“Islami” sebagai Ideal yang Diminta oleh Liyan Simbolis Pembaca

156 – pengetahuan yang merupakan pundi-pundi penanda dan dilambangkan dengan S 2 . Dalam wacana yang berangkat dari pengetahuan tersebut terdapat prinsip keseimbangan: bahwa seorang muslim harus selamat di dunia dan akhirat, di mana cara mendapatkan keselamatan di akhirat adalah dengan cara beribadah. Dalam bahasa sehari-hari “keselamatan” itu secara metonimik bisa berganti menjadi “bahagia”, “sukses,” “berhasil” dan lain sebagainya. Persis di titik ini persoalan hubungan antara dunia dan akhirat tadi muncul. Dengan cara berpikir normatif –artinya dengan mengikuti permintaan Liyan Simbolis– seorang muslim dapat memastikan bahwa keselamatan di akhirat sudah diperoleh jika suruhan Allah dituruti dan larangan-Nya dijauhi. Tapi keselamatan di dunia memunculkan persoalan ketika seorang muslim yang hidup menggunakan bahasa tempat Liyan Simbolis bertahta tak terpenuhi kebutuhannya jika hanya mengikuti permintaan Liyan. Permintaan Liyan kerapkali dianggap berlawanan dengan keinginan duniawi dan hal-hal yang dibayangkan bisa memuaskannya. Di sini kata “dianggap” jadi penting, sebab anggapan inilah yang mengukuhkan keberadaan Liyan Simbolik bahasa dalam tradisi Islam saat seorang muslim mencoba berontak atau melanggar perintah puasa bulan Ramadhan dengan makan minum di siang bolong, misalnya. Anggapan bahwa dia telah melanggar ini justru menegaskan keberadaan Liyan Simbolik itu sendiri. Logika ini dapat menjelaskan ilusi, jadi bukan kesadaranpengetahuan consciousness, yang bekerja di tataran tindakan, sebagaimana disampaikan Pfaller. Ilusi dalam tataran tindakan illusion in the action adalah fantasi yang dipakai sebagai strategi untuk memastikan tataran simbolis tetap berjalan sembari membiarkan hasrat ikut terlibat. 157 Seluruh penanda yang berelasi secara metonimik dengan penanda utama “Islami” dalam judul-judul buku swa-bantu pada akhirnya berfungsi sebagai kata sifat yang menyifati penanda-penanda lain yang tampil seakan jadi objek hasrat. Penanda-penanda yang disifati sebagai “Islami” ini adalah hal-hal yang menurut produsen buku dipercaya subjek pembaca sebagai hal yang berlawanan dengan permintaan Liyan Simbolis, atau hal yang tak akan mungkin diperoleh jika permintaan Liyan Simbolis dipenuhi secara sempurna. Hal-hal tersebut secara eksplisit terungkap dalam judul-judul buku swa-bantu mulai dari “kaya”, “sehat”, “anak cerdas”, “kenikmatan seks” dan sebagainya. Produsen buku menganggap subjek pembaca percaya bahwa jika permintaan Liyan Simbolis dipenuhi seorang muslim secara sempurna, maka hal-hal tadi tak akan dapat diperoleh. Di balik anggapan produsen ini, terdapat pengandaian naif yang memandang dan sekaligus mereduksi ajaran Islam hanya sebatas soal ibadah untuk mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya agar kelak seorang muslim masuk surga. Anggapan naif inilah yang jadi ideologi yang bekerja dalam produksi buku-buku swa-bantu Islami. Jadi, mengatakan penanda “Islami” begitu menarik minat banyak pihak karena mengandung nilai komersial dan nilai diferensial yang tinggi baru menjelaskan setengah dari persoalan mengapa buku-buku swa-bantu Islami menjadi sangat laku. Karena penjelasan ini cuma sebatas bertumpu pada logika pertukaran, baik pertukaran nilai guna dalam konteks ekonomi maupun nilai tanda dalam konteks relasi sosial. Setengah persoalan yang belum terjawab adalah rahasia apa yang ada di balik buku-buku swa-bantu Islami sehingga begitu menarik minat subjek Muslim? Jawabannya adalah karena Liyan Simbolis yang terdapat dalam tataran simbolis meminta supaya subjek mengidentifikasi diri dengan