Legal Standing Perusahaan Asuransi Yang Telah Dicabut Izin Usahanya Dalam Menjalankan Permohonan Pailit (Studi Kasus Putusan MA Nomor 338K/PDT.Sus/2010)

(1)

LEGAL STANDING PERUSAHAAN ASURANSI YANG TELAH

DICABUT IZIN USAHANYA DALAM MENJALANKAN

PERMOHONAN PAILIT

(Studi Kasus Putusan MA Nomor 338K/PDT.Sus/2010)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

090200212 ZAHIRA BANU

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

LEGAL STANDING PERUSAHAAN ASURANSI YANG TELAH

DICABUT IZIN USAHANYA DALAM MENJALANKAN

PERMOHONAN PAILIT

(Studi Kasus Putusan MA Nomor 338K/PDT.Sus/2010)

SKRIPSI

Oleh:

090200212 ZAHIRA BANU

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

NIP:197501122005012002 Windha, SH, M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Ramli Siregar, SH, M.Hum

NIP: 195303121983031002 NIP:197501122005012002

Windha, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Perusahaan asuransi menjalalankan kegiatan usaha dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi dan memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi. Asuransi menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat untuk meminimalisir terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti. Usaha asuransi dapat berakhir jika kegiatan usaha perusahaan asuransi dicabut izinnya oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Permasalahan yang dibahas adalah: pertama, bagaimanakah perusahaan asuransi menjalankan kegiatan usaha berdasarkan UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian?, kedua, bagaimanakah kepailitan perusahaan asuransi menurut UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?, ketiga, bagaimanakah legal standing perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam menjalankan permohonan pailit berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010?

Jenis metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam perundang-undangan di bidang usaha perasuransian dan kepailitan serta Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010.

Disimpulkan pertama, perusahaan asuransi menjalankan kegiatan usaha berlandaskan pada asas-asas dan prinsip-prinsip dalam perjanjian pada umumnya, karena asuransi merupakan satu di antara perjanjian pada umumnya. Kedua, kepailitan perusahaan asuransi dilakukan dengan pencabutan izin usaha dengan prosedur khusus melalui kewenangan Kemenkeu. Kedua, Legal standing perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam menjalankan permohonan pailit berdasarkan Putusan MA Nomor 338k/Pdt.Sus/2010, terdapat kesalahan penafsiran. Pencabutan izin perusahaan asuransi (PT. Asuransi Prisma Indonesia) bukan berarti perusahaan asuransi tersebut secara serta merta dapat mengajukan pailit atas dirinya sendiri. Tetapi pencabutan izin perusahaan asuransi tetap berada di bawah kewenangan Menteri Keuangan.

Saran diharapkan: pertama, agar ditentukan forum penyelesaian sengketa antara pihak tertanggung dan penanggung atau antara debitor dan kreditor dalam perjanjian asuransi, sebab forum demikian dapat mengantisipasi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dipailitkan dan saran ini lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan para kreditor dan bagi perusahaan asuransi itu sendiri tidak mesti harus menempuh jalur pengadilan. Kedua, agar UUK dan PKPU dipahami bahwa tidak semua hak-hak perusahaan asuransi tanpa terkecuali akan dikenakan kepailitan, sebab kepailitan hanya menyangkut harta kekayaan perusahaan asuransi saja dan bukan hak pribadi-pribadi direksi dan komisaris. Ketiga, agar pihak PT. Asuransi Prisma Indonesia sebagai debitor seharusnya berpedoman pada UU Usaha Perasuransian, UUK dan PKPU, bukan pada UUPT karena dalam kapasitasnya masih berstatus badan hukum perusahaan asuransi bukan badan hukum biasa.

Kata Kunci: Perusahaan Asuransi, Kepailitan Perusahaan Asuransi, Izin Usaha Asuransi, dan Pencabutan Izin Usaha Asuransi.


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kehadhirat Allah SWT, atas izin dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul, “Legal Standing Perusahaan Asuransi yang telah dicabut izin usahanya dalam menjalankan permohonan pailit (Studi kasus Putusan MA Nomor 338K/PDT.Sus/2010)”. Banyak pihak yang turut membantu dalam penyelesaian Skripsi ini, dengan demikian penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum, Dekan fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Syafrudin Hasibuan, SH, MH. DFM, Pembantu Dekan II Fakultas hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Muhammad Husni SH, M. Hum, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera utara Medan.

5. Windha, SH., M.Hum, Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ramli Siregar, SH, M.Hum, sebagai Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan koreksi dalam penulisan Skripsi ini. 7. Windha, SH, M.Hum, Pembimbing II juga telah banyak memberikan

bimbingan, masukan, dan koreksi sehingga penulisan Skripsi ini menjadi sempurna.

8. Seluruh Dosen dan Seluruh Pegawai Tata Usaha dan Administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

9. Yang terhormat Ayahanda Syafaruddin dan Ibunda Sri Gema Wahyu , setiap waktu dan sepanjang selalu memberikan motivasi dan do’a agar penulis dapat mencapai cita-cita yang setinggi-tingginya. Kakakku Dr. Laura Enika dan Abang Iparku M. Ricky Mustika SE, adikku Farha Sonia dan Teman dekatku Armi Amali Yuja S.ST. Mudah-mudahan selalu dalam keadaan sehat wal’afiat dan tetap dalam lindungan Allah SWT, amiin.

10.Sahabat-sahabatku Mona Winata SH, Syalom, Putri Suri Ramadhani, Devi Suryani, dan Rumia SH , terima kasih atas doa, dukungan, serta keceriaan


(5)

yang telah diberikan kepada penulis, dan selalu ada baik suka maupun duka, semoga Allah Swt membalas kebaikan kalian semua. Amiin.

