Fantasi yang Mestinya Dilahirkan Buku Swa-bantu Islami: Strategi Menghadapi Objet petit a

171 Gambar II.2: Wujud Fantasi Keberhasilan dalam Sebuah Buku Swa- bantu Islami Fantasi adalah penjamin berfungsinya ideologi. Ia adalah gambaran atas segala hal ideal yang membuat subjek dapat bertahan dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari dan menjalani hidup untuk mencapai ideal-ideal tersebut. Di dalam ideologi tersebut terdapat Liyan Simbolis, supaya mereka berusaha mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, jika ideologi runtuh atau ditelanjangi, dengan kata lain, masyarakat dibiarkan tanpa ideologi, maka keberadaan mereka pun akan bubar, sebab subjek-subjek yang membentuk masyarakat kehilangan konsistensi subjektivitasnya. Dia tidak tahu apa yang akan dipilih atau dilakukan, sebab tak ada bayangan atau gambaran yang lahir dari kesenjangan antara permintaan Liyan dan kekurangan yang selalu dia rasakan. Pendek kata, masyarakat mustahil terbentuk jika tak ada fantasi ideologis tempat para subjek mengalami konsistensi subjektivitasnya. Konsekuensinya, masyarakat akan lumpuh dan bubar jika subjek anggotanya tak punya hasrat. Dan hasrat hanya lahir jika dialektika permintaan Liyan Simbolis dan kebutuhan subjek tidak mengalami jalan buntu. Berdasarkan teori pembentukan subjektivitas dalam psikoanalisa Lacanian, fantasi keberhasilan tadi sebenarnya adalah image, citra, atau sosok yang dibayangkan dapat memuaskan hasrat. Fantasi tersebut adalah image yang ada 172 pada ideal-ego, yakni sosok kedirian yang diperoleh dan diidentifikasi saat bercermin, Image ini dianggap bisa memuaskan hasrat ketika seseorang mengidentifikasi diri dengannya, karena dia merupakan citrabayangan dicermin yang dianggap merupakan diri. Ketika bercermin, orang mengatakan “itu bayangannya dicermin adalah aku. Pengidentikan inilah yang jadi dasar anggapan misrecognition bahwa ego-ideal yang diidentifikasi bisa memuaskan hasrat. Dia bersifat imajiner karena berasal dari image citra dan merupakan lokus dari objek yang bersifat metonimik. 15 Fantasi adalah tahap paling menentukan dalam perjalanan subjek –dalam konteks penelitian ini, perjalanan mencari identitas keislaman. Menentukan karena fantasi bukanlah terminal akhir dari perjalanan tersebut. Dia harus dilampaui agar subjek bisa mendapatkan being-nya identitas yang tidak bergantung oleh makna-makna yang berasal dari tatanan Simbolis. Fantasi dilampaui agar subjek memiliki rasa ke-aku-an yang cuma dia yang merasakan dan mengalami, bukan sebagaimana yang dirasakan dan dialami orang lain seperti yang mereka ungkapkan lewat bahasa penanda, termasuk yang terungkap dalam buku-buku swa-bantu Islami. Fantasi yang lahir dari buku-buku swa-bantu Islami mesti dilampaui supaya pembaca memperoleh being-nya yang sesungguhnya, dalam arti subjektivitas yang hanya dia yang “punya,” bukan identitas sebagaimana diamanatkan oleh Liyan Simbolis bahasa. Maka, untuk sekadar ilustrasi, dengan melampaui fantasi keberhasilan sebagai wirausahawan muslim, seorang pengusaha muslim akhirnya menemukan subjektivitasnya yang tidak identik dengan panduan dan tuntunan bagaimana cara menjadi pengusaha muslim yang disampaikan buku- buku berjudul seperti Metafisika Bisnis Bersama Allah; Energi Ketuhanan untuk 15 Geoff Boucher, “The Law as a Thing: Zizek and the Graph of Desire,” dalam Geoff Boucher, et.al., Traversing the Fantasy: Critical Responses to Slavoj Zizek, London: Ashagate, 2005. hlm. 29. 