Perlawanan Kaum Petani Gerakan Petani Melawan PTPN II dalam Memperjuangkan Kepemilikan Tanah Desa Sei Litur Tasik Kecamatan Sawit Seberang Kabupaten Langkat

24 pada partai politik, dan pada massa orde baru mereka bergantung pada gerakan mahasiswa dan LSM. Adapun yang terjadi pada saat ini dipandang tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada massa sebelumnya. Pasca jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998, begitu banyak terjadi gerakan perlawanan petani diberbagai daerah.Tetapi apabila dilihat secara lebih mendalam, belum terlihat adanya petani yang dapat mengorganisisr diri mereka sendiri hingga menjadi sebuah gerakan petani.

2.4 Perlawanan Kaum Petani

Abad ke-18 hingga abad ke-19, pemberontakan petani terbukti menjadi faktor yang sangat penting dalam semua revolusi sosial yang pernah terjadi di Perancis, Rusia, dan China. Tanpa adanya pemberontakan petani, radikalisme perkotaan di negara – negara agraris dan semi agraris tidak akan mampu menuntaskan sebuah transformasi sosial. Revolusi yang terjadi di Inggris dan Jerman pada tahun 1848 pada umumnya dipimpin gerakanrevolusioner perkotaan mengalami kegagalan karena tidak terjadinya pemberontakan pertani terhadap para tuan tanah di pedesaan. Kekhususan kultural yang dimiliki oleh petani baik itu pada perkembangan nilai – nilai, persepsi, dan kebudayaan petani tidak serta merta membuat para ahli dapat mendefnisikan petani secara mudah. Moore 1966, menyatakan bahwa tidak mungkin mendefinisikan petani dengan ketepatan yang mutlak karena batasannya kabur pada ujung kenyataan sosial itu sendiri. Hanya saja adanya bukti penguasaan tanah secara de facto dan Universitas sumatera utara 25 cara hidup yang khas dengan mengelola tanah, dapat dijadikan salah satu ciri yang membedakan petani dengan yang lain. Persoalan tidak berhenti pada apa dan bagaimana mendefinisikan petani, tetapi juga semakin berkembang ketika menganalisa lapisan petani mana yang terlibat aktif dalam pemberontakan. Petani pada dasarnya tidak mempunyai keinginan untuk melakukan perlawanan kecuali ada tekanan atau krisis yang sangat menekan mereka dan adanya pihak luar yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut Wolf, 1969. Pandangan perihal ketidakmampuan petani dalam mengoraganisir diri sendiri diperkuat oleh Marx 1850 dalam Peasantry as a Class, bahwa petani tidak dapat memperjuangkan kepentingan kelas mereka atas nama mereka sendiri.Mereka tidak mampu merepresentasikan diri mereka kedalam sebuah kelas, mereka harus diwakilkan. Perwakilan tersebut, pada saat yang bersamaan haruslah bertindak sebagai pemimpin, pembuat peraturan, dan kekuatan institusional yang dapat melindungi mereka dari tekanan kelas lain. Scott 1976 mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam melihat keberhasilan dan kegagalan dalam sebuah gerakan atau mobilisasi petani. Pertama, kondisi – kondisi yang mendorong timbulnya pergerakan, kedua, faktor kepemimpinan, dan ketiga, startegi yang digunakan. Tekanan struktural, kultural, hingga kondisi subsistensi petani yang sudah melampaui batas toleransi, menurut Scott 1976, hal ini sudah cukup untuk menjadi pemicu bagi petani untuk melampiaskan kemarahannya terhadap tatanansosial yang ada. Petani dianggap selalu bertindak atas nama kelompok, baik dalam berproduksi, berpolitik, maupun melakukan perlawanan. Petani Universitas sumatera utara 26 cenderung memandang bahwa, petani miskin tidak bisa keluar dari strukturnya atau petani tidak memilliki taktik dalam melakukan perlawanan. Gerakan-gerakan perlawanan petani, pada bentuk sederhana seringkali berpusat pada mitos tentang suatu tatanan sosial yang