Mudah-mudahan Skipsi ini dapat memberikan kontribusi kepada berbagai pihak, namun penulis juga menyadari ketidaksempurnaannya, oleh sebab itu, diharapkan kritik yang membangun untuk kesempurnaan penelitian selanjutnya.

Medan, 15 Juli 2013 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 5

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

1. Pengertian Asuransi ... 7

2. Pengertian Perusahaan Perasuransian ... 11

3. Pengertian Kepailitan ... 15

F. Metode Penelitian... 17

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II : PERUSAHAAN ASURANSI MENJALANKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UU NO.2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN ... 22

A. Asas-Asas dan Prinsip-Prinsip Dasar Asuransi ... 22

1. Asas-Asas Perjanjian Asuransi ... 23

a. Prinsip Itikad Baik (good fait) ... 23

b. Prinsip Kepentingan yang dapat Diasuransikan (insurable interest) ... 30


(7)

B. Asuransi Sebagai Suatu Perjanjian... 33

C. Berakhirnya Perjanjian Asuransi ... 38

D. Pengaturan Kegiatan Usaha Perusahaan Asuransi Dalam Menjalankan Kegiatan Perasuransian ... 43

BAB III : KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI MENURUT UU NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG ... 53

A. Asas-Asas dan Prinsip-Prinsip Hukum Kepailitan ... 53

1. Asas-Asas Huku m Kepailitan ... 53

2. Prinsip-Prinsip Hukum Kepailitan ... 56

B. Syarat-Syarat dan Prosedur Permohonan Pailit ... 60

C. Pengurusan dan Pemberesan Harta Debitor Pailit oleh Kurator .. 65

BAB IV : LEGAL STANDING PERUSAHAAN ASURANSI YANG DICABUT IZIN USAHANYA DALAM MENJALANKAN PERMOHONAN PAILIT BERDASARKAN PUTUSAN MARI NOMOR 338K/PDT.SUS/2010 ... 74

A. Faktor-Faktor Penyebab Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Asuransi ... 74

B. Syarat-Syarat Mengajukan Permohonan Pailit Perusahaan Asuransi ... 78

C. Akibat Hukum Terhadap Perusahaan Asuransi yang Telah Dicabut Izin Usahanya ... 81

D. Legal Standing Perusahaan Asuransi Yang Dicabut Izin Usahanya Dalam Mengajukan Permohonan Pailit ... 87

1. Posisi Kasus ... 87


(8)

3. Analisis Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Berdasarkan UU No.2 Tahun 1992 dan UU No.37 Tahun

2004 ... 95

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 106

A. Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 107


(9)

ABSTRAK

Perusahaan asuransi menjalalankan kegiatan usaha dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi dan memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi. Asuransi menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat untuk meminimalisir terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti. Usaha asuransi dapat berakhir jika kegiatan usaha perusahaan asuransi dicabut izinnya oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Permasalahan yang dibahas adalah: pertama, bagaimanakah perusahaan asuransi menjalankan kegiatan usaha berdasarkan UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian?, kedua, bagaimanakah kepailitan perusahaan asuransi menurut UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?, ketiga, bagaimanakah legal standing perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam menjalankan permohonan pailit berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010?

Jenis metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam perundang-undangan di bidang usaha perasuransian dan kepailitan serta Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010.

Disimpulkan pertama, perusahaan asuransi menjalankan kegiatan usaha berlandaskan pada asas-asas dan prinsip-prinsip dalam perjanjian pada umumnya, karena asuransi merupakan satu di antara perjanjian pada umumnya. Kedua, kepailitan perusahaan asuransi dilakukan dengan pencabutan izin usaha dengan prosedur khusus melalui kewenangan Kemenkeu. Kedua, Legal standing perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam menjalankan permohonan pailit berdasarkan Putusan MA Nomor 338k/Pdt.Sus/2010, terdapat kesalahan penafsiran. Pencabutan izin perusahaan asuransi (PT. Asuransi Prisma Indonesia) bukan berarti perusahaan asuransi tersebut secara serta merta dapat mengajukan pailit atas dirinya sendiri. Tetapi pencabutan izin perusahaan asuransi tetap berada di bawah kewenangan Menteri Keuangan.

Saran diharapkan: pertama, agar ditentukan forum penyelesaian sengketa antara pihak tertanggung dan penanggung atau antara debitor dan kreditor dalam perjanjian asuransi, sebab forum demikian dapat mengantisipasi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dipailitkan dan saran ini lebih memberikan perlindungan kepada kepentingan para kreditor dan bagi perusahaan asuransi itu sendiri tidak mesti harus menempuh jalur pengadilan. Kedua, agar UUK dan PKPU dipahami bahwa tidak semua hak-hak perusahaan asuransi tanpa terkecuali akan dikenakan kepailitan, sebab kepailitan hanya menyangkut harta kekayaan perusahaan asuransi saja dan bukan hak pribadi-pribadi direksi dan komisaris. Ketiga, agar pihak PT. Asuransi Prisma Indonesia sebagai debitor seharusnya berpedoman pada UU Usaha Perasuransian, UUK dan PKPU, bukan pada UUPT karena dalam kapasitasnya masih berstatus badan hukum perusahaan asuransi bukan badan hukum biasa.

Kata Kunci: Perusahaan Asuransi, Kepailitan Perusahaan Asuransi, Izin Usaha Asuransi, dan Pencabutan Izin Usaha Asuransi.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asuransi menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat untuk meminimalisir risiko yang berkemungkinan dapat menimbulkan kerugian atas harta kekayaannya atau jiwa seseorang dengan cara mengalihkan kerugian tersebut kepada perusahaan asuransi. Dalam hal tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka pihak penanggung (perusahaan asuransi) berkesempatan mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa pihak tertanggung.1

Perusahaan asuransi menjalalankan kegiatan usaha diatur dalam UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (selanjutnya disingkat UU Usaha Perasuransian). Usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang.

