Perkembangan Pengaturan Hukum Kepailitan Di Indonesia

adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian. 6. menteri keuangan yakni daam hal debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh menteri keuangan. Pada dasarnya UUK menyatakan bahwa pihak yang dapat dipailitkan adalah semua pihak baik berupa Perusahaan, Firma, Yayasan, Perseroan Terbatas, BUMN, dan lain sebagainya yang bertindak sebagai debitur yang mempunyai hutang dan berkewajiban membayar hutang tersebut kepada krediturnya, namun debitur tersebut ketika sudah jatuh tempo tidak mampu membayarnya kepada para krediturnya, disinilah letak arti kepailitan karena debitur tidak lagi mampu membayar hutang-hutangnya dan takut terjadi perebutan asset debitur oleh para kreditur yang harus dilunasi hutang-hutangnya, maka dimintalah pengadilan untuk mempailitkan debitur dan membagi sisa harta asset debitur kepada masing-masing kreditur secara adil dan seimbang.

H. Perkembangan Pengaturan Hukum Kepailitan Di Indonesia

Pengaturan kepailitan di Indonesia sebelum tahun 1945, diatur dalam Wetboek Van Koophandel WVK, buku Ketiga yang berjudul Van de Voordieningen in Gevalvan Onvermogen van Kooplieden Peraturan tentang Ketidakmampuan Pedagang.Peraturan ni termuat dalam pasal 749 sampai dengan Pasal 910 Wvk, tetapi telahdicabut berdasarkan Pasal 2 Verordening ter Invoering van deFailissemmentsverordening Stb. 1906-348. Peraturan ini berlaku untuk pedagangsaja.Sedangkan kepailitan untuk bukan pedagang pengusaha diatur dalam Reglementop de Rechtsvordening atau disingkat Rv Stb. 1847-52 jo 1849- 63, buku Ketiga,Bab ke Tujuh yang berjudul Van den Staat van Kennelijk Onvermogen tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu , dalam Pasal 899 Universitas Sumatera Utara sampai Pasal 915 yangkemudian dicabut oleh Stb. 1906-348.Adanya dua peraturan ini telah menimbulkan banyak kesulitan dalampelaksanaannya, diantaranya banyak formalitas yang harus ditempuh, biaya tinggi,terlalu sedikit kreditur yang ikut campur dalam proses Kepailitan, dan pelaksanaankepailitan memakan waktu yang lama. Karena adanya kesulitan-kesulitan tersebut maka timbul keinginan untukmembuat peraturan kepailitan yang sederhana dengan biaya yang tidak banyak, agarmemudahkan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, pada tahun 1905 telahdiundangkan Failissementsverordening S. 1905-217 yang terdiri atas Bab I TentangKepailitan Pada Umumnya, dan Bab II Tentang Penundaan Kewajiban PembayaranUtang. Peraturan ini lengkapnya bernama: Verordening op het Failisemment en deSurceance, van Betaling voor de European in Nederlands Indie peraturan untukkepailitan dan penundaan pembayaran untuk orang-orang eropa. BerdasarkanVerordening ter invoering van de Failissementsverordening Stb. 1906-348,failissementsverordening S. 1905-217 itu dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1November 1906.Dengan berlakunya Failissementsverordening tesebut, maka dicabutlah seluruhBuku HI dari WvK dan Reglement op de Rechts verordening, Buku III, Bab Ketujuh,Pasal 899 sampai Pasal 915.Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17Agustus 1945, adanya penekanan pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa segala badan negara dan peraturan yang masih ada masihberlangsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang UndangDasar ini. Berdasarkan Aturan Peralihan tersebut, seluruh perangkat hukum yang berasaldari zaman Hindia Belanda diteruskan berlakunya setelah proklamasi kemerdekaan,kecuali jika bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.Pada Tahun 1947, pemerintah Belanda di Jakarta menerbitkan Peraturan DaruratKepailitan 1947 Noodregelimg Failissement 1947.Tujuannya untuk memberikandasar hukum bagi penghapusan putusan kepailitan yang terjadi Universitas Sumatera Utara sebelum jatuhnyaJepang.Tugas ini sudah lama selesai sehingga Peraturan Darurat Kepailitan 1947 itusudah tidak berlaku lagi. 57 Disempurnakannya FV menjadi Perpu No. 1 Tahun 1998 dan dikuatkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tidak terlepas dari kelemahan yang terkandungdalam FV tersebut. Dari segi substansi, terdapat beberapa kelemahan dalam FV 1905: 58 1. Pertama, tidak jelasnya time frame yang dapat diberikan untuk menyelesaikankasus kepailitan. Akibatnya, untuk menyelesaikan sebuah kasus kepailitandibutuhkan jangka waktu yang lama. 2. Kedua, jangka waktu penyelesaian utang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU juga sangat lama, yaitu memakan waktu 18 bulan. 