173 berbisnis, atau Shalat Hajat Khusus untuk Para Pebisnis. Dia tidak lagi bergantung pada makna sebagai pengusaha Islami sebagaimana yang diuraikan oleh Liyan Simbolis. Salah satu konsekuensi yang akan dialami oleh subjek pembaca jika berhasil melampaui fantasi adalah memiliki pengalaman berbeda tentang “makna” dosa. Dikatakan berbeda –tidak dikatakan baru– karena ketika subjek berhasil melampaui fantasi dia memperoleh subjektivitas jouissance yang tidak lagi jadi bulan-bulanan permintaanperintah Liyan Simbolis. Dalam tataran simbolis tempat buku-buku swa-bantu Islami, setiap hal yang melanggar atau menerobos permintaan tersebut disebut dosa. Sementara untuk mendapatkan subjektivitas, subjek pembaca harus berfantasi dan melampauinya yang berarti “melanggar” permintaan Liyan Simbolis dengan mempertanyakan apa yang sebenarnya dia maui. Dengan mempertanyakan ini, berarti subjek menggugat apa yang selama ini dimaksud dengan penanda “dosa.” Pengalaman akan “makna” dosa itu tidak baru karena tetap berangkat dari apa yang berlaku di tataran simbolis. Kalau pengalaman itu baru, itu berarti tidak berangkat dari tataran simbolis. Kalau demikian halnya, lantas Liyan Simbolis mana yang dipertanyakan subjek sehingga dia dapat berfantasi? Sebagaimana yang akan dibahas di bawah, kemungkinan pembaca bisa melampaui fantasi ini ditentukan oleh pengetahuan jenis apa yang dia peroleh dari buku swa-bantu, apakah pengetahuan imajiner connaissance atau pengetahuan simbolis savoir. Dia bisa berfantasi dan melampauinya jika pengetahuan yang dia dapat dari buku swa-bantu adalah pengetahuan simbolis savoir. Jika dilihat dari kenyataan produksi yang ditemui dalam perbukuan Islam populer Islami dan dari judul-judul buku swa-bantu Islami yang merupakan salah 174 satu genre utama penggerak industri ini, terdapat indikasi bahwa subjek pembaca secara umum hanya berhenti sampai pada fantasi. Indikasi tersebut dapat dirumuskan seperti berikut: meledaknya produksi buku-buku swa-bantu Islami adalah akibat subjek pembaca terjebak dalam lingkaran metonimik permintaan Liyan Simbolis sehingga tidak mampu mengatasi tatanan simbolis. Terhalangnya subjek untuk mengatasi fantasi tentang apa yang diinginkannya, kegagalannya meninggalkan bayangan tentang apa dan bagaimana dirinya sebagaimana yang dia inginkan, disebabkan oleh kegagalan subjek menyadari bahwa Liyan Simbolis juga berkekurangan lack. Artinya, subjek pembaca tidak menyadari bahwa di tataran simbolis, Liyan tidak memiliki Liyan-nya sendiri other of the Other yang akan menjamin konsistensinya. Di tataran simbolis, Liyan Simbolis tidak memiliki jaminan kebenaran di luar dirinya. Dengan demikian, segala macam kualifikasi keislamian yang dilekatkan kepada berbagai hal-ihwal yang terdapat dalam judul-judul buku swa-bantu Islami tidak bisa dipastikan kebenarannya oleh bahasa yang ada dan tidak ada pula sesuatu di luar bahasa. Kalau pun dalam teologi Islam Allah dapat dijadikan jaminan kebenaran, namun bagaimana jaminan itu disampaikan-Nya kepada manusia pasti melewati perantaraan bahasa, apakah itu dalam bentuk Ayat Quran, Sunnah dan Hadits Nabi, doktrin fiqh dan sebagainya. Walhasil, semua itu tetap saja simbolis. Kegagalan subjek melampaui fantasi, membuatnya malah kembali ke tatanan simbolis untuk mencari makna. Seandainya yang terjadi adalah kebalikan dari pernyataan ini, yakni subjek pembaca mampu melampaui fantasi, tentulah produksi genre swa-bantu Islami tidak akan sampai meledak sedemikian rupa seperti sekarang ini, di mana genre ini nyaris menjadi wacana homogen dalam literatur keislaman di Indonesia. Ketika sampai pada fantasi, pembaca mencari-cari makna ke dalam tatanan simbolis. Makna disediakan tatanan 175 simbolis dunia perbukuan dengan menganekaragamkan judul-judulnya secara metonimik. Pembaca tidak berusaha melangkah meninggalkan fantasi untuk menemukan being-nya, akan tetapi justru kembali ke tatanan simbolik. 16 Pertanyaannya adalah mengapa sampai terjadi seperti ini?

