“Islami” sebagai penanda utama dan point de capiton

148 memanejemeni usaha yang Islami, cara mengelola keuangan atau hutang secara Islami. Cara kerja retroaktif penanda utama “Islami” terasa lebih jelas lagi pada rangkaian penanda visual yang terpampang pada sampul buku dalam rangka memperkuat judul yang berisi penanda-penanda verbal. Ini dapat dilihat misalnya pada sampul buku berjudul Sehat Berpahala: Nikmat di Dunia, Dahsyat di Akhirat berikut ini . Gambar II.1: Fungsi Retroaktif Penanda Utama dalam Sampul Buku Kata “Sehat” adalah kata yang netral, tidak beragama. Namun karena di judul ini ada kata “berpahala” dan “akhirat” yang nota bene berelasi secara metonomik dengan penanda utama “Islami”, maka judul ini akhirnya mendapatkan maknanya secara retroaktif: bahwa ada sehat yang Islami dan ada pula sehat yang tidak Islami. Untuk memperkuat logika signifikasi tersebut, tampilan visual sampul buku ini juga memperlihatkan cara kerja penanda utama “Islami” yang sama. Secara retroaktif, gambar “buah apel” yang maknanya netral sebagai buah yang oleh perancang sambul dianggap menyimbolkan kesehatan mendapatkan makna 149 keislamiannya persis karena dilingkari –baca: diikat—oleh gambar “tasbih”. Sebagai benda biasa, “tasbih” itu bisa saja sebagai gelang asesoris biasa seperti yang dipajang di toko cenderamata. Dia bisa juga merupakan tasbihnya pendeta Buddhis atau rosario. Makna bahwa keseluruhan tampilan visual maupun kata- kata verbal di judul buku di atas baru muncul setelah penanda utama “Islami” campur tangan. Penanda utama itu tercium kehadirannya melalui relasi metonomik penanda “tasbih” atau penanda “berpahala” dengan penanda “Islami.” Klaim bahwa penanda “Islami” sebagai penanda utama dan fungsinya sebagai point de capiton dalam dunia perbukuan Islami ini memiliki relevansi dengan konteks politik identitas masyarakat Muslim dewasa ini. Tidak jarang ada yang pandangan esensialis yang mengatakan adanya sesuatu yang “benar- benar Islami” dalam dirinya dan oleh karena itu harus dibela habis-habisan saat ada yang mengancam keberadaannya, kalau perlu dengan menggunakan kekerasan. Dengan klaim ini ingin ditunjukkan bahwa berdasarkan apa yang terjadi dalam judul-judul buku swa-bantu Islami adalah sebaliknya. Buku-buku tersebut menjadi “Islami” karena adanya campur tangan penanda utama “Islami” yang berfungsi mengikatkan makna keislamian kepada buku-buku tersebut lewat judul-judulnya. Ketika digali lebih dalam, dikejar lebih jauh lagi, apa pengertian esensial dari “Islami” yang menempel pada judul-judul buku Islami tersebut tidak dapat ditemukan. Tidak dapat ditemukan karena pengertian keislamian itu melekat pada judul-judul itu berkat adanya penanda utama yang berasal dari apa yang disebut sang Liyan the Other dalam psikoanalisis Lacanian. Satu-satunya jaminan yang membenarkan bahwa judul-judul buku swa-bantu Islami tersebut adalah “Islami” adalah karena bahasa sehari-hari yang dipakai dalam dunia perbukuan Islam populer tataran simbolis telah melekatkan begitu saja 150 keislamian pada buku-buku bergenre swa-bantu tersebut. Ketika tataran simbolis sebagai Liyan “diinterogasi” untuk menemukan jaminan kebenaran dari pengertian keislamian yang dilekatkan pada judul-judul buku swa-bantu Islami ini, Liyan simbolis tidak mampu memberikannya. Karena jaminan kebenaran makna itu mau tak mau juga harus disampaikan melalui bahasa –penanda-penanda– yang juga memerlukan penjamin kebenarannya yang hanya bisa disampaikan lewat bahasa. Hal ini terus berlaku tanpa kesudahan. Ini artinya