ego-ideal yang terdapat di dalam tataran simbolis. Penjelasan ini tidak hanya berhenti sampai di sini saja, karena kalau hanya berpatokan pada 158 permintaan Liyan kepada subjek supaya mengidentifikasi diri dengan ego-ideal yang ada dalam tataran simbolis, maka mengapa buku-buku swa-bantu Islami sangat laku hanya terjelaskan dengan menyatakan kebutuhan akan buku itu sebenarnya datang dari luar. Sementara rahasia mengapa permintaan Liyan simbolis itu mampu menggugah subjek pembaca sehingga memburu buku-buku tersebut juga terdapat di dalam “diri” si subjek. Berhadapan dengan permintaan Liyan Simbolis supaya jadi “Islami”, pembaca hanya terperangkap di sebuah lingkaran permintaan. Subjek yang terjebak dalam permintaan Liyan disebut subjek permintaan yang terasing. Dia terasing karena tidak memperoleh pemuasan dari apa yang dia butuhkan. Liyan Simbolis hanya memberikan tawaran-tawaran siap pakai. Setiap kali diterima dan dipakai, masih menyisakan rasa kurang lack. Dia juga disebut subjek makna karena maknalah yang jadi kunci mengapa subjek mencari-cari dari satu tawaran ke tawaran lain. Sebagaimana yang akan dibicarakan selanjutnya, dalam psikoanalisa Lacanian, hubungan kebutuhan subjek dengan permintaan Liyan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut menghasilkan apa yang disebut hasrat. Inilah yang disebut dialektika hasrat. Jika subjek menganggap kebutuhannya dapat dipenuhi dengan menerima permintaan Liyan, dia akan jadi bulan-bulanan permintaan tersebut tanpa mampu mempertanyakan apa sesungguhnya yang diminta Liyan dari dirinya, tanpa mempersoalkan “siapa dia” bagi Liyan atau mengapa dia bagi Liyan adalah dia yang begini dan bukan begitu. Tidak lahirnya pertanyaan ini membuat dia terkungkung di dalam lingkaran setan pemaknaan. 159 3. Permintaan agar “Islami” sebagai Langkah Awal untuk “Menjadi Islami” Pembaca sebagai Subjek Hasrat Kebutuhan akan buku-buku swa-bantu Islami begitu tinggi sehingga menggairahkan industri perbukuan Islam di Indonesia. Subjek pembaca merasa membutuhkan karena dia “belajar” dari orang-orang sekelilingnya, dari apa yang diobrolkan orang lain menggunakan bahasa yang dia dan orang lain pakai, apakah itu dalam bentuk obrolan lisan maupun tulisan. Pendek kata kebutuhan itu dipelajari dari permintaan pihak lain Liyan, kebutuhan itu adalah sesuatu yang dipelajari, bukan sesuatu yang terberi given dalam diri seseorang. Seseorang tidak sejak dari awal tahu bahwa yang dia butuhkan adalah ini atau itu. Apa yang butuhkan pasti dikenali lewat pemberitahuan orang lain melalui medium bahasa. Orang lainlah yang mengatakan bahwa “inilah yang kamu perlukan untuk memuaskan kebutuhanmu” Inilah yang disebut demand of Other permintaan sang Liyan. Karena apa yang akan memuaskan kebutuhan dikenali lewat permintaan orang lain dan melalui perantaraan bahasa ternyata tidak mampu menghilangkan kebutuhan tersebut, maka selalu ada saja yang kurang: masih ada kebutuhan yang harus dipuaskan. Sisa kebutuhan inilah yang kemudian menjadi hasrat. 9 Hasrat adalah apa yang tetap tak terpuaskan meski sudah ada tawaran pemuas yang datang melalui permintaan dari Liyan. Selalu ada saja yang kurang dan meleset. Di dalam sesuatu yang dianggap akan memenuhi kebutuhan masih terdapat hal yang melebihi sesuatu itu, yang masih harus diincar dengan berbagai macam cara. Sesuatu yang lebih dari sekadar sesuatu itulah yang 9 Need minus demand leaves a remainder. Obviously, we are stating that there is something in the need that cannot pass into the demand; and that remainder is what we call desire. Lihat Alfredo Eidelstein, The Graph of Desire: Using the Work of Lacan. London: Karnac Books, Ltd., 2009, hlm. 64. 