B. Kedigdayaan Industri Kretek
Kretek adalah buah kreativitas anak bangsa yang berkembang dengan industri digdaya. Diera awal industri kretek harus berhadapan
dengan peraturan perpajakan pemerintah colonial yang tinggi, rumit, dan diskriminatif. Keadaan ini menumbuhkan pemikiran nasionalisme
ekonomi para pelaku usaha kretek, sebuah upaya untuk mendorong terciptanya kemandirian dan demokrasi ekonomi yang memperjuangkan
kesamaan perlakuan dalam usaha. Nasionalisme ekonomi dengan nasionalisme politik bertujuan mewujudkan kemerdakaan bangsa
Indonesia. Dari masa ke masa industri kretek tidak luput dari hadapan krisis ekonomi yang memporak-porandakan perekonomian nasional
namun ketangguhan industri kretek selalu diuji. Inilah warisan sejarah dan budaya yang bukan hanya berharga, tetapi juga menjaga martabat kita
sebagai bangsa. Seperempat abad sejak penemuan kretek oleh Haji Djamhari kretek
akhirnya menjelma industri besar yang dirintis Nitisemito di Kudus pada awal 1900-an. Dia sempat berganti-ganti merek untuk produk kreteknya,
dari Kodok Mangan Ulo, Soempil, Djeroek hingga selanjutnya mantap menggunakan Tjap Bal Tiga pada 1916. Pada pertengahan 1950-an, ketika
produksi kretek mulai berkembang pesat menjadi industri raksasa modern dengan munculnya beberapa pabrik baru antara lain, oleh Oei Wie Gwan
mendirikan pabrik Djarum di Kudus dan Tjoa Ing Hwie mendirikan pabrik
Gudang Garam di Kediri. Di samping itu terdapat pabrik rokok yang berskala industri rumah tangga yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.
Industri kretek merupakan salah satu industri yang pertama kali lahir di Indonesia. Dan selama lebih dari satu abad lamanya, industri
kretek ini tetap bertahan melewati berbagai gejolak krisis perekonomian dunia. Secara teoritik, industri dengan muatan impor yang tinggi akan
mudah goyah saat terjadi krisis ekonomi. Ini terbukti ketika krisis ekonomi kawasan Asia Timur dan Tenggara pada paruh kedua 1990-an,
mengakibatkan kemerosotan nilai tukar rupiah yang anjlok sampai 800 persen. Sehingga banyak industri besar yang bermuatan impor tinggi
benar-benar goyah, bahkan sebagian ambruk. Hal sebaliknya terjadi pada industri kretek yang memang bermuatan impor sangat rendah yaitu hanya
sekitar 4 persen. Karakter industri kretek kebal terhadap gejolak pasar internasional menjadikannya lebih mampu meredam guncangan pada
keseluruhan mata rantai produksi dan pemasarannya, termasuk berbagai industri yang terkait mulai dari hilir sampai ke hulu.
Permintaan pabrik-pabrik rokok terhadap bahan baku tembakau dan cengkeh tidak semata ditentukan oleh volume semata tetapi juga oleh
jenis rokok yang diproduksi. Dalam produksi rokok kretek baik tangan maupun mesin, memanfaatkan bahan baku yang sebagian besar dari hasil
kerja rakyat Indonesia. Sigaret kretek tangan SKT diolah dengan keterampilan tangan para pengrajin kretek. Pengolahan dengan mekanisme
tradisional ini menempatkan industri kretek sebagai industri padat karya
yang menyerap banyak tenaga kerja di sekitar lokasi pabrik. Sebagian besar tenaga pengrajin kretek tangan merupakan perempuan.
Sigaret kretek mesin SKM dibuat dengan menggunakan mesin modern. Pertama kali digunakan di Indonesia pada tahun 1974 yang
membuat kretek mampu bersaing dengan perusahaan rokok multinasional asing dari segi kualitas. Sigaret putih mesin SPM merupakan produksi
pabrikan asing. Bahan bakunya hanya terkandung tembakau tanpa adanya cengkeh.
Kebutuhan Cengkeh per Batang Rokok Sigaret Kretek Tangan
0.70 gram cengkeh Sigaret Kretek Mesin
0.40 gram cengkeh Sigaret Kretek Mild
0.25 gram cengkeh Sigaret Putih
0.00 gram cengkeh
C. Industri Rokok di Zaman Kemerdekaan