Gerakan Petani di Indonesia

20 yang sudah dikuasai turun temurun masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta, mengganti dengan pohon ekaliptus, dsb.

2.3. Gerakan Petani di Indonesia

Pada pertengahan abad ke- 19, kita dapat melihat banyak bermunculan gerakan perlawanan petani di berbagai tempat. Seperti gerakan Haji Rifangi di Pekalongan 1860, gerakan angkuwijoyo di Desa Merbung, Klaten 1886, Gerakan Tirtowiat alias Raden Joko di Desa Bangkalan, Kartosuro 1886, pemberontakan petani Banten 1888, pemberontakan petani candi udik 1892, dan peristiwa Gedangan 1904. Kesemua gerakan yang terjadi pada kurun waktutersebut memiliki beberapa kesamaan, baik itu penyebab terjadinya gerakan ataupun dalam struktur dan pola gerakan. Gerakan yang ada bersifat sangat lokal, sporadis, dan tidak memiliki hubungan antara gerakan yang satu dengan yang lain. Perlawanan banyak dipimpin oleh tokoh – tokoh lokal, baik ulama ataupun bangsawan lokal. Bahri 1999 berpendapat bahwa, gerakan petani yang ada abad ke-19 belum menunjukan ciri – ciri modern, dalam artian adanya organisasi dalam lingkup yang luas yang menyatukan gerakan, pandangan dan sikap politik atas struktur kekuasaan, dan instrumen gerakan yang tertata rapih sehingga dapat memberikan seruan keseluruh negeri. Hal ini begitu berbeda dengan gerakan yang lahir pada awal abad ke – 20.Pada tahun 1912, terjadi pengorganisiran petani secara masif di wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Sumatera.Sebagai contoh Serikat Islam SI, salah satu organisasi yang sangat berpengaruh pada waktu itu, berhasil Universitas sumatera utara 21 mempertemukan gerakan petani di pedesaan dengan gagasan revolusioner kemerdekaan, seperti pembentukan tatanan masyarakat baru pengganti tatanan masyarakat kolonial.Tujuan dari gerakan pun tidak lagi hanya terbatas pada penuntasan masalah di tingkatan lokal, tetapi perubahan system politik, yaitu gugatan dan penggantian sistem pemerintah kolonial. Organisasi – organisasi modern yang lahir pada awal abad ke – 20 berhasil memperkenalkan pola perlawanan yang sama sekali berbeda dengan pola perlawanan petani yang ada sebelumnya, seperti boikot dan pemogokan. Struktur dan pola gerakan yang ada, terasa lebih tertata dengan adanya pembakuan struktur organisasi, sistem keanggotaan, dan diterapkannya metode pengorganisiran masyarakat.Boikot dan pemogokan merupakan bentuk perlawanan yang diadopsi dari gerakan buruh dan kelas menengah perkotaan untuk menentang kekuasaan pemilik modal dan pemerintah yang saat itu sedang marak terjadi di daratan Eropa. Hal ini pada dasarnya dapat dilihat sebagai suatu hal yang wajar, karena para motor penggerak organisasi semacam Serikat Islam SI, Indische Partij IP, dan Indische Social – Democratische Partij ISDP merupakan anak para bangsawan yang mendapatkan keistimewaan untuk dapat bersekolah hingga kejenjang universitas, bahkan banyak diantara mereka yang merupakan lulusan perguruan tinggi Eropa. Soe Hok Gie 1964 dalam Skripsinya yang berjudul Dibawah Lentera Merah menyatakan bahwa, kehadiran organisasi semacam Sarekat Islam telah merubah kondisi sosial-politik yang ada dimasa kolonial.Petani yang semula hanya paham prihal cangkul dan persoalan desa, bermetamorfasa menjadi pejuang-pejuang kemerdekaan yang gigih.Orang-orang seperti Tirtoadisuryo, Universitas sumatera utara 22 Samanhudi, dan Tjokroaminoto, merupakan anak para bangsawan yang telah mengenyam pendidikan kolonial tetapi tidak pernah melupakan akar budaya bangsanya. Pasca kemerdekaan, khususnya pada periode waktu 1950 – 1965, hamper seluruh organisasi petani yang ada merupakan perpanjangan tangan dari