Analisa Putusan Pailit Nomor 08/Pailit/2013/PN.NIAGA.Mdn
ANALISIS PUTUSAN PAILIT NOMOR
08/PAILIT/2013/PN.NIAGA/MDN TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJASAMA DENGAN ADANYA PENAMBAHAN
(ADDENDUM) DILUAR DARI KONTRAK BORONGAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:
NIM 090200011 MAULIANA
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
ANALISIS PUTUSAN PAILIT NOMOR
08/PAILIT/2013/PN.NIAGA/MDN TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJASAMA DENGAN ADANYA PENAMBAHAN
(ADDENDUM) DILUAR DARI KONTRAK BORONGAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:
NIM 090200011 MAULIANA
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
DISETUJUI OLEH :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
NIP. 196603031985081001 Dr. Hasim Purba, SH. M. Hum
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Muhammad. Hayat, SH
NIP. NIP.
Zulkifli Sembiring SH. MH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhannahu Wata’ala atas segala anugrah rahmat dan hidayahnya yang selalu penulis terima, termasuk sepanjang proses perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini.
Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan yaitu “Analisa Putusan Pailit Nomor 08/Pailit/2013/PN.NIAGA.Mdn Tentang Perjanjian Kerjasama Dengan Adanya Addendum Diluar dari Kontrak Borongan.Yang disusun guna melengkapi dan memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari adanya keterbatsan dalam pengerjaan skripsi ini.selama penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan dukungan , semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak, untik itu pada kesempatan ini penulis banyak mengucapkan terima kasih pada:
1. Bapak Prof.Dr. Runtung Sitepu, S.H,M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof.Dr. Budiman Ginting, S.H,M.Hum selaku Wakil Dekan 1
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H,M.H,DFM selaku Wakil Dekan 2
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr.Oka Saidin S.H.M.Hum Selaku Wakil dekan 3 Fakultas Hukum
Usu
5. Bapak Dr.Hasim Purba, S.H,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
(4)
6. Bapak Muhammad Hayat, S.H selaku Dosen Pembimbing 1 yang telah meluangkan waktu, memberikan ilmu dan membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini.
7. Bapak Zulkifli Sembiring, S.H, M.H selaku Dosen Pembimbing 2 yang
telah meluangkan waktu, memberikan ilmu dan membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini.
8. Ibu Zulfi Chairi , S.H,M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
telah mendidik penulis dalam menjalankan perkuliahan.
9. Seluruh Staf Pengajar dan Pegawai Administrasi Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan seluruh ilmunya kepada penulis dalam menjalan perkuliahan .
10.Teristimewa kepada Orang Tua penulis, buat Ayahku Alimen, Mamakku
Daniah Sinaga, yang senantiasa mendoakan penulis, memberikan semangat bagi penulis, memberikan dukungan materi maupun moril yang tak terhingga dan tak terbalaskan, terima kasih atas perjuangan ayah, mamak yang telah menghantarkanku sampai saat ini.
11.Kepada Abang-Abangku Dedi Irawan, Damei Riantoni dan Adikku Tina
Mayana, terima kasih atas dukungannya semoga abang-abangku dan adikku sukses selalu dalam hidupnya.
12.Buat anakku Syifa Amelia Sinaga yang telah menjadi penguat dan
(5)
13.Kepada seluruh keluarga, kakak ipar Siti Aminah, Delvi Irwani, Tulang, Turang, Disya, Diva, Dwi,Bou,Kela dan seluruh keluarga besar yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
14.Kepada seseorang yang special dalam hidup penulis , Bang Tony yang
telah memberi semangat dan membantu baik materi maupun dukungan yang tak pernah putus.
15.Buat teman sejawat, seperjuangan dan sepenanggungan Ulpa Yanti Purba,
Dewi Ayura Sembiring, Indah Sari Purba. Buat The Moon Lia Hartika, Sharin Alfi Putri, Julia Agnetha , Yolanda Regina, Amanda Nandatama, Winda Imoyati, Sari Mariska, Putri Indah Sari yang telah mensuport, penulis dalam menyusun skripsinya. Dan seluruh teman Stambuk 2009 dan Jurusan Perdata BW.
Terima kasih penulis ucapkan yang sebesar-besarnya tak ada kata-kata yang mampu menggantikannya.Demikian kata pengantar dari penulis.Terima kasih.
Medan 14 Januari 2014
(6)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Permasalahan 5
C. Tujuan Penelitian 5
D. Manfaat Penulisan6
E. Metode Penelitian6
F. Keaslian Penulisan9
G. Sistematika Penulisan10
BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN BORONGAN
A. Pengertian Dan Pengaturan Tentang PerjanjianPemborongan 13
B. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Pemborongan 21
C. Asas Dalam Perjanjian/ Perjanjian Borongan 23
D. Jenis Perjanjian Pekerjaan Borongan 28
E. Addendum (Penambahan) Dalam Perjanjian Borongan 29
F. Syarat Sahnya Perjanjian 31
G. Jangka Waktu Perjanjian Pemborongan Pekerjaan 38
(7)
BAB III TINJAUAN UMUM KEPAILITAN
A. Pengertian Pailit Dan Kepailitan 42
B. Syarat-Syarat Untuk Dinyatakan Pailit46
C. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Pailit 50
D. Perkembangan Pengaturan Hukum Kepailitan Di Indonesia53
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PAILIT NOMOR
08/PAILIT/2013/PN.NIAGA/MDN TENTANG PELAKSANAAN
PERJANJIAN KERJASAMA DENGAN ADANYA
PENAMBAHAN (ADDENDUM) DILUAR DARI KONTRAK BORONGAN
A. Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian Kontrak Borongan 58
B. Ketentuan Penambahan Prestasi (Addendum) Diluar Kontrak Borongan66 C. Analisis Putusan Pailit Nomor 08/Pailit/2013/ PN.Niaga/Mdn Tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Dengan Adanya Penambahan (Addendum) Diluar Dari Kontrak Borongan 68
1. Kronologis Perkara 68
2. Analisis Pertimbangan Hakim 73
3. Analisis Putusan 79
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 80
B. Saran 81 DAFTAR PUSTAKA83
(8)
LAMPIRAN
ABSTRAK
PT. Tunggul Ulung Makmur (PT.TUM) berkantor Jl.Hang Jebat No.4 Kijang Kota Bintan Timur Kabupaten Bintan, Propinsi Kepulauan Riau.PT.TUM melakukan perjanjian kerjasama dengan PT.Usaha Bintan Bersama Sejahtera (PT.UBBS) yang berlamatdi komplek Inti Batam Business & Industrial Park Blok D, No.1-4 Sei.Panas, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Keduanya melakukan perjanjian kerjasama , tahap pertama tanggal 10 juni 2009 PT.TUM member 140 ha biji bouksit kepada PT.UBBS untuk d ekspor. Kemudian tanggal 21 desember 2009 PT.TUM mengadendum perjanjian mereka dengan menambah luas tambangan biji bouksit seluas 30 ha kepada PT.UBBS. Tahap kedua,tanggal 18 Mei 2010 didesa temborak diperluas lagi menjadi 87,9 ha. Dengan perjanjian PT.UBBS harus membayar fee USD 6,7/ton.
Total hasil tambang biji bouksit yang di tambang PT.UBBS yaitu: 1.656.107,80M/T x USD 6,7 = USD 11.095.922,26. Jadi total yang haruss d bayar PT.UBBS adalah USD 11.095.922,26. Kemudian PT.UBBS telah membayar kepada PT.TUM sejumlah USD 8.512.223,66. Jadi utang PT.UBBS sejumlah USD 2.396.812,7.
PT.TUM telah melayangkan surat peringatan (somasi) tertanggal 09 januari 2013 untuk membayar paling lambat tanggal 15 januari 2013 namun tidak di penuhi oleh PT.UBBS.
PT.TUM mengalihkan (cessie) utang PT.UBBS kepada Maswadi sebesar 10% dari hutang PT.UBBS yaitu:USD 239.681,27. Kemudian PT.TUM mengalihkan lagi kepada Yanto sebesar 10% dari hutang PT.UBBS yaitu: USD 239.681,27.
PT.TUM mempunyai hutang kepada Maswadi dan Yanto oleh karena itu PT.TUM mengalihkan utang PT.UBBS. sehingga hutang PT.UBBS kepada PT.TUM adalah USD 1.917.450,16 jika dirupiahkan maka hutang PT.UBBS kepada PT.TUM adalah Rp.22.127.273.846,4 ditambanh keuntungan yang dapat diperoleh PT.TUM tahun 2012/2013 masing-masing 7,25% sehingga
USD.1.917.450,16 x 7,25% =USD 139.015,14 Dirupiahkan menjadi
Rp.3.208.469.431,2 . maka jumlah hutang PT.UBBS kepada PT.TUM yaitu Rp.22.127.374.846,4 + Rp. 3.208.469.431,2 = total Rp.25.335.844.277,6 ,-
Kepada Maswadi 10% x USD 2.396.812,7 =USD 239.681,27 dirupiahkan menjadi Rp. 2.765.921.855 ,- . kepada Yanto 10% x USD 2.396.812,7 = USD.239.681,27. Dirupiahkan menjadi Rp. 2.765.921.855 ,-
Jadi hutang PT.UBBS yaitu kepada PT.TUM Rp.25.335.844.277,6 ,-. Kepada Maswadi Rp.2.765.921.855,- . kepada Yanto Rp.2.765.921.855.
