pembaca tentang aliran Islam tersebut, dan oleh karena itu menambah permintaan jenis wacana lain.
Di dapur redaksi, kedua hal tadi diramu dan diolah secara kreatif sehingga bisa menghasilkan buku dengan kandungan dan tampilan yang
berbeda dari buku-buku Islam terbitan di era sebelumnya. Kreativitas awak redaksi ini tentunya dibarengi dengan penguasaan mereka akan
perkembangan teknologi dan informasi paling mutakhir. Tiga hal di ataslah yang membuat generasi penerbit di era 1980-an,
sebagaimana yang dirintis penerbit Mizan, berbeda dan pelan-pelan menggeser dominasi penerbit generasi sebelumnya. Penerbit generasi lama
yang tetap ingin bertahan harus belajar pada yang lebih muda, dan oleh karena itu tidak lagi berada di depan. Inilah yang dialami oleh Penerbit al-Maarif,
Penerbit Bulan Bintang, Penerbit Pustaka Panjimas, Budaja Djaja, dan sebagainya di paruh terakhir 1980-an sampai seterusnya.
Apa yang dirintis oleh penerbit Mizan kemudian diikuti oleh penerbit- penerbit lain dengan kekhasan label masing-masing.
20
Untuk menyebut beberapa di antaranya yang besar dan sampai saat ini masih bertahan: 1
Penerbit Pustaka yang didirikan tahun 1985-an di Jakarta. Para pendiri awalnya adalah Ammar Haryono, Tohiruddin Lubis, Noeman dan Anas Mahyuddin.
Buku yang diterbitkan pertama kali adalah buku
Kuliah Tauhid
karya Dr. Immaduddin Abdurrahim. 2 Media Dakwah adalah toko buku sekaligus
penerbit yang berada di bawah Dewan Dakwah Islamiyah, ormas dakwah yang didirikan H.M. Natsir. Toko buku Media Dakwah berubah menjadi penerbit
tahun 1985 saat dia menerbitkan majalah Media Dakwah. Penerbit ini memiliki visi Menggapai berkah mencapai ukhuwah, sedangkan misinya
20
Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
hlm. 35.
52
adalah upaya untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia. 3 Penerbit Gema Insani Press GIP yang didirikan pada tahun 1986 oleh Aziz Salim Basarahil.
Latar belakang pendiriannya adalah pemahaman pendirinya bahwa dakwah juga bisa dilakukan lewat qalam bahasa Arab untuk pena yakni tulisan atau
buku. Awalnya penerbit GIP berkonsentrasi pada penerbitan buku tentang ajaran Islam bagi kalangan awam dengan mengambil tema-tema yang ringan
dan dengan bahasa yang populer. Namun dalam perkembangannya GIP juga membidik pasar remaja dan anak-anak. Penerbit GIP dapat dikategorikan
sebagai penerbit besar mengingat banyaknya jumlah buku yang tercantum dalam katalognya. 4 Penerbit LKiS yang kelahirannya diawali oleh kelompok
diskusi aktivis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang dimotori oleh Imam Azis dan Akhmad Fikri. Diskusi ini diikuti oleh komunitas anak-anak muda NU, santri
dari berbagai pesantren dan alumni IAIN Sunan Kalijaga. LKiS didirikan sebagai wadah mereka mereka beraktivitas dalam gerakan pro-demokrasi dan
Islam moderat yang berbasis pada sosialisasi gagasan dan wacana melalui penerbitan buku, khususnya kajian keislaman kritis. Visi penerbit ini adalah
mewujudkan masyarakat yang mampu secara dewasa berpikir mandiri dan sadar atas pilihan-pilihan yang diambilnya. Untuk mewujudkan visi ini, misi
pertama kali yang diemban penerbit ini adalah menerbitkan buku-buku keislaman kritis sebagai tawaran alternatif berbagai wacana keislaman yang
berkembang di Indonesia.
3. Buku sebagai Produk Pelengkap Gaya Hidup Era Pasca 2000-an
Rintisan Mizan terus berlanjut di tahun 2000-an Dalam perkembangannya selain tetap berkonsentrasi menerbitkan buku-buku Islam
pemikiran dengan tetap menggunakan bendera Mizan, penerbit ini kemudian membentuk penerbit-penerbit baru dengan nama lain seperti Kaifa untuk buku-
53
buku berjenis how to dan Qanita untuk buku-buku bertema perempuan. Bahkan, mulai tahun 2003, Mizan Pustaka dibagi lagi dalam dua divisi, yakni
Mizan Pustaka untuk buku-buku Islam dewasa dan DAR Mizan khusus buku- buku bernuansa Islam untuk konsumsi anak-anak dan remaja.
Strategi yang didasarkan pada segmen-segmen pembaca semacam ini ternyata cukup efektif. Buku-buku novel remaja bernuansa Islam hasil
kembangan penerbit ini, misalnya, ternyata juga mendapat sambutan yang cukup baik dari pembaca. Novel- novel remaja yang di antaranya dikarang
Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Gola Gong, menurut pengakuan penerbit ini, ada yang sudah terjual sampai 50.000-an eksemplar. Jumlah sebanyak ini
tergolong istimewa, masuk buku best seller untuk kategori buku lokal. Dalam khazanah penerbit buku Islam, GIP dan kelompok Penerbit
Mizan tidak berjalan sendirian. Perkembangan pasar buku Islam juga diramaikan penerbit-penerbit lain yang tergolong spektakuler penampilannya.
Di antaranya, MQ Publishing. Penerbitan buku yang merupakan salah satu unit usaha di bawah kelompok usaha MQ Corporation pemimpin pengasuh pondok
pesantren Daarut Tauhid Bandung, KH Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym, ini juga mencatatkan rekor penjualan. MQ Publishing sebenarnya tidak lain adalah
pengembangan dari divisi MQS Pustaka Grafika dan MQ Publication yang sebelumnya telah menerbitkan buku-buku dengan materi dari ceramah-
ceramah maupun wawancara dengan Aa Gym. Seperti halnya buku-buku Aa Gym sebelumnya yang sudah diterbitkan
Mizan dan GIP yang terjual ratusan ribu eksemplar, buku pertama terbitan MQ Publishing yang untuk pertama kalinya ditulis Aa Gym sendiri ini laris manis
diserap pasar. Dalam waktu kurang dari sebulan, buku Aa Gym Apa Adanya: Sebuah Qolbugrafi yang diterbitkan pada pertengahan tahun 2003 sudah laku
sebanyak 40 ribu buku lebih. Buku-buku terbitan MQ Publishing ini masih
54
sekitar Aa Gym karena sangat laku di pasar. Belakangan, ketika kasus poligami Aa Gym mencuat dan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat,
terutama karena diberitakan secara bertubi-tubi oleh acara hiburan di media massa, penjualan buku-buku bertema Qolbugrafi ini merosot seiring
merosotnya pamor Aa Gym. Besarnya peluang pasar bagi buku-buku Islam ini sudah pasti menarik
berbagai penerbit untuk ikut terjun menerbitkan buku- buku bertema Islam. Bahkan, beberapa penerbit yang sebelumnya dikenal sebagai penerbit umum
saat ini mulai menerbitkan buku- buku bertema Islam. Salah satunya, Penerbit Erlangga. Sejak tahun 2002 Penerbit Erlangga yang lebih dikenal sebagai
penerbit buku-buku teks pelajaran ini memiliki divisi penerbitan buku Islam. Motifnya sudah tentu pasar yang tengah menggeliat. Kami melihat market
share yang sangat besar, 90 persen penduduk Indonesia ini kan Muslim, karena pasar begitu besar, kami coba masuk sedikit. Sifatnya partisipasi saja,
kata Singgih, salah satu editor Penerbit Erlangga.
21
Sekalipun sifatnya hanya berpartisipasi, tidak kurang sudah 17 judul buku bernuansa Islam yang mereka
terbitkan, baik buku berjenis pemikiran Islam maupun cerita- cerita ringan. Bahkan, salah satu buku terbitan Erlangga berjudul
Kisah Hikmah
ini selama tahun 2002 mampu dicetak ulang hingga lima kali. Betapa semarak memang
pasar buku-buku Islam saat ini. Tidak heran, ibarat pepatah Ada Gula Ada Semut, buku-buku Islam saat ini layaknya gula yang banyak diminati berbagai
pihak lantaran cukup menggairahkan secara bisnis
21
penerbitbukuislam.blogspot.com Pasar Buku Islam Tengah Menggeliat.htm, diakses 13 Januari 2011. sumber asal http:www2.kompas.comkompas-cetak031115pustaka688306.htm
55
B. Buku sebagai Benda Kultural dalam Dinamika Sosial-Ekonomi
Uraian singkat perkembangan sejarah penerbitan buku-buku Islam di Indonesia yang disampaikan di bagian sebelumnya menyediakan latar historis
untuk satu kenyataan yang tak terbantahkan: bahwa sejak awal dunia penerbitan buku adalah bagian dari industri yang mengikuti logika dan aturan main yang
berlaku pada dunia usaha pada umumnya. Secara akal sehat, tentu tidak ada yang akan mempermasalahkan lagi pandangan bahwa dunia usaha –termasuk
penerbitan buku– pada dasarnya digerakkan dan sekaligus berputar-putar di sekitar tiga persoalan kunci: modal-pemasaran-keuntungan, di mana yang terakhir
ditentukan oleh seberapa besar sumber daya yang dijadikan modal dan seberapa strategis dan jitu cara pemasaran yang dipakai.
