected purposively sampling with snowball sampling technique. Data was collected through interviews, observation and document studies.

By these respondents’ interviews can be concluded that the understanding and realization of spiritual based on the founder of the congregation is still as expected as its predecessors. The respondents also understand that the context of the development of communication, culture, psychology, education, and leadership is a today’s trend. The effort to contextualize the spirituality of the founder that has been done this far, brings progress in fraternity, spiritual life, and caritative service. While the implications for the formation of junior sisters of SFS Congregation provide opportunities and challenges.

The writer requires that the spirituality of the founder which fits and is well-expected can be kept and taught. The fundamental barrier in the manifestation of the spirituality is self-oriented. Therefore, education and continuous trainings should be given more intensively. The development of communication, culture, psychology, education, and leadership in nowadays’ context needs a discernment and selective attitude based on SWOT analysis yet to be assertive to refuse if it is not suitable for congregation spirituality. In the early education to the ongoing formation is better to develop a multi-intelligence to the optimal limit. The values of education and skill supporting services and duties are important and necessary to be included in formation curriculum. Principles of leadership start from ourselves who demand exemplaries from the leaders to become more effective in influencing our members. It indeed requires true understanding. Exploring and living the spirituality values from the founder of congregation is merely aimed to the members in the real life so that this effort of contextualizing spirituality of the founder remains actual and relevant in the keep-changing era.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah yang telah menganugerahkan rahmat-Nya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “UPAYA KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI IMPLIKASINYA BAGI PEMBINAAN SUSTER-SUSTER YUNIOR KONGREGASI SUSTER FRANSISKAN SUKABUMI”. Skripsi ini ditulis dengan latar belakang kepedulian atas keprihatinan para Ibu Komunitas dan Penanggungjawab Karya yang bertanggungjawab atas pendampingan para suster yunior Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi yang mengeluhkan tentang adanya perbedaan atau menurunnya daya juang dalam penghayatan spiritualitas Kongregasi bagi para suster yunior. Keprihatinan ini mendorong penulis untuk mengetahui lebih lanjut mengenai upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri Kongregasi hingga di zaman sekarang yang terus berubah.

Penulis menghaturkan limpah terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini hingga selesai, yakni:

1. Rm. Drs. H. J. Suhardiyanto, SJ selaku Kepala Program Studi IPPAK-FKIP-Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan peneguhan selama penulisan skripsi ini.

2. Bapak Y. Kristianto, SFK, M. Pd., selaku sekretaris Program Studi IPPAK-FKIP-Universitas Sanata Dharma yang senantiasa memberikan dukungan dalam proses penulisan skripsi.


(13)

xi

3. Bapak F.X. Dapiyanta, SFK, M.Pd., selaku pembimbing utama yang telah dengan sabar dan setia menyumbangkan pemikiran, mengarahkan, membimbing dan senantiasa menyemangati serta mendukung penulis untuk senantiasa tekun dalam proses penulisan skripsi ini, yang diharapkan berguna untuk pembelajaran dalam melakukan evaluasi dalam berbagai bidang di masa depan demi Kongregasi yang saya cintai agar tetap eksis dan mempertahankan nilai-nilai spiritualitas Pendiri Kongregasi dalam arus zaman yang terus berubah.

4. Rm. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ, selaku dosen pembimbing kedua yang dengan sabar dan teliti memberikan bantuan pemikiran serta senantiasa meneguhkan penulis pada waktu mengalami kejenuhan selama penulisan skripsi ini.

5. Rm. Dr. C. Putranto, SJ, selaku dosen pembimbing ketiga sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan dan dengan sabar telah mendengarkan serta memahami pergulatan penulis dalam proses penulisan skripsi ini.

6. Para staf dosen dan karyawan IPPAK yang selalu menyemangati dan senantiasa siap-sedia membantu penulis selama proses penulisan skripsi ini. 7. Staf karyawan perpustakaan IPPAK dan Kolsani yang telah begitu murah hati

memberikan kesempatan kepada penulis untuk meminjam buku-buku yang penulis butuhkan selama penulisan hingga selesainya skripsi ini.

8. Persaudaraan Suster-suster Fransiskan Sukabumi yang dengan penuh cinta mendukung, memberikan kepercayaan dan kesempatan serta setia mendoakan penulis hingga selesainya skripsi ini.


(14)

xii

9. Secara khusus penulis berterimakasih kepada para suster yang telah bersedia menjadi responden penelitian sehingga penulis memperoleh informasi dalam penulisan skripsi ini.

10. Teman-teman seangkatan tahun 2008 dan rekan-rekan mahasiswa IPPAK yang selalu memberi peneguhan untuk tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Para suster OSF Semarang di komunitas Senopati yang telah menyediakan segala fasilitas selama penulis tugas studi hingga penulisan skripsi ini selesai. 12. Rekan-rekan suster yang saya cintai, yang pernah tinggal bersama di

komunitas Inviolata di komunitas para suster OSF Semarang di komunitas Senopati yang telah memberikan perhatian, doa dan dukungan kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.

13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang dengan caranya masing-masing telah membantu penulis hingga skripsi ini selesai.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka kepada semua pihak yang berkenan memberikan saran dan kritik yang membangun.

Yogyakarta, 21 November 2012

Penulis


(15)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

SUSUNAN PANITIA PENGUJI ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... ix

PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... xi

KATA PENGANTAR ... xii

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xxiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG PENULISAN ... 1

B. IDENTIFIKASI MASALAH ... 6

C. PEMBATASAN MASALAH ... 7

D. RUMUSAN MASALAH ... 8

E. TUJUAN PENULISAN ... 8

F. MANFAAT PENULISAN ... 9

G. METODE PENULISAN ... 9

H. SISTEMATIKA PENULISAN ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN FOKUS PENELITIAN ... 11

A. SPIRITUALITAS PENDIRI KONGREGASI SUSTER- SUSTER FRANSISKAN SUKABUMI ... 11

1. Spiritualitas dan Karisma... ... 11

2. Riwayat Pendiri Kongregasi Suster Bergen op Zoom ... 13 3. Sejarah Berdirinya Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi


(16)

xiv

di Indonesia ... 15

4. Spiritualitas Pendiri Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi 16 a. Pengungsian bagi yang menderita ... 17

b. Doa dan kontemplasi... 17

c. Ulah tapa dan pengendalian diri ... 17

d. Pelepasan dari hal-hal duniawi ... 18

e. Ketaatan dan kerendahan hati ... 18

f. Cinta kasih yang melayani ... 19

g. Pengorbanan diri ... 19

h. Kegembiraan Fransiskan ... 19

5. Visi, Misi dan Tujuan Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi ... 19

a. Visi Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi ... 19

b. Misi Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi ... 20

c. Tujuan Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi ... 20

B. KONTEKS ... 20

1. Komunikasi ... 21

a. Pengertian Komunikasi ... 21

b. Trend Komunikasi Masa Kini ... 23

2. Kebudayaan... 25

a. Pengertian Kebudayaan ... 25

b. Simbol dan Nilai ... 27

c. Budaya Indonesia: Pluralisme? Demokrasi? Konsumerisme? ... 28

3. Psikologi ... 32

a. Konsep Psikologi ... 32

b. Trend Psikologi Masa Sekarang ... 33

4. Pendidikan... 34

a. Pengertian Pendidikan ... 34

b. Faktor-faktor Pendidikan ... 35


(17)

xv

5. Kepemimpinan ... 39

a. Pengertian Kepemimpinan ... 39

b. Trend Kepemimpinan Masa Kini ... 41

C. PELUANG DAN TANTANGAN DALAM PEMBINAAN ... 45

1. Bidang Komunikasi ... 45

a. Strength (Kekuatan) ... 45

b. Weakness (Kelemahan) ... 45

c. Opportunity (Peluang) ... 45

d. Threat (Ancaman/Tantangan) ... 46

2. Bidang Kebudayaan ... 46

a. Strength (Kekuatan) ... 46

b. Weakness (Kelemahan) ... 47

c. Opportunity (Peluang) ... 47

d. Threat (Ancaman/Tantangan) ... 48

3. Bidang Psikologi ... 48

a. Strength (Kekuatan) ... 48

b. Weakness (Kelemahan) ... 49

c. Opportunity (Peluang) ... 49

d. Threat (Ancaman/Tantangan) ... 49

4. Bidang Pendidikan ... 50

a. Strength (Kekuatan) ... 50

b. Weakness (Kelemahan) ... 50

c. Opportunity (Peluang) ... 50

d. Threat (Ancaman/Tantangan) ... 51

5. Bidang Kepemimpinan ... 51

a. Strength (Kekuatan) ... 51

b. Weakness (Kelemahan) ... 51

c. Opportunity (Peluang) ... 52

d. Threat (Ancaman/Tantangan) ... 52

D. KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI ... 53


(18)

xvi

2. Bidang Kebudayaan ... 54

3. Bidang Psikologi ... 56

4. Bidang Pendidikan ... 57

5. Bidang Kepemimpinan ... 58

E. PENELITIAN RELEVAN ... 58

F. FOKUS PENELITIAN ... 62

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 64

A. JENIS PENELITIAN ... 64

B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ... 64

C. RESPONDEN ... 66

D. TEKNIK DAN ALAT PENGUMPULAN DATA ... 67

1. Teknik Pengumpulan Data ... 67

2. Alat Pengumpulan Data ... 69

E. PENGEMBANGAN INSTRUMEN ... 69

1. Uji Validitas, Reliabilitas dan Objektivitas... 69

a. Uji Validitas ... 69

b. Uji Reliabilitas ... 69

c. Uji Objektivitas ... 70

2. Teknik Analisis Data ... 70

BAB IV HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN ... 71

A. HASIL TEMUAN ... 71

1. Temuan Umum ... 71

a. Situasi umum komunitas-komunitas cabang Kongregasi SFS ... 71

b. Latar belakang responden ... 73

2. Temuan Khusus ... 73

a. Pemahaman responden mengenai spiritualitas pendiri ... 73

1) Pemahaman para responden mengenai spiritualitas ulah tapa ... 74


(19)

xvii

2) Pemahaman para responden mengenai spiritualitas

pengendalian diri ... 74

3) Pemahaman responden mengenai spiritualitas cinta kasih yang melayani ... 75

b. Konteks trend masa sekarang menurut para responden... .. 75

1) Trend komunikasi sekarang menurut para responden ... 75

2) Trend kebudayaan sekarang menurut para responden ... 77

3) Trend psikologi sekarang menurut para responden... 79

4) Trend pendidikan sekarang menurut para responden ... 79

5) Trend kepemimpinan sekarang menurut para responden ... 83

c. Pengalaman pergulatan perwujudan spiritualitas pendiri ... 85

1) Pengalaman pergulatan responden dalam mewujudkan spiritualitas ulah tapa dan hasilnya ... 86