160 disebut dalam psikoanalisis Lacanian dengan objet petit a sebagai objek penyebab hasrat. Ketika pendorong di dalam diri subjek adalah hasrat yang menuntut agar terpuaskan, subjek mencari-cari apa yang bisa memuaskan hasratnya. Dia mencari dan terus mencari karena apa yang tersedia hanyalah tawaran-tawaran dari Liyan Simbolis. Jika tawaran yang berbentuk permintaan ini diterima, akan selalu menghasilkan sisa kebutuhan yang kemudian juga menuntut untuk dipuaskan. Akibatnya, hasrat bersifat metonimik. Sasarannya bisa bertukar-tukar dari objek yang satu ke objek lain yang disangka mengandung apa yang akan memuaskannya. Sifat metonimik ini tidak muncul karena upaya pemuasannya dilakukan dengan cara coba-coba: berdasarkan logika “kalau ini tidak memuaskan, barangkali itu bisa.” Akan tetapi setiap kali bertemu satu objek yang semula disangka akan memuaskan, yang semula dihasrati, saat itu pula seseorang merasa bahwa bukan objek seperti itu yang dia inginkan this is not it dan dia pun berusaha mencarinya di tempat lain. Kegagalan Liyan Simbolis memberikan kepuasan disebabkan oleh hakikatnya yang juga berkekurangan lack. Apa pun yang ditawarkan Liyan Simbolis pada hakikatnya tidak memiliki jaminan yang berada di luar tataran simbolis untuk memastikan tawaran itu manjur. Keadaan berkekurangan lack di pihak Liyan melahirkan keadaan berhasrat di pihak subjek, yang tak lain juga merupakan keadaan berkekurangan. Kondisi ini ditunjukkan oleh ketidakmampuan orang-orang lain –lewat bahasa yang berlaku di tengah mereka– memastikan objek apa yang akan memenuhi hasrat. Masyarakat menjadi dinamis dan terus mengalami perubahan karena selalu bergerak mencari-cari apa yang akan memenuhi hasrat subjek- subjek yang jadi anggotanya. Objek yang dianggap masyarakat sebagai pemuas 161 kebutuhan diberitahukan kepada seseorang sejak bayi lewat perantaraan bahasa. Namun pada dasarnya objek itu pun akan berganti-ganti mengikuti logika metonimik. Judul-judul buku swa-bantu Islami adalah salah satu wujud dari hasrat Liyan Simbolis yang melingkupi pembaca Muslim. Liyan Simbolis inilah yang “mengajari” pembaca membutuhkan sesuatu: objek-objek yang tercantum dalam judul-judul tersebut seperti “kaya,” “rezeki,” “bahagia”, “sehat,” “istrisuami yang baik,” “orang tua yang baik” dan lain sebagainya. Objek-objek –baca: penanda- penanda– yang terdapat dalam judul-judul tersebut menjadi bermacam-macam karena logika metonomik hasrat membuat subjek tiada lelah mencoba menemukan objet petit a sebagai pemuasnya, sementara permintaan Liyan Simbolis ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan subjek dengan penanda- penanda itu. Penanda-penanda itu selalu melahirkan kondisi berkekurangan lack di pihak subjek dan dengan itulah lahir hasratnya. Dengan hasrat ini dia kemudian berusaha mengganti penanda dengan penanda lain yang memiliki relasi metonimik yang “dikira” bisa memuaskannya. Sifat metonimik hasrat sebagai penyebab beragamnya kata sifat dan kata benda yang dipakai dalam judul-judul buku swa-bantu Islami adalah penjelasan lain yang lebih mendasar dari sudut psikoanalisis ketimbang mengatakan bahwa ramifikasi judul adalah bagian strategi pemasaran yang ditempuh produsen yang ingin memuaskan nafsunya untuk dapat keuntungan. Pertanyaan mengapa sampai lahir judul-judul seperti tertera di dalam tabel di bawah, misalnya, dapat dijawab dengan mengatakan bahwa judul-judul ini mencoba menawarkan objek- objek yang akan memenuhi kebutuhan pembaca. Judul-judul ini –yang masih bisa ditambahi lagi dengan puluhan judul dari tema yang sama– jadi bermacam- macam karena logika metonomik hasrat yang