“Islami” sebagai Ideal yang Diminta oleh Liyan Simbolis Pembaca
156
– pengetahuan yang merupakan pundi-pundi penanda dan dilambangkan dengan S
2
. Dalam wacana yang berangkat dari pengetahuan tersebut terdapat prinsip
keseimbangan: bahwa seorang muslim harus selamat di dunia dan akhirat, di mana cara mendapatkan keselamatan di akhirat adalah dengan cara beribadah.
Dalam bahasa sehari-hari “keselamatan” itu secara metonimik bisa berganti menjadi “bahagia”, “sukses,” “berhasil” dan lain sebagainya.
Persis di titik ini persoalan hubungan antara dunia dan akhirat tadi muncul. Dengan cara berpikir normatif –artinya dengan mengikuti permintaan Liyan
Simbolis– seorang muslim dapat memastikan bahwa keselamatan di akhirat sudah diperoleh jika suruhan Allah dituruti dan larangan-Nya dijauhi. Tapi
keselamatan di dunia memunculkan persoalan ketika seorang muslim yang hidup menggunakan bahasa tempat Liyan Simbolis bertahta tak terpenuhi
kebutuhannya jika hanya mengikuti permintaan Liyan. Permintaan Liyan kerapkali dianggap berlawanan dengan keinginan
duniawi dan hal-hal yang dibayangkan bisa memuaskannya. Di sini kata “dianggap” jadi penting, sebab anggapan inilah yang mengukuhkan keberadaan
Liyan Simbolik bahasa dalam tradisi Islam saat seorang muslim mencoba berontak atau melanggar perintah puasa bulan Ramadhan dengan makan minum
di siang bolong, misalnya. Anggapan bahwa dia telah melanggar ini justru menegaskan keberadaan Liyan Simbolik itu sendiri.
Logika ini dapat menjelaskan ilusi, jadi bukan kesadaranpengetahuan consciousness, yang bekerja di tataran tindakan, sebagaimana disampaikan
Pfaller. Ilusi dalam tataran tindakan illusion in the action adalah fantasi yang
dipakai sebagai strategi untuk memastikan tataran simbolis tetap berjalan sembari membiarkan hasrat ikut terlibat.
157
Seluruh penanda yang berelasi secara metonimik dengan penanda utama “Islami” dalam judul-judul buku swa-bantu pada akhirnya berfungsi sebagai kata
sifat yang menyifati penanda-penanda lain yang tampil seakan jadi objek hasrat. Penanda-penanda yang disifati sebagai “Islami” ini adalah hal-hal yang menurut
produsen buku dipercaya subjek pembaca sebagai hal yang berlawanan dengan permintaan Liyan Simbolis, atau hal yang tak akan mungkin diperoleh jika
permintaan Liyan Simbolis dipenuhi secara sempurna. Hal-hal tersebut secara eksplisit terungkap dalam judul-judul buku swa-bantu mulai dari “kaya”, “sehat”,
“anak cerdas”, “kenikmatan seks” dan sebagainya. Produsen buku menganggap subjek pembaca percaya bahwa jika permintaan Liyan Simbolis dipenuhi seorang
muslim secara sempurna, maka hal-hal tadi tak akan dapat diperoleh. Di balik anggapan produsen ini, terdapat pengandaian naif yang memandang dan
sekaligus mereduksi ajaran Islam hanya sebatas soal ibadah untuk mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya agar kelak seorang muslim masuk surga. Anggapan
naif inilah yang jadi ideologi yang bekerja dalam produksi buku-buku swa-bantu Islami.
Jadi, mengatakan penanda “Islami” begitu menarik minat banyak pihak karena mengandung nilai komersial dan nilai diferensial yang tinggi baru
menjelaskan setengah dari persoalan mengapa buku-buku swa-bantu Islami menjadi sangat laku. Karena penjelasan ini cuma sebatas bertumpu pada logika
pertukaran, baik pertukaran nilai guna dalam konteks ekonomi maupun nilai tanda dalam konteks relasi sosial. Setengah persoalan yang belum terjawab
adalah rahasia apa yang ada di balik buku-buku swa-bantu Islami sehingga begitu menarik minat subjek Muslim? Jawabannya adalah karena Liyan Simbolis
yang terdapat dalam tataran simbolis meminta supaya subjek mengidentifikasi diri dengan ego-ideal yang terdapat di dalam tataran simbolis. Penjelasan ini
tidak hanya berhenti sampai di sini saja, karena kalau hanya berpatokan pada
158
permintaan Liyan kepada subjek supaya mengidentifikasi diri dengan ego-ideal yang ada dalam tataran simbolis, maka mengapa buku-buku swa-bantu Islami
sangat laku hanya terjelaskan dengan menyatakan kebutuhan akan buku itu sebenarnya datang dari luar. Sementara rahasia mengapa permintaan Liyan
simbolis itu mampu menggugah subjek pembaca sehingga memburu buku-buku tersebut juga terdapat di dalam “diri” si subjek.