2) Pengalaman pergulatan responden dalam mewujudkan spiritualitas pengendalian diri beserta hasilnya ... 89

3) Pengalaman pergulatan responden dalam mewujudkan spiritualitas cinta kasih yang melayani beserta hasilnya .... 94

d. Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri yang telah dilakukan oleh Kongregasi SFS ... 98

3. Validasi Pendapat Responden Mengenai Upaya Kontekstualisasi Spiritualitas Pendiri ... 103

B. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN.... ... 105

1. Pemahaman Spiritualitas Ulah Tapa, Pengendalian Diri dan Cinta Kasih yang Melayani ... 105

2. Trend Komunikasi ... 105

3. Trend Budaya ... 107

4. Trend Psikologi ... 108

5. Trend Pendidikan ... 109

6. Trend Kepemimpinan... 110

7. Pergulatan Perwujudan Spiritualitas Ulah Tapa Beserta Hasilnya ... 112


(20)

xviii

8. Pergulatan Perwujudan Spiritualitas Pengendalian Diri

Beserta Hasilnya ... 114

9. Pergulatan Perwujudan Spiritualitas Cinta Kasih Beserta Hasilnya ... 117

10. Upaya Kontekstualisasi Spiritualitas Pendiri Yang Telah Dilakukan Oleh Kongregasi SFS Beserta Hasilnya ... 120

C. KONTEKSTUALISASI SPIRITUALITAS PENDIRI IMPLIKASINYA BAGI PEMBINAAN SUSTER-SUSTER YUNIOR KONGREGASI SFS ... 120

1. Pembinaan ... 120

2. Pembina ... 121

3. Formandi ... 123

4. Tujuan Pembinaan Religius ... 123

5. Pertumbuhana Religius yang Diharapkan ... 124

6. Usulan Program Pembinaan ... 126

a. Latar belakang usulan ... 126

1) Trend Komunikasi ... 126

2) Trend Kebudayaan ... 127

3) Trend Psikologi ... 128

4) Trend Pendidikan ... 128

5) Trend Kepemimpinan ... 129

6) Spiritualitas Pendiri ... 130

b. Usulan Tema dan Tujuan Pembinaan ... 130

c. Penjabaran Program ... 132

d. Pengertian Katekese Umat dan Model Katekese Shared Christian Praxis (SCP) ... 135

e. Contoh Satuan Program ... 136

D. KETERBATASA PENELITIAN ... 149

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ... 151


(21)

xix

B. SARAN ... 155

DAFTAR PUSTAKA ... 157 LAMPIRAN ... 160 Lampiran 1: Surat Permohonan Ijin Penelitian kepada

Pimpinan Umum (I) ... (1) Lampiran : Surat Permohonan Ijin Penelitian kepada

Pimpinan Umum (II) ... (2) Lampiran : Surat Ijin Permohonan Penelitian

Kepada Para Pimpinan Komunitas ... (3) Lampiran 2 : Panduan Pertanyaan Wawancara ... ... (4) Lampiran 4: Deskripsi Data Hasil Wawancara ... (5)


(22)

xx

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci Pkh : Pengkotbah Mat : Matius Mrk : Markus Yoh : Yohanes B. Singkatan Dokumen Gereja

PC : Perfectae Caritatis, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius.

C. Singkatan lain

AD : Anggaran Dasar

ATMI : Akademi Tehnik Mesin Indonesia art : artikel

BB : Black Berry BOZ : Bergen op Zoom

BPSDMP & PMP : Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjamin Mutu Pendidik

CSA : Congregatio Sancti Aloysii CTL : Contextual Teaching and Learning dll. : dan lain-lain

EBTANAS : Evaluasi Belajar Tahap Nasional EQ : Emotional Quotient


(23)

xxi fax : fax-email

FCh : Kongregasi Fransiskanes Charitas

FSE : Kongregasi Fransiskanes Santa Elizabeth hal : halaman

HAM : hak asasi manusia HP : Hand Phone

IFT : Institut Filsafat dan Teologi IPA : Ilmu Pengetahuan Alam

IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi IT : Ilmu Teknologi

IQ : Intelligence Quotient

KLMTD : kecil lemah miskin tersingkir dan difabel KMI : Konsultasi Multi Intellegen

Komkat : Komisi kateketik Konst. : Konstitusi

KPR : Kursus Pembina Religius

KSFL : Kongregasi Suster Fransiskanes Santa Lusia KWI : Konferesi Wali Gereja Indonesia

LCD : Liquid Crystal Display MA : Majelis Agung

MPK : Majelis Pendidikan Katolik OFM : Ordo Fratrum Minorum


(24)

xxii PS : play station

psl : pasal

PUSKAT : Pusat Kateketik Rp : Rupiah

RPA : Rapat Paripurna Anggota

RSBI : Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional SCP : Shared Christian Praxis

SDM : Sumber Daya Manusia SFS : Suster Fransiskan Sukabumi Sisdiknas : Sistem Pendidikan Nasional SJ : Societas Jesu

SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sms : short message service

SP : Satuan Program

SPG : Sekolah Pendidikan Guru SQ : Spiritual Quotient

Sr : Suster

TIK : Teknologi Ilmu dan Komunikasi TV : Televisi

UTW : Uraian Tugas dan Wewenang UU : Undang-undang


(25)

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab I ini, penulis menguraikan tentang latar belakang penulisan, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

A. LATAR BELAKANG PENULISAN

Pembinaan merupakan hal terpenting dalam rangka pembentukan para calon selibater dalam sebuah perhimpunan religius. Dalam masa pembinaan atau formasi itulah nilai-nilai keutamaan Kristiani maupun spiritualitas pendiri serta tradisi sehat yang diwariskan oleh para pendahulu dalam kongregasi ditanamkan kepada setiap calon sehingga para calon dapat mengenal dan diharapkan mampu mewujudkannya dalam kehidupan serta tugas pelayanannya, sesuai dengan situasi zaman.

Religius muda merupakan harapan kongregasi di masa mendatang bagi setiap perhimpunan religius. Para religius muda yang sering disebut para yunior yakni mereka yang telah mengucapkan profesi sementara selama enam tahun, tetapi dalam hal-hal khusus Pemimpin Umum dapat memperpanjang waktu, namun tidak lebih dari tiga tahun (Konst. 2000: pasal 96). Para yunior diharapkan dapat mengembangkan nilai-nilai spiritualitas pendiri kongregasi, setelah mereka mengalami formasi, khususnya setelah mengalami pembentukan selama masa postulat dan novisiat.


(26)

Namun dari hasil refleksi seluruh anggota Kongregasi SFS selama pra kapitel, dari bidang kerja persaudaraan, karya, pembinaan dan kepemimpinan; disimpulkan oleh kelompok bidang kerja spiritualitas bahwa upaya-upaya pendalaman spiritualitas yang dilakukan oleh kongregasi belum cukup memotivasi, mendorong dan menggugah para suster Fransiskan Sukabumi untuk hidup sesuai dengan spiritualitasnya (Gerarda, 2012: 27). Di samping itu, akhir-akhir ini sering terdengar keluhan dari para religius yang lebih senior mengenai perbedaan yang mencolok dalam hal daya juang serta perwujudan penghayatan nilai-nilai luhur spiritualitas Kongregasi dari para calon di zaman sekarang ini. Terjadinya perbedaan daya juang dalam penghayatan dan perwujudan nilai-nilai spiritualitas dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam diri para yunior sendiri maupun faktor dari luar. Faktor dari dalam diri para yunior antara lain, kurang bisa menyeimbangkan antara tugas studi dengan tugas pelayanan dalam persaudaraan maupun pastoral. Prioritas pada prestasi akademik dalam tugas studi bisa menyebabkan kurangnya penghayatan dan perwujudan nilai-nilai rohani. Banyaknya tuntutan tugas dalam karya bagi para yunior yang ditempatkan di unit-unit karya bisa juga menjadi penyebab dalam ketidakseimbangan antara penghayatan nilai-nilai rohani dalam hidup konkret sehari-hari.

Selain itu, bimbingan pribadi yang tidak selalu dapat dilakukan oleh para yunior karena berbagai alasan, seperti jarak yang ditempuh cukup jauh antara tempat tinggal pembimbing dan yunior ataupun karena kesibukan tugas studi


(27)

maupun karya, baik dari pihak yunior maupun formator. Formator di sini adalah suster yang menjadi pembina, sedangkan yang dibina disebut formandi.

Kurangnya keterbukaan dari pihak para yunior dalam bimbingan pribadi kepada para formator tentu juga mempengaruhi proses pembentukan dalam upaya internalisasi nilai-nilai spiritualitas pendiri kongregasi. Seringkali terjadi yunior lebih terbuka dengan rekan suster yunior yang lain daripada dengan pembimbing atau formator karena berbagai alasan, baik karena rasa sungkan, kurang percaya, trauma pengalaman relasi pribadi dengan pembimbing, dan lain sebagainya.

Sedangkan faktor dari luar antara lain, keterbatasan keterampilan dan kemampuan para formator dalam membantu perkembangan psikologi para suster yunior, perbedaan budaya yang mempengaruhi pembentukan karakter seseorang membutuhkan kemampuan dan keterampilan dalam berkomunikasi dalam proses pembinaan sehingga dapat saling menemukan maksud dan tujuan dari setiap materi pembinaan yang dikomunikasikan.

Dibutuhkan pula suasana dan kepemimpinan dalam komunitas biara yang kondusif dalam pembinaan akan membantu perkembangan dan penghayatan nilai-nilai hidup rohani dan manusiawi bagi para yunior. Pembinaan tidak terlepas dari pendidikan atau pedagogi. Maka pihak kongregasi perlu menentukan program pendampingan bagi para suster yunior untuk bisa mengalami perkembangan dalam hidup rohani, baik mengenai dogma Gereja maupun nilai-nilai rohani yang diwariskan oleh pendiri kongregasi.

Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, aneka bentuk pola hidup yang serba instan, hedonisme, konsumerisme, situasi sosial ekonomi dan politik


(28)

yang terjadi di negara kita dapat juga menjadi faktor dari luar diri para yunior yang bisa menjadi hambatan dalam proses pembentukan seorang religius muda (Caesilia, 2012: 7). Tantangan dan hambatan itu tidak dapat dihindari, yang dapat dilakukan adalah menerima dan menyikapinya secara bijaksana; untuk itu diperlukan daya juang dan tekad yang kuat agar hidup religius yang dijalani semakin dapat menghadirkan kebaikan Yesus sendiri, yang diistilahkan dengan menghadirkan Kerajaan Allah, sesuai dengan kekhasan spiritualitas kongregasi. Daya juang dan tekad yang kuat dapat juga memperlihatkan kualitas hidup religius itu sebagai kesaksian hidupnya (Caesilia,2012: 3).

Dalam Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi (SFS), proses pembinaan ini merupakan tanggungjawab seluruh anggotanya, di samping itu Kongregasi telah memilih orang-orang yang secara khusus dan resmi untuk mengemban tugas ini. Mereka adalah para formator, pimpinan komunitas dan pimpinan karya, yang secara resmi ditunjuk oleh Pemimpin Umum. Formator pada masing-masing tahap pembinaan memiliki tugas dan wewenang yang telah ditetapkan dalam mendampingi formandi, demikian juga pimpinan komunitas dan pimpinan karya. Dalam proses pembinaan para formator dan seluruh anggota dibantu dengan sarana yang dimiliki oleh Kongregasi. Sarana dalam proses pembinaan itu adalah: Arah Dasar Pendidikan SFS, Pedoman Pembinaan SFS, Konstitusi SFS, Kitab Suci, Ajaran Gereja, Buku-buku Sejarah Kongregasi, Tradisi-tradisi sehat dalam Kongregasi. Kongregasi telah menyelenggarakan berbagai program pembinaan untuk mengupayakan penghayatan nilai-nilai spiritualitas pendiri melalui rekoleksi bulanan, retret tahunan, seminar, bimbingan pribadi setiap bulan baik


(29)

kepada formator yunior, pemimpin komunitas maupun pimpinan karya bagi para yunior yang sedang magang dalam karya pelayanan. Melalui sarana yang ada diharapkan tujuan pembinaan dapat tercapai.

Dekrit Perfectae Caritatis (PC), tentang pembaharuan dan penyesuaian hidup religius, artikel 2.b, menyatakan:

“Akan bermanfaat bagi Gereja, bila tarekat-tarekat mempunyai corak serta perannya yang khas. Maka hendaknya diakui dan dipelihara dengan setia semangat para Pendiri serta maksud-maksud mereka yang khas, begitu pula tradisi-tradisi yang sehat, yang kesemuanya merupakan pusaka warisan setiap tarekat.”

Menurut Jacobs (1989: 1, 7), memelihara semangat Pendiri bukan berarti para anggota kongregasi kembali pada situasi di mana pendiri berada pada masa hidupnya, melainkan semangat pendiri tersebut tetap menjadi inspirasi yang mendasari baik secara historis maupun aktual. Maka dari itu, spiritualitas pendiri bisa terus-menerus berubah. Yang tidak bisa berubah adalah kharisma pribadi, maka bagaimana setiap anggota kongregasi menyamakan kharismanya dengan spiritualitas pendiri sehingga menjadi spiritualitas kongregasi.

Karisma Kongregasi SFS terdapat pada Konstitusi Tarekat Suster-suster Fransiskan Sukabumi tahun 2000 pasal 3, yang menyatakan:

“Suster-suster Fransiskan Sukabumi mengikuti Anggaran Dasar Regular Santo Fransiskus dari Assisi yang telah disahkan oleh Paus Yohanes II, 08 Desember 1982, sesuai dengan kharisma khas Tarekat: Semangat doa dan kontemplasi, ulah tapa dan pengendalian diri, pelepasan dari hal-hal duniawi, ketaatan dan kerendahan hati, cintakasih yang melayani dan pengorbanan diri, kegembiraaan Fransiskan dan pengungsian bagi yang berkesusahan.”

Karisma ini merupakan nilai-nilai rohani yang diwariskan oleh pendiri yang terus diupayakan untuk dihayati dan diwujudkan dalam situasi zaman yang terus


(30)

berubah. Dengan demikian, kekhasan spiritualitas yang telah dihayati oleh pendiri menjadi kekhasan spiritualitas kongregasi. Namun untuk mengalirkan spiritualitas dari zaman ke zaman, dari generasi ke generasi, tentulah akan ada yang berubah; bahkan mungkin bisa terjadi menjadi berkurang dan bahkan mungkin juga hilang. Oleh karena itu, diperlukan upaya kontekstualisasi penanaman nilai-nilai spiritualitas pendiri, dengan harapan kongregasi tidak akan kehilangan kekhasan spiritualitasnya di arus zaman yang terus berubah ini.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Upaya pendalaman spiritualitas yang dilakukan oleh Kongregasi SFS selama ini belum cukup memotivasi, mendorong dan menggugah para suster Fransiskan Sukabumi untuk hidup sesuai dengan spiritualitasnya.

2. Adanya keluhan dari para religius yang lebih senior mengenai perbedaan yang mencolok dalam hal daya juang serta perwujudan penghayatan nilai-nilai luhur spiritualitas kongregasi dari para calon di zaman sekarang ini.

3. Para yunior kurang bisa menyeimbangkan antara tugas studi dengan tugas pelayanan dalam persaudaraan maupun pastoral yang menyebabkan kurangnya penghayatan dan perwujudan nilai-nilai rohani.

4. Banyaknya tuntutan tugas dari unit karya bagi para yunior yang menyebabkan ketidakseimbangan antara penghayatan nilai-nilai rohani dalam hidup konkret sehari-hari.


(31)

5. Bimbingan pribadi yang tidak selalu dapat dilakukan secara rutin oleh para yunior.

6. Kurangnya keterbukaan dari pihak para yunior dalam bimbingan pribadi kepada para formator.

7. Keterbatasan keterampilan dan kemampuan para formator dalam membantu proses pembentukan yunior.

8. Suasana dan kepemimpinan dalam komunitas biara yang kurang kondusif. 9. Pola hidup yang serba instan, hedonisme, konsumerisme, situasi sosial

ekonomi dan politik.

C. PEMBATASAN MASALAH

Dari identifikasi masalah di atas dapat diketahui bahwa upaya pendalaman spiritualitas yang dilakukan oleh Kongregasi SFS selama ini belum cukup memotivasi, mendorong dan menggugah para suster Fransiskan Sukabumi untuk hidup sesuai dengan spiritualitasnya. Perbedaan penghayatan spiritualitas pendiri antara generasi tua dengan generasi muda merupakan fenomena yang dapat dimungkinkan oleh kurangnya kontekstualisasi spiritualitas pendiri dalam situasi masa kini. Oleh karena itu, permasalahan dibatasi pada:

1. Bagaimana karisma spiritualitas pendiri pada masa itu?

2. Bagaimana spiritualitas pendiri dikontekstualisasikan di masa sekarang ini dan di masa mendatang?

3. Bagaimana implikasi spiritualitas pendiri bagi pembinaan suster-suster yunior Kongregasi SFS?


(32)

4. Apa yang harus dilakukan oleh anggota komunitas dalam mendukung pembinaan yunior?

D. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah ditetapkan tersebut yang perlu diteliti adalah aktualisasi spiritualitas pendiri dalam konteks zaman sekarang, maka masalah penulisan dirumuskan sebagai berikut:

Bagaimana upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri dan implikasinya bagi pembinaan suster-suster yunior Kongregasi SFS?

E. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menemukan kembali nilai-nilai spiritualitas pendiri yang dihayati pada masa hidupnya.

2. Untuk melihat kembali upaya yang telah dilakukan oleh kongregasi selama ini dalam mengembangkan spiritualitas pendiri kongregasi sesuai dengan situasi zaman sekarang ini.

3. Untuk menemukan upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri di masa sekarang dan mendatang.

4. Untuk menemukan cara-cara yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan dalam upaya menanamkan nilai-nilai spiritualitas pendiri kepada para calon di masa sekarang.


(33)

F. MANFAAT PENULISAN

Manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Membantu anggota Kongregasi SFS untuk memahami dan mengkomunikasikan serta mewujudkan nilai-nilai spiritualitas pendiri di masa sekarang ini.

2. Memberikan masukan kepada Pimpinan Umum Kongregasi SFS beserta Dewannya, serta Tim Komisi Spiritualitas Kongregasi SFS untuk menggali lebih lanjut mengenai nilai-nilai spiritualitas pendiri sesuai dengan situasi zaman sekarang.

3. Membantu para formator SFS dalam proses pembinaan dalam upaya menanamkan nilai-nilai spiritualitas pendiri kepada para calon anggota kongregasi sesuai dengan jenjang pembinaannya, khususnya masa yuniorat.

G. METODE PENULISAN

Metode penulisan skripsi ini adalah deskriptif analisis dengan studi pustaka dan penelitian kualitatif untuk memperoleh gambaran mengenai upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri implikasinya bagi pembinaan suster-suster yunior Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Gambaran umum mengenai penulisan ini akan penulis uraikan dalam lima bab, sebagai berikut:


(34)

Bab I : berisi pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang penulisan, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II: berisi kajian pustaka dan fokus penelitian yang menguraikan spiritualitas pendiri Kongregasi Suster-suster Fransiskan Sukabumi, yang meliputi: spiritualitas dan kharisma, riwayat pendiri Kongregasi Suster Bergen op Zoom, sejarah berdirinya Kongregasi SFS, spiritualitas pendiri Kongregasi SFS dan visi, misi serta tujuan Kongregasi SFS; konteks yang dibatasi pada bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan; peluang dan tantangan dalam pembinaan, kontekstualisasi spiritualitas pendiri, penelitian relevan serta fokus penelitian.

Bab III: berisi metodologi penelitian yang meliputi: jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, responden penelitian dan teknik pengambilan sampel, instrumen penelitian, teknik dan alat pengumpulan data, serta pengembangan instrumen.