PT.TUM memohonkan pailit PT.UBBS kepada Pengadilan Niaga Medan dengan alasan bahwa hutang PT.UBBS sudah jatuh tempo dan sudah dapat di tagih , kemudian PT.TUM beralasan bahwa kreditur PT.UBBS lebih dari dua, sehingga PT.TUM beranggapan layak memohonkan pailit PT.UBBS. Namun pada persidangan PT.UBBS mengemukakan dalil yang pada pokoknya bahwa PT.TUM lah yang berkewajiban melakukan kewajiban pembayaran sejumlah
(9)
Rp.US$3,292M737,63. Dikarenakan kelebihan bayar akibat PT.TUM tidak melaksanakan ini perjanjian bahwa kadar biji bauksit tidak sesuai dengan isi perjanjian.
Hakim dalam pertimbangannya juga mengikuti ketentuan BAB I Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, dimana yang dimaksud dengan kreditur adalah orang yang mempunyai piutang kerena perjanjian atau undang-undang,yang dapat ditagih dimuka pengadilan. Sedangkan debitur menurut ketentuan Pasal 1 angka 3undang-undang tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan debitur adalah orang yangmempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimukapengadilan.Sementara utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah,baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajibdipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannyadari harta kekayaan debitur.
Mengenai kedudukan Maswadi dan YantoNdey sebagai kreditur lainnya, yang dimajukan oleh PT. TUM, hakim mengambil pertimbangan bahwa untuk membuktikan dalilnya, tersebut PT. TUM menyerahkan dan memindahkan hak (cessi) sebesar 10% (sepuluh persen) pada PT. UBBS,yakni sebesar USD.239.681,-( dua ratus tiga puluh sembilan ribu enam ratus delapan puluh satu dollar amerika) kepada Maswadi dan juga memindahkan tagihan sebesar 10 % (sepuluh persen) pada PT. UBBS, yakni sebesar USD. 239.681,- (dua ratus tiga puluh sembilan ribu enam ratus delapan puluh satu dollar amerika) kepada Yanto
Ndey, yang mana kedua pengalihan piutang (cessie) tersebut, kemudian telah
diberitahukan oleh PT. TUM kepada PT. UBBS.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menetapkan bahwa permohonan pailit yang diajukan PT. TUMuntuk mempailitkan PT. UBBSdikarenakan adanya sejumlah hutang yang belum dibayar dan sudah jatuh tempo ditolak oleh hakim dan permohonan tersebut dinyatakan tidak berlaku. Penolakan tersebut menurut hakim dikarenakan tidak lengkapnya unsur-unsur yang dapat mempailitkan PT. UBBS dikarenakan PT. TUM tidak mampu menujukkan bukti bahwa PT. UBBS memiliki lebih dari 2 kreditur dan pembuktian sederhana dari hutang PT. UBBS tidak mampu dibuktikan oleh PT. TUM. Maka dari itu permohonan pailit yang diajukan PT. TUM terhadap PT. UBBS dinyatakan ditolak dan hakim menghukum PT. TUM untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp. 211.000,- (dua ratus sebelas ribu rupiah).
(10)
LAMPIRAN
ABSTRAK
PT. Tunggul Ulung Makmur (PT.TUM) berkantor Jl.Hang Jebat No.4 Kijang Kota Bintan Timur Kabupaten Bintan, Propinsi Kepulauan Riau.PT.TUM melakukan perjanjian kerjasama dengan PT.Usaha Bintan Bersama Sejahtera (PT.UBBS) yang berlamatdi komplek Inti Batam Business & Industrial Park Blok D, No.1-4 Sei.Panas, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Keduanya melakukan perjanjian kerjasama , tahap pertama tanggal 10 juni 2009 PT.TUM member 140 ha biji bouksit kepada PT.UBBS untuk d ekspor. Kemudian tanggal 21 desember 2009 PT.TUM mengadendum perjanjian mereka dengan menambah luas tambangan biji bouksit seluas 30 ha kepada PT.UBBS. Tahap kedua,tanggal 18 Mei 2010 didesa temborak diperluas lagi menjadi 87,9 ha. Dengan perjanjian PT.UBBS harus membayar fee USD 6,7/ton.
Total hasil tambang biji bouksit yang di tambang PT.UBBS yaitu: 1.656.107,80M/T x USD 6,7 = USD 11.095.922,26. Jadi total yang haruss d bayar PT.UBBS adalah USD 11.095.922,26. Kemudian PT.UBBS telah membayar kepada PT.TUM sejumlah USD 8.512.223,66. Jadi utang PT.UBBS sejumlah USD 2.396.812,7.
PT.TUM telah melayangkan surat peringatan (somasi) tertanggal 09 januari 2013 untuk membayar paling lambat tanggal 15 januari 2013 namun tidak di penuhi oleh PT.UBBS.
PT.TUM mengalihkan (cessie) utang PT.UBBS kepada Maswadi sebesar 10% dari hutang PT.UBBS yaitu:USD 239.681,27. Kemudian PT.TUM mengalihkan lagi kepada Yanto sebesar 10% dari hutang PT.UBBS yaitu: USD 239.681,27.
PT.TUM mempunyai hutang kepada Maswadi dan Yanto oleh karena itu PT.TUM mengalihkan utang PT.UBBS. sehingga hutang PT.UBBS kepada PT.TUM adalah USD 1.917.450,16 jika dirupiahkan maka hutang PT.UBBS kepada PT.TUM adalah Rp.22.127.273.846,4 ditambanh keuntungan yang dapat diperoleh PT.TUM tahun 2012/2013 masing-masing 7,25% sehingga
USD.1.917.450,16 x 7,25% =USD 139.015,14 Dirupiahkan menjadi
Rp.3.208.469.431,2 . maka jumlah hutang PT.UBBS kepada PT.TUM yaitu Rp.22.127.374.846,4 + Rp. 3.208.469.431,2 = total Rp.25.335.844.277,6 ,-
Kepada Maswadi 10% x USD 2.396.812,7 =USD 239.681,27 dirupiahkan menjadi Rp. 2.765.921.855 ,- . kepada Yanto 10% x USD 2.396.812,7 = USD.239.681,27. Dirupiahkan menjadi Rp. 2.765.921.855 ,-
Jadi hutang PT.UBBS yaitu kepada PT.TUM Rp.25.335.844.277,6 ,-. Kepada Maswadi Rp.2.765.921.855,- . kepada Yanto Rp.2.765.921.855.
PT.TUM memohonkan pailit PT.UBBS kepada Pengadilan Niaga Medan dengan alasan bahwa hutang PT.UBBS sudah jatuh tempo dan sudah dapat di tagih , kemudian PT.TUM beralasan bahwa kreditur PT.UBBS lebih dari dua, sehingga PT.TUM beranggapan layak memohonkan pailit PT.UBBS. Namun pada persidangan PT.UBBS mengemukakan dalil yang pada pokoknya bahwa PT.TUM lah yang berkewajiban melakukan kewajiban pembayaran sejumlah
(11)
Rp.US$3,292M737,63. Dikarenakan kelebihan bayar akibat PT.TUM tidak melaksanakan ini perjanjian bahwa kadar biji bauksit tidak sesuai dengan isi perjanjian.
Hakim dalam pertimbangannya juga mengikuti ketentuan BAB I Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, dimana yang dimaksud dengan kreditur adalah orang yang mempunyai piutang kerena perjanjian atau undang-undang,yang dapat ditagih dimuka pengadilan. Sedangkan debitur menurut ketentuan Pasal 1 angka 3undang-undang tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan debitur adalah orang yangmempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimukapengadilan.Sementara utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah,baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajibdipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannyadari harta kekayaan debitur.
Mengenai kedudukan Maswadi dan YantoNdey sebagai kreditur lainnya, yang dimajukan oleh PT. TUM, hakim mengambil pertimbangan bahwa untuk membuktikan dalilnya, tersebut PT. TUM menyerahkan dan memindahkan hak (cessi) sebesar 10% (sepuluh persen) pada PT. UBBS,yakni sebesar USD.239.681,-( dua ratus tiga puluh sembilan ribu enam ratus delapan puluh satu dollar amerika) kepada Maswadi dan juga memindahkan tagihan sebesar 10 % (sepuluh persen) pada PT. UBBS, yakni sebesar USD. 239.681,- (dua ratus tiga puluh sembilan ribu enam ratus delapan puluh satu dollar amerika) kepada Yanto
Ndey, yang mana kedua pengalihan piutang (cessie) tersebut, kemudian telah
diberitahukan oleh PT. TUM kepada PT. UBBS.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menetapkan bahwa permohonan pailit yang diajukan PT. TUMuntuk mempailitkan PT. UBBSdikarenakan adanya sejumlah hutang yang belum dibayar dan sudah jatuh tempo ditolak oleh hakim dan permohonan tersebut dinyatakan tidak berlaku. Penolakan tersebut menurut hakim dikarenakan tidak lengkapnya unsur-unsur yang dapat mempailitkan PT. UBBS dikarenakan PT. TUM tidak mampu menujukkan bukti bahwa PT. UBBS memiliki lebih dari 2 kreditur dan pembuktian sederhana dari hutang PT. UBBS tidak mampu dibuktikan oleh PT. TUM. Maka dari itu permohonan pailit yang diajukan PT. TUM terhadap PT. UBBS dinyatakan ditolak dan hakim menghukum PT. TUM untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp. 211.000,- (dua ratus sebelas ribu rupiah).