Berhadapan dengan permintaan Liyan Simbolis supaya jadi “Islami”, pembaca hanya terperangkap di sebuah lingkaran permintaan. Subjek yang
terjebak dalam permintaan Liyan disebut subjek permintaan yang terasing. Dia terasing karena tidak memperoleh pemuasan dari apa yang dia butuhkan. Liyan
Simbolis hanya memberikan tawaran-tawaran siap pakai. Setiap kali diterima dan dipakai, masih menyisakan rasa kurang
lack. Dia juga disebut subjek makna karena maknalah yang jadi kunci mengapa subjek mencari-cari dari satu tawaran
ke tawaran lain. Sebagaimana yang akan dibicarakan selanjutnya, dalam psikoanalisa
Lacanian, hubungan kebutuhan subjek dengan permintaan Liyan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut menghasilkan apa yang disebut hasrat. Inilah
yang disebut dialektika hasrat. Jika subjek menganggap kebutuhannya dapat dipenuhi dengan menerima permintaan Liyan, dia akan jadi bulan-bulanan
permintaan tersebut tanpa mampu mempertanyakan apa sesungguhnya yang diminta Liyan dari dirinya, tanpa mempersoalkan “siapa dia” bagi Liyan atau
mengapa dia bagi Liyan adalah dia yang begini dan bukan begitu. Tidak lahirnya pertanyaan ini membuat dia terkungkung di dalam lingkaran setan pemaknaan.
159
3. Permintaan agar “Islami” sebagai Langkah Awal untuk “Menjadi Islami” Pembaca sebagai Subjek Hasrat
Kebutuhan akan buku-buku swa-bantu Islami begitu tinggi sehingga menggairahkan industri perbukuan Islam di Indonesia. Subjek pembaca merasa
membutuhkan karena dia “belajar” dari orang-orang sekelilingnya, dari apa yang diobrolkan orang lain menggunakan bahasa yang dia dan orang lain pakai,
apakah itu dalam bentuk obrolan lisan maupun tulisan. Pendek kata kebutuhan itu dipelajari dari permintaan pihak lain Liyan, kebutuhan itu adalah sesuatu
yang dipelajari, bukan sesuatu yang terberi given dalam diri seseorang.
Seseorang tidak sejak dari awal tahu bahwa yang dia butuhkan adalah ini atau itu. Apa yang butuhkan pasti dikenali lewat pemberitahuan orang lain melalui
medium bahasa. Orang lainlah yang mengatakan bahwa “inilah yang kamu perlukan untuk memuaskan kebutuhanmu” Inilah yang disebut
demand of Other permintaan sang Liyan.
Karena apa yang akan memuaskan kebutuhan dikenali lewat permintaan orang lain dan melalui perantaraan bahasa ternyata tidak mampu menghilangkan
kebutuhan tersebut, maka selalu ada saja yang kurang: masih ada kebutuhan yang harus dipuaskan. Sisa kebutuhan inilah yang kemudian menjadi hasrat.
9
Hasrat adalah apa yang tetap tak terpuaskan meski sudah ada tawaran pemuas yang datang melalui permintaan dari Liyan. Selalu ada saja yang kurang dan
meleset. Di dalam sesuatu yang dianggap akan memenuhi kebutuhan masih terdapat hal yang melebihi sesuatu itu, yang masih harus diincar dengan
berbagai macam cara. Sesuatu yang lebih dari sekadar sesuatu itulah yang
9
Need minus demand leaves a remainder. Obviously, we are stating that there is something in the need that cannot pass into the demand; and that remainder is what we call desire. Lihat Alfredo Eidelstein, The
Graph of Desire: Using the Work of Lacan. London: Karnac Books, Ltd., 2009, hlm. 64.