2

Asuransi akan berhenti atau dibatalkan berdasarkan Pasal 293 dan Pasal 638 KUHD dalam hal pemberatan risiko setelah asuransi berjalan dihentikan atau dibatalkan sesuai kesepakatan penanggung dan tertanggung.3

1

Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Cetakan IV, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2006), hal. 12-13.

2

Pasal 1 huruf a UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU Usaha Perasuransian).

3

Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 134-135.

Asuransi juga dapat berakhir karena suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian atau risiko yang telah


(11)

diperjanjikan terjadi (evenement), atau karena jangka waktu telah berakhir, atau karena asuransi gugur karena kematian, atau karena tertanggung tidak melanjutkan pembayaran premi sesuai perjanjian.4

Satu di antara prinsip-prinsip kepailitan adalah membereskan hutang-hutang debitor kepada para kreditor (prinsip paritas creditorium) terlebih dahulu.

Usaha asuransi juga dapat berakhir jika kegiatan usaha perusahaan asuransi dicabut izinnya oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang selanjutnya diikuti dengan likuidasi, maka segala yang menyangkut hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan perusahaan asuransi yang dilikuidasi merupakan hak utama untuk dibereskan oleh likuidator.

5

Para kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor pailit, jika debitor pailit tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor menjadi sasaran kreditor.6 Prinsip ini dianut dalam Pasal 20 ayat (2) UU Usaha

Perasuransian. Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan perusahaan asuransi yang dilikuidasi merupakan hak utama. Apabila perseroan bubar, maka perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum kecuali membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi.7

PT. Asuransi Prisma Indonesia dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010 mengajukan kasasi atas permohonan pailit yang diajukan oleh dirinya ke Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditolak. Penolakan oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

4

Tuti Restuti, Aspek Hukum Perjanjian Asuransi, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), hal. 87-90.

5

M. Hadhi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan,

(Jakarta: Kencana, 2009), hal. 27.

6

Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, (Bandung: Alumni, 2003), hal. 135.

7


(12)

didasarkan alasan bahwa yang berhak mempailitkan PT. Asuransi Prisma Indonesia adalah Menteri Keuangan.8

Menurut Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat walaupun PT. Asuransi Prisma Indonesia (dalam likuidasi) telah dicabut izin usahanya oleh Menteri Keuangan dan telah dibubarkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tetapi secara hukum badan hukum PT. Asuransi Prisma Indonesia masih eksis oleh karenanya tetap tunduk pada ketentuan Pasal 2 ayat (5) UUK dan PKPU dan yang berhak mengajukan atau mempailitkan PT. Asuransi Prisma Indonesia adalah Menteri Keuangan.

9

Menteri Keuangan berhak mengajukan permohonan pailit dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan lain-lain yang bergerak di bidang kepentingan publik.10

8

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010, hal. 9.

9

Ibid.

10

Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal. 34. Ada 6 (enam)

pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit antara lain:

Pihak yang mengajukan permohonan pailit berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010 adalah debitor sendiri yaitu PT. Asuransi Prisma Indonesia sedangkan menurut Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengajukan permohonan pailit PT. Asuransi Prima Indonesia adalah Menteri Keuangan dan Putusan

a. Debitor sendiri.

b. Seorang atau beberapa orang kreditor.

c. Kejaksaan demi kepentingan umum.

d. Bank Indonesia dalam hal debitornya adalah bank.

e. Badan Pengawasn Pasar Modal (Bapepam-LK) menyangkut debitornya Perusahaan Efek, Bursa

Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpan dan Penyelesaian.

f. Menteri Keuangan dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana

pensiun, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan lain-lain yang bergerak di bidang kepentingan publik.


(13)

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010 menguatkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Debitor (PT. Asuransi Prima Indonesia) memohonkan pailit untuk dirinya sendiri dengan alasan bahwa dirinya maupun kegiatan usaha yang dijalankannya tidak mampu lagi untuk melaksanakan seluruh kewajibannya terutama melakukan pembyaran utang-utangnya kepada para kreditor.11 Demikian pula asalan-alasan

yang dikemukakan oleh pihak PT. Asuransi Prisma Indonesia dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010 didasarkan pada ketidakmampuannya untuk membayar utang-utangnya kepada para kreditor yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.12

Kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit untuk PT. Asuransi Prima Indonesia sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU KPKPU. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sebagai lembaga pengelola risiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian.13

Sementara di sisi lain Menteri Keuangan sama sekali belum pernah mengajukan permohonan pailit PT. Asuransi Prisma Indonesia kepada pengadilan niaga. Kondisi ini tampak semakin mempersulit pihak PT. Asuransi Prisma Indonesia untuk menentukan status hukumnya. Jika perusahaan asuransi PT. Asuransi Prisma Indonesia dinyatakan tetap eksis oleh pengadilan akan semakin

11

Ibid., hal. 34-35.

12

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010, hal. 6-7.

13


(14)

menimbulkan beban dalam membayar hutang atau kewajibannya kepada kreditor. Tetapi akibat hukum yang ditimbulkan jika perusahaan asuransi ini dinyatakan pailit adalah pemberesan harta pailit oleh likuidator. Itu berarti hutang-hutang perusahaan kepada kreditor diselesaikan terlebih dahulu sesuai dengan kemampuan harta kekayaan perusahaan dan debitor.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan tiga permasalahan berikut ini:

1. Bagaimanakah perusahaan asuransi menjalankan kegiatan usaha berdasarkan UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian?

2. Bagaimanakah kepailitan perusahaan asuransi menurut UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang? 3. Bagaimanakah legal standing perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya

dalam menjalankan permohonan pailit berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dilakukan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami perusahaan asuransi dalam menjalankan kegiatan usaha berdasarkan UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.


(15)

2. Untuk mengetahui dan memahami kepailitan perusahaan asuransi menurut UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

3. Untuk mengetahui legal standing perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam menjalankan permohonan pailit berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010.

