Reformasi Agraria dan Tanah Untuk Rakyat

15 gangguan atas subsistensi kehidupan mereka. Subsistensi merupakan konsep khas masyarakat pedesaan yang agraris. Konsep ini merujuk pada perilaku ekonomi petani dalam upaya memenuhi kebutuhan jangka pendeknya. Dalam hal ini biasanya terkait pada sekali musim tanam. Kebutuhan ini bisa mencakup satu kelompok petani, maupun seorang individu petani saja. Kedua, gerakan tani merupakan gerakan sistematis untuk mengubah struktur agraria. Gerakan ini memiliki tujuan-tujuan yang lebih jauh, berperspektif transformasi sosial. Bukan sekedar reaksi atas persoalan terlanggarnya batas-batas subsistensi semata. Kedua kerangka gerakan tani itu, semestinya dipandang bisa saling melengkapi. Dan di sinilah letak arti penting perumusan agenda perjuangan dan aksi bagi kaum tani Indonesia dewasa ini. Namun di tengah kesalingterkaitan dan keterhubungan antara satu sektor dengan sektor lainnya, maka agenda perjuangan petani bukan hanya perjuangan oleh kaum tani semata. Agenda perjuangan petani juga jadi agenda milik elemen di sektor-sektor lainnya. Begitu juga agenda strategis sektor-sektor lain, seperti sektor buruh, nelayan, pedagang, pertambangan, kehutanan, kaum miskin kota, sektor HAM, kesenian, dan sebagainya, perlu didukung oleh gerakan tani. Sehingga sinergitas dan solidaritas antar sektor gerakan itu dapat lebih efektif menggulirkan transformasi sosial sejati seperti yang dicita-citakan.