160
disebut dalam psikoanalisis Lacanian dengan objet petit a sebagai objek
penyebab hasrat. Ketika pendorong di dalam diri subjek adalah hasrat yang menuntut agar
terpuaskan, subjek mencari-cari apa yang bisa memuaskan hasratnya. Dia mencari dan terus mencari karena apa yang tersedia hanyalah tawaran-tawaran
dari Liyan Simbolis. Jika tawaran yang berbentuk permintaan ini diterima, akan selalu menghasilkan sisa kebutuhan yang kemudian juga menuntut untuk
dipuaskan. Akibatnya, hasrat bersifat metonimik. Sasarannya bisa bertukar-tukar dari
objek yang satu ke objek lain yang disangka mengandung apa yang akan memuaskannya. Sifat metonimik ini tidak muncul karena upaya pemuasannya
dilakukan dengan cara coba-coba: berdasarkan logika “kalau ini tidak memuaskan, barangkali itu bisa.” Akan tetapi setiap kali bertemu satu objek yang
semula disangka akan memuaskan, yang semula dihasrati, saat itu pula seseorang merasa bahwa bukan objek seperti itu yang dia inginkan
this is not it dan dia pun berusaha mencarinya di tempat lain.
Kegagalan Liyan Simbolis memberikan kepuasan disebabkan oleh hakikatnya yang juga berkekurangan
lack. Apa pun yang ditawarkan Liyan Simbolis pada hakikatnya tidak memiliki jaminan yang berada di luar tataran
simbolis untuk memastikan tawaran itu manjur. Keadaan berkekurangan lack di
pihak Liyan melahirkan keadaan berhasrat di pihak subjek, yang tak lain juga merupakan keadaan berkekurangan.
Kondisi ini ditunjukkan oleh ketidakmampuan orang-orang lain –lewat bahasa yang berlaku di tengah mereka– memastikan objek apa yang akan
memenuhi hasrat. Masyarakat menjadi dinamis dan terus mengalami perubahan karena selalu bergerak mencari-cari apa yang akan memenuhi hasrat subjek-
subjek yang jadi anggotanya. Objek yang dianggap masyarakat sebagai pemuas
161
kebutuhan diberitahukan kepada seseorang sejak bayi lewat perantaraan bahasa. Namun pada dasarnya objek itu pun akan berganti-ganti mengikuti
logika metonimik. Judul-judul buku swa-bantu Islami adalah salah satu wujud dari hasrat
Liyan Simbolis yang melingkupi pembaca Muslim. Liyan Simbolis inilah yang “mengajari” pembaca membutuhkan sesuatu: objek-objek yang tercantum dalam
judul-judul tersebut seperti “kaya,” “rezeki,” “bahagia”, “sehat,” “istrisuami yang baik,” “orang tua yang baik” dan lain sebagainya. Objek-objek –baca: penanda-
penanda– yang terdapat dalam judul-judul tersebut menjadi bermacam-macam karena logika metonomik hasrat membuat subjek tiada lelah mencoba
menemukan objet petit a sebagai pemuasnya, sementara permintaan Liyan
Simbolis ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan subjek dengan penanda- penanda itu. Penanda-penanda itu selalu melahirkan kondisi berkekurangan
lack di pihak subjek dan dengan itulah lahir hasratnya. Dengan hasrat ini dia kemudian berusaha mengganti penanda dengan penanda lain yang memiliki
relasi metonimik yang “dikira” bisa memuaskannya. Sifat metonimik hasrat sebagai penyebab beragamnya kata sifat dan kata
benda yang dipakai dalam judul-judul buku swa-bantu Islami adalah penjelasan lain yang lebih mendasar dari sudut psikoanalisis ketimbang mengatakan bahwa
ramifikasi judul adalah bagian strategi pemasaran yang ditempuh produsen yang ingin memuaskan nafsunya untuk dapat keuntungan. Pertanyaan mengapa
sampai lahir judul-judul seperti tertera di dalam tabel di bawah, misalnya, dapat dijawab dengan mengatakan bahwa judul-judul ini mencoba menawarkan objek-
objek yang akan memenuhi kebutuhan pembaca. Judul-judul ini –yang masih bisa ditambahi lagi dengan puluhan judul dari tema yang sama– jadi bermacam-
macam karena logika metonomik hasrat yang ketika bertemu dengan suatu objek pemuasnya langsung mengatakan “Bukan ini” Sehingga, ketika penanda
162
“bahagia” tidak memuaskan, ditukar dengan “rezeki”, lalu “surga,” lalu “Allah” dan seterusnya.