(12)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan perekonomian Indonesia baik dibidang perbankan, industri, real estate, properti, eksport import dan lain sebagainya menumbuhkan banyak
perusahaan-perusahaan baru yang memadai dalam bidang-bidang tersebut. Dalam perkembangannya banyak terjadi hubungan kontrak antara perusahaan satu dengan perusahaan yang lain. Hubungan-hubungan tersebut biasanya berasal dari kontrak perjanjian yang dibuat baik secara parsial ataupun borongan.Negara Indonesia kebanyakan mengurusi proyek-proyek pekerjaan borongan baik yang datang dari pemerintah, swasta domestik maupun asing.Sedangkan
pelaksanaannya hanya sebagian kecil yang ditangani pemerintah, selebihnya sangat diharapkan peran serta pihak swasta baik sebagai investor maupun sebagai kontraktor dimana dalam hal ini kontraktor bekerja dengan sistem pemborongan pekerjaan, itulah sebabnya kontraktor disebut rekanan karena kontraktor dianggap sebagai rekan kerja.
Perjanjian pemborongan pekerjaan yang berasal dari pemerintah untuk pengadaan barang dan jasa dilakukan melalui proses lelang seperti yang telah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang berasal dari swasta yang diperoleh langsung sebagai hasil perundingan antara pemberi tugas (swasta) dengan pemborong (swasta).
Borongan pekerjaan yang berasal dari pihak swasta dan kebanyakan dikerjakan oleh perusahaan jasa konstruksi (pemborong) tersebut perlu dibuat suatu perjanjian atau kontrak yang mengikat kedua belah pihak.Secara garis besar, tatanan hukum perdata memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk saling mengadakan perjanjian tentang apa saja yang dianggap perlu bagi tujuannya. Sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan
(13)
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagaimana undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Dalam pemborongan pekerjaan terdapat tiga kelompok yang berkepentingan, yaitu perusahanan pemberi pekerjaan pemborongan (perusahaan pemberi pemborongan), perusahaan penerima pekerjaan pemborongan (perusahaan penerima pemborongan), dan pekerja.
R. Subekti menjelaskan bahwa diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi mengenai apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti undang-undang atau dengan perkataan lain, dalam soal perjanjian, diperbolehkan membuat undang-undang bagi para pihak sendiri. Pasal-pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku, apabila jika tidak mengadakan
aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang diadakan itu.1
Penambahan ini lazimnya disebut addendumkontrak dimana terdapat point
penambahan prestasi perjanjian diluar dari kontrak awal yang diseepakati.Dalam perjanjian borongan swasta penambahan ini lazim dilakukan, dengan menambah atau mengganti spesifikasi materi atau bahan yang terdapat dalam isi
kontrak.Namun dalam pelaksanaannya pemenuhan isi perjanjian awal dan penambahan isi kontrak (addendum) tersebut terdapat permasalahan ataupun hal yang tidak diduga yang menghambat pemenuhan pelaksanaan perjanjian tersebut, sehingga dalam salah satu perjanjian tersebut merasa dirugikan dengan tidak terpenuhinya prestasi atau perjanjian borongan tersebut. Sehingga pihak yang merasa dirugikan melakukan upaya-upaya agar pihak yang tidak memenuhi prestasi segera memenuhi seluruh isi perjanjian borongan tersebut mulai dari memberikan somasi, teguran, untuk melakukan pekerjaan yang disepakati, bahkan ada pihak yanag melaporkan ke kepolisian dengan alasan pihak yang tidak
melakukan prestasi tersebut telah melakukan penipuan , padahal jelas dasar mereka melakukan kerja sama adalah perjanjian. Selain itu terdapat pihak yang
Dalam prakteknya, diwaktu pelaksanaan perjanjian atas isi dari konrak sering terjadi penambahan-penambahan isi perjanjian yang diperjanjikan diluar kontak aslinya yang sebelumnya tidak dicantumkan dalam isi kontrak awal yang terlebih dahulu disepakati oleh para pihak yang melakukan perjanjian.
1
(14)
rancu melayangkan gugatan kepengadilan dimana seharusnya yang dilyangkan adalah gugatan wanprestasi, tetapi kenyataan dilapangan mereka melayangkan permohonan pailit.Permasalahan seperti inilah yang sering muncul dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan, sehingga perlu adanya pengetahuan bagi para pihak mengenai dasar mengajukan permohonan pailit.
Dalam skripsi ini perjanjian kerjasama (borongan) yang akan dibahas yakni perjanjian antara PT. Tunggul Ulung Makmur (PT. TUM) Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia, bergerak di bidang perdagangan umum, perindustrian, pertanian, pertambangan, kehutanan, telekomunikasi, jasa, percetakan, kontraktor real estate dan transportasi dengan PT .Usaha Bintan Bersama Sejahtera (PT. UBBS). Kedua perusahaan tersebut melakukan Perjanjian Kerjasama pada tanggal 10 Juni 2009 yang pada intinya memuat hal-hal tentang hak dan kewajiban PT. TUM dan PT. UBBS export hasil penambangan Biji Bouksit dilokasi tambang di Desa Kelong, Kecamatan Bintan Pesisir, Kabupaten Bintan Provinsi Kepri, seluas + 140 Ha (seratus empat puluh hektar). Perjanjian tersebut pada initinya PT. UBBS memberikan fee kepada PT. TUM sebagai royalti atas perjanjian kerjasama export biji bouksit tersebut. Dalam perjanjian tersebut terdapat beberapa kali penambahan (addendum) yang sudah disetujui kedua belah pihak. Namun pada kenyataannya ditengah pelaksanaan perjanjian PT. UBBS dengan adanya penambahan (addendum) tersebut terlambat atau telah jatuh tempo memberikan fee kepada PT. TUM, sehingga PT. TUM melayangkan gugatan ke pengadilan niaga untuk mempailitkan PT. UBBS, disini terjadi kerancuan hukum perjanjian yang dilakukan PT. TUM, karena bagaimana mungkin PT. UBBS di mohonkan pailit oleh PT. TUM, padahal awal mereka melakukan kerjasama adalah atas dasar perjanjian, hal inilah yang menjadi dasar
pengambilan judul skripsi ini dengan judul “Analisis Putusan Pailit Nomor
08/Pailit/2013/ PN.Niaga/Mdn Tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Dengan Adanya Penambahan (Addendum) Diluar Dari Kontrak Borongan”.
(15)
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini yaitu:
1. Bagaimana kedudukan para pihak dalam perjanjian kontrak borongan?
2. Bagaimana ketentuan penambahan prestasi (addendum) diluar kontrak
borongan yang seharusnya?
3. Bagaimana penerapan hukum pailit dalam kasus-kasus perdata (Analisis
Putusan Pailit Nomor 08/Pailit/2013/ PN.Niaga/Mdn)?
C. Tujuan Penulisan
Skripsi ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya tentang hukum yang mengatur tentang perjanjian borongan dan kepailitan di negara Indonesia. Sesuai permasalahan yang diatas adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui tentang kedudukan para pihak dalam perjanjian kontrak
borongan.
2. Untuk mengetahui ketentuan yang seharusnya mengenai penambahan prestasi
(addendum) diluar kontrak borongan.
3. Untuk mengetahui penerapan hukum pailit dalam kasus-kasus yang pada
pokoknya berasal dari perjanjian, dan untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menentukan pokok perkara dalam kepailitan.
D. Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini tidak dapat dipisahkan dari tujuan penulisan yang telah diuraikan diatas, yaitu:
(16)
1. Manfaat secara teoritis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum, khususnya pengetahuan ilmu hukum keperdataan.Selain itu, diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.
2. Manfaat secara praktis
Secara praktis diharapkan agar penulisan skripsi ini dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan para pihak yang berperan serta yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan perannya dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada para pihak dalam setiap proses pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang ada di Indonesia.
E. Metode Penelitian
Bambang Sunggono menyatakan bahwa dalam penulisan sebuah karya ilmiah ada 2 (dua) jenis metode penelitian, yaitu penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak
dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.Penelitian kepustakaan demikian dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian
lapangan).2
Penelitian yuridis empiris disebut juga dengan penelitian hukum non doktrinal karena penelitian ini berupa studi-studi empiris untuk
menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum didalam masyarakat. Atau yang disebut
juga sebagai Socio Legal Research.3
2
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 81
3
(17)
1. Spesifikasi Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dalam menyusun skripsi ini, jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu metode atau cara meneliti bahan pustaka yang ada. Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk
mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang di tujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).
Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yakni suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan
menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian normatif ini menggunakan metode pendekatan yuridis yang bertujuan untuk mengerti dan memahami gejala yang di teliti
2. Data penelitian
Materi dalam skripsi ini diambil dari data-data sekunder. Adapun data-data sekunder yang dimaksud adalah:
a. Bahan hukum primer
Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini diantaranya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang Dan Jasa.
(18)
Yaitu semua dokumen yang merupakan bacaan yang relevan seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, putusan, yurisprudensi, koran, karya tulis ilmiah dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan materi yang diteliti
c. Bahan hukum tersier
Yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensklopedi dan sebagainya.
3. Teknik pengumpulan data
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara sistematis digunakan buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.4
F. Keaslian Penulisan 4. Analisis data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif
dilakukan guna mendapatkan data yang deskriptif, yaitu data-data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.
Penulisan dalam skripsi yang berjudul “Analisis Putusan Pailit Nomor 08/Pailit/ 2013/PN.Niaga/Medan Tentang Pelaksanaan PerjanjianKerjasama Dengan Adanya Penambahan (Addendum) Diluar Dari Kontrak Borongan” adalah
4
(19)
hasil pemikiran sendiri.Skripsi ini menurut sepengetahuan, belum pernah ada yang membuat.Kalaupun ada seperti beberapa judul skripsi yang hampir mirip dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara moral dan ilmiah. Pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara juga telah dilakukan dan dilewati, maka ini juga dapat mendukung tentang keaslian penulisan.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan menguraikan pembahasan masalah skripsi ini, maka penyusunannya dilakukan secara sistematis. Skripsi ini terbagi dalam 5 (lima) BAB, yang gambarannya sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN BORONGAN
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang
pengertian dan pengaturan tentang perjanjian pemborongan, pihak-pihak dalam perjanjian pemborongan, asas dalam perjanjian/ perjanjian borongan, jenis perjanjian pekerjaan borongan, addendum (penambahan) dalam perjanjian borongan, syarat sahnya perjanjian, jangka waktu perjanjian pemborongan pekerjaan, wanprestasi dan akibat hukumnya
BAB III TINJAUAN UMUM KEPAILITAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengertian pailit dan kepailitan, syarat-syarat untuk dinyatakan pailit, pihak-pihak yang dapat mengajukan pailit, pihak-pihak-pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit, perkembangan pengaturan hukum kepailitan di indonesia.
(20)
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PAILIT NOMOR 08/PAILIT/ 2013/ PN.NIAGA/MDN TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIANKERJASAMA DENGAN ADANYA PENAMBAHAN (ADDENDUM) DILUAR DARI KONTRAK BORONGAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai kedudukan para pihak dalam perjanjian kontrak borongan, ketentuan penambahan prestasi (addendum) diluar kontrak borongan, analisis Putusan Pailit Nomor 08/Pailit/2013/
PN.Niaga/Mdn tentang pelaksanaan perjanjian kerjasama dengan adanya penambahan (addendum) diluar dari kontrak borongan baik dalam hal kronologis perkara, analisis
pertimbangan hakim, dan analisis amar putusan dalam perkara kepailitan ini.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran mengenai permasalahan yang dibahas.
(21)
BAB II
TINJAUAN UMUM PERJANJIAN BORONGAN
I. Pengertian Dan Pengaturan Tentang Perjanjian Pemborongan 1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,
dalam Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) yang dimaksud
dalam Pasal 1313 KUHPerdata hanya terjadi atas izin atau kehendak (toestemming) dari semua mereka yang terkait dengan persetujuan itu, yaitu
mereka yang mengadakan persetujuan atau perjanjian yang bersangkutan.5
Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula
terlalu luas.6
Menurut R. Wirjono Projodikoro, suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan
Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai
perjanjian sepihak saja.Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dinilai dengan uang.
5
Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik Dan Penjelasannya, Cetakan 2, (Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 1990), hlm. 430
6
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, (Bandung: Alumni, 1993), hlm. 65
(22)
janji itu.7R. Wirjono Prodjodikoro, juga mendefinisikan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji
itu.8Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji
kepada seseorang lain atau dimana itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal.9 Pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang
memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum
(rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Kalau demikian, perjanjianadalah hubungan hukum/
rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara
perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum
antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam
lingkungan hukum.Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda.Salah satu sumber perikatan adalah perjanjian.Perjanjian melahirkan perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam perjanjian
tersebut.10
7
R. Wirjono Prodjodikoro(1), Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertulis, (Bandung: Subur,1991), hlm.1
8
R. Wirjono Prodjodikoro(2), Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Subur, 1991), hlm. 9
9
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1994), hlm. 1 10
Karitini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian. (Jakarta :RajaGrafindo Perkasa), hlm. 92
Ini berarti suatu perjanjian menimbulkan kewajiban atau prestasi dari satu orang kepada orang lainnya yang berhak atas pemenuhan prestasi tersebut. Dengan kata lain, bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana pihak yang satu wajib untuk memenuhi suatu prestasi dan pihak lain berhak atas prestasi tersebut.Sebagaimana telah dinyatakan di atas bahwa perjanjian menimbulkan prestasi terhadap para pihak dalam perjanjian tersebut. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh salah
(23)
Prestasi terdapat baik dalam perjanjian yang bersifat sepihak atau unilateral agreement, artinya prestasi atau kewajiban tersebut hanya ada pada satu pihak tanpa adanya suatu kontra prestasi atau kewajiban yang diharuskan dari pihak
lainnya.11
Prestasi juga terdapat dalam perjanjian yang bersifat timbal balik atau
bilateral (or reciprocal agreement), dimana dalam bentuk perjanjian ini masing-masing pihak yang berjanji mempunyai prestasi atau kewajiban yang harus
dipenuhi terhadap pihak yang lainnya.12
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian
Pengaturan hukum perikatan menganut sistem terbuka.Artinya setiap orang bebas melakukan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun belum diatur.Dalam Pasal 1338 KUHPerdata dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagaiundang-undang bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk:
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya
d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.13
Sedangkan unsur-unsur perjanjian adalah sebagai berikut:
1) Ada beberapa para pihak
2) Ada persetujuan antara para pihak
3) Adanya tujuan yang hendak dicapai
4) Adanya prestasi yang akan dilaksanakan
5) Adanya bentuk tertentu lisan atau tulisan
6) Adanya syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.14
11
Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 150
12 Ibid. 13
Martin Roestamy & Aal Lukmanul Hakim, Bahan Kuliah Hukum Perikatan, (Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor), hlm. 5
(24)
2. Pengertian Perjanjian Pemborongan
Dalam KUH Perdata, perjanjianpemborongan disebut dengan istilah pemborongan pekerjaan.Menurut Pasal 1601 b KUH Perdata pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan mana pihakyang satu, si pemborong
mengikatkan diri untuk menyelesaikansuatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan,dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Dari
rumusan pasal tersebut dapat dilihat bahwa adanya perjanjian antara pemborong dengan pemberi pekerjaan untuk menyelasikan pekerjaan pihak lain.
Perjanjian dimana suatu pihak menghendaki dari pihak lawannya sebagai bentuk perjanjian tertentu, maka perjanjian pemborongan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan umum perjanjian yang diatur dalam title I sampai dengan IV Buku III KUHPerdata. Dalam Buku III KUHPerdata, diatur mengenai ketentuan-ketentuan umum yang berlaku terhadap semua perjanjian yaitu perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata maupun jenis perjanjian-perjanjian baru yang belum ada aturannya dalam undang-undang.
Menurut Subekti, pemborongan pekerjaan (aanneming van werk) ialah
suatu perjanjian, dimana satu pihak menyanggupi untuk keperluan pihak lainnya, melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan pembayaran upah yang ditentukan pula.15
14
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti,1990), hlm. 80
15
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Bandung: Intermasa, 1987), hlm. 174 Pemborongan pekerjaan merupakan persetujuan antara kedua belah pihak yang menghendaki hasil dari suatu pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lainnya, atas pembayaran sejumlah uang sebagai harga hasil pekerjaan. Disini tidaklah penting bagi pihak yang memborongkan pekerjaan bagaimana pihak yang memborong pekerjaan mengerjakannya, karena yang dikehendaki adalah hasil dari pekerjaan tersebut, yang akan diserahkan kepadanya dalam keadaan baik (mutu dan kwalitas/kwantitas) dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.
(25)
Ketentuan pemborongan pada umumnya diatur dalam Pasal 1601 sampai dengan Pasal 1617 KUHPerdata. Perjanjian pemborongan bangunan juga
memperhatikan berlakunya ketentuan-ketentuan perjanjian untuk melakukan pekerjaan, khususnya bagi bangunan yang diatur dalam KUH Perdata yang berlaku sebagai hukum pelengkap peraturan tersebut pada umumnya mengatur tentang hak-hak dan kewajiban pemborong yang harus diperhatikan baik pada pelaksanaan perjanjian, dan berakhirnya perjanjian.
Pemborong bertanggungjawab dalam jangka waktu tertentu, pada masa ini pemborong wajib melakukan perbaikan jika terbukti adanya cacat ataupun
kegagalan bangunan.Dalam prakteknya pemborong bertanggungjawab sampai masa pemeliharaan sesuai dengan yang tertulis dikontrak.