ketika bertemu dengan suatu objek pemuasnya langsung mengatakan “Bukan ini” Sehingga, ketika penanda 162 “bahagia” tidak memuaskan, ditukar dengan “rezeki”, lalu “surga,” lalu “Allah” dan seterusnya. Tabel II.1: Keanekaragaman Judul Akibat Sifat Metonimik Hasrat Bismilah Aku Menikah Demi Allah Sabaiknya Kita Segera Menikah Meraih Berkah Dengan Menikah Kupinang Engkau Dengan Hamdalah Kupinang Engkau Dengan Islami Menikah Itu Indah Dan Berkah Menikah Karena Allah: Bagaimana Mendapatkan Keberkahan Menikah Untuk Bahagia Menikahlah, Allah Akan Memberimu Rezeki Ternyata Orang Yang Menikah Itu Lebih Mudah Masuk Surga Pihak-pihak yang berkepentingan di kutub produksi buku-buku swa-bantu Islami memanfaatkan sifat metonimik dari hasrat calon pembaca untuk melakukan diferensiasi produk. Ketika suatu penerbit telah menerbitkan sebuah buku dengan judul yang mengandung kata “nabi” untuk melekatkan sifat keislamian pada tema pendidikan anak, seperti buku Islamic Parenting: Pendidikan Anak Metode Nabi 10 , dan ternyata meledak di pasaran, maka penerbit lain akan mencari kata lain yang dapat menggantikan kata “nabi” tersebut. Maka beredarlah buku semisal Quantum al‐Fatihah: Membangun Konsep Pendidikan Berbasis Surah Al‐Fatihah. Yang dimanfaatkan oleh pihak produsen buku adalah sikap pembaca yang akan membeli buku kedua demi memuaskan hasratnya yang tak terpuaskan oleh buku yang pertama. Apa yang ditawarkan judul Islamic Parenting: Pendidikan Anak Metode Nabi melahirkan 10 Syaikh Jamal Abdurrahman, Islamic Parenting: Pendidikan Anak Metode Nabi, Solo: Aqwam, 2009. 163 kekurangan lack yang kemudian mendorong pembaca untuk mencari objek lain yang akan memenuhinya. Hal ini kemudian dijawab oleh penerbit lain yang menawarkan judul Quantum al‐Fatihah: Membangun Konsep Pendidikan Berbasis Surah Al‐Fatihah. 11 Hubungan kedua judul ini terletak pada relasi metonimik antara kata “Nabi” dan “Al-Fatihah.” Meskipun penelitian ini tidak fokus pada pembaca, namun sikap pembaca tersebut dapat dibuktikan secara tak langsung. Artinya, berdasarkan permintaan Liyan Simbolis agar pembaca menjadi Islam to be a moslem, subjek-subjek yang memiliki posisi di tatanan simbolik akan terkena permintaan ini. Kebutuhan mereka untuk menjadi Islam diajarkan oleh permintaan Liyan Simbolis. Kebutuhan inilah yang coba dipenuhi oleh produsen buku swa-bantu dengan mengeluarkan buku-buku yang “berjanji” akan memberikan panduan tentang bagaimana jadi muslim sebagaimana diperintahkan Liyan Simbolis tersebut. Apa pun tawaran simbolis yang diberikan Liyan lewat permintaannya tetap menyisakan sesuatu yang kurang dan tak dapat dipenuhi mendorong lahirnya kenyataan dalam dunia perbukaan swa-bantu Islami yang persis sama dengan fenomena yang terjadi dalam hal konsumsi secara umum. Orang terus-menerus mencoba memilikimembeli apa yang dianggap akan menutupi kekurangan itu. Permintaan Liyan Simbolis agar menjadi Islam be Islam menciptakan kekurangan lack pada subjek pembaca. Kekurangan tersebut diekspresikan dalam bahasa sehari-hari dengan ungkapan Ingin belajar Islam. 12 11 Muhammad Anis, Quantum al-Fatihah: Membangun Konsep Pendidikan Berbasis Surah Al- Fatihah, 2010. 12 Salah seorang responden pembaca buku swa-bantu Islami dalam kesempatan wawancara pendahuluan untuk penelitian ini ketika ditanya apa manfaat dan pendapatnya ketika membaca buku swa- bantu menjawab sebagai berikut, “ kesannya.. bagus memberikan inspiratif dan dorongan spiritual yang tinggi kepada pembacanya.. membuka wawasan keislaman yang bagus bagi peneguhan iman”. Wawancara dilakukan lewat ruang ngobrol di media sosial Facebook dengan pengguna dengan akun Abdul Madjid Kudrat tanggal 25 Mei 2010. 