Tabel II.1: Keanekaragaman Judul Akibat Sifat Metonimik Hasrat Bismilah Aku Menikah
Demi Allah Sabaiknya Kita Segera Menikah
Meraih Berkah Dengan Menikah
Kupinang Engkau Dengan Hamdalah
Kupinang Engkau Dengan Islami
Menikah Itu Indah Dan Berkah
Menikah Karena Allah: Bagaimana Mendapatkan Keberkahan
Menikah Untuk Bahagia
Menikahlah, Allah Akan Memberimu Rezeki
Ternyata Orang Yang Menikah Itu Lebih Mudah Masuk Surga
Pihak-pihak yang berkepentingan di kutub produksi buku-buku swa-bantu Islami memanfaatkan sifat metonimik dari hasrat calon pembaca untuk
melakukan diferensiasi produk. Ketika suatu penerbit telah menerbitkan sebuah buku dengan judul yang mengandung kata “nabi” untuk melekatkan sifat
keislamian pada tema pendidikan anak, seperti buku
Islamic Parenting:
Pendidikan Anak Metode Nabi
10
,
dan ternyata meledak di pasaran, maka penerbit lain akan mencari kata lain yang dapat menggantikan kata “nabi”
tersebut. Maka beredarlah buku semisal
Quantum al‐Fatihah: Membangun
Konsep Pendidikan Berbasis Surah Al‐Fatihah.
Yang dimanfaatkan oleh pihak produsen buku adalah sikap pembaca yang akan membeli buku kedua demi
memuaskan hasratnya yang tak terpuaskan oleh buku yang pertama. Apa yang ditawarkan judul
Islamic Parenting: Pendidikan Anak Metode Nabi
melahirkan
10
Syaikh Jamal Abdurrahman, Islamic Parenting: Pendidikan Anak Metode Nabi, Solo: Aqwam,
2009.
163
kekurangan lack yang kemudian mendorong pembaca untuk mencari objek lain
yang akan memenuhinya. Hal ini kemudian dijawab oleh penerbit lain yang menawarkan judul
Quantum al‐Fatihah: Membangun Konsep Pendidikan
Berbasis Surah Al‐Fatihah.
11
Hubungan kedua judul ini terletak pada relasi metonimik antara kata “Nabi” dan “Al-Fatihah.”
Meskipun penelitian ini tidak fokus pada pembaca, namun sikap pembaca tersebut dapat dibuktikan secara tak langsung. Artinya, berdasarkan permintaan
Liyan Simbolis agar pembaca menjadi Islam to be a moslem, subjek-subjek
yang memiliki posisi di tatanan simbolik akan terkena permintaan ini. Kebutuhan mereka untuk menjadi Islam diajarkan oleh permintaan Liyan Simbolis.
Kebutuhan inilah yang coba dipenuhi oleh produsen buku swa-bantu dengan mengeluarkan buku-buku yang “berjanji” akan memberikan panduan tentang
bagaimana jadi muslim sebagaimana diperintahkan Liyan Simbolis tersebut. Apa pun tawaran simbolis yang diberikan Liyan lewat permintaannya tetap
menyisakan sesuatu yang kurang dan tak dapat dipenuhi mendorong lahirnya kenyataan dalam dunia perbukaan swa-bantu Islami yang persis sama dengan
fenomena yang terjadi dalam hal konsumsi secara umum. Orang terus-menerus mencoba memilikimembeli apa yang dianggap akan menutupi kekurangan itu.
Permintaan Liyan Simbolis agar menjadi Islam be Islam menciptakan
kekurangan lack pada subjek pembaca. Kekurangan tersebut diekspresikan
dalam bahasa sehari-hari dengan ungkapan Ingin belajar Islam.
12
11
Muhammad Anis, Quantum al-Fatihah: Membangun Konsep Pendidikan Berbasis Surah Al-
Fatihah, 2010.
12
Salah seorang responden pembaca buku swa-bantu Islami dalam kesempatan wawancara pendahuluan untuk penelitian ini ketika ditanya apa manfaat dan pendapatnya ketika membaca buku swa-
bantu menjawab sebagai berikut, “ kesannya.. bagus memberikan inspiratif dan dorongan spiritual yang
tinggi kepada pembacanya.. membuka wawasan keislaman yang bagus bagi peneguhan iman”. Wawancara dilakukan lewat ruang ngobrol di media sosial Facebook dengan pengguna dengan akun
Abdul Madjid Kudrat tanggal 25 Mei 2010.