berbagai partai politik ditingkat nasional. Kehadiran organisasi tani seperti Serikat Tani Islam Indonesia STII yang bernaung di bawah Masyumi, Persatuan Tani Nahdatul Ulama PETANU yang bernaung di bawah NU, Persatuan Tani Indonesia PETANI yang bernaung di bawah PNI, serta Barisan Tani Indonesia BTI yang memiliki hubungan yang erat dengan PKI, menjadi peta gerakan petani pasca kemerdekaan hingga tahun 1965. Perdebatan politis yang sangat tajam terlihat ketika penyusunan Undang – Undang Pokok Agraria UUPA, di Departemen Agraria dan Dewan Pertimbangan Agung. PNI dan partai – partai islam berkepentingan untuk membela para pendukungnya, yang mayoritas pemilik tanah – tanah luas dan pangreh praja di pedesaan. Dilain pihak, PKI mengklaim dirinya sebagai perwakilan dari para petani tak bertanah. Akan tetapi, hal ini justru mentah dengan sendirinya, karena pada beberapa kasus BTI justru melindungi tuan tanah yang menjadi simpatisan dari PKI. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah melarang seluruh organisasi petani yang ada di masa pemerintahan Presiden Soekarno.Petani – petani mulai kehilangan patron politik karena banyak dari para pemimpin gerakan dari kelas menengah perkotaan sudah dibunuh dan yang hidup mendapatkan tekanan yang luar biasa dari Rezim Orde Baru.Pada posisi ini petani kembali pada Universitas sumatera utara 23 tradisi penyesuian diri dan mencari jalan masing – masing untuk mempertahankan hidup.Gerakan petani mulai aktif pada pertengahan tahun 1980-an, sebagai akibat dari intervensi modal yang sangat intensif di wilayah pedesaan. Bersamaan dengan itu, di wilayah perkotaan juga tumbuh gerakan mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM yang masuk kepedesaan dengan berbagai kegiatan baik itu dalam hal sosial politik, pendidikan, dan advokasi. Pada massa itu mahasiswa yang sebelumnya dibungkam oleh Pemerintahan Soeharto mulai turun ke jalan. LSM yang sudah lebih berpengalaman dalam menangani permasalahan petani lebih banyak mengambil jalan pembelaan litigasi diperadilan atau mengirim surat protes kepemerintah. Petani mulai berkenalan dengan aksi massa dan demontrasi setelah menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok gerakan di perkotaankhususnya mahasiswa. Di dalam tubuh gerakan mahasiswa sendiri sudah terjadi pergeseran orientasi, kritik gerakan mahasiswa pada tahun 1980-an kepada gerakan sebelumnya adalah tidak adanya penyambung antara gerakan mahasiswa dengan gerakan rakyat. Maka pada akhir 80-an dan awal 90-an terjadi aliansi gerakan petani dengan mahasiswa dalam bentuk demonstrasi ke DPRD dan kantor – kantor Gubernur. Dilihat dari sisi yang lain, amat jelas terlihat bahwa petani tidak memiliki kemampuan untuk dapat mengorganisir diri mereka sendiri. Petani masih amat bergantung pada kelompok- kelompok gerakan diperkotaan. Apabila pada awal abad ke -19 mereka bersandar pada para bangsawan dan tokoh lokal, pada pertengahan abad ke – 19 mereka bersandar pada organisasi kepartaian seperti SI, IP, dan ISDP, sedang pada awal kemerdekaan hingga 1965 mereka bergantung Universitas sumatera utara 24 pada partai politik, dan pada massa orde baru mereka bergantung pada gerakan mahasiswa dan LSM. Adapun yang terjadi pada saat ini dipandang tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada massa sebelumnya. Pasca jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998, begitu banyak terjadi gerakan perlawanan petani diberbagai daerah.Tetapi apabila dilihat secara lebih mendalam, belum terlihat adanya petani yang dapat mengorganisisr diri mereka sendiri hingga menjadi sebuah gerakan petani.

2.4 Perlawanan Kaum Petani