Liyan Simbolis tidak memiliki lack jaminan untuk itu. 4 Tak dapat dipungkiri kalau apa yang disebut-sebut dengan “Islami” itu memang ada di dalam kenyataan, mulai dari sistem perbankan sampai teknik bersetubuh. Dia tidak bisa dikatakan tidak ada pada level empiris kebahasaan, yakni sebagai penanda-penanda yang dipakai untuk berkomunikasi. Hanya saja dia tidak ada dalam pengertian esensialis, yakni ada suatu hal yang secara hakiki adalah Islami. Kesan paradoks ini adalah ciri utama dari penanda utama sebagai penanda hampa empty signifier. Dia hampa dari petanda yang esensial, namun keberadaannya dibutuhkan agar penanda-penanda lain mendapat makna. Pada dirinya sendiri dia bukan apa-apa, namun yang lain menjadi tidak bermakna apa- apa tanpa dia. Secara historis, tradisi umat Islam tentu memiliki cara-cara mendidik anak agar tumbuh dengan baik, memiliki pengalaman dengan sistem perekonomian, 4 Lacan mengistilahkan kondisi ini dengan that there is no Other of the Other. Alfredo Eidelstein menjelaskan rumusan ini sebagai berikut: In the Other, there is no function, which can guarantee it; and what happens is that the subject demands from him a guarantee. If we call this function of guarantee the Other, then there is no function in the Other of Other to itself. That is how we can affirm that there is no Other of the Other. If we go to the field of formal logic, this lack should be enunciated: there is no meta- language. That is to say, there is no language able to logically make coherent another language considered as object-language, given that the former, being a language, could never guarantee the latter because, strictly speaking, it could not guarantee itself. Lihat Alfredo Eidelstein, The Graph of Desire: Using the Work of Lacan. London: Karnac Books, Ltd., 2009, hlm. 237. 151 punya cara sendiri menangani berbagai penyakit dan lain sebagainya. Namun “catatan” sejarah ini baru memiliki makna yang “jelas” bagi orang yang hidup sekarang ketika dia dijahitkan be quilted oleh sebuah penanda yang hampa petanda, yakni kata “Islami” itu sendiri. Di sini pengertian “sekarang” perlu digaribawahi karena makna dan signifikansi sesuatu bagi seseorang selalu terkait dengan “kekinian” dia. Orang membicarakan atau menyebut sesuatu dari masa lalu selalu demi kepentingan keberadaannya di masa sekarang. Tidak ada satu hal pun dari masa lalu yang disebut-sebut hanya demi kepentingan sesuatu itu di masa lalu. Apa yang ingin ditunjukkan di sini adalah makna selalu bersifat retroaktif ketika sudah dijahit oleh penanda utama. Maka kata-kata semisal “rumah tangga” dalam judul Rumahku Surgaku: Membangun Rumah Tangga Berpondasi Takwa , “hutang” dalam judul Allah Maha Penolong: Maka Engkau Gampang Bayar Hutang, “bisnis” dalam judul Shalat Hajat Khusus Untuk Para Pebisnis , dan lain sebagainya mendapat maknanya secara retroaktif setelah dijangkarkan oleh penanda “Islami” sebagai penanda utama. Dalam tataran praktik di arena produksi buku-buku swa-bantu Islami yang melibatkan banyak pihak, seperti yang terlihat dalam pembahasan di bab sebelumnya, nyata sekali bahwa dalam bahasa sehari-hari yang awam terdapat pemahaman tentang apa itu “yang Islami”: termasuk apa saja penanda-penanda, baik verbal maupun visual, yang bisa dipakai untuk mewakili apa “yang Islami” tersebut. Dengan kata lain, terdapat ilusi yang dipakai bersama ketika memproduksi buku-buku swa-bantu Islami, apakah itu oleh pengelola penerbitan, penulis, perancang sampul, bagian pemasaran dan lain sebagainya. Salah satu karakter