Secara teoritis dan praktis, penulisan skripsi ini memberikan manfaat yang berguna, yaitu:

1. Secara teoritis bermanfaat bagi akademisi sebagai bahan kajian penelitian dan pengkajian lebih lanjut dan bermanfaat bagi masyarakat khususnya kreditor dan debitor.

2. Secara praktis bermanfaat bagi: debitor sendiri dan seorang atau beberapa orang kreditor. Bermanfaat bagi lembaga-lembaga yang berhubungan seperti: Kejaksaan demi kepentingan umum; Bank Indonesia dalam hal debitornya adalah bank; Badan Pengawasn Pasar Modal (Bapepam-LK) menyangkut debitornya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpan dan Penyelesaian; dan Menteri Keuangan dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan lain-lain yang bergerak di bidang kepentingan publik.

D. Keaslian Penulisan

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap judul dan masalah yang sama, maka peneliti melakukan pemeriksaan judul skripsi yang sama dengan, ”Legal Standing Perusahaan Asuransi yang Telah Dicabut Izin Usahanya Dalam


(16)

Menjalankan Permohonan Pailit (Studi Kasus Putusan MA Nomor 338K/PDT.SUS/2010)”. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, ternyata tidak ditemukan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini artinya belum pernah dilakukan peneliti lain dalam topik dan permasalahan yang sama. Dengan demikian, maka penelitian ini dapat dikatakan memiliki keaslian dan jauh dari unsur plagiat serta sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yakni kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta sesuai dengan prosedur menemukan kebenaran ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Asuransi

Asuransi atau pertanggungan timbul karena kebutuhan manusia.14

Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, dapat diketahui bahwa perjanjian untuk asuransi jiwa unit link merupakan salah satu contoh perikatan yang lahir karena undang-undang. Asuransi berasal dari bahasa Inggris “insurance” yang dalam bahasa Indonesia telah diadopsi dalam Kamus Besar dengan padanan kata “pertanggungan”.15

Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung,

UU Usaha Perasuransian juga menentukan padanan kata asuransi adalah pertanggungan sebagaimana didefenisikan dalam Pasal 1 angka UU Usaha Perasuransian:

14

Junaedy Ganie, Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 1.

15


(17)

dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Banyak pihak yang mengartikan asuransi secara berbeda-beda. Adam Smith, mengatakan asuransi itu merupakan suatu cara menyebarkan beban kerugian kepada orang banyak sehingga kerugian itu menjadi ringan dan mudah. Pengertian menurut Adam Smith ini sama dengan asuransi menurut Muhammad Muslehuddin yang diadopsinya dari Encyclopedia Britanica. Abbas Salim, mengatakan asuransi sebagai suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian yang belum pasti.16

Namun menurut Wirjono Prodjodikoro, asuransi diartikannya lebih sempurna mendekati defenisi asuransi dalam Pasal 1 angka 1 UU Usaha Perasuransian. Wirjono menyebutkan asuransi dalam bukunya “Hukum Asuransi di Indonesia” bahwa asuransi adalah suatu persetujuan di mana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai penggantian kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas.

17

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Usaha Perasuransian tersebut di atas, diketahui bahwa asuransi itu adalah perjanjian, makna asuransi itu sama dengan pertanggungan, sehingga ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam perjanjian asuransi yang dikelompokkan dalam dua pihak yakni pihak penanggung dan tertanggung. Perjanjian asuransi menurut Pasal 1 angka 1 UU Usaha Perasuransian

16

Tuti Restuti, Op. Cit., hal. 1-2.

17


(18)

juga menentukan pihak penanggung yang seharusnya memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian yang tidak pasti.

Walaupun pengertian asuransi tersebut di atas tampak berbeda-beda satu sama lainnya, namun makna yang sama dalam pengertian ini bahwa penggantian dalam asuransi diberikan oleh pihak penanggung kepada tertanggung melalui premi yang diterima oleh pihak penanggung. Jadi terdapat dalam pengertian penanggugan diartikan secara searah yakni dari pihak penanggung kepada pihak tertanggung. Penanggungan diartikan dalam Kamus Hukum adalah kewajiban menaggung dan memikul tanggung jawab atas sesuatu perbuatan atau kejadian.18

Molengraaff juga mendefenisikan asuransi sebagai persetujuan dengan mana satu pihak penanggung mengikatkan terhadap yang lain, penanggung mengganti kerugian yang diderita oleh tertanggung karena terjadinya suatu peristiwa yang belum tentu atau kebetulan, dimana tertanggung berjanji untuk membayar premi kepada penanggung.19 Pihak-pihak yang mengikatkan diri secara timbal balik itu

disebut penanggung dan tertanggung. Penanggung dengan menerima premi memberikan pembayaran, ada juga yang mendefenisikan asuransi tanpa menyebutkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penikmatnya.20

Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk menggantikan kepadanya karena suatu kerugian,

Sebagai lex generalis dari UU Usaha Perasuransian adalah KUHD yang mendasarkan pengertian penanggungan sama dengan asuransi, Pasal 246 KUHD, menentukan:

18

M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hal. 510.

19

Molengraaf dalam Tuti Restuti, Op. Cit., hal. 3.

20


(19)

kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu.

Inti dari diadakannya asuransi sesungguhnya dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari apa yang disebut dengan risiko yang selalu melekat dalam diri manusia itu sendiri. Risiko tersebut yang dimaksud adalah risiko yang tidak diketahui kapan muncul, maka salah satu cara mengantisipasi risiko untuk meringankan beban kerugian tersebut, dalam aspek ekonomi dilakukan melalui asuransi. Namun tidak berarti asuransi tersebut jika tidak diatur melalui seperangkat peraturan perundang-undangan.21

2. Pengertian Perusahaan Perasuransian

Sehingga jika diartikan sebaliknya, asuransi atau pertanggung dimaknai sebagai salah satu cara untuk mengalihkan risiko (transfer of risk) atau membagi risiko (distribution of risk) dari pihak yang memiliki kemungkinan menderita karena adanya risiko kepada pihak lain (perusahaan asuransi) yang bersedia melindungi risiko tersebut melalui prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Jadi pertanggungan diberikan oleh pihak penanggung kepada tertanggung sementara risiko dialihkan dari pihak tertanggung kepada pihak penanggung.