5. Judul-judul Buku Swa-bantu Islami sebagai Fetis Pembaca sebagai Subjek Perversif

Subjek tidak melampaui fantasi dan kembali terikat pada lingkaran permintaan Liyan Simbolis karena ada suatu kenikmatan yang dia peroleh dengan kembali menjadi parasit makna yang tersedia dalam tatanan simbolis. Kenikmatan tersebut adalah kenikmatan yang diperoleh ketika subjek menjadi “mainan” permintaan Liyan. Kondisi ini membuatnya berpindah dari satu objek ke objek lain sesuai permintaan Liyan Simbolis, tanpa mampu menghadapi objet petit a-nya sendiri. Jika dia dapat berfantasi dalam rangka menghadapi objet petit a dan kemudian melampauinya, maka dia berhasil melakukan separasi, pemisahan diri dari Liyan. Akan tetapi, jika dia gagal berfantasi dan tetap menghadapi objek-objek tersebut –artinya dia tidak mengalami separasi–, maka objek tersebut menjadi fetis baginya. Subjek yang memosisikan suatu objek sebagai fetis termasuk ke dalam 16 Meski penelitian ini tidak memfokuskan diri pada sampul buku swa-bantu Islami, namun di sini dapat dinyatakan bahwa secara artistik, artinya jika sampul buku dijadikan salah satu media untuk kreasi seni, sampul-sampul tersebut telah gagal. Dikatakan gagal karena sampul-sampul itu tidak mendorong orang yang melihat untuk melampaui fantasi, melainkan terperangkap pada penanda-penanda visual yang dipajang. Penanda itu menjadi fetis karena tidak memungkinkan yang melihat melampaui fantasi. Penanda-penanda visual yang jadi fetis dan dipakai begitu saja oleh para perancang sampul sekali lagi membuktikan bahwa Liyan Simbolis tidak punya jaminan kepastian apa itu Islam? Lack pada Liyan Simbolis ini dihadapi para perancang dengan menempatkan arabesque, cadar, padang pasir, pedang Arab, onta, bahkan piramida Mesir dan sebagainya, sebagai penambal bagi lack itu. Kreativitas di sini hanya berarti soal kreatif rajin memilih stok penanda yang ada tersedia di google. Konsekuensinya adalah inovasi yang terdapat dalam rancangan-rancangan sampul buku swa-bantu Islami hanya sebagai teknik. 176 kategori subjek perversif. 17 Dalam psikoanalisis Lacanian, rumusan untuk posisi subjek perversif dituliskan jadi a ◊ , kebalikan dari rumus fantasi. Dalam rumusan ini objek a berada pada posisi menentukan, karena objeklah yang dipakai subjek untuk menghilangkan kegelisahannya ketika menghadapi kenyataan bahwa Liyan Simbolis berkekurangan lack. 18 Fantasi sebagai strategi untuk mengatasi kenyataan bahwa Liyan berkekurangan lack tidak bisa dilampaui agar sampai pada apa yang disebut Nama-Sang-Ayah dirumuskan Lacan dengan S Ǿ. Nama-Sang-Ayah adalah “nama” bagi kekurangan lack yang dialami Liyan. Karena gagal mengalami separasi dan menemukan Nama-Sang-Ayah, subjek perversi akhirnya hanya berhadapan dengan permintaan Liyan dan tidak mampu mengalami kekurangan Liyan. Idealnya, subjek pembaca buku-buku swa-bantu Islami harus mampu menemukan Nama-Sang-Ayah ini sebagai nama bagi kekurangan lack Liyan, yakni suatu being moslem keislaman yang tidak mampu dirumuskan Liyan dengan penanda-penanda simbolis. Jika mayoritas pembaca buku-buku tersebut tidak berhasil menemukannya, maka mereka menjadikan penanda-penanda keislamian sebagai objek untuk menutupi kekurangan Liyan. Oleh sebab itu, mayoritas pembaca buku swa-bantu Islami adalah subjek fetisis yang memfetiskan – antara lain– penanda-penanda metonimik dalam judul-judul buku swa-bantu Islami. 