lebih adil dan merata ketimbang dengan tatanan sosial yang sekarang bersifat hirarkis. Lahirnya suatu mitos bersama tentang keadilan yang transedental sering dapat menggerakan kaum tani untuk melakukan gerakan sosial. Mitos-mitos seperti ini mempersatuakan kaum tani hingga mampu membentuk koalisi-koalisi petani,meskipun tidak stabil, sangat rentan, dan hanya dipersatukan untuk sementara waktu oleh suatu impian milenial Wolf, 1966. Wolf 1969 juga menyatakan bahwa petani kelas menengahlah yang menempati posisi penting dalam mendukung gerakan revolusi petani. Petani kelas menengah paling mudah terkena dampak penyitaan tanah, fluktuasi pasar, tingginya tingkat bunga, dan perubahan-perubahan lain yang diakibatkan pasar dunia. Akibatnya, petani kelas menengah selain lebih mudah menerima gerakan revolusioner yang menjanjikan restorasi politik dan stabilitas ekonomi, juga mempunyai basis ekonomi yang independen dan sumberdaya politik taktis yang tidak dimiliki oleh petani miskin dan buruh tani untuk mendukung suatu gerakan revolusioner. Scott 1981, berpendapat bahwa kehidupan petani ditandai oleh hubungan moral sehingga malahirkan moral ekonomi yang lebih mengutamakan “keselamatan” dan menjauhkan iri dari bahaya. Moralitas mendahulukan keselamatan inilah yang kemudian menjadi faktor kunci pendekatan moral ekonomi petani dalam menjelaskan pengorganisiran petani. Universitas sumatera utara 27 Konsep lain yang dipergunakan Scott 1976 dalam menjelaskan pengorganisiran petani adalah struktur sosial yang terdapat pada masyarakat prakapitalis. Struktur sosial yang terdapat pada masyarakat ini secara horizontal ditandai oleh homogenitas yang tinggi dan secara vertical ditandai oleh struktur yang berbentuk krucut. Pada struktur sosial yang berbentuk kerucut, posisi puncak strata sosial diduduki kaum elite yang berjumlah sedikit, struktur bawah diduduki para petani penggarap dan buruh tani dengan jumlah yang banyak. Dalam struktur masyarakat seperti ini faktor kepemimpinan memegang peran penting dalam pengorganisiran petani. Pendekatan moral petani, pada dasarnya berasumsi bahwa gerakan perlawanan petani semata – mata didasari oleh moralitas tradisional yang berorientasi ke masa lalu dan masa kini saja, sehingga ketika terjadi perubahan yang tidak sesuai atau dirasakan akan mengancam kelangsungan kehidupan yang telah mereka miliki, para petani kemudian mengandalkan perlawanan terbuka. Pendekatan moral ini mendapatkan kritikan oleh Popkin 1979 yang mengatakan bahwa petani sesungguhnya tidak terlalu mementingkan kelompok dan mampu melakukan perlawanan atas dasar kepentingan pribadi di atas kepentingan umum. Pengorganisiran atau mobilisasi petani memerlukan lebih dari sekedar konsensus atau intensitas kebutuhan, dan harus ada kepentingan pribadi, sehingga sebuah perjuangan tidak ditunggangi oleh free rider pemboncengan. Petani dipandang sebagai manusia-manusia rasional, kreatif dan juga ingin menjadi kaya. Namun pada kenyataannya, petani tidak mempunyai kesempatan sehingga tidak dapat menjual hasil pertaniannya sendiri ke pasar. Universitas sumatera utara 28 Dalam kasus petani di Vietnam, keberhasilan pengorganisiran petani ditingkat desa, menitikberatkan pada keberhasilan penyelesaian atas masalah – masalah lokal. Pertama – tama mereka memberikan bantuan bagi proyek – proyek atau aktivitas yang beresiko dan berskala kecil, dimana keuntungan datang dengan cepat dan bersifat kongkrit. Kemudian mereka mengembangkan diri dengan mengorganisir petani pada proyek – proyek yang lebih menantang spekulatif dan berskala lebih besar yang dapat memberikan keuntungan abstrak jangka panjang Popkin, 1979. Popkin 