Undang-Undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaandalam tiga macam, yaitu:
a. perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu
b. perjanjian kerja atau perburuhan dan
c. perjanjian pemborongan pekerjaan.16
Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu adalah suatu perjanjian dimana suatu pihak menghendaki dari pihak lawannyauntuk dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan,dimana ia bersedia membayar upah sedangkan apa yang akandilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, sama sekali terserahkepada pihak lawan itu. Biasanya pihak lawan ini adalah seorang
ahlidalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya ia juga sudahmemasang
tarif untuk jasanya itu.17
16
R. Subekti, Aneka Perjanjian, cet.10, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hml. 57-58 17
Ibid., hlm. 58
Perjanjian perburuhan adalah perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan. Perjanjian tersebut ditandai oleh ciri-ciriadanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanyasuatu hubungan diperatas yaitu suatu hubungan berdasarkan manapihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintahyang harus ditaati oleh yang
(26)
lain.18Sedangkan yang dinamakan perjanjian pemborongan pekerjaanadalah suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborongkanpekerjaan) dengan seorang lain (pihak yang memborong pekerjaan),dimana pihak pertama menghendaki sesuatu hasil pekerjaan yangdisanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran suatu jumlah uangsebagai harga pemborongan. Bagaimana caranya
pemborongmengerjakannya tidaklah penting bagi pihak pertama tersebut,
karenayang dikehendaki adalah hasilnya, yang akan diserahkan kepadanyadalam
keadaan baik, dalam suatu jangka waktu yang telah diterapkandalam perjanjian.19
Ketiga Perjanjian tersebut memiliki persamaan dan
perbedaan.Persamaannya yaitu bahwa pihak yang satu melakukan pekerjaanbagi pihak yang lain dengan menerima upah. Sedangkan perbedaanantara ketiga perjanjian tesebut, yaitu dalam perjanjian kerja terdapatunsur subordinasi, sedangkan pada perjanjian untuk melakukan jasadan perjanjian pemborongan terdapat koordinasi.Perihal perbedaanperjanjian pemborongan dengan perjanjian untuk melakukan jasa, yakni dalam perjanjian pemborongan berupa mewujudkan suatukarya tertentu sedangkan perjanjian untuk melakukan jasa
berupamelaksanakan tugas tertentu yang ditentukan sebelumnya.20
Mengenai perbedaan antara perjanjianpemborongan dengan perjanjian jual beli harus lebih diperhatikan letak perbedaannya, karena kedua perjanjianhampir tidak jelas batasnya.Berdasarkan pendapat C. Smith, jikaobyek dari perjanjian atau setidak-tidaknya obyek pokoknya adalahsuatu karya maka itu adalah perjanjian pemborongan.Sedangkan jikaobyeknya berupa penyerahan dari suatu barang, sekalipun padawaktu perjanjian dibuat barangnya masih harus diproduksi,
maka ituadalah perjanjian jual beli.21
3. Peraturan Yang Mengatur Perjanjian Borongan
Mengenai perjanjian pemborongan diatur dalam Bab 7A Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1601 b, kemudian pasal 1604 sampai dengan Pasal 1616. Selain diatur dalam KUH Perdata, perjanjian pemborongan juga diatur
18 Ibid. 19
Ibid. 20
F.X. Djumialdji, Hukum Bangunan, cet. 1, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 5 21
(27)
dalam Keputusan Presiden Tahun 1994 tentang pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja Negara dan A.V (Algemene Voorwarden voor de uitvoering bij aanmening van openbare werken in Indonesia) 1941tentang syarat-syarat umum untuk
pelaksanaan pmborongan pekerjaan umum di Indonesia. A.V 1941 merupakan peraturan standar atau baku bagi perjanjian pemborongan di Indonesia khususnya untuk proyek-proyek Pemerintah.
Kemudian diatur pula dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Di dalam KUH Perdata, ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan berlaku baik bagi perjanjian pemborongan pada proyek-proyek swasta maupun pada proyek-proyek Pemerintah. Perjanjian
pemborongan pada KUH Perdata bersifat pelengkap, artinya ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan dalam KUH Perdata dapat digunakan oleh para pihak dalam perjanjian pemborongan atau para pihak dalam perjanjian pemborongan dapat membuat sendiri ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan asalkan tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan seperti yang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata.
J. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Pemborongan
Dengan adanya perjanjian pemborongan selalu ada pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian pemborongan. Adapun pihak-pihak yang terlibat adalah:
1. Pemberi tugas (bouwheer)
Pemberi tugas dapat berupa perorangan, badan hukum, instansi pemerintah ataupun swasta. Sipemberi tugaslah yang mempunyai prakarsa memborongkan bangunan sesuai dengan kontrak dan apa yang tercantum dalam bestek dan syarat-syarat. Dalam pemborongan pekerjaan umum dilakukan oleh instansi pemerintah, direksi lazim ditunjuk dari instansi yang berwenang, biasanya dari instansi pekerjaan umum atas dasar penugasan ataupun perjajian kerja.Adapun hubungan antara pemberi tugas dengan perencana jika pemberi tugas adalah pemerintah dan perencana juga dari pemerintah maka terdapat hubungan kedinasan.Jika pemberi tugas dari
pemerintah dan atau swasta, perencana adalah pihak swasta yang bertindak sebagai penasihat pemberi tugas, maka hubungannya dituangkan dalam perjanjian melakukan
(28)
jasa-jasa tunggal.Sedangkan apabila pemberi tugas dari pemerintah atau swasta dengan perencana dari pihak swasta yang bertindak sebagai wakil pemberi tugas (sebagai direksi) maka hubungannya dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa yang terdapat dalam Pasal 1792 sampai 1819 KUH Perdata.
2. Pemborong (kontraktor)
Pemborong adalah perseorangan atau badan hukum, swasta maupun pemerintah yang ditunjuk untuk melaksanakan pekerjaan pemborongan bangunan sesuai dengan bestek.22
3. Perencana (arsitek)
Penunjukan sebagai pelaksana bangunan oleh pemberi tugas dapat terjadi karena pemborong menang dalam pelelangan atau memang ditetapkan sebagai pelaksana oleh pemberi tugas. Dalam perjanjian pemborongan, pemborong dimungkinkan menyerahkan sebagian pekerjaan tersebut kepada pemborong lain yang merupakan subkontraktor berdasarkan perjanjian khusus.
Arsitek adalah perseorangan atau badan hukum yang berdasarkan keahliannya mengerjakan perencanaan, pengawasan, penaksiran harga bangunan, memberi
nasehat, persiapan dan melaksanakan proyek dibidang teknik pembangunan untuk pemberi tugas.
4. Pengawas (Direksi)
Direksi bertugas untuk mengawasi pelaksanaan pekerjaan pemborong.Disini pengawas memberi petunjuk-petunjuk memborongkan pekerjaan, memeriksa bahan-bahan, waktu pembangunan berlangsung dan akhirnya membuat penilaian opname dari pekerjaan. Selain itu, pada waktu pelelangan yaitu mengadakan pengumuman pelelangan yang akan dilaksanakan, memberikan penjelasan mengenai RKS (Rencana Kerja dan Syarat-syarat) untuk pemborongan-pemborongan/pembelian dan membuat berita acara penjelasan, melaksanakan pembukuan surat penawaran, mengadakan penilaian dan menetapan calon pemenang serta membuat berita acara hasil pelelangan dan sebagainya.23
Fungsi mewakili yang terbanyak dari direksi adalah pada fase pelaksanaan pekerjaan dimana direksi bertindak sebagai pengawas terhadap pekerjaan
22
FX.Djumialdji.Hukum Bangunan Dasar-dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 8
23
(29)
pemborong.Jadi kewenangan mewakili dari direksi ini ada selama tidak ditentukan sebaliknya oleh pemberi tugas secara tertulis dalam perjanjian yang bersangkutan bahwa dalam hal-hal tertentu hanya pemberi tuga yang berwenang menangani.24
K. Asas Dalam Perjanjian/ Perjanjian Borongan
Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupakan hukum positif.Asas hukum dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. Setidaknya
adalima asas yang harus diperhatikan dalam membuat perjanjian25
1. Asas kebebasan berkontrak
yaitu:
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian
b. mengadakan perjanjian dengan siapapun
c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya
d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.26
2. Asas konsensualisme
Dalam hukum perjanjian berlaku asas konsensualisme. Perkataan ini
berasal dari perkataan latinconsensus yang berarti sepakat. Arti asas
konsensualisme adalah perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.Perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok walaupun belum ada perjanjian tertulisnya sebagai sesuatu formalitas. Asas konsensualisme tersebut lazimnya
24
Ibid., hlm. 53 25
M. Harianto, Asas-Asas Dalam Perjanjian,
diakses tanggal
10 Maret 2014 26
Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 25
(30)
disimpulkan dari pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Karena suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan,maka
perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). Menurut
ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak
yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam
surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Karena perjanjian sudah lahir maka tak dapat lagi ia ditarik kembali jika tidak seizin pihak lawan. Pengecualian terhadap asas konsensualisme yaitu penetapan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman batalnya perjanjian tersebut apabila tidak menuruti bentuk cara yang dimaksud, misalnya perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris dan perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis, dan lain sebagainya. Perjanjian yang memerlukan formalitas
tertentu dinamakan perjanjian formil.27
a. Teori Pernyataan (utingstheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada
saat yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Jadi dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat Asas konsensualisme berhubungan dengan saat lahirnya suatu perjanjian yang mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, mengenai saat terjadinya kesepakatan dalam suatu perjanjian, yaitu antara lain:
Sistem Terbuka dan Asas Konsensualisme dalam Hukum Perjanjian,
(31)
menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap kesepakatan terjadi secara otomatis.
b. Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menerima penawaran mengirimkan telegram.
c. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), kesepakatan terjadi apabila yang
menawarkan itu mengetahui adanya penerimaan, tetapi penerimaan itu belum diterimanya atau tidak diketahui secara langsung.
d. Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi pada saat pihak
yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.28
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati undang-undang. Oleh
karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat
ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
4. Asas itikad baik
Di dalam hukum perjanjian itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu:
28
(32)
a. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.
b. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus
didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan
memperhatikan norma-norma yang berlaku.29
5. Asas kepribadian(personality)
Asas ini berhubungan dengan subyek yang terikat dalam suatu
perjanjian.Asas kepribadian dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 1340 ayat (1) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya.Pernyataan ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.Ketentuan mengenai hal ini ada pengecualiannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUH
Perdata.Perjanjian dapat pula diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.Pasal ini memberi pengertian bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang telah ditentukan.Sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata,
29
(33)
tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.
Hukum benda mempunyai sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undang-ndang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari
hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional
law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki
oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian dan diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam
perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Apabila pihak-pihak yang membuat perjanjian-perjanjian itu tidak mengatur sendiri sesuatu soal, maka berarti mengenai soal tersebut akan tunduk kepada undang-undang. Karena itu hukum perjanjian disebut hukum pelengkap, karena fungsinya melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap.
Sistem terbuka, yang mengandung asas kebebasan membuat perjanjian, dalam KUHPerdata lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1), yang
berbunyi demikian:“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Penekanan pada perkataan semua menyatakan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja atau tentang apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang.
L. Jenis Perjanjian Pekerjaan Borongan
Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil, artinya perjanjian pemborongan lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak, yaitu pihak yang memborongkan dengan pihak pemborong mengenai suatu karya dan harga borongan atau kontrak.Dengan adanya kata sepakat tersebut, perjanjian
(34)
pemborongan mengikat kedua belah pihak artinya para pihak tidak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lainnya.
Perjanjian pemborongan bentuknya bebas (vormvrij) artinya perjanjian
pemborongan dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis.Dalam prakteknya, apabila perjanjian pemborongan menyangkut harga borongan kecil, biasanya perjanjian pemborongan dibuat secara lisan, sedangkan apabila perjanjian pemborongan dengan biaya agak besar maupun besar, perjanjian pemborongan dibuat secara tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta otentik (akta notaris).
M. Addendum (Penambahan) Dalam Perjanjian Borongan
Perjanjian yang telah dibuat dalam pelaksanaannya terdapat pengurangan
atau bahkan penambahan prestasi (addendum) pekerjaannya.Addendum menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesiaadalah jilid tambahan (pada buku), lampiran ketentuan atau pasal tambahan, misal dalam akta.Pada umumnya, istilah
addendum dipergunakan saat ada tambahan atau lampiran pada perjanjian
pokoknya namun merupakan satu kesatuan dengan perjanjian pokoknya.Meskipun jangka waktu perjanjian tersebut belum berakhir, para pihak dapat menambahkan
addendum sepanjang disepakati oleh kedua belah pihak. Pengertian addendum
adalah istilah dalam kontrak atau surat perjanjian yang berarti tambahan klausula atau pasal yang secara fisik terpisah dari perjanjian pokoknya namun secara hukum melekat pada perjanjian pokok itu. Sedangkan, perpanjangan
perjanjian/kontrak pada umumnya digunakan saat suatu perjanjian berakhir, namun para pihak menghendaki perikatan yang berakhir itu (misalnya hubungan kerja) untuk diteruskan.Sehingga, para pihak membuat kesepakatan untuk
memperpanjang perjanjian/kontrak.30
30
Addendum
Pada dasarnya, keduanya, baik addendum
maupun perpanjangan kontrak adalah perjanjian.Karena tanpa kesepakatan kedua belah pihak, salah satu pihak tidak dapat membuat addendum atau
memperpanjang suatu perjanjian secara sepihak.Jadi, sebenarnya perbedaannya
(35)
adalah pada penggunaan istilah atas dasar perbedaan fungsi.Namun, esensi keduanya tetap adalah perjanjian.Dengan demikian, keduanya sama-sama merupakan perjanjian dan tunduk pada asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal kontrak/perjanjian intinya para pihak bebas menentukan isi kontrak sepanjang isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum, termasuk dalam menentukan bentuk yang digunakan, para pihak dapat menyepakatinya.
Pada saat kontrak berlangsung ternyata jika dalam kontrak yang telah disepakati terdapat hal-hal lain yang belum cukup diatur dalam kontrak tersebut, dapat dilakukan musyawarah untuk suatu mufakat akan hal yang belum diatur tersebut. Untuk itu ketentuan atau hal-hal yang belum diatur tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis sama seperti kontrak yang telah dibuat.
Pengaturan ini umum disebut dengan addendum(amandemen) biasanyaklausula
yang mengatur tentang addendum dicantumkan pada bagian akhir darisuatu
perjanjian pokok.Namun apabila hal tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian,
addendum tetap dapat dilakukan sepanjang ada kesepakatan diantara para pihak, dengan tetap memperhatikan ketentuan pasal 1320 KUH Perdata. Belum ada
alasan yang pasti mengapa caraaddendum lebih dipilih digunakan daripada
membuat perjanjian baru untuk perubahan dan atau penambahan isi dari suatu perjanjian. Namun patut diduga bahwa hal tersebut semata karena alasan
kepraktisan serta lebih menghemat waktu dan biaya.31
N. Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;
31
Frans Satriyo Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, (Jakarta: Visimedia, 2008), hlm. 24
(36)
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dapat dibedakan syarat subjektif, dan syarat objektif. Dalam hal ini kita harus dapat membedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif.Syarat subjektif adalah kedua syarat yang
pertama, sedangkan syarat objektif kedua syarat yang terakhir.32
a. Syarat subjektif dimana syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat
dibatalkan, meliputi:
Sedangkan Saliman menjelaskan tafsiran atas Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:
1) Kecakapan untuk membuat kontrak dimana para pihak diharuskan
dewasa dan tidak sakit ingatan.
2) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Syarat objektif dimana syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal
demi hukum meliputi:
1) Suatu hal (objek) tertentu.
2) Sesuatu sebab yang halal (klausula).33
Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Munir Fuady terdiri dari:
a. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu.
b. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu.
32
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hlm. 98. 33
Abdul R. Saliman, et. al. Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Prenada, 2004), hlm. 12-13
(37)
c. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu
d. Syarat izin dari yang berwenang.34
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif karena syarat
tersebut mengenai subyek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat obyektif, karena mengenai obyek dari perjanjian.Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak diakui oleh hukum. Tetapi bila pihak-pihak mengakui dan
mematuhi perjanjian yang mereka buat, tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi perjanjian itu tetap berlaku diantara mereka, namun bila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakui sehingga timbul sengketa maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.
Keempat syarat di atas merupakan syarat yang esensial dari suatu
perjanjian, artinya syarat-syarat tersebut harus ada dalam suatu perjanjian, tanpa suatu syarat ini, perjanjian dianggap tidak pernah ada atau perjanjian itu tidak sah.Namun dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.Dengan kata sepakat suatu perjanjian sudah lahir. Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor, yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Adanya kata sepakat berarti terdapat suatu persesuaian kehendak diantara para pihak yang mengadakan perjanjian.Perjanjian sudah lahir pada saat
tercapainya kata sepakat diantara para pihak, dikenal dengan asas konsensualisme
yang merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian.Menurut Abdul Kadir Muhammad persetujuan kehendak adalah kesepakatan seia-sekata. Pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga
34
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 34
(38)
dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan itu sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan.Pernyataan kehendak atau persetujuan kehendak harus merupakan perwujudan kehendak yang bebas, artinya tidak ada paksaan dan
tekanan (dwang) dari pihak manapun juga, harus betul-betul atas kemauan
sukarela para pihak.35
Pengertian kehendak atau sepakat itu termasuk juga tidak ada kekhilafan (dwaling) dan tidak ada penipuan (bedrog).Apabila ada kesepakatan terjadi karena kekhilafan, paksaan atau penipuan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau
dapat dimintakan pembatalan kepada hakim (vernietigbaar).Hal ini sesuai dengan
Pasal 1321 KUH Perdata dinyatakan tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau
penipuan.Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan kegiatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya menakut-takuti, sehingga dengan demikian orang itu tidak terpaksa menyetujui perjanjian (Pasal 1324 KUHPerdata).Dan dikatakan tidak ada kekhilafan atau kekeliruan mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting obyek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian
itu.Dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan penipuan menurut arti Undang-undang (Pasal 1328 KUHPerdata).Penipuan menurut arti Undang-undang ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat dengan memberikan keterangan
palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui.36
Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dari pihak ketiga dan tidak ada gangguan berupa paksaan, yaitu paksaan rohani atau paksaan jiwa, bukan paksaan fisik, misalnya salah satu pihak karena diancam atau ditakuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Kekhilafan, yang terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-halpokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang barang yangmenjadi obyek perjanjian.Penipuan, yang dapat terjadi apabila salah satu pihak dengansengaja memberikan keterangan palsu disertai
35
Abdul Kadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia.(Bandung: Cipta Aditya Bhakti, 1990), hlm. 228-229
36
Mariam Darus Badrulzaman(2), Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, (Bandung,: Citra Aditya Bhakti, 1986), hlm. 123
(39)
dengan tipu muslihatuntuk membujuk pihak lainnya agar menyetujui suatu perjanjian, misalnya menjual mobil bekas yang telah dipoles sedemikian rupasehingga menimbulkan kesan seolah-olah mobil tersebut barudengan mengatakan kepada pembeli bahwa mobil itu baru.