Bab IV: berisi hasil temuan dan pembahasan upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri implikasinya bagi pembinaan suster-suster yunior Kongregasi SFS, berdasarkan metodologi penelitian yang telah diuraikan pada bab III.


(35)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN FOKUS PENELITIAN

Pada bab II ini dipaparkan mengenai kajian pustaka yang terdiri dari spiritualitas pendiri Kongregasi SFS yang meliputi: spiritualitas dan kharisma, riwayat pendiri Kongregasi Suster Bergen op Zoom, sejarah berdirinya Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi di Indonesia, spiritualitas pendiri kongregasi dan visi, misi serta tujuan Kongregasi SFS; konteks yang dibatasi pada bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan; peluang dan tantangan dalam pembinaan, kontekstualisasi spiritualitas pendiri, penelitian relevan, serta fokus penelitian.

A. SPIRITUALITAS PENDIRI KONGREGASI SUSTER-SUSTER FRANSISKAN SUKABUMI

1. Spiritualitas dan Karisma

Jacobs (1989: 3) berpendapat bahwa hanya ada satu spiritualitas, yaitu spiritualitas Kristiani. Kita sama-sama milik Kristus. Dibaptis dalam Kristus, digerakkan oleh Roh Kudus menuju Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus. Tetapi masing-masing orang menghayati imannya menurut kepribadian dan latar belakang, kekhususan dan keunikannya sendiri. Maka ada sekelompok orang yang menghayati iman Kristiani, yang memiliki ciri yang khas yang membedakan dengan kelompok-kelompok yang lain. Kekhasan penghayatan iman Kristiani dalam kelompok inilah yang disebut spiritualitas.


(36)

Jacobs (1989: 1-2) menjelaskan bahwa kata spiritualitas berasal dari kata Perancis, spiritualité yang berarti cara atau gaya hidup. Kata spiritualitas dari kata spiritus, yang berarti roh. Jadi, kata spiritualis berarti orang yang digerakkan oleh Roh Kudus. Pengertian spiritualis dalam bahasa Yunani: pneumatikos berarti kharismatis. Yang artinya orang yang digerakkan oleh Roh. Yang khas dari orang

pneumatikos itu ialah, bahwa mereka orang yang spontan digerakkan oleh Roh

dan agak menyimpang dari yang biasa-biasa. Jadi, yang khas untuk pneumatisi

justru bahwa mereka tidak terikat pada lembaga, pada institusi, pada organisasi. Selalu merupakan suatu gerakan bebas dalam Gereja. Spiritualitas selalu suatu proses. Spiritualitas adalah sesuatu yang dinamis, yang berkembang. Maka spiritualitas awal harus selalu diceritakan kembali. Kalau seseorang tertarik pada suatu ordo atau kongregasi, hal itu berarti bahwa dia merasa cita-cita rohaninya sendiri cocok dengan kelompok ini. Dan kalau dia betul-betul sudah terintegrasi ke dalam ordo atau kongregasi, dia ikut menentukan spiritualitas. Setiap orang berpartisipasi pribadi dalam spiritualitas kongregasi karena menghayati kharisma secara pribadi.

Spiritualitas sangat tergantung dari situasi dan kondisi, sehingga setiap ordo atau kongregasi mempunyai wajah yang berbeda dengan wajah cabang-cabang lain di lain negara. Tetapi kita semua mempunyai dasar yang sama. Dan dalam kharisma kita mempunyai dasar untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Dengan kata lain, komunikasi menjadi pokok spiritualitas dan karisma.


(37)

Jacobs (1989: 4) menjelaskan bahwa yang pokok adalah karisma. Kata

karisma berasal dari bahasa Yunani yang berarti rahmat khusus. Rahmat khusus atau karisma itu tentu dasar untuk kecocokan spiritualitas pendiri kongregasi. Menurut Jacobs (1989: 8) karisma adalah sesuatu yang datang dari dalam, dari Roh, dan dikembangkan dari dalam. Sedikit banyak lepas dari peraturan dan ketetapan institusionalisasi, dan lain sebagainya. Maka segala hal yang menyangkut karisma dan spiritualitas harus bersifat antusias, gembira dan bersemangat. Oleh karena itu, bimbingan rohani khususnya kepada angkatan muda harus stimulatif, dorongan, memberi semangat dan bukan menegur yang tidak ada gunanya.

2. Riwayat Pendiri Kongregasi Suster Bergen op Zoom

Menurut Eddy Kristiyanto (2009: 117-119), pendiri Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi adalah Moeder Rosa de Bie, yang hidup tahun 1806-1851. Beliau lahir di Antwerpen, Belgia, pada tanggal 3 April 1806; dengan nama, Elisabeth de Bie, sebagai putri sulung dari pasangan suami-isteri, Bapak Cornelius de Bie dan Ibu Petronella de Roek.

Pada usia ke-28 tahun, Rosa de Bie masuk biara Peniten Rekolek di Breda pada tanggal 12 Desember 1834, dan menerima jubah biara pada tanggal 18 Pebruari 1835, dengan nama biara Suster Maria Rosa dari Aloysius. Mengucapkan profesi religius pada tanggal 29 Pebruari 1836, ia tinggal di rumah cabang pertama di Oosterhout. Kemudian ditugaskan sebagai kepala Rumah Sakit di Breda.


(38)

Pada tanggal 21 November 1937, dalam koran Bredasche terdapat iklan yang membutuhkan seorang Direktur, dengan syarat tidak menikah atau seorang janda, dan berumur tidak kurang dari 30 tahun serta memiliki kemampuan dan terampil melaksanakan tugas ke-rumah-tanggaan dan perawatan orang sakit (Kongregasi SFS, 2005: 68-70). Suster Rosa mendapat tugas dari Moeder Theresia Saelmaekers, Pemimpin Umum di Breda, untuk menulis surat lamaran sebagai direktur dan pengurus rumah tangga Rumah Sakit milik pemerintah di Bergen op Zoom tersebut. Pada tanggal 5 Desember 1937, Suster Rosa menulis lamaran dan pada 9 Januari 1938, Sr Rosa diterima sebagai direktur Rumah Sakit Bergen op Zoom, dengan kesepakatan akan diberi imbalan tahunan serta uang kos sebesar 250 gulden. Pada tanggal 12 Pebruari 1838, Suster Rosa memulai tugasnya, dengan dua rekan suster yang baru mengucapkan kaul kekalnya, yakni Suster Clara, BOZ dan Suster Philomena, BOZ. Mereka tidak mengenakan pakaian biarawati, karena pada waktu itu pemerintah tidak akan mengijinkan keterlibatan para biarawati karena masih berpandangan sempit dan toleransi terhadap agama lain belum ada.

Gerlach (2004: 53) menyatakan bahwa sejak bulan September 1839, Moeder Rosa de Bie memimpin sendiri komunitas religiusnya tanpa tergantung dari rumah induk di Breda; dengan sedikit jumlah suster yang dipimpinnya, yaitu Suster Philomena, Suster Victoria, yang keduanya sudah berprofesi kekal, Suster Benedicta, Suster Anastasia dan Suster Agatha yang masih novis.

Sejak kunjungan resmi Raja Willem II ke kota Bergen op Zoom, pada tanggal 27 Agustus 1841 termasuk ke Rumah Sakit Sint Catarina yang dipimpin


(39)

oleh Moeder Rosa, mereka mengenakan jubah biara. Raja menyatakan rasa senang dan kepuasannya atas pengelolaan dan pelayanan kepada orang-orang sakit di Rumah Sakit Sint Catarina tersebut.

3. Sejarah Berdirinya Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi di Indonesia Berkat pembicaraan melalui korespondensi antara Muder Gerarda BOZ dengan Pater Műller, SJ; dalam tahun 1932 yang waktu itu menjabat sebagai Rektor Seminari Tinggi di Yogyakarta, dan pembicaraan dengan Pater Wubbe, SJ, serta setelah Moeder Gerarda mengadakan kunjungan ke Semarang secara langsung; maka pada sore hari tanggal 23 Maret 1933, atas dorongan Ilahi dan berkat restu Bapa Uskup setempat, Mgr. Hopmans, Kongregasi BOZ, mengutus enam orang suster untuk bermisi ke Indonesia (Gerarda, 2000: 90-100). Ke-enam suster tersebut yaitu Suster Seraphine Gulickx (dari Bavel), sebagai overste, Suster Imelda den Aantrekker (dari Bergen op Zoom), Suter Agusta Hocke (dari Neisse, Jerman), Suster Theresina Tax (dari Bergen op Zoom), Suster Gemma Hertogh (dari Stoppeldyk), dan Suster Valentine Uitde Willingen (dari Heerle Wouw). Mereka berangkat dari Rossendal naik kereta api ke pelabuhan Marseille (Perancis). Dari sana para suster naik kapal laut “Baluran” menuju Indonesia. Pada hari Kamis Putih, tanggal 13 April 1933, para misionaris dari Kongregasi Peniten Rekolek BOZ ini mendarat di Tanjung Priuk. Mereka disambut ramah oleh para suster Ursulin dari Weltevreden di Hindia Belanda (sekarang: Jakarta). Mereka tinggal beberapa hari di tempat ini. Sementara itu, tiga suster mengunjungi Rumah Sakit Semarang dan Muntilan milik para Suster


(40)

Fransiskanes Heythuizen (OSF Semarang); untuk mempelajari penyakit-penyakit tropis dan perawatannya.

Pada tanggal 10 Mei 1933, para misionaris BOZ memasuki kota praja Sukabumi, namun belum bisa langsung bekerja di Rumah Sakit yang telah disepakati dengan pejabat pemerintah kota Sukabumi. Pada waktu itu pihak Kongregasi BOZ diwakili oleh Pater Wubbe, SJ. Para suster BOZ lebih dahulu tinggal di rumah penduduk yang telah disiapkan untuk tempat tinggal mereka. Pada hari itu juga dipersembahkan Misa pertama di rumah itu, kemudian mereka mulai melaksanakan perawatan orang sakit di rumah-rumah penduduk sambil belajar bahasa Indonesia. Pada tanggal 13 Juni 1933, para suster boleh mengunjungi Rumah Sakit yang telah diatur oleh Pater Lukas, SJ; untuk berkenalan dengan para dokter dan karyawan. Dan pada tanggal 28 Desember 1933, para suster resmi menetap di Jl. Rumah Sakit No. 1, Sukabumi dan berkarya di Rumah Sakit St. Lidwina Sukabumi. Kemudian membuka beberapa cabang, yang kemudian hari kongregasi ini di Indonesia dikenal dengan nama Suster Fransiskan Sukabumi; yang mandiri pada tanggal 14 April 1996.