164
Dalam psikoanalisis Lacanian objet petit a adalah hal yang mustahil
disimbolisasi dalam arti dia tidak bisa dimaknai secara simbolis. Ini penting digarisbawahi agar terhindar dari jebakan yang diciptakan oleh penanda “Islami”
sebagai penanda tuan– cum–point de capiton–cum–unitary trait.
Fungsi “Islami” sebagai penanda tuan membuatnya rentan untuk dipandang sebagai
objet petit a. Seolah-olah yang dihasrati adalah segala sesuatu yang Islami, seolah-olah yang dibutuhkan para pembaca adalah suatu
kondisi keislaman hakiki yang maknanya jelas dan tegas. Padahal, sekali lagi, objet petit a mustahil disimbolisasi, mustahil diungkapkan lewat rangkaian kata-
kata, termasuk lewat kata “Islami” maupun “keislaman.” Artinya dia tidak mungkin disebutkan menggunakan salah satu di antara sekian banyak kata dan simbol
yang ada dalam bahasa. Ketika dia sudah terbahasakan, dia menjadi objek yang “
this is not it”. Prinsip bahwa
objet petit a resisten terhadap simbolisasi, tak bisa diungkap dalam rangkain kata-kata sekaligus juga membatalkan asumsi bahwa pihak
produsen buku swa-bantu Islami tahu apa sesungguhnya yang akan memuaskan hasrat pembaca, tahu apa sebenarnya yang jadi
objet petit a. Hanya saja mereka tidak atau belum mau mengeluarkannya dalam bentuk sebuah buku, pendek kata
dalam bentuk penanda, demi meraup keuntungan dari hasil penjualan buku-buku –baca: penanda– semu yang membuat konsumen pembaca selalu mengonsumsi
buku keluaran terbaru karena keluaran lama tak memenuhi kebutuhannya. Logika dagang yang dipakai produsen buku bukannya secara sengaja
mengibuli calon pembacakonsumen dengan memproduksi pemuas hasrat yang palsu dengan tujuan agar mereka terus menerus membeli dengan harapan bisa
memperoleh pemuas yang asli. Posisi agen-agen produsen buku swa-bantu sama dengan posisi subjek pembacakonsumen dalam hubungannya dengan
permintaan Liyan Simbolis. Mereka juga berhasrat akan sesuatu objet petit a
165
yang akan memuaskan hasratnya. Ini berarti kritik ideologis terhadap produsen buku-buku Islami tidak bisa dilancarkan dengan menyatakan mereka sengaja
mengibuli pembaca dengan merekayasa kebutuhan demi keuntungan. Kritik tersebut dapat dimulai dengan berangkat dari kenyataan bahwa pembaca dan
produsen sama-sama berfantasi demi mengelola hasratnya akan objet petit a.
Sebagaimana yang akan dibahas di bawah, fantasi ini adalah sebuah strategi subjek untuk mempertahankan subjektivitasnya. Hanya saja di pihak pembaca
dan produsen buku-buku swa-bantu, konsekuensi dari strategi tersebut menjadi berbeda. Di pihak pembaca, fantasi itu melahirkan konsumsi, sementara di pihak
produsen melahirkan produksi. Penanda utama “Islami” rentang dipandang sebagai
objet petit a karena dia juga merupakan penanda hampa
empty signifier.
13
“Islami” sebagai sebuah penanda kosong dari acuan hakiki apa pun, sehingga bisa diisi beragam
pengertian sesuai dengan perbedaan latar ruang dan waktu. Yang menentukan maknanya adalah penanda utama apa yang berlaku dalam wacana yang pada
tiap-tiap ruang dan waktu. Dengan demikian, “Islami” sebagai sebuah penanda dapat dilihat dengan
dua cara berbeda. Jika dia dilihat dalam konteks dunia perbukuan swa-bantu Islami Indonesia kontemporer, maka fungsinya adalah penanda utama yang
menjahitkan makna secara retroaktif point de capiton dan memberikan identitas
yang relatif utuh unitary trait bagi dunia perbukuan tersebut. Kemudian, cara
kedua, penanda “Islami” dapat dilihat dari sudut di mana posisinya sama dengan penanda-penanda lain. Di sini maknanya ditentukan oleh penanda utama yang
13
It is not the real object which guarantees as the point of reference the unity and identity of a certain ideological experience - on the contrary, it is the reference to a pure signifier which gives unity and
identity to our experience of historical reality itself. […] the unity of a given experience of meaning, itself the horizon of an ideological field of meaning, is supported by some pure, meaningless signifier without
the signified. Lihat Slavoj Zizek, The Sublime Object of Ideology, London: Verso, 2008, hlm.108
166
berlaku dalam wacana tempat penanda “Islami” itu dipakai. Misalnya, jika dia muncul dalam wacana yang penanda tuannya adalah “demokrasi,” maka
maknanya ditentukan oleh apakah dia diposisikan beriringan atau bertentangan dengan “demokrasi”.