3. Ketiga, apabila pengadilan menolak PKPU, maka pengadilan tersebut tidak diwajibkan untuk menetapkan debitur dalam keadaan pailit. 4. Keempat, kedudukan kreditur masih lemah. Misalnya dalam hal pembatalan perbuatan debitur yang dapat merugikan kreditur, jangka waktu yang diberikan hanya selama 40 hari sebelum pailit berbeda dengan Undang- Undang No. 4 Tahun 1998 jangka waktu yang diberikan bisa sampai 4 tahun. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 merupakan undang-undang yang dibentukakibat adanya gejolak moneter yang terjadi pada pertengahan 1997. Sedemikianpentingnya, hingga International Monetary Fund turut mensponsori pengkajianPeraturan Kepailitan, yang pada akhirnya melahirkan Perpu No. 1 Tahun 1998 yangmenyempurnakan FV tersebut. 59 57 Adrian Sutedi,“Hukum Kepailitan”, Cetakan Pertama, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 1-2 58 Ibid. 59 Aria Suyudi, dkk.,Analisis Hukum Kepailitan “Kepailitan di Negeri Sendiri”, Cetakan 1, Jakarta: Pusat Studi Hukum Kebijakan Indonesia, 2003, hlm. 25 Universitas Sumatera Utara IMF berpendapat bahwa upaya untuk mengatasi krisis moneter di Indonesia tidakdapat terlepas dari keharusan penyelesaian utang luar negeri dan upayamenyelesaikan kredit-kredit macet perbankan Indonesia. 60 Pada tanggal 22 April 1998 oleh pemerintah Republik Indonesia secara resmitelah mengeluarkan sebuah peraturan pengganti Undang-Undang atau PERPU No. 1tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang kepailitan. Perpu No. 1 tahun1998 ini mulai berlaku setelah 120 hari sejak tanggal diundangkan, yaitu 120 harisejak tanggal 22 April 1998 tersebut. Perpu Kepailitan tersebut kemudian telah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi undang- undang dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. 61 Setelah diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitandan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kepailitan yang tadinya nyaris tidakpernah dilirik oleh praktisi hukum, dalam waktu singkat mengalami lonjakanpermohonan,. Dalam 3 tiga tahun pertama, Pengadilan Niaga rata-rata menerima 72permohonan tiap tahunnya. Hanya dalam tiga bulan beroperasi Pengadilan Niagapada tahun 1998, menerima 31 permohonan pailit, tahun kedua jumlah tersebutmeningkat menjadi 100 permohonan, yang merupakan rekor terbanyak yang diajukandalam satu tahun. Pada tahun ketiga jumlah tersebut sedikit menurun menjadi 84permohonan.Baru pada tahun keempat kuantitas permohonan yang masuk kePengadilan mengalami penurunan.Pada pertengahan tahun keempat PengadilanNiaga hanya menerima 34 Permohonan pailit. 62 Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa setelah Undang-Undang Nomor 4 Tahun1998 mulai berlaku, ternyata dalam praktik timbul beberapa permasalahan, baik yangbersumber dari kelemahan Undang-Undang Kepailitan itu sendiri maupun dalampraktik di pengadilan. 63 Dalam perkembangannya, Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 diganti denganUndang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan 60 Adrian Sutedi, Op.Cit.,hlm. 5 61 Munir Fuady 2 , Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktek, Cetakan ke 2, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 23 62 Aria Suyudi, Dkk.,Op.Cit., hlm. 22 63 Adrian Sutedi, Op.Cit.,hlm. 7 Universitas Sumatera Utara KewajibanPembayaran Utang. Undang-Undang ini lahir karena perkembangan perekonomiandan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini.Juga, mengingat umumnya modal yang dimiliki oleh para pengusaha merupakanpinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal,penerbitan obligasi, maupun cara lain yang diperbolehkan, telah menimbulkanbanyak permasalahan penyelesaian utang-piutang. 64 64 Ibid., hlm. 8 Universitas Sumatera Utara BAB IV ANALISIS PUTUSAN PAILIT NOMOR 08PAILIT2013 PN.NIAGAMDN TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJASAMA DENGAN ADANYA PENAMBAHAN ADDENDUM DILUAR DARI KONTRAK BORONGAN

D. Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian Kontrak Borongan