C. Industri Rokok di Zaman Kemerdekaan
Republik ini lahir dalam situasi perekonomian yang morat-marit setelah perang. Industri rokok, khususnya, mengalami hantaman besar
pada periode pendudukan Jepang. Jepang membatasi penanaman tembakau dan menggantikannya dengan jarak yang dapat diolah menjadi
bahan baku minyak pelumas mesin. Cengkeh pun sulit didapatkan karena impor dari Zanzibar dihentikan. Maka, banyak perusahaan rokok yang
jatuh bangkrut pada periode ini karena kekurangan bahan baku. Bagaimanapun, kesulitan di atas tidak berlangsung lama. Pada
awal masa lahirnya republik ini, di wilayah-wilayah yang diduduki Belanda, pengusaha rokok diperbolehkan mengimpor cengkeh. Semarang,
Malang, dan Surabaya, misalnya, sejak 1947 dapat kembali menghasilkan kretek berkualitas bagus. Penanaman tembakau pun kembali marak. Sejak
itu, terlepas dari inflasi, industri rokok terus tumbuh hingga seperti sekarang ini. Sepanjang perjalanannya pada era kemerdekaan, banyak
perusahaan rokok tumbang silih berganti. Banyak rokok yang dulu populer, seperti Bal Tiga atau Djambu Bol, hilang dan tak terdengar lagi
namanya. Namun, sebagai industri, rokok terus melaju. Perlahan tapi pasti, industri rokok menjadi salah satu penggerak
perokonomian nasional. Kelengkapan bahan baku yang dimiliki Indonesia menyebabkan industri ini relatif tahan terhadap berbagai krisis ekonomi.
Apalagi sejak rokok kretek menjadi primadona nasional pada dasarwarsa
1970. Popularitas rokok putih impor tergeser oleh cita rasa kretek nasional yang dalam pembuatannya mengandalkan aroma wangi cengkeh.
Besarnya peran industri rokok dapat dilihat dari pendapatan negara yang diperoleh dari cukai rokok. Dimulai dari dasawarsa 1950, jumlahnya
rata-rata terus meningkat, dari Rp46 juta pada 1951 hingga Rp56 triliun pada 2009. Jumlah produksi total berkisar dari 20 miliar batang rokok
pada dasawarsa 1950, hingga 245 miliar batang pada tahun 2009. Belum lagi dari tenaga kerja yang diserap. Rantai produksi rokok, dari sector
perkebunan, produksi, distribusi, hingga penunjang-penunjang seperti industri iklan, kertas, dan sebagainya, menjadi sumber nafkah bagi
puluhan juta jiwa. Pada perkembangannya beberapa pabrik rokok semakin menguasai
pasar, sehingga banyak pabrik kecil atau menengah yang harus tutup usaha. Selama periode separuh abad, perusahaan seperti Djarum, Gudang
Garam, dan Sampoerna, dan memantapkan posisi mereka sebagai produsen terdepan, terutama sejak 20 tahun terakhir. Djarum mempelopori
pengiriman ekspor hasil produksinya ke Amerika Serikat, Belanda, Arab Saudi, Thailand, Singapura, dan lain-lain. Modernisasi dalam industri
rokok dipelopori oleh Bantoel, yang pada dasawarsa 1970 memulai produksi SKM Sigaret Kretek Mesin dalam skala besar. Langkah
Bantoel dengan cepat diikuti oleh produsen besar lain. Hal ini antara lain tampaknya juga oleh pergeseran selera penikmat rokok, yang menganggap
SKM lebih bersih daripada SKT Sigaret Kretek Tangan.
Di balik keberhasilan industri rokok dalam menggenjot perekonomian, muncul tantangan besar yang datang dari kelompok-
kelompok masyarakat antirokok. Kampanye antirokok internasional dipimpin oleh WHO, yang menetapkan Kerangka Konvensi Pengendalian
Tembakau pada tahun 2003. Pemerintah Indonesia, meski belum meratifikasi perjanjian tersebut, telah memiliki seperangkat peraturan
untuk mengendalikan industri rokok, yaitu Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2003. Bahkan kini, sebuah RPP tengah dipersiapkan oleh
Departemen Kesehatan untuk melarang iklan dan promosi rokok secara total.
Menghadapi tantangan demikian, masa depan industri rokok tampaknya tidak akan mudah. Terlepas dari dua faktor, ekonomi dan
kesehatan, yang menjadi dua penggerak dalam persengketan tentang rokok, tembakau adalah bagian dari kebudayaan Jawa sejak jaman dulu.
Mengkonsumsi tembakau dalam berbagai bentuknya tidak sekedar kenikmatan, seperti rakyat di lereng Gunung Sumbing, tembakau bahkan
merupakan kehidupan itu sendiri. Tanah tempat mereka lahir tak dapat ditanami tanaman apapun selain tembakau ; hanya tembakau gantungan
mata pencahariannya. Jika memang industri rokok harus dibatasi, kehidupan masyarakat seperti di lereng gunung itu menjadi taruhannya.
D. Industri Rokok Indonesia