1986 menyatakan bahwa, semua perlawanan petani tidaklah dimaksudkan untuk menentang program negara Kasus Revolusi Hijau, tetapi lebih dimaksudkan untuk menentang kekuasaan para elite desa Petani Kaya, yang selama ini mengklaim mewakili komunitas tradisional, padahal lebih bertujuan untuk mempertahankan tatanan yang lebih menguntungkan mereka. Terdapat tiga hal penting yang dapat kita garis bawahi pada penelitian yang dilakukan oleh Popkin 1986, antara lain : i Gerakan yang dilakukan para petani adalah gerakan anti-feodal, bukan gerakan untuk mengembalikan tradisi lama restorasi, tetapi untuk membangun tradisi baru; bukan untuk menghancurkan ekonomi pasar tetapi untuk mengontrol kapitalisme. ii Tidak ada kaitan yang signifikan antara ancaman terhadap subsitensi dan tindakan kolektif. iii Kalkulasi keterlibatan dalam gerakan lebih penting daripada isu ancaman kelas. Dengan kata lain, adanya perbedaan yang jelas Universitas sumatera utara 29 antara rasionalitas individu dengan resionalitas kelompok. Kapitalisme dan imperialisme komersialisasi pertanian, eksploitasi, ekonomi pasar, ekonomi uang, strata sosial baru di desa akan menganggu subsistensi dan tatanan sosial–ekonomi petani sehingga membuat petani bersifat reaktif. Para petani dalam melakukan gerakan biasanya tidak terlalu meperdulikan tujuan-tujuan umum, ideologi, sistem filosofi, teori-teori politik, dan organisasi- organisasi yang revolusioner. Ketidakpuasan petani bersifat jelas, terbatas, lokal, dan cenderung pragmatis. Aksi-aksi perlawanan petani biasanya untuk memenuhi kepentingan materil. Suatu kelompok akan berpartisipasi dalam suatu gerakan yang bersifat kolektif karena ingin mendapatkan keuntungan tertentu atau mendapat insentif. Hal ini memperlihatkan bahwa keikutsertaan petani dalam gerakan banyak dipengaruhi oleh jenis, bentuk dan isi harapan – harapan yang menurutnya bakal menguntungkan Mustain, 2007. Olson 1971 dalam buku yang berjudul The Logic of Collective Action mengkritik argument tersebut dengan menyatakan bahwa pergolakan petani dalam menetang kekuatan pasar tidaklah selalu mendorong terjadinya gerakan petani. Mereka melakukan pemberontakan atas dasar hitungan untung rugi yang ditanggung dari ketidakpuasan atas keadaan status quo. Dari asumsi tersebut, sangat mungkin dikembangakan sifat dan peran psikologis dalam menjelaskan partisipasi petani dalam gerakan petani. Marx 1895 menyatakan bahwa lapisan buruh tani atau proletariat pedesaan merupakan lapisan yang paling revolusioner. Ia menganggap bahwa sumber radikalisme petani berdasarkan pada pemilikan atau penguasaan alat Universitas sumatera utara 30 produksi tanah. Meskipun masih didalam tulisan yang sama, Marx 1895 juga menyatakan bahwa sesungguhnya petani dalam melakukan pemberontakan tidak dapat berdiri sendiri. Petani membutuhkan pemimpin yang bertugas mewakili mereka dalam melakukan perlawanan terhadap kelas penindas. Hal berbeda dapat ditemui pada pandangan Wolf 1966 yang menyatakan bahwa petani menengahlah yang paling dapat diandalkan dalam melakukan pemberontakan. Petani kelas bawah atau buruh tani tanpa tanah yang menggantungkan hidupnya kepada tuan tanah, tidak akan memiliki kekuatan untuk melawan. Petani kelas menengah jelas terganggu dengan keberadaan tuan tanah baik itu dalam akses terhadap pasar ataupun tekanan kultural yang dirasakan oleh mereka, terlebih lagi petani kelas menengah memiliki sumberdaya minimal untuk melakukan perlawanan. Jumlah buruh tani tak bertanah yang besar memang merupakan sumber potensial untuk melakukan pemberontakan atau revolusi tetapi pendapat ini tidak selamanya benar dan berlaku disemua tempat. Gerakan petani dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dari gerakan sosial Handayani, 2004. Para ahli telah banyak mencoba untuk melakukan pendefinisian prihal gerakan sosial. Herbert Blumer 1939, dalam Sadikin 2005 berpendapat bahwa gerakan sosial merupakan sebagai suatu kegiatan bersama untuk menentukan suatu tatanan baru dalam kehidupan. Kemunculan gerakan sosial ditandai adanya kegelisahan akibat kesenjangan antara nilai-nilai harapan dan kenyataan hidup sehari-hari. Maka itu, suatu kelompok masyarakat mendambakan tatanan hidup yang baru, dengan membentuk sebuah gerakan yang terorganisir. Sadikin 2005 mencoba merangkum berbagai definisi gerakan sosial yang diutarakan para ahli, sebagai ciri – ciri atau karakter yang melekat dalam gerakan Universitas sumatera utara 31 sosial. Pertama, gerakan sosial merupakan satu bentuk perilaku koletif. Kedua, gerakan sosial senantiasa memiliki tujuan untuk membuat perubahan sosial atau mempertahankan suatu kondisi. Ketiga, gerakan sosial tidak identik dengan gerakan politik yang terlibat dalam perebutan kekuasaan secara langsung. Keempat, gerakan sosial merupakan perilaku kolektif yang terorganisir, baik secara formal ataupun tidak. Kelima, gerakan sosial merupakan gejala yang lahir dalam kondisi masyarakat yang konfliktual. Petani pada dasarnya tidak mempunyai keinginan untuk melakukan perlawanan kecuali ada tekanan atau krisis yang sangat menekan mereka dan adanya pihak luar yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut Wolf, 1969. Pandangan perihal ketidakmampuan petani dalam mengoraganisir diri sendiri diperkuat oleh Marx 1850 dalam Peasantry as a Class, bahwa petani tidak dapat memperjuangkan kepentingan kelas mereka atas nama mereka sendiri. Mereka tidak mampu merepresentasikan diri mereka kedalam sebuah kelas, mereka harus diwakilkan. Perwakilan tersebut, pada saat yang bersamaan haruslah bertindak sebagai pemimpin, pembuat peraturan, dan kekuatan institusional yang dapat melindungi mereka dari tekanan kelas lain. Scott 1976 mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam melihat keberhasilan dan kegagalan dalam sebuah gerakan atau mobilisasi petani. Pertama, kondisi-kondisi yang mendorong timbulnya pergerakan, kedua, faktor kepemimpinan, dan ketiga, startegi yang digunakan. Gaya perlawanan yang dimaksud ini mungkin paling jelas dapat digambarkan dengan cara memperbandingkan dua bentuk perlawanan yang berpasangan, yang masing-masing diarahkan kepada tujuan sama; satu di Universitas sumatera utara 32 antaranya ialah perlawnan sehari hari, menurut pengertian kami, dan yang kedua konfrontasi yang lebih terbuka dang langsung yang secara tipikal mendominasi studi tentang perlawanan. Pada suasana yang satu, proses diam – diam dan sedikit demi sedikit yang oleh koloni petani dipakai untuk mendesak perkebunan dan tanah-tanah Negara, suasana lainya penyerbuan tanah milik secara umum yang terang-terangan menentang hubungan kepemilikan pada suasana yang satu terjadi proses dedesersi militer secara bertahap. Suasana lainya terjadi pemberontakan terbuka yang mengarah kepada penghapusan atau penggantian personalia. Teknik-teknik perlawanan seperti itu sesuai benar dengan ciri ciri kusus kau tani. Sebagai kelas bawahan yang berbeda-beda tersebar secara geografis sering kali tanpa disiplin dan kepemimpinan yang dapat mendorong oposisi dari jenis yang teratur. Yang paling cocok untuk kaum tani adalah kampanye perselisihan gaya gerilya jangka panjang yang hanya memerlukan sedikit kordinasi atau tanpa koordinasi sama sekali. James C.Scott, 1993 Universitas sumatera utara 33 BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian