Kendali Pasar atas Tema-tema dan Rekayasa Judul Buku

Pertimbangan lain yang dipakai penerbit untuk menerima atau memesan naskah adalah spekulasi penerbit dengan cara bereksperimen dengan tema-tema baru. Spekulasi sebuah penerbit dengan tema atau judul tertentu bukannya dilakukan tanpa perhitungan. Eksperimen ini didasarkan pada pengalaman atau rekam jejak penerbit bersangkutan selama ini. Jika sebuah penerbit selama ini cukup berhasil, dan oleh karena itu diakui oleh khalayak umum –baik kompetitor, distributor, toko buku maupun oleh pembaca– sebagai penerbit dengan tema-tema keislaman yang gaul, 40 maka dia spekulasi dan eksperimennya tidak akan jauh- jauh dari tema tersebut. Meski perbedaan spekulasi dan eksperimen temajudul berdasarkan pengalaman ini beda tipis dengan gambling murni, namun yang pasti, jika satu tema baru hasil spekulasi ini berhasil di pasaran, otomatis penerbit bersangkutan akan menjadi pioner dalam tema tersebut. Penerbit-penerbit lain akan menjadi pengikutnya follower. Kasus di mana satu penerbit jadi pioner dan beberapa waktu kemudian penerbit lain jadi pengikut sangat banyak. Salah satu yang fenomenal adalah buku La Tahzan Jangan Bersedih yang diterbitkan penerbit Qisthi Jakarta pertama kali tahun 2002. Judul ini dan tema yang menaunginya melahirkan setidaknya 16 judul lain yang memakai kata La Tahzan dan mengusung tema jangan bersedih dan putus asa atas cobaan yang mendera di masa lalu. 41 40 Misalnya adalah penerbit Pro-U Media Yogyakarta yang selama ini menerbitkan buku-buku keislaman namun dengan format dan bahasa yang “gaul”, menggunakan bahasa prokem Jakarta seperti kata loe, gue, dan seterusnya. 41 Dari katalog buku-buku yang dipajang di situs resmi penerbit Mizan, terdapat 17 buku yang judulnya secara eksplisit memakai kata La Tahzan. Buku-buku ini adalah terbitan penerbit yang berada di bawah naungan Mizan atau penerbit yang menjadikan Mizan sebagai distributornya, seperti penerbit Lingkar Pena. Buku-buku tersebut adalah: La tahzan for Broken Hearted Muslimah Asma nadia, dkk; La Tahzan for Teachers Gita Lovusa, Irmayanti; La Tahzan For Student Lisman Suryanegara,dkk; La Tahzan for Teachers La Tahzan for Parents K.H. Dindin Solahudin; Lâ Tahzan Innâllha Ma’anâ: Tenteram Bersama Allah di Setiap Tempat dan Waktu K.H. Choer Affandi: Lâ Tahzan Innallâha Ma‘anâ K.H. Choer Affandi; La Tahzan for Mothers Asma Nadia, dkk; La Tahzan for Single Mothers Sylvia LNamira; La Tahzan for Working Mothers Izzatul Jannah; La Takhaf wa La Tahzan : Jangan Takut dan Jangan Sedih Muhammad Djarot Sentosa; KKPK: La Tahzan Nina Salsa; La Tahzan for Children: Hapus Air Mata, Selalu Ceria Abu Akhtar; La Tahzan for Modern Muslimah: Bahagia dengan Kegelisahan Annisa 73 Satu hal yang menarik dicatat terkait soal penerbit yang jadi pioner dan pengikut suatu tema atau judul ini adalah fakta bahwa sebanyak apa pun penerbit yang jadi pengikut, namun keuntungan paling besar tetap diperoleh oleh penerbit pioner. Penerbit Republika yang berspekulasi dengan menerbitkan novel Ayat- ayat Cinta menjadi pioner dalam tema ini, sehingga berapa pun jumlah penerbit pengikut yang kemudian mengeroyok tema ini, tetap saja Penerbit Republika bertengger di puncak angka penjualan tertinggi. 42 Selain pertimbangan-pertimbangan di atas, masih ada pertimbangan lain yang dipakai penerbit dalam menerima naskah, yaitu kontroversial atau tidaknya tema sebuah naskah dan sesuai atau tidaknya naskah itu dengan visi dan misi. Masalah kontroversialnya tema dan visi-misi penerbit ini sebenarnya terpulang pada satu hal: positioning penerbit di arena penerbitan buku. Jika sebuah penerbit sudah mengambil posisi murni bisnis, maka tema apa pun akan digarap asal menurut perhitungannya akan diserap pasar. Bahkan ada yang berprinsip, makin kontroversial sebuah tema, makin baik, karena akan diburu pembaca. Sebaliknya, jika tema memang cukup kontroversial namun menurut perkiraan penerbit hanya akan diserap oleh sebagian kecil segmen pembaca, maka tema itu tidak akan diterbitkan. Biasanya tema-tema seperti ini hanya akan diterbitkan oleh penerbit yang “ngotot” dengan satu visi dan misi, atau lebih tepatnya, penerbit yang mencoba berpegang teguh pada posisi yang sedari awal sudah ditentukan. Contoh paling kentara dari tema kontroversial adalah tema-tema jihad, hujatan terhadap Israel atau Amerika, isu negara Islam dan yang senada dengan itu. Jika ada penulis yang menawarkan naskah dengan tema ini kepada penerbit yang posisinya murni bisnis, maka naskahnya kemungkinan besar akan ditolak, sebab penerbit akan berpikir bahwa “walau pun memang ada yang mau membaca tema jihad, Lathifah; La Tahzan for Teen’s Love Sabil el-Ma’rufie; La Tahzan for Kids Abu Razifa; La Tahzan for Teens Qomarruzzaman Awwab; La Tahzan for Muslimah Salma Shulha 42 Penjelasan Ade Makruf dalam wawancara pada 03 April 2012, di Yogyakarta. 74 namun masih lebih banyak lagi pembaca yang akan membaca tema-tema selain itu. Itulah sebabnya mengapa di paruh kedua dekade 2000-an, tema-tema seperti ini hanya beredar di kalangan penerbit Solo, lazim disebut “Geng Solo.” 43 Prinsip positioning dan pasar adalah tema yang melandasi proses pengadaan naskah yang akan diterbitkan sebuah penerbit seperti yang digambarkan di atas pada dasarnya juga dijadikan pijakan bagi para penulis ketika akan menawarkan naskah mereka. Seorang penulis akademis yang ingin menerbitkan naskahnya akan memperhitungkan penerbit di posisi mana yang cocok dia sodori naskahnya. Dia akan mencari penerbit yang akan memberikan keuntungan kultural baginya dalam bentuk pengakuan bahwa bukunya diterbitkan oleh penerbit yang terkenal banyak menerbitkan buku-buku dengan tema yang juga dimiliki naskahnya. Sedangkan penulis profesional lebih menitikberatkan pertimbangan pada tema yang sedang tren di pasar perbukuan. Dia akan mencari penerbit yang belum banyak menerbitkan tema tersebut atau kalau tidak berhasil mendapatkan peta penerbit, dia akan berspekulasi menyodorkan naskahnya kepada penerbit yang banyak menerbitkan tema tersebut. Tingginya tuntutan akan pasokan naskah dan banyaknya penerbit yang menggarap tema yang sama, meski dengan judul berbeda-beda, mengakibatkan nama penulis yang tercantum di sampul buku-buku itu menjadi tidak signifikan, menjadi tidak terlalu bernilai, dan oleh karena itu tidak banyak memperoleh keuntungan kultural dalam bentuk pengakuan. Sangat jarang penulis yang berhasil memperoleh pengakuan cukup besar sehingga namanya menjadi semacam ikon untuk satu tema tertentu. Biasanya penulis yang mendapat keuntungan kultural seperti ini adalah penulis yang jadi pioner dalam satu tema seperti Dr. Aid Al-Qarni 43 Istilah ini dikemukakan oleh Ade Makruf dan sudah lazim di kalangan penerbit Jogja. Wawancara dengan Ade Makruf pada 03 April 2012, di Yogyakarta. Kemudian dari itu, sebuah LSM internasional yang mengurusi konflik, yakni International Crisis Group, merasa perlu mengadakan penelitian dan menerbitkan laporan tentang penerbit-penerbit Geng Solo ini. Lihat International Crisis Group, “INDONESIA: JEMAAH ISLAMIYAH’S PUBLISHING INDUSTRY: Asia Report No147 28 February 2008”, Jakarta_Brussel: International Crisis Group, 2008. 75 dengan La Tahzan- nya, Aa’ Gym dengan Manajemen Qalbu -nya, M. Fauzil Adhim dengan buku-buku keluarga sakinahnya dan belakangan Ustaz Yusuf Mansur dengan konsep sedekah-nya. Sedangkan para penulis yang posisinya sebagai pengikut, entah itu atas inisiatif sendiri karena mengikuti tren pasar atau karena pesanan, harus rela namanya tidak diacuhkan meski tertera di sampul buku. “Itulah sebabnya mengapa judul-judul buku populer, termasuk swa-bantu Islami ditulis besar-besar dan kontras sementara nama penulisnya kecil dan tidak kentara.” 44 Kenyataan bahwa sebagian besar nama penulis buku-buku yang temanya sedang ramai dan digarap oleh banyak penulis dan penerbit berakibat pada gampangnya membikin nama-nama pena, 45 bahkan nama yang fiktif belaka, karena naskah yang bersangkutan memang digarap secara keroyokan oleh banyak orang. 46 Besar dan cepatnya tuntutan akan pasokan naskah dan relatif tidak signifikannya nama penulis buku yang mengikuti tema yang sedang tren berimplikasi langsung pada cara penulisan naskah itu sendiri. Implikasi dari tingginya permintaan pasar akan buku-buku populer Islam memaksa penerbit memproduksi buku dalam jumlah yang besar dalam waktu yang singkat. Permintaan ini disiasati dengan cara menganekaragamkan judul-judul buku dengan tema atau pembahasan yang relatif sama. 44 Keterangan Ade Makruf dalam wawancara pada 03 April 2012, di Yogyakarta. 45 Biasanya nama pena ini disesuaikan dengan tema buku. Sebagai contoh jika tema buku adalah masalah keislaman populer atau “sastra Islami” kerap kali nama pena yang dipakai adalah nama yang ada “bau” Arab-nya, meski terkadang cukup dengan menambahi awal al- atau el-. Tak jarang pula nama pena itu ditulis dengan menambahi gelar Ustaz atau K.H. Walaupun nama pena yang kearab-araban ini dibikin dengan mengandaikan pembaca memang akan memperhatikannya, namun pertimbangan utamanya adalah mengikuti tren nama penulis Ayat-ayat Cinta yang ada awalan el-nya. Nama ini dibuat justru karena penulis dan penerbit yakin pembaca tidak akan mau susah-susah memastikan siapa sebenarnya penulis. Keterangan ini diperoleh dari wawancara dengan Ade Makruf pada 03 April 2012, di Yogyakarta 46 Biasanya buku-buku yang nama penulisnya fiktif ini adalah kumpulan humor atau kumpulan sms-sms yang beberapa waktu lalu jadi tren di pasar perbukuan Indonesia. 76 Menurut Bambang Trim 47 tidak ada teori baku yang berlaku untuk pembikinan judul sebuah buku, yang ada hanya ada kisi-kisi yang perlu diperhatikan oleh editor sebuah penerbitan ketika telah selesai mereview atau menyunting naskah yang masuk. Di antara kisi-kisi itu adalah: pertama, judul buku hendaknya dibuat dalam format induk judul judul utama dan anak judul demi menghasilkan dua tujuan, mengikat perhatian pembaca induk judul dan menjelaskan isi anak judul. Kedua, judul dapat dibuat dalam tiga atau empat kata kata bergantung pada relevansi terhadap isi naskah dan hendaknya terdiri dari kata-kata yang menarik eye cacthing dan efektif. Namun, aturan ini tidak mengikat, karena ada judul buku yang terkesan panjang, seperti Psikologi Kenabian Prophetic Psychology: Menghidupkan Potensi dan Kepribadian Kenabian dalam Diri yang disinggung sebelumnya. Dengan kata lain, prinsip ini berkaitan dengan seberapa besar keterwakilan kandungan buku lewat judul. Jika sedikit kata sudah bisa mewakili, maka buku tersebut makin baik, karena gampang diingat. Contoh dari buku dengan judul pendek namun mewakili isinya adalah Tasawwuf Modern karangan Buya Hamka. Ketiga, Judul tidak boleh membohongi pembaca karena dimaksudkan untuk menarik perhatian dan menimbulkan efek ingin tahu. Prinsip ini sebenarnya adalah prinsip normatif dan hanya berlaku relatif di dalam kenyataan. Berdasarkan temuan-temuan yang akan diulas panjang lebar dalam bab berikutnya, kerapkali judul-judul lebih mengutamakan efek ingin tahu. Itulah sebabnya mengapa judul- judul buku populer Islam, terutama yang bergenre swa-bantu, memakai gaya bahasa yang bombastis. Apakah pembaca merasa dibohongi atau tidak ketika membaca judul buku Menikahlah Maka Engkau akan Kaya, misalnya, 47 Korespondensi lewat e-mail dengan Bambang Trim pada 13 April 2011. 77 bergantung pada kondisi “kejiwaan” si pembaca itu sendiri. Hal ini akan diulas lebih jauh di bab IV. Pihak penulis naskah sendiri memiliki posisi yang tidak terlalu kuat dalam penentuan judul, apalagi penulis yang belum berpengalaman atau belum terkenal. Dalam surat perjanjian penerbitan biasanya dicantumkan klausul yang menyatakan bahwa pihak penulis menyerahkan kebijaksanaan pemberian judul atas naskahnya ketika sudah diterbitkan jadi buku. Klausul ini didasarkan pada asumsi bahwa penerbit akan melakukan semacam rapat redaksi untuk menentukan judul buku yang akan diterbitkan. Namun di lapangan yang terjadi adalah sang editor utamalah yang biasanya berwenang memberi judul. Apalagi editor yang sudah berpengalaman dan telah berhasil membuat judul buku yang laris di pasaran. Sesuai dengan kisah yang penulis terima sewaktu bekerja di penerbitan Kreasi Wacana sebagai editor, judul Makrifat Syeikh Siti Jenar untuk naskah karangan Abdul Munir Mulkan adalah bikinan Ashad Kusuma Djaya, yang saat naskah itu masuk berada pada posisi sebagai pemilik, editor utama dan marketing dari penerbit Kreasi Wacana yang baru dirintisnya. Secara umum judul-judul buku populer Islami ditentukan oleh editor penerbit. Ini didasarkan pada pengalaman Bambang Trim sebagai editor utama di Penerbit Tiga Serangkai Solo dan memimpin perusahaan Trikom Media yang bergerak di bidang jasa konsultan penerbitan. Dia dengan tegas menyatakan “politik perjudulan memang kemudian menjadi bagian dari kepiawaian editor untuk merumuskannya.” 48

E. Sampul Buku sebagai Media Promosi bagi Dirinya Sendiri

Hal yang tak kalah menarik ketika mengamati buku-buku swa-bantu Islami yang beredar adalah desain sampul. Pada dasarnya desain-desain yang dikeluarkan oleh penerbit tetap berpatokan pada prinsip yang melandasi 48 Korespondensi lewat e-mail dengan Bambang Trim pada 13 April 2011. 78 pembuatan judul sebagaimana diuraikan di atas, yakni prinsip bahwa desain sampul harus menarik mata calon pembaca. Jika diamati sampul-sampul buku Islam era-era sebelum 1990-an, akan terlihat perbedaan yang sangat mencolok. Perbedaan tersebut terutama dari kesan kerumitan gambar yang ditampilkan. Perbedaan ini tentu saja disebabkan oleh perkembangan teknologi desain grafis yang semakin memudahkan seorang illustrator menerjemahkan gagasannya tentang pesan yang ingin disampaikan sebuah buku ke dalam bentuk image visual menggunakan perangkat-perangkat lunak software desain grafis seperti adobe photoshop, coreldraw dan lain-lain. Dikatakan lebih mudah, karena dengan hanya berselancar di mesin pencari google, seorang illustrator akan sangat mudah menemukan foto, image, image grafis, vector, ornament, dan sebagainya yang dia anggap bisa mewakili gagasan yang ingin dia tuangkan ke dalam bentuk visual. Di tahun 1980-an illustrator akan bekerja keras untuk melahirkan gambar seorang kafilah yang melintasi gurun pasir menunggang seekor unta untuk merepresentasikan suasana timur tengah. Di zaman google, image dimaksud dapat ditemukan jumlah ratusan