4. Spiritualitas Pendiri Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi

Kongregasi SFS yang berasal dari BOZ, Belanda mengikuti Reformasi Limburg, Belgia yang didirikan oleh Moeder Yohana dari Yesus pada tahun 1623 dan berspiritualitas Peniten Rekolek yang berdevosi pada Yesus Kristus injili yang miskin dan menderita (Syukur Dister, 2011: 5).


(41)

Moeder Rosa de Bie sebagai ibu pendiri Kongregasi BOZ dan SFS berusaha mewariskan nilai-nilai keutamaan rohani sebagai religius peniten rekolek kepada para anggotanya secara terus-menerus, seperti tertulis pada buku Gerakan Awal

Kongregasi Peniten Rekolek (2009: 131-136). Nilai-nilai keutamaan rohani

tersebut adalah sebagai berikut: a. Pengungsian bagi yang menderita

Kongregasi ini bertujuan menghadirkan kasih Allah bagi mereka yang sedang berkesusahan dan menderita. Pengungsian bagi yang menderita menjadi motto Kongregasi Peniten Rekolek Bergen op Zoom, yang dipakai juga dalam akte notaris berdirinya kongregasi ini.

b. Doa dan kontemplasi

Hidup doa menjadi yang utama bagi Moeder Rosa dan para pengikutnya. Persatuan dengan Tuhan juga diterima melalui perayaan Ekaristi harian, yang dilakukan di gereja paroki. Baginya kontemplasi adalah pemberian diri secara total dalam merawat orang-orang sakit dan menderita, yang dipandangnya sebagai Kristus yang miskin dan menderita.

c. Ulah tapa dan pengendalian diri

Olah rohani matiraga dan pengendalian diri merupakan praktek keutamaan yang dijalankan dengan sangat ketat oleh Moeder Rosa dan anggotanya sebagai Ordo Ketiga Regular Santo Fransiskus Assisi. Hal ini tampak dalam sikap hidup sederhana, baik dalam berpakaian, tutur kata, cara bertindak dan menu makanan yang disantapnya setiap hari.


(42)

d. Pelepasan dari hal-hal duniawi

Kaul kemiskinan dihayati secara tegas dan kokoh karena Moeder Rosa meyakini bahwa Allahlah yang menjamin hidupnya. Sikap batin yang lepas bebas tanpa terikat oleh barang-barang, tempat, relasi maupun harta benda yang akan menjamin kelangsungan hidupnya. Beliau tidak khawatir akan hidupnya, masa depannya, maupun kelangsungan hidup kongregasinya, sekalipun beliau sendiri dan para anggotanya tidak digaji selama setahun dari pihak Rumah Sakit. Ia meyakini bahwa Allah yang memulai karya baik ini, maka Allah sendiri yang akan menyelesaikannya. Ia menggantungkan diri sepenuhnya pada penyelenggaraan Ilahi.

e. Ketaatan dan kerendahan hati

Kaul ketaatan dihayati oleh Moeder Rosa dengan penuh tangungjawab. Ia siap sedia diutus, sekalipun harus menyamar sebagai awam biasa, sewaktu melamar ke Rumah Sakit pemerintah, yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya Kongregasi BOZ. Ketaatannya juga tampak dalam bekerjasama dengan para pengurus Rumah Sakit, tempat beliau mengabdikan diri, merawat orang-orang sakit. Sikap rendah hati diwujudkan dalam keterbukaan dan ketulusan hati dalam meminta bantuan kepada pengurus Rumah Sakit saat tidak memiliki biaya untuk penguburan seorang anggotanya yang meninggal dan pada waktu meminta sumbangan untuk membangun sebuah kapel, yang merupakan kerinduan hatinya sejak lama.


(43)

f. Cinta kasih yang melayani

Penghayatan kaul kemurnian diwujudkan dalam mencintai Tuhan dan sesama dengan murni dan tak terbagi. Ia menghayati ajaran Tuhan Yesus dengan menghayati kaul profesinya, agar perhatiannya hanya tertuju pada Allah Tri Tunggal. Cinta kasih dan perhatiannya dicurahkan kepada para susternya dan para pasien yang sakit dan menderita.

g. Pengorbanan diri

Semangat pengorbanan ia timba dari semangat pengorbanan diri Kristus yang rela wafat demi keselamatan umat-Nya. Seluruh hidup Moeder Rosa tercurah kepada kepentingan orang lain, terlebih untuk mereka yang menderita. Ia rela mengorbankan kamar tidur dan ruang makan komunitasnya untuk para pasien yang membutuhkan perawatan.

h. Kegembiraan Fransiskan

Semangat riang-gembira sebagai pengikut Fransiskus Assisi dihayati dalam hidupnya. Berkat relasi dan imannya yang mendalam dengan Tuhan, memancarkan kegembiaran sejati kepada setiap orang yang dijumpainya. Maka tidak mengherankan bila banyak orang merasa terhibur bila dikunjungi oleh beliau.

5. Visi, Misi dan Tujuan Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi a. Visi Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi

Visi SFS: Tarekat Suster-suster Fransiskan Sukabumi adalah suatu persaudaraan yang terdiri atas pribadi yang terdorong oleh ilham ilahi mau


(44)

menghayati dan meneruskan cita-cita Moeder Rosa de Bie, yaitu: mengusahakan penyucian para anggotanya yang berdevosikan pada perjuangan dan penderitaan Yesus yang tersalib, dengan hidup dalam semangat doa dan kontemplasi, tobat dan silih, serta pelayanan cinta kasih seturut teladan Fransiskus Assisi (Zita, 2008: 212).

b. Misi Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi

Misi SFS: Tarekat Suster-suster Fransiskan Sukabumi mewujudkan visinya dalam pelayanan kepada sesama melalui karya kesehatan, sosial karitatif, pastoral dan pendidikan (Zita, 2008: 213).

c. Tujuan Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi

Tujuan Tarekat Suster-suster Fransiskan Sukabumi adalah menyucikan para anggotanya dengan mempertahankan identitas Tarekat Suster Fransiskanes Peniten Rekolektin sesuai dengan semangat Pendiri Moeder Rosa de Bie (Konst. 2000: pasal 4).

B. KONTEKS

Arti kata konteks menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Kontekstualisasi menurut Hesselgrave (1994: 48), bersifat dinamis bukan statis. Kontekstualisasi mengakui sifat terus-menerus berubah dari setiap situasi manusia dan kemungkinan akan terjadinya perubahan, hingga membuka jalan bagi masa depan. Namun kontekstualisasi tidak menyiratkan isolasi bangsa-bangsa dan budaya-budaya. Sementara di dalam masing-masing situasi budaya yang berbeda-beda orang harus


(45)

bergumul untuk mendapatkan kembali identitas mereka dan menguasai sejarah mereka sendiri, namun masih terdapat kesaling-tergantungan konteks.

Dengan demikian kontekstualisasi berarti bahwa kemungkinan-kemungkinan pembaharuan harus pertama-tama dirasakan pada tempatnya masing-masing dalam tiap situasi, namun selalu dalam kerangka kesaling-tergantungan pada masa kini yang mengikat masalah-masalah masa lalu dan masa kini pada kemungkinan-kemungkinan di masa depan (Hesselgrave, 1994: 52-53).

Kontekstualisasi dalam rangka menemukan spiritualitas masa kini dan masa depan sebagai perwujudan baru dari konteks spiritualitas yang lama, maka dalam penulisan ini menggunakan pendekatan beberapa bidang ilmu yang dibatasi pada bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan. 1. Komunikasi

a. Pengertian Komunikasi

Menurut Deddy Mulyana (2001: 41-42) komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari bahasa Latin communis yang berarti “sama”,

communico, communication, atau communicare yang berarti “membuat sama.”

Sama di sini maksudnya adalah sama makna.

Jadi, kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan kata lain, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Percakapan kedua orang tadi dapat dikatakan komunikatif apabila


(46)

kedua-duanya mengerti bahasa yang dipergunakan juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan (Onong Uchjana Effendy, 1992: 9).

Komunikasi meliputi unsur-unsur: komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek. Jadi, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuk hatinya (Onong Uchjana Effendy, 1992: 10-11).

Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan secara sekunder. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial (gesture), isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain. Baik berbentuk ide, informasi, atau opini; baik mengenai hal yang konkret maupun abstrak; bukan saja tentang hal atau peristiwa yang terjadi pada saat sekarang, melainkan juga pada waktu yang lalu dan masa yang akan datang (Onong Uchjana Effendy, 1992 : 11).

Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media


(47)

kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telephone, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dan banyak lagi media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi. Akan tetapi, oleh para ahli komunikasi diakui bahwa keefektifan dan efisiensi komunikasi bermedia hanya dalam menyebarkan pesan-pesan yang bersifat informatif. Yang efektif dan efisien dalam menyampaikan pesan persuasif adalah komunikasi tatap muka karena kerangka acuan komunikan dapat diketahui oleh komunikator, sedangkan dalam proses komunikasinya, umpan balik berlangsung seketika, dalam arti kata komunikator mengetahui tanggapan atau reaksi komunikan pada saat itu juga (Onong Uchjana Effendy, 1992: 16-17).

b. Trend Komunikasi Masa Kini

Derasnya teknologi yang masuk ke suatu negara dapat mendekatkan jarak hubungan antar manusia. Meski demikian, tentunya tak lepas dari hal-hal negatif. Dampak alienasi, keterasingan masing-masing individu, nilai-nilai primordialisme juga dapat tercipta karena keberadaan teknologi informasi tersebut. Sebagian generasi digital akan menjadi konsumtif, hedonis, dan narsistis yang akan menghambat kemajuan bangsa (Dirjen Informasi dan Komunikasi RI, 2012: 10). Iswarahadi (2003: 10-11) sarana komunikasi modern, seperti televisi, komputer, internet, handphone, facebook, websites, dan lain sebagainya; menyebabkan komunikasi verbal semakin hilang dan kurang dihargai perannya. Sarana komunikasi modern ini mampu memproduksi dan menyebarkan gagasan


(48)

dan pemikiran orang yang sama secara massal, sehingga dalam waktu yang singkat hal sama itu dapat dibaca, didengar, dan diketahui secara luas. Melalui penggunaan sarana modern untuk berkomunikasi, orang tidak hanya menyentuh dan menyapa seseorang melainkan banyak orang sekaligus dalam waktu yang sama. Sayangnya, dengan itu komunikasi juga kehilangan unsur pribadinya, sebab orang tidak lagi berjumpa dengan seorang “engkau” tetapi dengan massa atau fans

yang banyak, sementara narasumber sendiri menjadi semacam idola atau abstraksi asing yang tidak bisa disentuh.