Muatan dalam UU Usaha Perasuransian menggunakan istilah perusahaan perasuransian bukan perusahaan asuransi. Ini berarti pemaknaannya mencakup seluruh kegiatan dalam sistim yang tidak dapat dispisahkan antar satu sama lain dalam undang-undang. Semua kegiatan perasuransian dicakup dalam undang-undang sebagai suatu sistim yang terpadu.

21


(20)

Pasal 1 angka 4 UU Usaha Perasuransian, menentukan, bahwa, “Perusahaan Perasuransian adalah Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan Perusahaan Konsultan Akturia”. Sedangkan Pasal 1 angka 1 PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, menentukan, bahwa, “Perusahaan Asuransi adalah Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Asuransi jiwa”.

Abdulkadir Muhammad menegegaskan istilah perasuransian melingkupi kegiatan yang bergerak di bidang usaha asuransi dan usaha penunjang usaha asuransi.22

Pasal 1 angka 4 UU Usaha Perasuransian, menentukan pengertian perusahaan perasuransian adalah perusahaan asuransi kerugian, perusahaan asuransi jiwa, perusahaan reasuransi, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, Beliau berlandaskan pengertiannya pada Pasal 2 huruf a UU Usaha Perasuransian, menentukan:

Usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang.

Sesuai dengan pengertian asuransi dan perasuransian sebagaimana di atas, perusahaan asuransi dipastikan menyangkut segala hal: perusahaan perasuransian, perusahaan asuransi kerugian, perusahaan pialang reasuransi, perusahaan reasuransi, perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan asuransi jiwa.

22

Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Cetakan V, (Bandung: Citra Aditya


(21)

agen asuransi, perusahaan penilai kerugian asuransi dan perusahaan konsultan akturia.

Lebih lanjut disebutkan oleh Badulkadir Muhammad bahwa perusahaan asuransi adalah setiap perusahaan yang kegiatan usahanya menjalankan kegiatan di bidang perasuransian.23 Setiap perusahaan perasuransian hanya dapat menjalankan

jenis usaha yang telah ditetapkan dan tidak dimungkinkan adanya suatu perusahaan perasuransian yang sekaligus menjalankan usaha asuransi kerugian bersamaan dengan asuransi jiwa.24

Perusahaan asuransi kerugian adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.25

Perusahaan asuransi jiwa adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.26

Perusahaan reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.27 Perusahaan Pialang Asuransi adalah

perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi Asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung.28

23

Ibid., hal. 29.

24

Ibid., hal. 30.

25

Pasal 1 angka 5 UU Usaha Perasuransian.

26

Ibid., Pasal 1 angka 6.

27

Ibid., Pasal 1 angka 7.

28


(22)

Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.29 Agen

Asuransi adalah seseorang atau badan hukum yang kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.30

Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang dipertanggungkan.31

Perusahaan Konsultan Akturia adalah perusahaan yang memberikan jasa akturia kepada perusahaan asuransi dan dana pensiun dalam rangka pembentukan dan pengelolaan suatu program asuransi dan atau program pensiun.32

1) Perusahaan Perasuransian dalam rangka melaksanakan kegiatan usahanya harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

Persyaratan umum perusahaan perasuransian menurut Pasal 3 PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, menentukan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Dalam anggaran dasar dinyatakan bahwa:

(1) Maksud dan tujuan pendirian perusahaan hanya untuk menjalankan salah satu jenis usaha perasuransian;

(2) Perusahaan tidak memberikan pinjaman kepada pemegang saham. b. Susunan organisasi perusahaan sekurang-kurangnya meliputi

fungsi-fungsi sebagai berikut:

(1) Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, dan fungsi pelayanan;

(2) Bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan keuangan dan fungsi pelayanan; (3) Bagi Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian

Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria, yaitu fungsi teknis sesuai dengan bidang jasa yang diselenggarakannya.

29

Ibid., Pasal 1 angka 9.

30

Ibid., Pasal 1 angka 10.

31

Ibid., Pasal 1 angka 11.

32


(23)

c. Memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidang usahanya dalam jumlah yang memadai untuk mengelola kegiatan usahanya.

e. Melaksanakan pengelolaan perusahaan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini, yang sekurang-kurangnya didukung dengan: (1) Sistem pengembangan sumber daya manusia;

(2) Sistem administrasi; (3) Sistem pengelolaan data.

2) Ketentuan lebih lanjut mengenai huruf d dan huruf e ditetapkan oleh Menteri. Dikatakan sebagai Perusahaan Perasuransian seluruh atau mayoritas pemiliknya adalah Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia, serta seluruh anggota Dewan Komisaris dan pengurus harus Warga Negara Indonesia.33

Anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi Perusahaan Perasuransian yang didalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing harus Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing, atau seluruhnya Warga Negara Indonesia.34

3. Pengertian Kepailitan

Kata kepailitan merupakan gabungan awalan-akhiran (konfiks) “ke” dan “an” yang mengapit kata dasar “pailit”. Istilah pailit diartikan dalam Kamus Hukum adalah “Suatu keadaan di mana seseorang berhenti tidak mampu lagi membayar hutangnya dengan putusan Hakim atau Pengadilan Negeri.35 Istilah pailit juga dapat

dijumpai dalam perbendaharaan Bahasa Belanda (failliet), Perancis (faillite), dan Latin (failire), dan Inggris (bankrupt).36

Dalam istilah Bahasa Perancis adalah faillite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan le failli. Dalam Bahasa Belanda

33

Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 32.