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan
Pada dasarnya semua orang cakap membuat perjanjian, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Pasal 1329 KUHPerdata kecuali yang diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum termasuk pula membuat perjanjian ialah bila ia sudah dewasa yaitu berumur 21 tahun dan telah kawin. Ukuran orang dewasa 21 tahun atau
sudah kawin, disimpulkan secara a contrario dalam redaksi Pasal 330
KUHPerdata. Sedangkan mereka yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, sebagaimana diatur Pasal 1330 KUHPerdata ialah:
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh
undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu (ketentuan ini sudah dicabut).
3. Adanya suatu hal tertentu
Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata dinyatakan bahwa perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.Dalam ketentuan Pasal 1331 KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit
(40)
ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak masalah asalkan dikemudian hari ditentukan
4. Adanya suatu sebab/kausa yang halal
Yang dimaksud dengan sebab/kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu
perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, sedangkan adanya suatu sebab yang dimaksud tidak lain daripada isi perjanjian. Pada pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umumdan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal
akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.37
Kedua syarat pertama tersebut, dinamakan dengan syarat-syaratsubyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyek yangmengadakan
perjanjian.Sedangkan dua syarat yang terakhirdinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannyasendiri atau obyek dari perjanjian tersebut.Apabila syarat subyektif dilanggar baik salah satu atau keduanyamengakibatkan perjanjian
dapat dibatalkan (voidable).Adanyakekurangan terhadap syarat subyektif tersebut
tidak begitu sajadiketahui oleh hakim, jadi harus diajukan oleh pihak yangberkepentingan, dan apabila diajukan kepada hakim, mungkin
sekalidisangkal oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian.Olehkarena itu, undang-undang menyerahkan kepada para pihak, apakahmereka menghendaki
pembatalan terhadap perjanjian tersebut atautidak.38
Apabila syarat obyektif dilanggar maka perjanjian tersebut tidakmemiliki kekuatan hukum sejak semula dan tidak mengikat para pihakyang membuat
perjanjian atau disebut dengan batal demi hukum (nulland void).Secara yuridis,
dianggap dari semula tidak ada suatuperjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan Akan tetapi selama para pihak tidak keberatan ataspelanggaran kedua syarat subyektif tersebut, maka perjanjian itu tetapsah.
37
Sri Soedewi Masjachan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm. 319
38
(41)
antara orang-orang yangbermaksud membuat perjanjian itu.Akibat dari batal demi hukum,maka para pihak tidak dapat mengajukan tuntutan melalui
pengadilanuntuk melaksanakan perjanjian atau meminta ganti rugi, karena
dasarhukumnya tidak ada.39
O. Jangka Waktu Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
Berakhirnya perjanjian pemborongan apabila proyek yang diborongkan telah selesai dikerjakan dan masa pemeliharaan telah berakhir. Penyerahan hasil pekerjaan dilakukan oleh pihak pemborong kepada pihak pemberi tugas setelah proyek telah selesai secara keseluruhan (100%) yang dinyatakan dengan berita acara serah terima proyek yang ditanda tangani untuk kedua belah pihak serta dilampiri berita acara hasil pemeriksaan oleh tim peneliiti serah terima proyek.40
P. Wanprestasi Dan Akibat Hukumnya
Dalam perjanjian tersebut disepakati pada tangggal 10 juni 2009 yang pada intinya memuat hal-hal tentanghak dan kewajiban PT. TUM selaku pemberi pekerjaan dan PT. UBBS selaku penerima pekerjaan borongan untuk mengexport hasil penambangan biji bauksit. Kemudian dibuat kembali perjanjian tahap keduaantara PT. TUM dan PT. UBBS tertanggal 23 Desember 2009tentang kerjasama terhadap lahan
pertambangan di Pulau Kelong. Kemudian dibuat lagi perjanjian perluasan arealpertambanganantara PT. TUM dan PT. UBBS tertanggal 18 Mei 2010 danmempertegas kembali materi perjanjian tanggal 10 juni 2009. Kemudian
terdapat lagi addenddum perjanjian antara PT. TUM dan PT. UBBS tertanggal21
Juni 2010.
Untuk hapusnya perikatan, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1381, yaitu pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, pembaharuan utang, perjumpaan utang atau kompensasi, pencampuran utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang terutang, pembatalan,
berlakunya suatu syarat batal, dan lewatnya waktu dari kontrak perjanjian.
39
Ibid. 40
(42)
Perikatan adalah suatu hubungan hukum di bidang hukum kekayaan dimana suatu pihak berhak menuntut suatu prestasi dan pihak lainnya bekewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi.Pasal 1233 KUHPerdata dinyatakan bahwa perjanjian pada umumnya bersifat timbal balik, hal ini di katakan dalam mengkritisi pasal 1313 KUHPerdata tetang perjanjian, dimana dikatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih.KUHPerdata membedakan dengan jelas antara perikatan yang lahir demi perjanjian dan dari perikatan yang lahir dari undang-undang.Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak.Tetapi hubungan dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang. Pada umumnya semua kontrak di akhiri dengan pelaksanaan apa yangdi sepakati, artinya bahwa para pihak memenuhi kesepakatan untuk dilaksanakan berdasarkan persyaratan yang dicantum dalam perjanjian atau kontrak. Pemenuhan perjanjian atau hal-hal yang harus dilaksanakan disebut prestasi, dengan terlaksana prestasi maka kewajiban-kewajiban para pihak berakhir, sebaliknya apabila si berutang atau debitur tidak melaksanakannya, hal tersebut disebut wanprestasi. Menurut ketentuan dalam KUHPerdata terdapat empat macam bentuk atau jenis dari wanprestasi itu sendiri, yaitu:
1. Tidak berprestasi sama sekali atau berprestasi tapi tidak bermanfaat bagi
atau tidak dapat diperbaiki
2. Terlambat memenuhi prestasi
3. Memenuhi prestasi secara tidak baik atau tidak sebagaimana mestinya
4. Melakukan sesuatu namun menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.41
Tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian karena dua hal:
1. Kesalahan debitur karena disengaja dan/atau lalai
2. Keadaan memaksa.42
41
Handri Raharjo, Op. Cit., hlm. 80-81 42
(43)
Seorang debitur dikatakan wanprestasi apabila ia tidak melakukan apayang diperjanjikan atau melakukan apa yang tidak boleh dilakukan. Wanprestasiyang disebabkan oleh adanya kesalahan debitur. Luasnya kesalahan meliputi:
a. Kesengajaan, maksudnya adalah perbuatan yang menyebabkan
terjadinyawanprestasi tersebut memang diketahui dan dikehendaki oleh debitur.