Perkembangan jaringan komunikasi dan informasi melalui dunia maya, sepintas tampak hanya sebagai perkembangan teknologi sarana-sarana komunikasi yang semakin luas, semakin cepat, dan menjangkau banyak orang. Cita-cita yang dikejar adalah publisitas, transparansi umum dan nilai yang diunggulkan adalah kelayakan pasar, laku jual. Sebuah ide, gagasan, ataupun barang naik harganya ketika semakin banyak orang menyukai dan merasa membutuhkannya. Untuk itu, orang berusaha keras menggunakan media massa sebagai sarana promosi, mencapai publisitas yang luas (Iswarahadi, 2003: 11).

Media massa sekarang ini bukanlah sekadar sarana, melainkan kebudayaan itu sendiri, di mana manusia hidup, bergerak, dan ada. Kebudayaan media massa telah menenggelamkan manusia seluruhnya ke dalam model komunikasi global yang tidak bisa dicegah. Penggunaan media massa dengan sendirinya akan menuntut penerimaan sifat-sifat mental, yang tercakup dalam budaya tersebut seperti publisitas, keterbukaan atau transparansi, pembaruan terus-menerus, relasi sosial yang luas, dan kesediaan untuk dikritik (Iswarahadi, 2003: 12).


(49)

Kemajuan teknologi yang semakin pesat perlahan-lahan mempengaruhi perkembangan pola komunikasi manusia yang dimuat dalam Kompas (Fitur Klasika | Internet, 2012: 33). Kemunculan berbagai situs jejaring sosial, seperti

facebook dan twitter tak dapat dipungkiri telah mengubah pola pikir seseorang dalam berinteraksi. Era new wave media memang seperti dua mata pisau, bisa membawa hal positif dan negatif tergantung dari si pengguna. Misalnya, sebagian orang kini cenderung lebih vokal saat menggunakan jejaring sosial. Sementara di dunia nyata, orang justru lebih memilih untuk diam. Sayangnya, kebebasan berekspresi di dunia maya kerap disalahgunakan para netizen. Oleh karena itu, tak jarang kasus cyberbullying akhir-akhir ini bermunculan.

Cyberbullying diartikan sebagai kondisi saat seseorang diintimidasi,

dipermalukan, bahkan diancam oleh satu atau banyak pihak. Tindakan ini dilakukan melalui teknologi informasi, seperti media sosial, blog, chat room, bahkan telepon genggam. Hasil penelitian sebuah perusahaan yang bergerak pada bidang riset pasar global Amerika Serikat, Ipsos pada pertengahan November 2011 memaparkan, 74% responden Indonesia memilih facebook sebagai sumber dari kasus cyberbullying. Hal ini perlu diwaspadai karena dapat berkembang ke arah yang mengkawatirkan. Pihak yang diintimidasi bisa saja merasa tertekan dan berangsur menjadi depresi, bahkan dapat memicu orang untuk bunuh diri karena mental yang lemah.

2. Kebudayaan


(50)

Menurut Hariyono (1996: 44) kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sanskerta buddayah, yaitu bentuk jamak dari buddi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Bila dilihat dari kata dasarnya, kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya”. Dari pengertian tersebut kemudian dibedakan antara budaya yang berarti “daya dari budi”, yang berupa cipta, karsa dan rasa dengan kebudayaan yang berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa.

Secara sederhana pengertian kebudayaan dan budaya dalam Ilmu Budaya Dasar mengacu pada pengertian sebagai berikut:

1) Kebudayaan dalam arti luas, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Istilah kebudayaan digunakan untuk menunjuk dan menekankan hasil karya fisik manusia, sekalipun hasil dan karya fisik manusia ini sebenarnya tidak lepas dari pengaruh pola berpikir (gagasan) dan pola perilaku (tindakan) manusianya. Kebudayaan sebagai suatu sistem memberikan pengertian bahwa kebudayaan tercipta dari hasil renungan yang mendalam dan hasil kajian yang berulang-ulang tentang suatu permasalahan yang dihadapi manusia sehingga diperoleh sesuatu yang dianggap benar dan baik. Karena dianggap benar dan baik, hasil renungan ini biasanya ingin diwariskan kepada generasi berikutnya. Oleh generasi berikutnya hasil renungan ini dipertimbangkan kembali sesuai dengan kemajuan yang dapat dicapai dan dirasa lebih memuaskan (Hariyono, 1996: 44-45).


(51)

2) Kebudayaan dalam arti sempit dapat disebut dengan istilah budaya atau sering disebut kultur yang mengandung pengertian keseluruhan sistem gagasan dan tindakan. Pengertian budaya atau kultur dimaksudkan untuk menyebut nilai-nilai yang digunakan oleh sekelompok orang dalam berpikir dan bertindak. Seperti halnya dengan kebudayaan, budaya sebagai suatu sistem juga merupakan hasil kajian yang berulang-ulang tentang suatu permasalahan yang dihadapi manusia (Hariyono, 1996: 45).

b. Simbol dan Nilai

Redi Panuju (1996: 28) berpendapat pada dasarnya setiap orang terbentuk oleh lingkungan. Lingkungan pembentuk ini biasanya disebut kebudayaan. Sebaliknya manusia juga membentuk kebudayaan. Kebudayaan dapat dipandang sebagai tindakan berpola dalam masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat terbentuk atau terkelompok oleh adanya kebudayaan.

Setiap orang dalam suatu kelompok budaya merasa ikut memiliki simbol dan nilai yang sama. Simbol dan nilai ini merupakan perbendaharaan kelompok sebagai dasar bertindak. Dengan menggabungkan faktor diri dengan faktor kebudayaan, orang akan bertindak sesuai dengan kecenderungan psikisnya.

Nota Pastoral (KWI, 2007: 117) menyatakan bahwa budaya tidak dipahami sebagai sistem nilai yang amaterial. Budaya adalah cara kita memandang, merasa, bertindak dan berelasi yang menjelma di dalam kebiasaan (habit) yang sungguh bersifat fisik dan material. Budaya dipahami sebagai gugus kebiasaan sehari-hari hidup kita. Kebiasaan hidup mencakup hampir semua tindakan dan praktik sosial kita. Dalam melakukan kebiasaan-kebiasaan itu, kita tidak lagi bertindak dengan


(52)

sepenuhnya sadar, namun juga tidak berarti tindakan kita mekanis seperti mesin. Dapat dikatakan bahwa kebiasaan adalah gugus praktik instingtif yang dilakukan lantaran pengalaman dan pengulangan.

Maka transformasi kultural (cara kita memandang, merasa, bertindak dan berelasi) perlu dilakukan bukan dengan mengandaikan kesadaran kritis kita yang terlalu tinggi, namun juga bukan mengandaikan kita seperti mesin-mesin yang bergerak secara mekanis. Kita mempunyai kesadaran bukan hanya secara normatif tetapi juga deskriptif. Pengertian sudah banyak, penyadaran juga luas, nasehat sudah berlimpah tetapi jarak antara tahu (to know) dan berbuat (to do) tetaplah sangat jauh. Kita tidak menjadi bijaksana (wise) hanya dengan tahu apa itu kebijaksanaan (wisdom). Dengan kata lain, antara momen “tahu yang baik” dan momen “melakukan yang baik” adalah perjalanan panjang yang berisi pembentukan kebiasaan (habit) (KWI, 2007: 118).

c. Budaya Indonesia: Pluralisme? Demokrasi? Konsumerisme?

Negara Indonesia adalah negara majemuk atau pluralis. Magnis-Suseno (2008: 27-28) berpendapat bahwa pluralisme adalah kesediaan untuk menjunjung tinggi pluralitas. Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup, budaya, dan keyakinan yang berbeda, serta kesediaan untuk hidup, bergaul dan bekerja bersama dengan mereka. Pluralisme tidak hanya berarti membiarkan pluralitas, melainkan memandangnya sebagai sesuatu yang positif. Karena seorang pluralis menghormati dan menghargai sesama manusia dalam identitasnya, dan berarti juga dalam perbedaannya.


(53)

Kita akui bahwa negara Indonesia plural, namun pada praktek hidup bersama sebagai bangsa masih terjadi pertentangan. Seperti dikatakan Adi Prasetyo bahwa sepuluh tahun terakhir ini aksi intoleransi semakin meningkat. Terjadinya penutupan dan perusakan tempat ibadat, aksi penyerangan terhadap acara peluncuran buku penulis asal Kanada di Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Semarang. Keputusan MA yang tak bisa dieksekusi akibat tekanan kelompok massa serta ketidakmampuan dan ketidakmauan aparat penegak hukum untuk memberi perlindungan dan pemenuhan hak asasi kepada kelompok minoritas (Adi Prasetyo, 2012: 36).

Menurut Magnis-Suseno (2008: 30) Negara Indonesia yang majemuk ini akan tetap bersatu apabila semua komponen bangsa mau bersatu dan mereka hanya akan mau bersatu apabila mereka dapat ikut mengurusnya. Itulah yang dijamin oleh demokrasi.

Namun menurut Eddy Kristiyanto (2001: 311) demokrasi dapat dicegat, ditangguhkan bahkan dibatalkan oleh suatu kecenderungan otokratik kalangan tertentu para pemegang kekuasaan.

Reza Syawawi (2012: 6) mengungkapkan bahwa demokrasi Indonesia sekarang ini berwajah ganda. Di satu sisi demokrasi merupakan instrumen yang dipercaya mengagregasi kepentingan publik, tetapi di sisi lain menggerogotinya. Dewasa ini demokrasi hanya diindentikan dengan peran partai dalam pemilihan umum.