34

Ibid.

35

M. Marwan dan Jimmy P., Op. cit., hal. 475.

36


(24)

menggunakan istilah failliet memiliki arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat.37

Istilah bangkrut yang umum dipergunakan di Indonesia berasal dari Bahasa Inggris yaitu bangkrupt yang sudah dikenal sejak Zaman Romawi. Pada waktu itu Romawai juga telah menggunakan istilah ini dengan sebutan banca rupta. Sementara pada abad pertengahan di Eropa terjadi praktik kebangkrutan dengan melakukan aksi penghancuran bangku-bangku dari para bangkir atau pedagang-pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para kreditor. Istilah banco

inilah yang berasal dari kata “bangku” pada waktu itu.

Namun, walaupun sesungguhnya istilah-istilah pailit berbeda-beda namun tetap memiliki pengertian yang sama yaitu sama-sama mengandung makna tidak mampu membayar hutang.

38

Umumnya di negara-negara yang menggunakan Bahasa Inggris, dipakai istilah bangkrupt yang dipergunakan untuk menyebut perusahaan-perusahaan debitor yang berada dalam keadaan tidak membayar hutang-hutangnya yang disebut juga dengan insolvensi. Pengertian kepailitan diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut tentang peristiwa pailit.39

37

Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal. 20.

38

Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2010), hal. 3.

39

Sunarmi, Loc. cit.

Pengertian kepailitan menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU, menentukan, bahwa yang dimaksud dengan “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.


(25)

Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Sedangkan Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan UUK dan PKPU.

Ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat dipersamakan dengan ketidakmampuan membayar utang. Ketidakmampuan untuk membayar utang tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan ketidakmampuan tersebut harus ditagih dengan proses pengajuan ke Pengadilan, baik atas permintaan Debitor itu sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya.40

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan sifat penelitian

40


(26)

Jenis metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam perundang-undangan di bidang usaha perasuransian dan kepailitan serta Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu dengan cara menggambarkan dasar-dasar pertimbangan hakim secara analisis mengenai perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam menjalankan permohonan pailit.

2. Sumber data

Data pokok yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha

Perasuransian (UU Usaha Perasuransian), UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU), UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 338K/PDT.Sus/2010.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah-makalah seminar, artikel, jurnal, surat kabar, makalah lepas di internet maupun karya-karya tulisan yang berkaitan dengan perusahaan perasuransian dan kepailitan.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder misalnya Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Inggris.


(27)

3. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (library research) untuk memperoleh referensi dan studi dokumen untuk memperoleh putusan pengadilan mengenai perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam menjalankan permohonan pailit. Melakukan identifikasi terhadap data sehingga data yang diperoleh melalui studi pustaka dan studi dokumen putusan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi asas-asas dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang diteliti kemudian disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan.

4. Analisis data

Data-data yang diperoleh, akan dianalisis secara kualitatif yakni memilih pasal-pasal terpenting yang terdapat di dalam UU Usaha Perasuransian dan UUK dan

PKPU kemudian menjelaskannya, menguraikannya, memaparkannya, dan

menganalisisnya berdasarkan asas-asas, norma-norma hukum dan kaidah-kaidah. Dari hasil analisis data akan menghasilkan jawaban atas permasalahan, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan jawaban dan saran-saran.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan sebagai kerangka dalam skripsi ini, dibagi dalam 5 (lima) bab yaitu:


(28)

Dalam bab ini yang dibahas adalah mengenai hal-hal berkaitan dengan latar belakang yang mengantarkan judul kepada perumusan masalah yang diteliti, tujuan penelitian, manfaat penelitian secara teoritis dan praktis, tinjauan kepustakaan memuat pengertian-pengertian tentang asuransi, perusahaan perasuransian, dan pengertian kepailitan. Digunakan metode dan sistematika penulisan.

BAB II : PERUSAHAAN ASURANSI MENJALANKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UU USAHA PERASURANSIAN.

Dalam bab ini dibahas tentang asas-asas dan prinsip-prinsip dasar asuransi meliputi: asas-asas perjanjian asuransi, prinsip itikad baik (good fait), prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest), dan prinsip pengalihan risiko. Selanjutnya dibahas tentang asuransi sebagai suatu perjanjian, berakhirnya perjanjian asuransi, dan pengaturan kegiatan usaha perusahaan asuransi dalam menjalankan kegiatan perasuransian.

BAB III : KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI MENURUT UU NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG.

Dalam bab ini dibahas tentang asas-asas dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam hukum kepailitan, syarat-syarat dan prosedur permohonan pailit, serta pengurusan dan pemberesan harta debitor pailit oleh kurator.

BAB IV : LEGAL STANDING PERUSAHAAN ASURANSI YANG DICABUT IZIN USAHANYA DALAM MENJALANKAN PERMOHONAN PAILIT BERDASARKAN PUTUSAN MARI NOMOR 338K/PDT.SUS/2010.


(29)

Dalam bab ini dibahas tentang syarat-syarat mengajukan permohonan pailit, akibat hukum terhadap perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya, dan legal standing perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam mengajukan permohonan pailit, dengan terlebih dahulu menggambarkan posisi kasus, pertimbangan hakim pengadilan niaga jakarta pusat, kemudian menganalisis pertimbangan hakim MA berdasarkan UU No.2 Tahun 1992 dan UU No.37 Tahun 2004.


(30)

BAB II

PERUSAHAAN ASURANSI MENJALANKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UU NO.2 TAHUN 1992 TENTANG

USAHA PERASURANSIAN

A. Asas-Asas dan Prinsip-Prinsip Dasar Asuransi

Menurut kamus hukum, asas adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasarkan adanya sesuatu norma hukum.41 Prinsip adalah asas kebenaran

yang menjadi pokok dasar berfikir.42

Prinsip hukum menurut Sudikno Mertokusumo bukanlah sebagai aturan hukum kongkrit melainkan merupakan pikiran dasar umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari perumusan aturan hukum kongkrit.