hanya dalam hitungan detik. Tidak hanya sampai di situ, image yang diperoleh dari google dapat diedit sesuai dengan keinginan menggunakan software grafis. Sang illustrator dapat mempermainkan warna, ukuran, posisi, dan lain sebagainya untuk membangun kesan atau suasana tertentu yang dia anggap mewakili gagasan yang akan disampaikan buku. Masalah ini dapat dilihat dalam dua contoh sampul buku yang mengangkat tema yang relative sama, sosok Nabi Muhammad, namun berasal dari era yang berbeda. Yang pertama diterbitkan kira-kira pada tahun 1980-an dan yang kedua pada era 2000 akhir. 79 Gambar I.1: Contoh sampul Buku Swa-bantu Islami dari tahun 1980-an dan 2000-an 49 Buku 1 Buku 2 Selain memudahkan seorang illustrator untuk “bermain-main” dengan beragam “tools” yang disediakan software grafis, teknologi desain grafis juga memungkinkannya membuat gambar yang realis, hal yang sangat sulit diwujudkan dengan teknologi sebelumnya kecuali oleh para seniman lukis. Biasanya gambar realis ini memanfaatkan file hasil jepretan kamera digital. Dengan begitu, ketika ingin menggambarkan sebuah masjid di sampul buku, seorang illustrator tidak perlu membikin gambar kartun seperti pada contoh Buku 1 di atas, akan tetapi memanfaatkan foto masjid yang sebenarnya. Seperti dalam contoh berikut. 49 Seluruh gambar yang dimuat dalam tesis ini bersumber dari situs Gramedia Online. Diunduh dan diakses pada 25 dan 27 November 2013. Jika situs Gramedia menyediakan gambar namun dengan kualitas image digital yang baik, maka penulis menelusuri melalui google image dengan mengetikkan kata kunci berupa judul buku bersangkutan. 80 Gambar I.2: Contoh Sampul yang Memanfaatkan Image Fotografis yang Realis Sebaliknya, teknologi desain juga memungkinkan seorang illustrator mendistorsi gambar yang realis-fotografis menjadi non-realis, seperti dalam contoh: Gambar I.3: Contoh Sampul Buku yang Memanfaatkan Image Fotografis yang Didistorsi Terlepas dari persoalan teknik dan kreativitas seperti yang disinggung di atas, tujuan pertama dan utama dari desain sampul sebuah buku adalah mendukung judul. Sampul buku dirancang sedemikian rupa untuk mempertegas pesan yang disampaikan judul buku. Dalam konteks perbukuan swa-bantu Islami, masalahnya tidak sampai di sini, sebab hal yang wajib jadi pertimbangan 81 perancang sampul adalah prinsip kemenarikan tadi. Bahkan bisa dikatakan bahwa masalah kemenarikan ini jadi pertimbangan utama ketimbang fungsi desain itu untuk mempertegas pesan judul. Inilah yang terkadang membuat image visual desain sampul tidak “nyambung” dengan kata-kata judul. Calon pembaca akan kesulitan menemukan, bahkan gagal, menemukan sambungan antara kata-kata di judul dengan image visual “padang pasir”, “matahari di ufuk menyembul di balik awan”, “permainan warna” dan lain sebagainya yang terlihat dalam sampul di bawah Gambar I.4: Sampul Buku dengan Image-image yang Tidak “Nyambung” Saat mengamati sampul-sampul buku swa-bantu Islami yang diproduksi ada dua asumsi yang dipegang oleh para illustrator sampul. Pertama, asumsi bahwa image visual yang merepresentasikan kearaban menyimbolkan keislaman. Konsekuensi naïf dari asumsi ini adalah islam adalah Arab, Arab adalah Islam. Ini dapat dilihat dari sampul-sampul yang menampilkan image gurun, onta, kafilah bersurban, wanita bercadar, pola arsitektur berkubah, dan lain sebagainya. Asumsi ini tidak sepenuhnya keliru, karena memang berangkat dari khasanah bahasa visual yang berkembang sehari-hari di tengah masyarakat muslim Indonesia. Asumsi ini mengingatkan kita pada anekdot yang mengisahkan betapa pengurus 82