164 Dalam psikoanalisis Lacanian objet petit a adalah hal yang mustahil disimbolisasi dalam arti dia tidak bisa dimaknai secara simbolis. Ini penting digarisbawahi agar terhindar dari jebakan yang diciptakan oleh penanda “Islami” sebagai penanda tuan– cum–point de capiton–cum–unitary trait. Fungsi “Islami” sebagai penanda tuan membuatnya rentan untuk dipandang sebagai objet petit a. Seolah-olah yang dihasrati adalah segala sesuatu yang Islami, seolah-olah yang dibutuhkan para pembaca adalah suatu kondisi keislaman hakiki yang maknanya jelas dan tegas. Padahal, sekali lagi, objet petit a mustahil disimbolisasi, mustahil diungkapkan lewat rangkaian kata- kata, termasuk lewat kata “Islami” maupun “keislaman.” Artinya dia tidak mungkin disebutkan menggunakan salah satu di antara sekian banyak kata dan simbol yang ada dalam bahasa. Ketika dia sudah terbahasakan, dia menjadi objek yang “ this is not it”. Prinsip bahwa objet petit a resisten terhadap simbolisasi, tak bisa diungkap dalam rangkain kata-kata sekaligus juga membatalkan asumsi bahwa pihak produsen buku swa-bantu Islami tahu apa sesungguhnya yang akan memuaskan hasrat pembaca, tahu apa sebenarnya yang jadi objet petit a. Hanya saja mereka tidak atau belum mau mengeluarkannya dalam bentuk sebuah buku, pendek kata dalam bentuk penanda, demi meraup keuntungan dari hasil penjualan buku-buku –baca: penanda– semu yang membuat konsumen pembaca selalu mengonsumsi buku keluaran terbaru karena keluaran lama tak memenuhi kebutuhannya. Logika dagang yang dipakai produsen buku bukannya secara sengaja mengibuli calon pembacakonsumen dengan memproduksi pemuas hasrat yang palsu dengan tujuan agar mereka terus menerus membeli dengan harapan bisa memperoleh pemuas yang asli. Posisi agen-agen produsen buku swa-bantu sama dengan posisi subjek pembacakonsumen dalam hubungannya dengan permintaan Liyan Simbolis. Mereka juga berhasrat akan sesuatu objet petit a 165 yang akan memuaskan hasratnya. Ini berarti kritik ideologis terhadap produsen buku-buku Islami tidak bisa dilancarkan dengan menyatakan mereka sengaja mengibuli pembaca dengan merekayasa kebutuhan demi keuntungan. Kritik tersebut dapat dimulai dengan berangkat dari kenyataan bahwa pembaca dan produsen sama-sama berfantasi demi mengelola hasratnya akan objet petit a. Sebagaimana yang akan dibahas di bawah, fantasi ini adalah sebuah strategi subjek untuk mempertahankan subjektivitasnya. Hanya saja di pihak pembaca dan produsen buku-buku swa-bantu, konsekuensi dari strategi tersebut menjadi berbeda. Di pihak pembaca, fantasi itu melahirkan konsumsi, sementara di pihak produsen melahirkan produksi. Penanda utama “Islami” rentang dipandang sebagai objet petit a karena dia juga merupakan penanda hampa empty signifier. 13 “Islami” sebagai sebuah penanda kosong dari acuan hakiki apa pun, sehingga bisa diisi beragam pengertian sesuai dengan perbedaan latar ruang dan waktu. Yang menentukan maknanya adalah penanda utama apa yang berlaku dalam wacana yang pada tiap-tiap ruang dan waktu. Dengan demikian, “Islami” sebagai sebuah penanda dapat dilihat dengan dua cara berbeda. Jika dia dilihat dalam konteks dunia perbukuan swa-bantu Islami Indonesia kontemporer, maka fungsinya adalah penanda utama yang menjahitkan makna secara retroaktif point de capiton dan memberikan identitas yang relatif utuh unitary trait bagi dunia perbukuan tersebut. Kemudian, cara kedua, penanda “Islami” dapat dilihat dari sudut di mana posisinya sama dengan penanda-penanda lain. Di sini maknanya ditentukan oleh penanda utama yang 13 It is not the real object which guarantees as the point of reference