b. Kelalaian, maksudnya adalah debitur melakukan suatu kesalahan, akan
tetapiperbuatannya itu tidak dimaksudkan untuk terjadinya wanprestasi
yang kemudianternyata menyebabkan terjadinya wanprestasi.43
Menurut Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seseorang debitur dapat berupa empat macam, yaitu:
a) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
b) Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
c) Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
d) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh melakukannya.44
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut:
(1) Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau biasa dinamakan ganti
rugi
(2) Pembatalan perjanjian atau dinamakan pemecahan perjanjian
(3) Peralihan risiko, membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan
didepan hakim
Pembelaan untuk debitur wanprestasi ada 3 macam, yaitu:
43
J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), (Bandung: Alumni, 1993), hlm. 50
44
(44)
(a) Memajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur)
(b) Memajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai
(exception non adimpleti contractus)
(c) Memajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut
ganti rugi (rechtsverwerking).45
45
(45)
BAB III
TINJAUAN UMUM KEPAILITAN
E. Pengertian Pailit Dan Kepailitan
Kata pailit berasal dari bahasa Perancis “failite” berarti kemacetan
pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah “failite”. Sedang dalam
hukum Anglo Saxon, undang-undangnya dikenal dengan Bankcrupty Act. Dalam
pengertian kita, merujuk aturan lama yaitu pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepailitan
Faillisement Verordening S. 1990-217 jo 1905-348 menyatakan bahwa setiap berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditur),
dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit.46
Dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris istilah
pailit dapat ditemukan. Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang
mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam
bahasa Inggris digunakan istilah to fail dan kata di dalam bahasa Latin digunakan
istilah failire.Kepailitan merupakan suatu sitaan umum, atas seluruh harta
kekayaan dari orang yang berutang, untuk dijual di muka umum, guna pembayaran hutang-hutangnya kepada semua kreditur, dan dibayar menurut
perbandingan jumlah piutang masing-masing.47
46
Sri Rejeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepaitan Modern,(Jakarta: Majalah Hukum Nasional, 2000), hlm. 81
47
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), hlm.26-27
(46)
Ketentuan pailit juga terdapatdalam lampiran Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (selanjutnya disebut UU Kepailitan), Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan
seorang atau lebih kreditur.48
Munir Fuady menyamakan istilah kepailitan dengan bangkrut manakala perusahaan (atau orang pribadi) tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, daripada pihak kreditur ramai-ramai mengeroyok debitur dan saling berebutan harta debitur tersebut, hukum memandang perlu mengaturnya sehingga hutang-hutang debitur dapat dibayar secara tertib dan adil. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepailitan adalah suatu sitaan umum yang dijatuhkan oleh pengadilan khusus, dengan permohonan khusus, atas seluruh aset debitur (badan hukum atau orang pribadi) yang mempunyai lebih dari 1 (satu) hutang/kreditur dimana debitur dalam keadaan
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menyatakan sebagai berikut bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
48
Sri Sumantri Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Yogyakarta:Liberty, 1981), hlm. 42
(47)
berhenti membayar hutangnya, sehingga debitur segera membayar
hutang-hutangnya tersebut.49
Melihat arti dari beberapa kata atau pengertian kepailitan tersebut diatas maka esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan debitur baik yang pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditur yang pada waktu kreditur dinyatakan pailit mempunyai hutang, yang dilakukan dengan
pengawasan pihak yang berwajib.50
a. Semua hasil pendapatan debitur pailit selama kepailitan tersebut dari
pekerjaan sendiri, gaji suatu jabatan/ jasa, upah pensiun, uang tunggu/ uang tunjangan, sekedar atau sejauh hal itu diterapkan oleh hakim.
Akan tetapi dikecualikan dari kepailitan adalah:
b. Uang yang diberikan kepada debitur pailit untuk memenuhi kewajiban
pemberian nafkahnya menurut peraturan perundang-undangan (Pasal 213, 225, 321 KUHPerdata).
c. Sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim pengawasan dari pendapatan
hak nikmat hasil seperti dimaksud dalam (Pasal 311 KUHPerdata).
d. Tunjangan dari pendapatan anak-anaknya yang diterima oleh debitur pailit
berdasarkan Pasal 318 KUHPerdata.51
Apabila seorang debitur dalam kesulitan keuangan, tentu saja para kreditur akan berusaha untuk menempuh jalan untuk menyelamatkan piutangnya dengan
49
Munir Fuady(1), Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 75
50
Khairandi, Perlindungan Dalam Undang-Undang Kepailitan, (Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis, 2002), hlm. 94
51
(1)
sebagaimana diatur dalam Pasal
3. Dalam amar putusannya, majelis hakim menetapkan bahwa permohonan pailit yang diajukan PT. TUMuntuk mempailitkan PT. UBBSdikarenakan adanya sejumlah hutang yang belum dibayar dan sudah jatuh tempo ditolak oleh hakim dan permohonan tersebut dinyatakan tidak berlaku. Penolakan tersebut menurut hakim dikarenakan tidak lengkapnya unsur-unsur yang dapat mempailitkan PT. UBBS dikarenakan PT. TUM tidak mampu menujukkan bukti bahwa PT. UBBS memiliki lebih dari 2 kreditur dan pembuktian sederhana dari hutang PT. UBBS tidak mampu dibuktikan oleh PT. TUM. Maka dari itu permohonan pailit yang diajukan PT. TUM terhadap PT. UBBS dinyatakan ditolak.
D. Saran
1. Sebaiknya perlu ada kesadaran dari pihak yang membuat kontrak perjanjian khususnya perjanjian pekerjaan borongan mengenai pemahaman asas equality in law, sebab jika asas ini dapat dijalankan dengan baik, maka resiko terjadinya perselisihan akan berkurang.
2. Berkenaan dengan addendum sebaiknya perlu ada sosialisasi mengenai pentingnya pasal mengenai addendum ini, agar para pihak dapat mencermati dan memahami mengenai penambahan prestasi diluar kontrak aslinya.
3. Sebaiknya harus ada sosialisai tentang mekanisme dalam undang-undang kepailitan, baik dari segi syarat mempailitkan seseorang, yang dapat
(2)
mempailitkan, unsure-unsur yang harus dipenuhi dalam mempailitkan dan lain sebagainya, sehingga kasus yang awalnya dari perjanjian perdata tidak lari kepada kepailitan dikarenakan hutang yang jatuh tempo saja.
(3)
DAFTAR PUSTAKA A.Buku
Yani,ahmad& Gunawan Widjaja.2002. Seri Hukum Bisnis,Kepailitan.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Andasasmita,Komar. 1990.Notaris II Contoh Akta Otentik Dan
Penjelasanya.Cetakan 2. Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Daerah
Jawa Barat.
Asikin ,Zainal.2002.Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia.Jakarta:Rajawali Pres.
Darus, Mariam Badrulzaman.1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni. . 1993. KUH Perdata Buku III Hukun Perikatan Dengan Penjelasanny. Bandung:Alumni.
. 1986. Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya. Bandung: Citra Aditya Bhakti.
. 1981. Kumpulan Pidato Pengukuhan. Bandung: Alumni
Djumialdji,F.X.2002. Dasar-Dasar Hukum Dalam Proyek Dan Sumber Daya
Manusia. Jakarta:Rineka Cipta.
. 1996. Hukum Bangunan. Cetakan I. Jakarta: Rineka Cipta.
Fuady,Munir.2002.Hukum Pailit 1998 Dalam Teori Dan Praktek. Cetakan 2. Bandung:Citra Aditya Bhakti.
.2002.Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global. Bandung: Citra Aditya Bhakti.
. 2001. Hukum Kontrak Dari S udut Pandang Bisnis.Bandung: Citra Aditya Bhakti.
Gautama, Sudargo.1998. Komentar Atas Peraturan Kepailitan Untuk Indonesia. Bandung:Citra Aditya Bhakti.
H.S, Salim. 2006. Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan 3. Jakarta:Sinar Grafika.
Hartono, Sri Sumantri. 19981. Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan
Pembayaran. Yogyakarta: Liberty.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(4)
Gunawan, Khairandy.2002. Perlindungan Dalam Undang-Undang
Kepailitan.Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis.
Lontoh, Rudhy A.dkk.2001.Penyelesaian Utang Piutang , Melalui Pailit Atau
Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang. Bandung: Alumni.
Mahdi,Sri Soesilowati,et.all.2005. Hukum Perdata (Suatu Pengantar). Jakarta: Gitama Jaya.
Masjachan,Sri soedewi.1980.Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok
Hukum Jaminan, dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta:Liberty.
Abdul Kadir, Muhammad.1990. Hukum Perdata Indonesia.Bandung: Cipta Bhakti.
.1990. Hukum Perikatan. Bnadung:Citra Aditya Bhakti. Muljadi, Kartini & Gunawan Widjaja.2002.Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Prodjodikoro, R.Wirjono.1991.Asas-Asas Hukum Perjanjian. Bandung:Subur. . 1991. Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertulis. Bandung: Subur. Radjagukguk,Erman.2009.”Perkembangan Peraturan Kepailitan
Indonesia”.Bahan Kuliah E Learning.Cetakan 1. Bogor: Ghalia
Indonesia.
R.Saliman, Abdul, et all.2004. Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori Cotoh
Kasus. Jakarta: Prenada.
Satrio, J. 1993. Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya). Bandung: Alumni.
Subekti, R.2002. Hukum Perjanjian.Cetakan 19. Jakarta: Intermasa.
. 1995. Aneka Perjanjian. Cetakan 10. Bandung: Citra Aditya Bhakti. . 1994. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.
. 1987. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Bandung: Intermasa. . 1987. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.
Sunggono, Bambang. 2007. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
(5)
Sutedi, Adrian.2009.”Hukum Kepailitan”. Cetakan Pertama. Bogor: Ghalia Indonesia.
Suyudi, Aria.dkk.2003. Analisa Hukum Kepailitan “Kepailitan di Negeri
Sendiri”.Cetakan 1. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebujakan
Indonesia.
B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kegiatan Pembayaran Utang.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang Dan Jasa. C.Internet
Addendum, http://id.wikipedia.org/wiki/addendum.diakses tanggal 2 Mei 2014 Kedudukan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Dengan PT.Telkom,
diunduh tanggal 1 Mei 2014)
M.Harianto, Asas-AsasDalamPerjanjian,
diakses tanggal 10 Maret 2014
Prinsip-Prinsip, Sistem Terbuka dan Asas Konsensualisme dalam Hukum Perjanji
diakses tanggal 10 Mei 2014.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
(6)
LAMPIRAN
1. Keputusan Presiden Nomor. 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pewmerinrah.
2. PerPres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. 3. PerPres NOmor. 70 Tahun 2012 tentang perubahan kedua Pengadaan
Barang dan Jasa.
4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
5. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.