17 One way to describe my essential thesis regarding perversion is to say that the pervert has undergone alienation —in other words, primal repression, a splitting into conscious and unconscious, an acceptance or admission of the Name-ofthe- Father that sets the stage for a true coming-to-be of the subject in language unlike the psychotic— but has not undergone separation. Lihat Bruce Fink, A Clinical Introduction to Lacanian Psychoanalysis: Theory and Practice, Cambridge: Harvard University Press, 1999 , hlm. 175. 18 There are, of course, other possibilities of avoiding this hysterical deadlock: the perverse position, for example, in which the subject identifies himself immediately with the object and thus relieves himself of the burden of the question. Lihat Slavoj Zizek, The Sublime Object of Ideology, London: Verso, 2008, hlm 205. 177 Salah satu karakter subjek perversif adalah penyangkalan disavowal. Kekurangan lack di pihak Liyan bukannya tidak diketahui oleh subjek, melainkan disangkal. Karena penyangkalan inilah subjek kemudian berpegang pada objek-objek yang dia gunakan untuk menutupi kekurangan tersebut. Dalam psikoanalisis Lacanian, objek yang dipakai untuk menambal kekurangan lack Liyan itu disebut falus maternal. Di dalam judul-judul buku swa-bantu Islami, aneka rupa penanda yang menyifati figur seorang Muslim –lepas dari usia, gender, status dalam keluarga, dan lain sebagainya– adalah semacam patok yang harus diikuti, ego ideal yang jadi tempat dia melakukan identifikasi simbolis. Sebagai contoh, penanda “bahagia”, “kaya”, “sukses,” “sehat,” “sakinah” dan lain sebagainya adalah permintaan yang harus dipatuhi. Alih-alih mengalami kekurangan lack dan merasakan ketidakpuasan dengan penanda-penanda ini dan kemudian berfantasi supaya bisa melangkah lebih jauh untuk memperoleh suatu subjektivitas yang “otentik” –dalam arti subjektivitas yang tak lagi terikat pada lingkaran setan makna tatanan simbolis–, subjek justru dikendalikan oleh penanda-penanda ini. Subjek merasa bahwa penanda-penanda tersebut bisa mengatasi kekurangan lack pada pihak tatanan simbolis. Akhirnya dia malah dikendalikan oleh penanda-penanda itu. Dia jadi budak fetis. Liyan Simbolis tidak memiliki jaminan kebenaran tentang apa yang ditawarkannya there is no other of the Other. Inilah yang membuatnya berkekurangan lack. Fetisisme penanda yang dialami subjek pembaca buku swa-bantu Islami terjadi manakala dia menjadikan penanda-penanda itu sebagai objek yang akan menanggulangi kekurangan lack Liyan Simbolis. Dalam konteks kehidupan ekonomi, misalnya, kekurangan lack Liyan Simbolis adalah memberikan jaminan bahwa kesejahteraan ekonomi itu pasti tersedia bagi setiap subjek. Maka ketika menghadapi kekurangan ini, subjek pembaca kemudian 178 memosisikan penanda-penanda seperti “kaya”, “rezeki”, atau “hutang” dan “kemiskinan” seperti yang ada dalam dua tabel di bawah, sebagai fetis yang akan menambali apa yang kurang di Liyan Simbolik. Tabel II.2: Judul-judul dengan kata “kaya” dan “rezeki” 5 Cara Jadi Orang Islam Kaya Aku Menikah Maka Aku Kaya Berdhuha Akan Membuatmu Benar2 Sukses Kaya Bacalah Surat Al Waaqiah Maka Engkau Akan Kaya Bersyukur Membuatmu Makin Kaya Istighfar Untuk Sukses Dan Kaya Jika Ingin Cepat Kaya Shadaqah Kaya Bukan Dosa Menjadi Kaya dengan Tawakal Meraih Kaya Cara Rasul Menjadi Sehat Kaya dengan Shadaqah Pakai Otak Kananmu, Dijamin Kaya Amalan Inti Percepat Rezeki Ampuhnya Ayat‐ayat 1000 Dinar agar Hidup Berlimpah Rezeki Mendobrak Pintu Rezeki dengan 7 Jurus Sakti Warisan Nabi Rahasia Amal Ibadah Pembuka Pintu Rezeki Memanggil Rejeki Dengan Doa Umul Barokah Membuka Pintu Rejeki dengan Sujud Sedekah Kunci Pembuka Pintu Rejeki Tabel II.3: Judul-judul tentang Hutang dan Kemiskinan Doa Dan Dzikir Mustajab agar Rejeki Tidak Putus Dan Hutang Trbayar Doa Zikir Bebas Hutang Hidup Tenang Tanpa Hutang Jangan Bertengkar karena Hutang Maha Mustajab Doa2 Pelunas Hutang Tolak Bala Panjang Umur Allah Maha Penolong: Maka Engkau Gampang Bayar Hutang Rumah Tangga Tanpa Hutang Bila Engkau Miskin Doa2 Rahasia Cepat Kaya, Murah Rezeki Anti Miskin Resep Anti Miskin Yang Di Jamin Al‐Quran Shalat Tolak Miskin Mengapa Allah Membuatku Miskin 179 Subjek bukannya tidak tahu perlihal kekurangan lack ini, karena dia tahu persis bahwa “kekayaan”, “rezeki” tidak tersedia bagi setiap orang dan tidak setiap orang bisa lepas dari “hutang” dan “kemiskinan.” Subjek hanya mengingkari kenyataan ini dan tidak mau repot mempersoalkan mengapa orang harus kaya dan memburu rezeki, mengapa diharuskan tidak miskin dan berhutang. Lalu dia pun mengambil penanda-penanda tadi sebagai jalan pintas supaya tidak bersusah-susah mempertanyakan keadaan: bertanya pada dirinya sendiri apakah memang orang hidup harus kaya dalam arti yang umum dipakai, misalnya, atau apa salahnya jika seseorang punya hutang. Dan subjek pun berada pada posisi-subjek perversif. 19 Penanda-penanda yang dijadikan fetis dalam judul-judul buku swa-bantu Islami bisa juga pola ungkapan maksim “jika-maka.” Dalam beberapa judul buku swa-bantu Islami, pola ini mengesankan kepada pembaca semacam instrumentalisasi ibadah untuk tujuan-tujuan yang konkret, keinstanan proses mencapai suatu tujuan, atau keluarbiasaan yang dijanjikan. Judul-judul dengan pola “jika-maka” ini menjadi fetis bagi subjek yang mengingkari kenyataan bahwa Liyan Simbolis kehidupan beragama sebenarnya tidak punya jaminan kebenaran other of the Other tentang apa gunanya beribadah, beramal shaleh, atau berakhlak mulia. Tujuan-tujuan eskatologis seperti pahala dan keselamatan di kehidupan akhirat kelak tetap tidak bisa memberikan kepastian karena tetap harus diuraikan dan ditafsirkan secara simbolis menggunakan bahasa sehari-hari yang dipakai umat Islam. Penyederhanaan tafsiran dalam kosa kata keagamaan, semisal ritual membaca 19 Zizek menyebut subjek yang mempertanyakan keadaan ini sebagai subjek histeris. Sementara perversi adalah alternatif lain untuk menghadapi kebuntuan keadaan akibat permintaan Liyan. “ There are, of course, other possibilities of avoiding this hysterical deadlock: the perverse position, for example, in which the subject identifies himself immediately with the object and thus relieves himself of the burden of the question”. Lihat Slavoj Zizek, The Sublime Object of Ideology, London: Verso, 2008, hlm 205.