the unity and identity of a certain ideological experience - on the contrary, it is the reference to a pure signifier which gives unity and identity to our experience of historical reality itself. […] the unity of a given experience of meaning, itself the horizon of an ideological field of meaning, is supported by some pure, meaningless signifier without the signified. Lihat Slavoj Zizek, The Sublime Object of Ideology, London: Verso, 2008, hlm.108 166 berlaku dalam wacana tempat penanda “Islami” itu dipakai. Misalnya, jika dia muncul dalam wacana yang penanda tuannya adalah “demokrasi,” maka maknanya ditentukan oleh apakah dia diposisikan beriringan atau bertentangan dengan “demokrasi”. Status enigmatik objet petit a sebagai objek penyebab hasrat dan hubungannya dengan bahasa Liyan Simbolis membuat pembicaraan tentang kedirian seseorang tidak sejelas dan sepasti yang dikira. Apa yang dia inginkan ternyata diajarkan oleh pihak lain Liyan Simbolis lewat bahasa dan apa yang diajarkan itu pun ternyata bukan yang sesungguhnya yang dia inginkan: baik dia maupun orang lain pada dasarnya tidak tahu apa-apa tentang apa yang akan memuaskan hasrat lack. Kondisi seseorang yang selalu berusaha memuaskan hasratnya dengan cara menerima “petunjuk” dari orang lain tentang apa yang seyogyanya diinginkan, namun sia-sia karena orang lain pun tidak punya bahasa yang pas seratus persen untuk mengungkapkan apa yang akan memuaskan inilah yang jadi alasan mengapa dalam psikoanalisis Lacanian Lacan subjek selalu disebut subjek terbelah. Ketika subjek berhasrat, ternyata hasratnya itu juga merupakan hasrat orang lain, karena Liyan juga mengalami Lack. Untuk keluar dari keadaan terasing dalam hasrat ini, subjek harus menempuh separasi Dia harus memisahkan hasrat dirinya dengan hasrat Liyan. Dalam konteks buku-buku swa-bantu Islami, subjek pembaca Muslim yang berhasrat ingin punya identitas sejati, katakanlah sebagai “Muslim sejati”, “Muslim seutuhnya,” dan sebagainya, mengalami keterasingan dalam bahasa. Dia terasing karena hanya lewat bahasalah –termasuk lewat judul-judul buku swa-bantu Islami– dia memperoleh identitas sebagai Muslim. Hanya saja identitas yang diberikan tatanan simbolis ini tidak memuaskannya. Ketidakpuasan ini berujung pada dipersoalkannya apa penjamin tawaran yang 167 diberikan Liyan Simbolis. Liyan Simbolis tidak bisa memberikan jaminan, sehingga ternyata LIyan Simbolis juga berkekurangan lack. Liyan Simbolis juga berhasrat akan sesuatu. Sampai di sini, subjek pembaca mengalami keterasingan kedua, kali ini dalam hasrat. Dia harus memisahkan hasratnya dari hasrat Liyan. Dia harus menceraikan identitas keislaman yang dia inginkan dengan identitas keislaman yang didambakan Liyan Simbolis, sebagaimana yang coba diungkapkan oleh Liyan lewat judul-judul buku swa-bantu Islami. Tahap pemisahan separasi ini penting karena jika subjek tidak berhasil melewatinya, maka dia akan jadi mangsa kepuasan Liyan. Dia jadi bulan-bulanan hasrat Liyan. Artinya, jika subjek pembaca buku-buku swa-bantu Islami tidak melewati tahap separasi, dia akan menjadi mangsa penanda-penanda yang ada dalam buku-buku swa-bantu tanpa mampu mengelola sendiri hasratnya akan identitas sebagai seorang Muslim “sejati.” Pemisahan tersebut bisa dilakukan hanya dengan mengatakan “Apa yang kumau bukan ini, dan bukan itu” Ketika Liyan Simbolis menawarkan identitas kemusliman yang begini atau begitu, maka subjek pembaca harus bisa mengatakan “bukan yang begini dan bukan pula yang begitu”. Kondisi buntu ini tentu melahirkan pertanyaannya, “Lantas yang mana?” Jawabannya terdapat dalam fantasi.