Status enigmatik objet petit a sebagai objek penyebab hasrat dan
hubungannya dengan bahasa Liyan Simbolis membuat pembicaraan tentang kedirian seseorang tidak sejelas dan sepasti yang dikira. Apa yang dia inginkan
ternyata diajarkan oleh pihak lain Liyan Simbolis lewat bahasa dan apa yang diajarkan itu pun ternyata bukan yang sesungguhnya yang dia inginkan: baik dia
maupun orang lain pada dasarnya tidak tahu apa-apa tentang apa yang akan memuaskan hasrat
lack. Kondisi seseorang yang selalu berusaha memuaskan hasratnya dengan
cara menerima “petunjuk” dari orang lain tentang apa yang seyogyanya diinginkan, namun sia-sia karena orang lain pun tidak punya bahasa yang pas
seratus persen untuk mengungkapkan apa yang akan memuaskan inilah yang jadi alasan mengapa dalam psikoanalisis Lacanian Lacan subjek selalu disebut
subjek terbelah. Ketika subjek berhasrat, ternyata hasratnya itu juga merupakan hasrat orang lain, karena Liyan juga mengalami Lack. Untuk keluar dari keadaan
terasing dalam hasrat ini, subjek harus menempuh separasi Dia harus memisahkan hasrat dirinya dengan hasrat Liyan.
Dalam konteks buku-buku swa-bantu Islami, subjek pembaca Muslim yang berhasrat ingin punya identitas sejati, katakanlah sebagai “Muslim sejati”,
“Muslim seutuhnya,” dan sebagainya, mengalami keterasingan dalam bahasa. Dia terasing karena hanya lewat bahasalah –termasuk lewat judul-judul buku
swa-bantu Islami– dia memperoleh identitas sebagai Muslim. Hanya saja identitas yang diberikan tatanan simbolis ini tidak memuaskannya.
Ketidakpuasan ini berujung pada dipersoalkannya apa penjamin tawaran yang
167
diberikan Liyan Simbolis. Liyan Simbolis tidak bisa memberikan jaminan, sehingga ternyata LIyan Simbolis juga berkekurangan
lack. Liyan Simbolis juga berhasrat akan sesuatu. Sampai di sini, subjek pembaca mengalami
keterasingan kedua, kali ini dalam hasrat. Dia harus memisahkan hasratnya dari hasrat Liyan. Dia harus menceraikan identitas keislaman yang dia inginkan
dengan identitas keislaman yang didambakan Liyan Simbolis, sebagaimana yang coba diungkapkan oleh Liyan lewat judul-judul buku swa-bantu Islami.
Tahap pemisahan separasi ini penting karena jika subjek tidak berhasil melewatinya, maka dia akan jadi mangsa kepuasan Liyan. Dia jadi bulan-bulanan
hasrat Liyan. Artinya, jika subjek pembaca buku-buku swa-bantu Islami tidak melewati tahap separasi, dia akan menjadi mangsa penanda-penanda yang ada
dalam buku-buku swa-bantu tanpa mampu mengelola sendiri hasratnya akan identitas sebagai seorang Muslim “sejati.”
Pemisahan tersebut bisa dilakukan hanya dengan mengatakan “Apa yang kumau bukan ini, dan bukan itu” Ketika Liyan Simbolis menawarkan identitas
kemusliman yang begini atau begitu, maka subjek pembaca harus bisa mengatakan “bukan yang begini dan bukan pula yang begitu”. Kondisi buntu ini
tentu melahirkan pertanyaannya, “Lantas yang mana?” Jawabannya terdapat dalam fantasi.