Hanya saja pembicaraan tentang dunia penerbitan dan perbukuan tidak bisa berhenti sampai di titik ini saja. Sebab jika industri penerbitan dan dunia
perbukuan pada umumnya dilihat tanpa membedakannya dari industri yang menghasilkan spidol atau ballpoint, umpamanya, maka banyak hal yang akan luput
dari pembicaraan. Apalagi jika pembicaraan sudah menyangkut kehidupan sosial budaya sebuah masyarakat tempat buku dibuat, diedarkan dan dibaca. Nyaris bisa
dipastikan bahwa secara awam orang akan memandang berbeda status spidol atau ballpoint merk Snowman yang dipakai seorang guru menulis di papan tulis
dengan buku pelajaran yang diperhatikan para murid sesuai perintah gurunya. Kenyataan dasar yang membedakan buku dari benda-benda produksi
massal lain adalah dia merupakan teks yang berisi pesan-pesan penulis buku yang ingin menyampaikan sesuatu kepada penerima pembaca. Pesan yang termuat
dalam buku –di mana pengetahuan dalam pengertian umum hanyalah salah satu dari sekian pesan yang mungkin dimuat dalam buku– membedakannya dari
komoditas-komoditas produksi massal lain. Kue coklat memang punya makna budaya, namun makna itu muncul ketika dia sudah difungsikan dalam konteks yang
56
tepat. Misalnya, dia diberikan kepada seseorang dalam rangka Hari Valentine tanggal 14 Februari. Ini pun dengan syarat bahwa pengirim dan penerima sama-
sama paham bahwa di tanggal 14 Februari terdapat perayaan hari kasih sayang. Jika salah satu pihak tidak paham, atau kedua-duanya sama-sama berada dalam
latar belakang sosial budaya yang menganggap tanggal 14 Februari sama saja dengan tanggal-tanggal lain, maka kue coklat itu hanya kue coklat. Kalau pun dia
diberikan kepada orang lain, makna yang diberikan padanya tidak akan dikaitkan dengan apa yang disebut Hari Valentine sebagai hari perayaan kasih sayang.
Sedangkan buku sejak sedari awal memang sudah punya pesan dan makna di dalamnya. Tidak ada orang yang akan memandang buku hanya sebatas
lembaran kertas yang dijilid dengan sampul. Meski pun buku itu ditulis dengan abjad asing misalnya huruf Kanji atau Arab, tapi tetap saja ada kesadaran kultural
yang mengatakan bahwa itu adalah buku. Kemudian dari itu, buku sebagai benda kultural berbeda dari teks-teks
produksi massal lain semisal lembaran surat perjanjian, pengumuman, spanduk, leaflet, bahkan surat kabar, karena dia memiliki dua nilai sekaligus: nilai kultural
dan nilai ekonomis.
22
1. Buku sebagai Benda Kultural
Nilai kultural buku lahir dari fungsinya sebagai sarana tempat diinskripsikannya wacana dalam pengertian umum dan luas. Inti wacana itu
adalah “pengalaman” yang ingin ditularkan, ditransmisikan atau diwariskan penulis kepada orang lain pembaca. Kata “pengalaman” dipakai untuk
mengisyaratkan bahwa yang terinskripsi dalam buku bukan hanya pengetahuan dalam pengertian ilmiah-kognitif, melainkan bisa juga dalam arti apa yang
22
Catatan tentang nilai simbolis, yang tidak dimasukkan ke sini, karena walau pun tidak tertutup kemungkinan buku dijadikan simbol dan karena itu memiliki nilai simbolis dalam sebuah pertukaran
simbolis, namun untuk penelitian ini, relevansi dari jenis nilai ini tidak terlalu banyak.
57