4. Fantasi yang Mestinya Dilahirkan Buku Swa-bantu Islami: Strategi Menghadapi Objet petit a

Fantasi adalah sebuah konsep dalam psikoanalisis Lacanian yang berfungsi untuk melanggengkan subjek agar tetap ada dan tidak musnah dilahap 168 oleh permintaan Liyan. 14 Dengan kata lain, supaya subjek tetap jadi subjek hasrat dia harus punya strategi untuk mengelola objet petit a sebagai objek penyebab hasratnya. Dia harus mencari ke dalam objet petit a jaminan baru selain yang ditawarkan oleh Liyan . Strategi itulah yang disebut fantasi, yang akan jadi jalan keluar dari enigma “bukan ini dan bukan pula itu” yang jadi karakter hasrat. Jadi, fantasi bisa lahir jika subjek memiliki objet petit a yang mustahil disimbolisasi, karena dia merupakan remah dari kebutuhan yang tidak bisa terpenuhi oleh tawaran-tawaran permintaan dari Liyan Simbolis. Lacan merumuskan fantasi dengan ◊ a. Elemen kunci dalam rumusan fantasi ini adalah pada tanda belah ketupat ◊ yang memisahkan antara dan a. Apa yang ingin ditunjukkan Lacan dengan lambang belah ketupat rhombus ini adalah bingkai atau batas pandangan dalam “memandang” objet petit a. Mirip ibu jari dan telunjuk dua tangan seorang sutradara yang dijadikannya sebagai “frame” kamera untuk mengira-ngira gambar yang akan diambil untuk filmnya. Pengertian ini membuat rumusan fantasi dari Lacan berdekatan dengan pengertian fantasi dalam bahasa sehari- hari, yakni sesuatu yang dibayangkan secara visual melayang di awang-awang. Dan memang demikianlah fantasi yang dimaksud Lacan sebagai cara keluar dari lingkaran setan permintaan Liyan Simbolis. Fantasi adalah sesuatu yang mengatasi tatanan simbolis, mengawang dan melayang-melayang di atas tataran simbolis. Maka pertanyaannya kemudian adalah apa fantasi yang terkandung di dalam judul-judul buku swa-bantu Islami? Untuk menjawab pertanyaan ini harus dipahami bagaimana logika fantasi sebagaimana yang terdapat dalam rumusan 14 This is what Lacan writes with his formulae of the fantasme, a: being “I” vanished as subject— fading , what rescues me is to desire an object a. Lihat Alfredo Eidelstein, The Graph of Desire: Using the Work of Lacan. London: Karnac Books, Ltd., 2009, hlm. 171. 169 ◊a tadi dan hubungannya dengan dialektika hasrat. Ketika seorang subjek mengalami kebutuhannya tak mampu terpuaskan oleh Liyan Simbolis, kekurangan lack ini kemudian melahirkan hasrat. Hasrat menuntut untuk selalu dipenuhi dengan sesuatu yang justru mustahil disimbolisasi, dan dengan demikian, tak mampu disediakan oleh Liyan Simbolis objet petit a. Supaya subjek tidak lumat dengan kebuntuan ini, dia harus berstrategi: berfantasi. Untuk itulah dia membingkaimembayangkan objet petit a itu. Berdasarkan logika ini jelas kalau fantasi itu tetap berasal tataran simbolis bahasa sebab dia adalah strategi untuk menghadapi permintaan Liyan Simbolis di satu sisi dan untuk mencoba memuaskan hasrat di sisi lain. Sebagaimana disinggung sebelumnya, permintaan Liyan Simbolis dalam judul-judul buku swa-bantu Islami dapat diungkapkan dalam kalimat “Jadilah muslim sejati”, sementara yang jadi hasrat subjek muslim adalah “kemusliman” yang bukan sebagaimana dituntunkan Liyan Simbolis lewat kata-kata judul buku swa-bantu tersebut. Sebab, setelah menerima permintaan Liyan Simbolis supaya jadi Muslim yang begini atau begitu, hasrat subjek selalu menyatakan “Bukan Islam yang begini dan bukan pula yang begitu” yang kuinginkan. Berdasarkan judul-judul buku swa-bantu Islami yang dikumpulkan untuk kepentingan penelitian ini, ternyata fantasi yang ada di balik judul-judul itu adalah fantasi keberhasilan, kesuksesan, yakni situasi di mana seseorang akhirnya sampai pada hasil dari sebuah proses dan berujar, “Akhirnya aku sampai.” Dalam hubungannya dengan permintaan Liyan, fantasi ini tidak memuat apa dan bagaimana sesungguhnya “Muslim” yang diminta Liyan, bagaimana wujud keberhasilan dan kesuksesan jadi being moslem itu. Yang difantasikan adalah “Pokoknya berhasil” titik. Ini disebabkan hasrat subjek akan selalu tak terpenuhi dengan makna keberhasilan maupun makna kemusliman yang ditawarkan Liyan. 