ilusi yang dimaksud di sini adalah dia tidak berada pada level pertimbangan sadar-rasional consciousness, melainkan pada level 152 ketidaksadaran unconsciousness. Cara kerja ilusi tak sadar ini adalah dengan menganggap ada orang lain yang mempercayai ilusi itu. Jadi, walaupun pada level kesadaran consciousness pengelola penerbitan tahu betul bahwa tak ada masalah kesehatan, ekonomi, kepribadian yang secara esensial terkait langsung dengan keislamian, namun dia percaya bahwa di luar sana, di luar dirinya, ada orang yang mempercayai sebaliknya. Jika semua pihak yang terlibat dalam produksi buku-buku swa-bantu Islami bertindak seperti ini dalam praktik produksi, itu karena ilusi tersebut memang ada di arena perbukuan swa-bantu Islami. Beginilah cara kerja ideologi sebagai fantasi dalam pengertian Zizekian, orang tahu benar apa sesungguhnya yang terjadi, namun bertindak seolah-olah mereka tidak tahu. 5

2. “Islami” sebagai Ideal yang Diminta oleh Liyan Simbolis Pembaca

sebagai Subjek Permintaan Kehadiran penanda “Islami” di tengah kosa kata berbagai wacana kontemporer, yang di dalam literatur politik disebut-sebut sebagai kebangkitan kelompok Islam, tidak terbantahkan. Pertanyaannya adalah mengapa penanda ini jadi penting sehingga memicu perdebatan seputar apa sesungguhnya yang disebut “Islami” itu? Jawabannya adalah karena penanda Islami sebagai penanda utama juga berfungsi sebagai apa yang disebut Lacan sebagai ciri pemersatu Prancis: trait unaire; Inggris: unitary trait. Konsep ini berarti tempat 5 Zizek menyatakan, What they overlook, what they misrecognize, is not the reality but the illusion which is structuring their reality, their real social activity. They know very well how things really are, but still they are doing it as if they did not know. The illusion is therefore double: it consists in overlooking the illusion which is structuring our real, effective relationship to reality. And this overlooked, unconscious illusion is what may be called the ideological fantasy. Lihat Slavoj Zizek, The Sublime Object of Ideology, London: Verso, 2008, hlm. 30. Ketika mengomentari pendapat Zizek tentang ideologi sebagai fantasi ini, Robert Pfaller, menulis “ Instead of looking at what people believe to believe, Zizek’s theory of ideological fantasy investigates the beliefs present in their actions: instead of their “subjective” acknowledged, conscious belief, it looks for people’s “objective,” staged beliefs. Lihat Robert Pfaller, “Where is Your Hamster?: The Concept of Ideology in Slavoj Zizek’s Cultural Theory,” dalam Geoff Boucher, et.al., Traversing the Fantasy: Critical Responses to Slavoj Zizek, London: Ashagate, 2005. hlm. 113. 153 ke mana seseorang mengidentifikasi diri, tempat ke mana seseorang “melekatkan” diri untuk memperoleh identitas. Prinsip kerjanya sama dengan ketika seorang subjek mengidentifkasi diri dengan ego-ideal melibatkan pembayangan Liyan sebagai titik tempat di mana si subjek akan memandang dirinya. 6 Penanda “Islami” menjadi titik di mana pembaca mampu melakukan identifikasi simbolis dengan ego-ideal yang berlaku di tataran simbolis. “Identifikasi simbolis adalah identifikasi dengan tempat di mana kita diamati, tempat dari mana kita melihat diri kita sendiri sedemikian rupa sehingga terlihat layak untuk dicintai.” 