2.2. Reformasi Agraria dan Tanah Untuk Rakyat

Sejumlah persoalan mendasar dalam bidang agraria pertanahan masih terus berkembang dan seolah tak akan berkesudahan dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Salah satu fenomena yang muncul adalah sengketa hak atas Universitas sumatera utara 16 tanah antara petani dengan pihak perusahaan perkebunan baik PTPN maupun perkebunan swasta besar. Sengketa hak yang terus berkepanjangan senantiasa melahirkan konflik sosial, bentrok massa yang kian marak seolah tak ada kepastian bagaimana penyelesaian dan kapan semua itu akan berakhir. Dalam wacana sosiologis-empiris perilaku rakyat petani menuntut hak ini dicermati sebagai manifestasi dari sikap protes atas ketidakadilan yang melampaui batas kesabaran mereka. Di satu sisi masyarakat petani dengan segala keterbatasan kemampuan yang selalu dililit kemiskinan ekonomi, ketiadaan kemampuan hukum dalam memperjuangkan hak, ketiadaan akses untuk mendapat bantuan dukungan dan segudang kelemahan lainnya menjadikan mereka pada posisi yang sangat sulit dan bahkan tak jarang menjadi korban kezaliman dan keserakahan managemen perusahaan perkebunan PTPN Perkebunan Swasta yang dengan kemampuan yang mereka miliki dengan mudah memperalat tangantangan penguasa Birokrat Pemerintah, Penguasa KeamananPolri, TNI, Lembaga Peradilan, bahkan Preman untuk memukul dan memberangus masyarakat petani miskin papah yang memperjuangkan haknya. Dari luas 1.788.943 Ha lahan perkebunan yang ada di Sumatera Utara lebih dari separuhnya dikuasai oleh Perusahaan-perusahaan Perkebunan Nasional maupun Perkebunan Swasta. Sebagian besar perusahaan-perusahaan perkebunan ini didirikan dengan cara merampas lahan milik petani melalui tipu daya maupun kekerasaan yang berlangsung selama pemerintahan Rezim Orde Baru.Pratek kebijakan pembangunan perkebunan dengan skala besar yang sejatinya salah satu bertujuan mulia untuk mensejahterakan kehidupan luas termasuk masyarakat petani di Universitas sumatera utara 17 sekitar areal perkebunan ternyata bertolak belakang dengan yang diharapkan. Malah kehadiran perusahaan perkebunan besar PTPN Perkebunan Swasta tidak jarang menjadi ”monster ganas” yang dengan semena-mena merampas tanah-tanah masyarakat petani, masyarakat hukum adat dengan diback up kekuasaan ”oknum pejabat” sehingga kehadiran mereka tak jarang menjadi malapetaka besar bagi masyarakat petani maupun masyarakat hukum adat yang telah sejak awal mendiami wilayah tersebut secara turun temurun. Kehadiran perusahaan perkebunan dengan sebutan PTP dipelesetkan menjadi “Perampok TanahPetani”. Indonesia adalah negara agraris, tanah merupakan hal yang mutlak yang harus dimiliki oleh masyarakat agraris. Di Indonesia prinsip dan landasan landreform beralasan Prinsip Hak Menguasai dari Negara. Landasan ideal landreform di Indonesia adalah pancasila karena pancasila merupakan ideologi, cara pandang bangsa dan rakyat Indonesia.Land Reform adalah sebuah upaya yang secara sengaja bertujuan untuk merombak dan mengubah system agraria yang ada dengan maksud untuk meningkatkan distribusi pendapatan pertanian dan dengan demikian mendorong pembangunan pedesaan. Diantara berbagai bentuk reformasi tanah land reform mungkin memerlukan pemberi hak-hak kepemilikan yang dijaminkan kepada petani atau individu-individu msyarakat, land reform dapat juga diartikan sebagai pengalihan kepemilikan tanah yang terkadang dalam penggunaanya untuk perkebunan membangun pertanian kecil pemukiman yang biasanya untuk kepentingan masyarakat. Karena NKRI sebagian besar rakyatnya menggantungkan kehidupannya pada tanah, dalam hal ini berada pada bidang pertanian. Setelah Indonesia Universitas sumatera utara 18 merdeka, pemerintah Indonesia berupaya untuk memperbaharui tata hukum agraria yang berangkat dari cita-cita hasil pembentukan Negara baru, yakni menciptakan kesejahteraan rakyat, dengan menetapkan Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UUPA. Banyaknya konflik-konflik pertanahan yang seringkali merugikan masyarakat, mendorong perlunya dilakukan pembaruan agraria di negeri ini. Pembaruan agraria itu adalah sesuai dengan Ketetapan MPR RI Nomor IXMPR2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pembaruan agraria itu hanya akan berhasil, apabila pembaruan hukum agraria itu mengutamakan petani sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional, dengan tidak mengabaikan kepentingan investor-investor dan pemodal-pemodal besar sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan. Landasan Konstitusional yang merupakan hukum dasar bangsa Indonesia dalam menjamin dan memberi hak-hak rakyatnya dalam hal ini mengenai agrarian yaitu yang terdapat dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Landasan Operasional pelaksanaan landreform di Indonesia yaitu ; 1. Pasal 7 “ Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. 2. Pasal 10 ayat 1 “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian pada dasarnya diwajibkan mengerjakan dan mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan”. Universitas sumatera utara 19 3. Pasal 17 ayat 1 “Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7, maka untuk mencapai tujuan dalam pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum dan luas minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarag atau badan hukum”. Ayat 2 “ penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat”. Ayat 3 “tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum yang termaksud dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah”. Ayat 4 “ tercapainya batas maksimum termaksud dalam ayat 1 yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan dilaksanakan secara berangsur-angsur. Dengan landreform diatur siapa-siapa yang berhak mempunyai hak milik, pembatasan luas minimal dan maksimal luas tanah, pencegahan tanah menjadi terlantar dan tanda bukti pemelikan atas tanah Fauzi 1999. Contoh – contoh konflik Antara petani dengan pihak perkebunan di Indonesia: 1. Mafia Tanah Berkedok Hak Ulayat Rambah Lahan PTPN II Kebun Sampali. 2. Konflik Lahan Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Pasaman Propinsi Sumatera Barat. 3. PT. Toba Pulp Lestari di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Perusahaan membabat Hutan Kemenyan Tombak Haminjon Universitas sumatera utara 20 yang sudah dikuasai turun temurun masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta, mengganti dengan pohon ekaliptus, dsb.

2.3. Gerakan Petani di Indonesia