170 Akibat dari logika hasrat “yang bukan ini dan bukan itu” tersebut seluruh penanda-penanda yang menunjukkan proses atau panduan tentang bagaimana meraih keberhasilan tersebut menjadi tidak relevan, karena yang jadi tempat berpijak subjek adalah situasi berhasil yang dia fantasikan. Dalam fantasi ini apa pun cara atau proses yang ditempuh memiliki nilai sama, karena toh tempat melangkah sebenarnya sudah merupakan tempat yang jadi tujuan itu sendiri. Ini berarti beragam cara atau proses, apakah melalui shalat, sedekah, doa, atau melalui sikap etis seperti ikhlas, sabar, tawadu’, dan lain sebagainya berelasi metonimik satu sama lain dalam judul-judul buku Islami dan fungsinya hanyalah makna yang beredar di rangkaian penanda yang kemudian diikat oleh satu penanda utama sebagai perwakilan campur tangan permintaan Liyan Simbolis. Mengapa makna-makna yang terkandung dalam segala macam panduan dan cara yang disodorkan Liyan Simbolis untuk mencapai keberhasilan itu bukan objet petit a yang dihasrati? Karena Liyan Simbolis juga mengalami kekurangan lack dalam arti dia tidak memiliki penjamin yang memastikan dia sudah menemukan atau sampai pada objet petit a-nya. Jika dia tidak mengalami kekurangan lack, tentu cara atau panduan yang diberikan adalah yang pasti mengantarkan subjek pembaca ke objek hasratnya. Kalau demikian, maka makna kemusliman sebagaimana yang tertera di judul-judul buku swa-bantu adalah kondisi subjektivitas kemusliman yang sesungguhnya, yang memang dihasrati, dengan kata lain, kondisi kemusliman itu adalah objet petit a. Fantasi keberhasilan tersebut diwakili oleh sebuah buku yang berusaha mencakup semua hal yang ingin dicapai oleh seorang muslim sejati. Buku tersebut berjudul Cara Paling Mudah Menggapai Sukses, Bahagia, dan Selamat di Dunia dan Akhirat Materi dan Non-materi. 171 Gambar II.2: Wujud Fantasi Keberhasilan dalam Sebuah Buku Swa- bantu Islami Fantasi adalah penjamin berfungsinya ideologi. Ia adalah gambaran atas segala hal ideal yang membuat subjek dapat bertahan dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari dan menjalani hidup untuk mencapai ideal-ideal tersebut. Di dalam ideologi tersebut terdapat Liyan Simbolis, supaya mereka berusaha mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, jika ideologi runtuh atau ditelanjangi, dengan kata lain, masyarakat dibiarkan tanpa ideologi, maka keberadaan mereka pun akan bubar, sebab subjek-subjek yang membentuk masyarakat kehilangan konsistensi subjektivitasnya. Dia tidak tahu apa yang akan dipilih atau dilakukan, sebab tak ada bayangan atau gambaran yang lahir dari kesenjangan antara permintaan Liyan dan kekurangan yang selalu dia rasakan. Pendek kata, masyarakat mustahil terbentuk jika tak ada fantasi ideologis tempat para subjek mengalami konsistensi subjektivitasnya. Konsekuensinya, masyarakat akan lumpuh dan bubar jika subjek anggotanya tak punya hasrat. Dan hasrat hanya lahir jika dialektika permintaan Liyan Simbolis dan kebutuhan subjek tidak mengalami jalan buntu. Berdasarkan teori pembentukan subjektivitas dalam psikoanalisa Lacanian, fantasi keberhasilan tadi sebenarnya adalah image, citra, atau sosok yang dibayangkan dapat memuaskan hasrat. Fantasi tersebut adalah image yang ada