Berdasarkan kedua pengertian ini pada hakikatnya asas dan prinsip adalah sama saja tetapi asas lebih tinggi daripada prinsip, misalnya ketika disebut asas legalitas, maka prinsipnya adalah penundukan pada suatu aturan tertentu.

43

Oleh karena itu asas dan prinsip adalah sama, bedanya hanya pada tingkatan penyebutannya saja. Mahadi, mengatakan bahwa “asas atau prinsip merupakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, dasar, tumpuan, tempat untuk menyandarkan sesuatu, mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan”.44

Satjipto Rahardjo, mengatakan, “asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis, sehingga asas-asas tersebut menjadi jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis

Pendangan ini juga mengatakan bahwa asas sama dengan prinsip karena dihubungkannya dengan kata “atau”.

41

M. Marwan dan Jimmy P., Op. cit., hal. 57.

42

Ibid., hal. 514.

43

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005),

hal. 34.

44


(31)

masyarakatnya, melalui asas hukum peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis”.45

2. Asas-Asas Perjanjian Asuransi

Dari pandangan ini tampaklah bahwa asas itu lebih tinggi daripada prinsip di mana bahwa aspek yang terkandung di dalam asas adalah nilai-nilai etika.

Pengaturan asuransi dalam KUH Perdata terdapat pada Buku III tentang Perikatan yaitu pada Bab I, Bab II, Bab III, Bab IV, Bab V, dan Bab XV. Pengaturan asuransi dalam buku III KUH Perdata tersebut mengandung aturan mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Pengaturan asuransi dalam buku III juga mengandung 4 (empat) asas penting yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik, dan asas kepribadian.

Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) ditentukan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapa pun, menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Tetapi asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) bukan berarti bebas sebebas-bebasnya. Konsekuensi asas ini adalah dilarang membuat kontrak yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau kesusilaan atau ketertiban

45


(32)

umum, maka akan mengakibatkan kontrak tersebut menjadi batal demi hukum atau dapat dibatalkan.46

Asas konsensualisme terkandung di dalam Pasal 1320 KUH Perdata sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa asas ini menentukan kata sepakat antara para pihak yang berkontrak khususnya dalam perjanjian asuransi. Herlien Budionon mengatakan terkait asas konsensualisme ini bahwa perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formal tetapi cukup melalui konsensus belaka.

47

Asas pacta sunt servanda terkandung di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, menentukan, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya sebagai undang-undang”. Dalam pasal ini terkandung asas asas

pacta sunt servanda, asas kebebasan berkontrak, dan asas kepastian hukum. Kepastian hukum dalam pasal ini berarti janji harus ditepati.48

46

Ricardo Simanjuntak, “Asas-Asas Utama Hukum Kontrak Dalam Kontrak Dagang Internasional: Sebuah Tinjauan Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27, No. 24, Tahun 2008, hal. 44.

47

Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Di Indonesia, (Bandung:

Citra Adtya Bakti, 2006), hal. 95.

48

Junaedy Ganie, Op. cit., hal. 60.

Asas itikad baik (good faith) tersurat dengan tegas (eksplisit) di dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, menentukan, “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Sependapat dengan Mariam Darus, bahwa asas itikad baik pada Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata ini sebagai penyeimbang dari asas pacta sunt servanda yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Sehingga dengan gabungan kedua asas ini memberikan perlindungan pada pihak yang lebih lemah sehingga kedudukan para pihak dalam perjanjian asuransi yaitu antara penanggung dan tertanggung menjadi seimbang.


(33)

Asas kepribadian terkandung dalam Pasal 1315 KUH Perdata, menentukan, “pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”. Asas yang terkandung dalam pasal ini mengisyaratkan bahwa perjanjian antara para pihak hanya berlaku mengikat bagi kedua belah pihak saja (mereka saja).

a. Prinsip-Prinsip Itikad Baik (good fait)

Praktik asuransi sebagai suatu sarana pengendalian risiko telah berkembang selama bertahun-tahun, sehingga telah menjadi suatu ilmu pengetahuan yang semakin rumit dan butuh pengkajian lebih dalam. Ilmu asuransi telah dikembangkan melalui berbagai cara, sarana, dan teknis perasuransian yang mencakup bidang-bidang dokumentasi, penjaminan (underwriting), pemasaran, klaim, dan sebagainya.

Agar pengetahuan teoritis maupun kemampuan teknis mengenai perasuransian dan penerapannya bisa dikuasai harus berpedoman pada prinsip-prinsip yang dianut dalam kegiatan perasuransian. Prinsip-prinsip-prinsip dasar tersebut antara lain adalah: prinsip itikad baik (good faith), kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest), prinsip ganti rugi atau pemberian ganti rugi atas kerusakan atau kehilangan (indemmity), prinsip pengaliharn risiko.

Pemahaman itikad baik (good faith) berasal dari basaha Latin uberrimai fides

yang dapat diterjemahkan dengan itikad baik, itikad yang amat baik (utmost good faith) bahkan ada yang menerjemahkannya sebagai kejujuran yang sempurna. Dalam melaksanakan perjanjian, peran itikad baik sungguh memiliki arti yang sangat


(34)

penting sekali. Pengertian itikad baik (good faith) adalah sikap batiniah ketika melaksanakan hubungan hukum dengan penuh tanggung jawab dijalankan.49

Subekti menyebutkan itikad baik sebagai suatu sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian, sehingga dapat dikatakan sebagai landasan utama untuk dapat melaksanakan suatu perjanjian dengan sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya. Itikad baik dapat dilaksanakan pada saat mengadakan hubungan hukum dalam perjanjian dan pada saat melaksanakan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut.50