7 Konsekuensinya, identifikasi simbolis bisa berlangsung jika seseorang bisa memperoleh “tempat ” di mana dia akan memandangi dirinya. Tempat ini tidak mungkin dikenali jika tidak ada semacam kode yang menjadi dasar baginya untuk memilah-milah tanda-tanda simbolis yang mengambang mengitarinya dan atas dasar itu dia menemukan tempat di mana dia akan memandang dirinya. Kode tersebut tidak akan bisa dipakai men- decoding jika tidak ada satu dasar yang menghubungkan seluruh penanda sehingga bisa melahirkan makna . Maka dalam judul-judul buku swa-bantu yang berfungsi sebagai dasar tersebut adalah penanda utama “Islami,’ karena sebagai penanda utama dia juga sekaligus berfungsi sebagai ciri pemersatu. Karena fungsinya sebagai penentu makna dalam proses identifikasi simbolis, penanda utama inilah yang menginterpelasi individu menjadi subjek yang punya mandat tertentu dalam kehidupan sosialnya. Individu mengalami subjektivasi karena harus tunduk pada 6 “ The unitary acts as a fixed point to which can be attached the other signifiers in the chain that makes up the identity of the subject […], just as the identification with the ego-ideal involves imagining the Other as a point of reference from which everything is seen.” Gilbert Chaitin, Rhetoric and Culture in Lacan, Cambridge: Cambridge University Press, 1996, hlm. 173. 7 “ symbolic identification, [is] identification with the very place from where we are being observed, from where we look at ourselves so that we appear to ourselves likeable, worthy of love.” Lihat Slavoj Zizek, The Sublime Object of Ideology, London: Verso, 2008, hlm 116. 154 makna rangkaian penanda yang melingkupinya. 8 Permintaan yang ditujukan kepada subjek pembaca dalam interpelasi ini kira-kira berbunyi “Jadilah subjek yang Islami. ” Bagaimana caranya untuk jadi subjek Islami yang dimandatkan oleh Liyan Simbolis ini dapat dilihat dari relasi metonimik aneka kata dalam judul dengan penanda “Islami”. Relasi metonimik kata-kata dengan penanda utama “Islami’ yang mengamanatkan keislamian keluarga, misalnya, dapat dilihat dalam judul buku swa-bantu yang memuat kata “sakinah” dalam Keluarga Sakinah Keluarga Surgawi, kata “Qur’ani” dalam judul Membangun Keluarga Qur’ani, kata “barokah” dalam judul Mencapai Keluarga Barokah , atau kata “ahli surga” dalam judul Menjadi Keluarga Ahli Surga . Pendek kata, penanda utama “Islami” dapat digantikan oleh kata-kata lain yang dalam pengetahuan umum sehari-hari dipandang memang dapat menggantikannya. Kata-kata tersebut adalah bagian dari pundi-pundi penanda treasure of signifiers yang dalam psikoanalisa Lacanian dilambangkan dengan S 2. Pundi-pundi penanda ini juga sekaligus menjadi stok pengetahuan siap pakai bagi subjek-subjek yang menghidupi bahasa tempat penanda-penanda itu berada. “Jadilah subjek Islami” sebagai bentuk permintaan Liyan Simbolis bahasa dalam dunia perbukuan swa-bantu Islami adalah permintaan sekaligus perintah yang tak dapat ditawar-tawar dan tak dapat dipersoalkan. Di balik permintaan itu ada perintah “ obey”: patuhi Dia tak dapat ditawar atau dipertanyakan karena permintaan itu hanya menawarkan dua pilihan, ya atau tidak, patuh atau membangkang. Jika permintaan itu ditolak atau tak diakui, maka bahasa yang mengisi buku-buku swa-bantu Islami serta seluruh makna dari pesan-pesan yang 8 “ The point de capiton is the point through which the subject is ‘sewn’ to the signifier, and at the same time the point which interpellates individual into subject by addressing it with the call of a certain master-signifier –in a word, it is the point of the subjectivation of the signifier’s chain.” Lihat Slavoj Zizek, The Sublime Object of Ideology, London: Verso, 2008, hlm 112. 