Di sisi lain, pengaruh globalisasi telah memunculkan budaya baru di Indonesia, yakni gaya hidup konsumerisme. Konsumerisme tentu berkaitan


(54)

dengan kapitalisme. Produksi kapitalis tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, melainkan sebaliknya malah menciptakan kebutuhan-kebutuhan itu (Magnis-Suseno, 2008: 16).

Menurut Kuntoro Adi (2011: 44-45) konsumerisme perlu dibedakan dari komsumsi. Komsumsi berkaitan dengan pemakaian barang/jasa untuk hidup layak dalam konteks sosio-ekonomi-kultural tertentu. Ia menyangkut kelayakan

survival. Sedangkan konsumerisme seperti pemburuan prestasi. Jika dipadatkan, kira-kira begini: konsumerisme adalah komsumsi yang mengada-ada. Komsumsi bukan soal ada tidaknya uang untuk shopping. Juga bukan soal laba besar yang dikeruk melalui permainan insting konsumen. Kunci untuk memahami konsumerisme adalah psikologi, bagaimana konsumsi yang mengada-ada dilembagakan sebagi nirvana. Mereka diburu dengan harga absurd karena memberi klaim pada rasa percaya diri dan eksklusif. Karena eksklusif maka juga

prestise dan status. Konsumerisme bagaikan mengejar langit di atas langit. Orang tidak hanya merasa naik mobil, tetapi Jaguar; tidak hanya merasa mengenakan pakaian, tetapi memakai Armani.

Biasanya keluasan konsumerisme terbentuk dalam kombinasi dengan kultus selebriti. Seorang penyanyi yang sedang tenar di negeri ini menghabiskan uang Rp 100 juta per bulan untuk make-up kecantikan. Mungkin ia menjadi sumber decak kagum, atau panutan. Namun bagi mereka yang sempat berpikir, berita itu adalah cerita tentang narcissme seorang konsumeris. Konsumeris ialah narcissts


(55)

sendiri. Dan seperti selebriti, para konsumeris bagai wajah-wajah yang memuja topengnya sendiri (Kuntoro Adi, 2011: 45-46).

Kapitalisme juga menciptakan produksi massal yang melahirkan budaya pop sebagai budaya massa. Budaya pop merupakan budaya komersial. Menurut Dadang Supardan kata pop diambil dari kata populer. Istilah pop memiliki empat makna yakni banyak disukai orang, jenis kerja rendahan, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang, budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri.

Menurut Dyah Hapsari (http://dyahhapsari.blogspot.com/2009/11/) kata massa mempunyai makna positif dan negatif. Makna negatifnya adalah berkaitan dengan kerumunan (mob), atau orang banyak yang tidak teratur, bebal, tidak memiliki budaya, kecakapan dan rasionalitas. Makna positifnya yaitu massa memiliki arti kekuatan dan solidaritas di kalangan kelas pekerja biasa saat mencapai tujuan kolektif.

Budaya pop banyak berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu, seperti pementasan mega bintang, kendaraan pribadi, fashion, model handphone, model rumah, perawatan tubuh, dan semacamnya. Budaya pop dibangun berdasarkan kesenangan namun tidak substansial dan mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari. Budaya pop dianggap sebagai dunia impian kolektif. Praktek budaya pop lebih dilihat sebagai fantasi publik. Budaya pop memberi ruang bagi eskapisme yang bukan hanya lari dari atau ke tempat tertentu, tetapi suatu pelarian


(56)

dari utopia kita sendiri. Massa cenderung “latah” meniru segala sesuatu yang sedang naik daun atau laris. Budaya massa menciptakan kelas sosial. Selera, bisa disebut sebagai sebuah kategori ideologis yang difungsikan sebagai ciri kelas sosial.

3. Psikologi a. Konsep Psikologi

Para ahli psikologi terdahulu, mendefinisikan bidang mereka sebagai studi kegiatan mental. Dengan berkembangnya aliran behaviorisme dengan penekanan studinya hanya pada fenomena yang dapat diukur secara obyektif, psikologi didefinisikan sebagai studi mengenai perilaku. Definisi ini mencakup penyelidikan mengenai perilaku binatang juga manusia dengan asumsi bahwa informasi yang didapat dari percobaan dari binatang dapat diterapkan pada organisme manusia (L. Atkinson, 1999: 18).

Studi perilaku manusia dapat menjangkau lebih jauh keadaan yang terjadi pada setiap individu dan meninjau tata hubungan kelembagaan di mana mereka hidup; yakni keluarga, lingkungan tetangga, dan masyarakat umumnya. Karena lingkungan hidup itu terlalu beraneka ragam untuk dipahami jika hanya dilihat dari sudut pandang, maka muncul sejumlah bidang penyelidikan, yakni antropologi, ekonomi, linguistik, ilmu politik, sosiologi, dan bidang keahlian lain. Secara keseluruhan dikenal sebagai ilmu perilaku dan ilmu sosial. Istilah ilmu sosial dulu merupakan bidang yang eksklusif, sedangkan ilmu perilaku terbatas pada bidang yang berpusat pada perilaku individu saja (psikologi, antropologi dan


(1)

semula hanya mengetahui dan menghayati spiritualitas Fransiskus Assisi akhirnya menemukan persaudaraan serumpun Moeder Theresia Saelmakers, sehingga dapat mewujudkan kerjasama sebagai saudara serumpun.

b. Mendatangkan ahli-ahli Fransiskan untuk mendalami sejarah dan spiritualitas Kongregasi yang diwariskan oleh pendiri Kongregasi.

c. Mendalami spiritualitas pendiri dalam rekoleksi dan retret.

d. Memberdayakan anggota Kongregasi yang kompeten untuk menjadi nara sumber dalam menggali spiritualitas pendiri.

e. Kebijakan-kebijakan kapitel dan hasil rapat akhir tahun (RPA) yang tidak lagi kaku melainkan disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan nilai-nilai dasar spiritualitas pendiri.

f. Memberikan kebijakan akan penggunaan alat-alat teknologi kepada anggota demi meningkatkan pelayanan sebatas dibutuhkan dengan mempertahankan kesederhanaan.

g. Membuat rumusan spiritualitas Kongregasi yang semakin singkat namun mendalam sebagai upaya agar mempermudah pemahaman anggota dalam penghayatan konkret dalam hidup sehari-hari, saya sendiri juga terbantu. h. Menuangkan spiritualitas pendiri yang menjadi spiritualitas Kongregasi ke

dalam visi - misi di unit-unit karya.

i. Mengajak anggota Kongregasi untuk terus-menerus membaharui diri sebagai religius SFS yang injili.

j. Adanya pembaharuan istilah-istilah, yakni Pemimpin Umum Kongregasi menjadi Pelayan Umum Persaudaraan dan Koordinator menjadi Komisi, agar semangat persaudaraan Fransiskan tetap menjadi kekhasan Kongregasi SFS.”

Hasilnya dari upaya kontekstualisasi tersebut disebutkan oleh responden sebagai berikut:”……….

a. Tercipta persaudaraan yang sederajat.

b. Ini berdasarkan sharing karyawan ya…….,tercipta semangat persaudaraan dan kekeluargaan di unit-unit karya sehingga karyawan merasa nyaman dan merasa diterima.

c. Hidup sederhana dalam komunitas dan karya namun tetap dapat melayani dengan baik sehingga karya-karya Kongregasi masih dipercaya dan diminati oleh masyarakat sampai sekarang.

d. Menyekolahkan suster-suster muda tanpa harus menunggu kaul kekal untuk memenuhi kebutuhan karya pelayanan.”

Menyetujui, 23 Agustus 2012


(2)

1. Trend komunikasi sekarang menurut responden dikatakan:”Bersifat global, dapat menjangkau lebih luas berkat kemajuan teknologi, misalnya dengan HP, telephone, email, face book, ipad, dan lain sebagainya. Ipad, huruf “I” dalam bahasa Inggris berarti “saya” yang menonjolkan keakuan atau keegoisan diri, mungkin ini juga ingin menunjukkan akan hal itu. Peralatan komunikasi yang canggih sangat menunjang tugas pelayanan apabila digunakan secara tepat namun akan membawa dampak negatif jika penggunaannya tidak semestinya. Para religius pun menggunakan sarana komunikasi untuk berkomunikasi dengan sesama rekan sepanggilan baik dalam negeri maupun ke negara-negara lain. Begitu juga saya menggunakan email untuk berkomunikasi dengan para suster yang di Belanda meski pengoperasiannya meminta bantuan suster yang lebih muda. Alat komunikasi ini dapat menggagalkan panggilan bagi religius apabila digunakan untuk menjalin komunikasi yang tidak sehat.”

2. Trend kebudayaan sekarang menurut responden dikatakan:”Terjadi

pembauran budaya antar suku dan bangsa sehingga saling mengenal, memahami dan memperkaya satu dengan yang lainnya. Namun trend budaya sekarang ini cenderung kebarat-baratan yang mengarah kepada kebebasan berekspresi, misalnya tarian erotik, model pakaian yang ketat dan transparan, serta bebas dalam mengungkapkan pendapat. Kebudayaan barat juga memiliki nilai-nilai yang baik namun pada umumnya orang cenderung memilih yang menyenangkan atau mengikuti yang sedang pop.”

3. Trend psikologi sekarang menurut responden dikatakan:”Menggunakan

berbagai pendekatan ilmu, seperti ilmu budaya dan kecerdasan intelektual. Pada umumnya orang mengikuti perkembangan tersebut sehingga berpengaruh pada cara berpikir. Para orang tua yang mampu dalam hal keuangan mengkursuskan anak-anaknya untuk mengembangkan bakatnya. Pada masa sekarang ini telah banyak lembaga, baik dalam negeri maupun luar negeri yang bersedia memberikan bantuan dana untuk mengembangkan bakat dan kemampuan, misalnya stasiun TV Korea yang membantu anak-anak muda mengembagkan talentanya, juga sumbangan dari negara lain untuk membantu meningkatkan studi yang lebih tinggi baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.”