155 termuat di dalamnya akan ambyar, penanda verbal yang terdapat di dalamnya hanya akan menjadi bahasa orang asing yang sama sekali tak bermakna, sementara penanda visual yang ada di sampulnya hanya akan jadi kumpulan image-image tanpa makna . Di sini perlu dicatat bahwa perlawanan terhadap apa yang disampaikan dalam judul-judul buku swa-bantu Islami itu tetap saja mengakui adanya Liyan Simbolis yang meminta sesuatu. Dengan kata lain, pembangkangan atau kritik tidak sama dengan penolakan, sebab penolakan berarti mengekslusi diri dari tatanan simbolis di mana buku swa-bantu Islami berada, dan itu hanya bisa terjadi kegagalan mengalami Liyan Simbolis yang bertahta di dalam bahasa tersebut. Secara kebetulan, pengertian Islam atau muslim –yang berasal dari akar kata salama dalam bahasa Arab dan berarti “keselamatan”—secara terminologis berarti penyerahan diri. Dengan menjadi muslim, seseorang menyerahkan dirinya, keselamatannya, kepada keridhaan Allah. Ini berarti proses menjadi muslimnya seseorang sama dengan proses pembentukan subjek dalam pengertian Lacanian, yakni seorang individu menjadi subjek terbelah sesaat dia menyerahkan dirii pada bahasa. Dengan memasuki alam bahasa dan mendapat posisi di dalamnya sebagai subjek, seseorang harus merelakan ada bagian dari dirinya yang tak bisa terwakili seratus persen oleh bahasa, ada kebutuhan dia yang tak terpenuhi secara total oleh bahasa. Liyan Simbolis dalam dunia perbukuan swa-bantu Islami meminta seseorang pembaca untuk “Jadi seorang muslim”. Sekali permintaan ini diterima, sekali seseorang bersyahadat, maka dia pun harus tunduk. Wujud nyata ketundukan dalam Islam adalah ibadah. Secara formal-normatif tujuan ibadah adalah untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Inilah tujuan ibadah yang terdapat di dalam pengetahuan yang beredar di dalam tradisi Islam 156 – pengetahuan yang merupakan pundi-pundi penanda dan dilambangkan dengan S 2 . Dalam wacana yang berangkat dari pengetahuan tersebut terdapat prinsip keseimbangan: bahwa seorang muslim harus selamat di dunia dan akhirat, di mana cara mendapatkan keselamatan di akhirat adalah dengan cara beribadah. Dalam bahasa sehari-hari “keselamatan” itu secara metonimik bisa berganti menjadi “bahagia”, “sukses,” “berhasil” dan lain sebagainya. Persis di titik ini persoalan hubungan antara dunia dan akhirat tadi muncul. Dengan cara berpikir normatif –artinya dengan mengikuti permintaan Liyan Simbolis– seorang muslim dapat memastikan bahwa keselamatan di akhirat sudah diperoleh jika suruhan Allah dituruti dan larangan-Nya dijauhi. Tapi keselamatan di dunia memunculkan persoalan ketika seorang muslim yang hidup menggunakan bahasa tempat Liyan Simbolis bertahta tak terpenuhi kebutuhannya jika hanya mengikuti permintaan Liyan. Permintaan Liyan kerapkali dianggap berlawanan dengan keinginan duniawi dan hal-hal yang dibayangkan bisa memuaskannya. Di sini kata “dianggap” jadi penting, sebab anggapan inilah yang mengukuhkan keberadaan Liyan Simbolik bahasa dalam tradisi Islam saat seorang muslim mencoba berontak atau melanggar perintah puasa bulan Ramadhan dengan makan minum di siang bolong, misalnya. Anggapan bahwa dia telah melanggar ini justru menegaskan keberadaan Liyan Simbolik itu sendiri. Logika ini dapat menjelaskan ilusi, jadi bukan kesadaranpengetahuan consciousness, yang bekerja di tataran tindakan, sebagaimana disampaikan Pfaller. Ilusi dalam tataran tindakan illusion in the action adalah fantasi yang dipakai sebagai strategi untuk memastikan tataran simbolis tetap berjalan sembari membiarkan hasrat ikut terlibat.