4. Trend pendidikan sekarang menurut responden disebutkan dengan

bangga:”Menggunakan bahasa asing dalam proses pembelajaran dan pengembangan bakat serta minat peserta didik dengan menyelenggarakan berbagai olimpiade baik di dalam negeri maupun ke luar negeri sehingga terjadi pertukaran peserta didik. Selain itu, ditunjang oleh alat-alat teknologi canggih, seperti komputer dan internet yang menjadi sarana dalam mencari berbagai sumber pembelajaran yang dapat diakses oleh peserta didik. Dengan demikian tugas pendidik sekarang ini semakin ringan karena model pembelajaran yang diterapkan adalah siswa aktif dalam mencari informasi dan pengetahuan, salah satunya melalui internet. Pengembangan karakter peserta didik juga dikembangkan bukan lagi dengan pelajaran budi pekerti melainkan dengan pendidikan agama agar peserta didik memiliki perilaku yang baik dan bermoral, dengan harapan peserta didik tidak berjiwa anarkis. Pendidikan anti


(3)

korupsi menjadi salah satu mata pelajaran agar generasi mendatang memiliki perilaku yang bertanggungjawab sehingga bangsa ini tidak semakin terpuruk.”

5. Trend kepemimpinan sekarang menurut responden dikatakan:”Kepemimpinan

dalam pemerintahan sekarang ini dengan memberikan harapan-harapan melalui janji-janji dalam kampanye demi memperoleh kursi jabatan tanpa membekali diri menjadi seorang pemimpin yang memiliki jiwa pelayan melainkan untuk mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri. Sedangkan kepemimpinan Kristiani adalah kepemimpinan model Yesus yang melayani. Kepemimpinan sekarang ini pada umumnya memberikan rasa nyaman bagi para karyawan, memperhatikan kesejahteraan jasmani maupun rohani serta meningkatkan pendidikan karyawan dengan studi ke jenjang yang lebih tinggi demi mendukung keberhasilan karya.”

6. Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri yang telah dilakukan oleh Kongregasi SFS menurut responden disebutkan sebagai berikut:”……… a. Mendatangkan tenaga ahli untuk menggali nilai-nilai spiritualitas pendiri

Kongregasi.

b. Mendalami spiritualitas pendiri dalam rekoleksi dan retret.

c. Mengadakan perubahan-perubahan konstitusi, tapi saya lupa tahun-tahunnya……….

d. Perubahan-perubahan cara hidup lahiriah dari berpakaian lengkap dan tertutup pada masa pra konsili menjadi lebih sederhana.

e. Kebijakan-kebijakan yang semakin manusiawi dan mengembangkan nilai-nilai persaudaraan secara terbuka setelah Konsili Vatikan II, misalnya ada uang untuk orang tua pada waktu cuti ke keluarga dan boleh mengunjungi saudara-saudara yang lain.

f. Rekomendasi kapitel yang perlu dipahami dan diwujudkan dalam hidup sehari-hari, baik secara pribadi maupun bersama bagi seluruh anggota Kongregasi sebagai upaya menyikapi situasi zaman yang terus berubah. g. Mengalirkan spiritualitas pendiri kepada rekan kerja di unit-unit karya

dengan cara memberikan teladan, latihan-latihan rohani seperti rekoleksi dan retret.

h. Mempertahankan spiritualitas pendiri dalam melayani orang kecil dengan membuka karya pelayanan di desa-desa dan di kota-kota kecil.

i. Terus-menerus menanamkan nilai-nilai spiritualitas pendiri dalam setiap jenjang pembinaan kepada seluruh anggota.

j. Menempatkan suster yang telah lanjut usia di setiap komunitas sebagai kesempatan mewujudkan spiritualitas cinta kasih yang melayani.”

Hasil dari upaya kontekstualisasi tersebut menurut responden disebutkan:”………..

a. Semakin konkret dalam mewujudkan nilai-nilai spiritualitas pendiri dan mewujudkan motto Kongregasi:“Menjadi tempat pengungsian bagi sesama yang berkesusahan” dalam situasi zaman sekarang ini, antara lain: para suster dapat berbuat sosial kepada sesama yang perlu dibantu karena diberi kepercayaan dalam menggunakan uang yang dikelola secara pribadi, menampung yang hamil di luar nikah, memberi kebijakan tenggang waktu dan keringanan kepada para pasien yang kurang mampu.


(4)

b. Adanya peningkatan pendidikan setiap anggota sesuai dengan kemampuan untuk memenuhi tuntutan aturan pemerintah.

c. Mampu menyesuaikan perkembangan zaman dalam penggunaan alat-alat teknologi.

d. Membangun jejaring kerjasama secara terbuka dengan Kongregasi-kongregasi yang lain.

Menyetujui, 16 Agustus 2012


(5)

1. Trend komunikasi sekarang menurut responden dikatakan:”Menggunakan alat-alat komunikasi yang canggih seperti HP dan lain-lainya yang dapat menunjang tugas pelayanan semakin lancar. Yang saya lihat, di sisi lain membuat orang cenderung sibuk dengan alat komunikasi tersebut dan penggunaannya seringkali untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang berada di tempat jauh sedangkan komunikasi dengan orang-orang di sekitarnya terabaikan sehingga komunikasi timbal-balik yang mendalam semakin berkurang.”

2. Trend kebudayaan sekarang menurut responden disebutkan:”Terjadi

pembauran aneka budaya dari berbagai daerah sehingga saling memperkaya. Trend budaya sekarang ini antara lain konsumtif, ikut model pakaian yang sedang nge-trend, budaya instan mau cari cepatnya termasuk dalam hal pola makan yang cenderung memilih makanan siap saji, misalnya mie instan, kentuky fried chiken, dan lain sebagainya.”

3. Trend psikologi sekarang menurut responden dikatakan:”Sudah berkembang

dengan menerapkan pendekatan berbagai bidang ilmu dan lebih mengembangkan kemampuan intelektual sehingga bagi yang mempunyai uang berusaha meningkatkan pendidikan yang lebih tinggi untuk mencapai kompetensi yang maksimal.”

4. Trend pendidikan sekarang menurut responden dikatakan:”Sudah sangat

berkembang yang ditandai dengan peningkatan pendidikan tenaga pendidik, menggunakan peralatan teknologi, alat laborat, komputer, dan lain-lain yang lebih lengkap terutama bagi penyelenggara pendidikan yang memiliki dana pengembangan. Di sekolah sini yang saya lihat menanamkan nilai-nilai keutamaan antara lain: kedisiplinan, nilai-nilai moral dan kemanusiaan, serta peduli lingkungan dengan membuat sampah organik, menjaga dan memelihara kebersihan lingkungan dan membuat penghijauan lingkungan meskipun belum semua sekolah melakukan hal yang sama.”

5. Trend kepemimpinan sekarang menurut responden dikatakan:”Di Indonesia

sekarang ini sedang krisis kepemimpinan terbukti terjadi korupsi. Namun kepemimpinan secara umum sekarang ini memberikan kepercayaan kepada stafnya, mengembangkan mutu SDM dengan meningkatkan pendidikan yang sesuai kompetensinya demi menunjang kemajuan karya, membangun kerukunan, serta memperhatikan kesejahteraan karyawan.”

6. Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri yang telah dilakukan oleh Kongregasi SFS menurut responden disebutkan sebagai berikut:”………. a. Peningkatan pendidikan SDM sesuai dengan tuntutan zaman.

b. Mendalami spiritualitas pendiri dalam rekoleksi dan retret dengan memberdayakan anggota Kongregasi yang kompeten.

c. Adanya rekomendasi kapitel yang perlu dipahami dan diwujudkan oleh seluruh anggota.

d. Perubahan-perubahan aturan hidup atau Konstitusi untuk disempurnakan sesuai dengan kebutuhan karena tuntutan situasi zaman.

e. Pengembangan karya sesuai dengan kebutuhan situasi zaman dengan adanya pemisahan yayasan, misalnya antara pendidikan dan kesehatan.


(6)

f. Mewujudkan spiritualitas peniten rekolek dengan saudara serumpun dalam karya bersama.

g. Terbuka dalam belajar dan menjalin kerjasama dengan Kongregasi-kongregasi lain untuk meningkatkan mutu hidup rohani dan karya pelayanan.

h. Membentuk tim kerja-tim kerja dalam Kongregasi.”

Hasil dari upaya kontekstualisasi tersebut menurut responden disebutkan sebagai berikut:”……….

a. Semakin memantapkan hidup rohani dan penghayatan spiritualitas anggota Kongregasi.

b. Peningkatan pendidikan SDM anggota Kongregasi yang mendukung pengembangan karya.”

Menyetujui, 19 Agustus 2012


Dokumen yang terkait

Peranan hidup doa dalam meningkatkan kecerdasan spiritual para suster yunior Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 1 189

Hubungan timbal balik antara doa dan semangat peniten rekolek menurut spiritualitas Suster Fransiskan Sukabumi.

0 6 141

Penataan Sistem Informasi Akuntansi dan Tata Kelola Lembaga Nirlaba di Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi. - Unika Repository

0 0 66

DESKRIPSI TINGKAT KEBERMAKNAAN HIDUP SUSTER-SUSTER YUNIOR KONGREGASI FRANSISKANES SANTA ELISABETH (FSE) TAHUN 2004 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK

0 0 86

Makna spiritualitas cinta kasih bagi para suster yunior Kongregasi Suster Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef Provinsi Indonesia tahun 2011 - USD Repository

0 0 179

Pembinaan hidup religius para suster yunior kongregasi suster-suster Fransiskanes Sibolga dalam proses pematangan pribadi berdasarkan nilai-nilai spiritualitas Santo Fransiskus Asisi - USD Repository

0 5 142

Penghayatan spiritualitas pelayanan Santo Fransiskus Assisi untuk kesaksian hidup injili masa sekarang, para suster Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia (KSFL) Pematangsiantar - USD Repository

0 1 140

Pengaruh bimbingan rohani terhadap kemampuan komunikasi antarpribadi para suster yunior dan yang berkaul kekal lima tahun ke bawah Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia Pematangsiantar - USD Repository

0 0 137

Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri implikasinya bagi pembinaan suster-suster yunior Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi - USD Repository

0 0 222

HUBUNGAN TIMBAL BALIK ANTARA DOA DAN SEMANGAT PENITEN REKOLEK MENURUT SPIRITUALITAS SUSTER FRANSISKAN SUKABUMI

0 0 139