Itikad baik pada saat melakukan hubungan hukum dalam perjanjian merupakan wujud dari dalam hati sanubari para pihak. Persyaratan yang dilakukan untuk mengadakan hubungan hukum secara sah menurut hukum sudah terpenuhi seluruhnya. Seseorang yang hendak membeli suatu barang, dalam sanubarinya mengira bahwa penjual barang tersebut benar-benar sebagai pemiliknya. Jika kemudian hari ternyata penjual barang tersebut bukan pemilik yang sesungguhnya atas barang yang diperjualbelikan, maka pembeli tersebut merupakan pembeli yang beritikad baik. Oleh karena dilakukan dengan itikad baik, maka pembeli tersebut dilindungi oleh hukum.51

Namun harus dipahami bahwa perkiraan pembeli pada ilustrasi di atas bukanlah perkiraan yang sembarangan. Perkiraan tersebut harus merupakan perkiraan yang benar-benar meyakinkan yaitu perkiraan yang didasarkan pada

49

Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 23.

50

Ketut Sendra, Konsep dan Penerapan Asuransi Jiwa Unit Link, Proteksi Sekaligus

Investasi, Buku Penentuan Agen dan Konsultan Keuangan Untuk Sukses Meraih Lisensi, (Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 2004), hal. 89.

51


(35)

kepantasan dalam masyarakat, dan kepantasan itu harus diukur secara objektif atau kepatuhan dan kepatutan, bukan subjektif.

Itikad baik dilaksanakan pada saat melaksanakan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum terletak pada hati sanubari manusia. Pelaksanaan perjanjian selalu mengingatkan para pihak untuk mengindahkan norma keputusan dan keadilan, dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang mungkin menimbulkan kerugian terhadap pihak lain.52

Itikad baik erat kaitannya dengan sikap sanubari seseorang dalam melaksanakan suatu hubungan hukum, oleh karena itu, peratnggungjawaban itikad baik secara bathiniah adalah melaksanakan tanggung jawab yang didasarkan kepada tanggung jawab hukum dan moral.53 Itikad baik berarti menempatkan kejujuran pada

derajat yang tinggi (high degree).54

Dengan itikad baik tersebut, perusahaan asuransi dalam menjalankan usahanya sebagai penjual polis dilindungi dari kemungkinan adanya kesalahan informasi yang diberikan oleh calon tertanggung mengenai objek pertanggungan yang jika penanggung (perusahaan asuransi) mengetahuinya pada prinsipnya pertanggungan itu tidak pantas diterimanya. Prinsip itikad baik di sini dikenal dengan

caveat vendor yaitu penjual yang harus dilindungi.55

Setiap keterangan yang keliru, atau tidak benar, ataupun setiap orang tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung betapapun itikad Prinsip itikad baik ini ternyata ditemukan dalam Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang menentukan:

52

Ibid., hal. 90.

53

Theo Huijbers, Filsafat Hukum., (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 63.

54

Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya

Bakti, 2003), hal. 81.

55


(36)

baik ada padanya. Yang demikian sifatnya, sehingga seandainya sipenanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup, atau tidak ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan.

Prinsip itikad baik tersebut berlainan pula dengan prinsip perdagangan pada umumnya di mana dalam perdagangan pada umumnya berlaku prinsip atau doktrin

caveat emptor (let the buyer beware). Prinsip ini menentukan bahwa pembelilah yang seharusnya berhati-hati sebelum melakukan pembelian atas suatu barang dan atau jasa. Prinsip ini dapat ditemukan dalam The Sale of Goods Act 1979, Mispresentation Act 1967, The Supplay of Goods Act 1973, dan The Unfair Contract Act 1977 yang bersumber dari sistim hukum anglo saxion atau common law system

dari Inggris.

Pada hakikatnya, kedua belah pihak tetap bertanggung jawab penuh untuk melaksanakan setiap hubungan hukum dalam perdagangan. Kewajiban masing-masing pihak baik penjual maupun pembeli dilaksanakan secara bertanggung jawab. KUH Perdata menentukan:

Sipenjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyinya pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksudkan, atau yang demikian mengurangi pemakaian sehingga, seandainya sipembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang…(vide: Pasal 1504 KUH Perdata).

Sipenjual tidak diwajibkan menanggung terhadap cacat yang kelihatan, yang dapat diketahui sendiri oleh si pembeli. (vide: Pasal 1505 KUH Perdata). Kemudian ditentukan: Ia diwajibkan menanggung terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia, sendiri tidak mengetahui tentang adanya cacat itu, kecuali jika ia dalam hal yang demikian, telah meinta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apa. (vide: Pasal 1506 KUH Perdata). Ketentuan tersebut di atas merupakan ketentuan yang bermaksud untuk melindungi kepentingan pembeli atau konsumen. Dengan demikian jelas bahwa


(37)

prinsip dalam perdagangan secara umum mengenai prinsip itikad baik tidak sama dengan prinsip yang dianut dalam perasuransian.

Prinsip itikad baik dalam kegiatan perasuransian, dapat diterapkan dalam praktiknya, seperti penerapan berikut ini:56

1) Perjanjian pertanggungan batal demi huku jika setelah perjanjian pertanggungan ditandatangani ternyata ditemukan ketentuan-ketentuan yang tidak benar, maka si penanggung harus membatalkan perjanjian pertanggungan tersebut kecuali ketentuan yang tidak benar itu terjadi karena tanpa disengaja.

2) Pihak perusahaan asuransi (penanggung) harus menjelaskan secara lengkap dan benar kepada tertanggung mengenai kondisi pertanggungan.

Perjanjian pertanggungan harus dibatalkan (melalui para pihak khususnya perusahaan asuransi) atau dapat dibatalkan (melalui pengadilan) jika terdapat hal-hal seperti tidak mengungkapkan informasi secara benar dan lengkap atau menyembunyikan fakta atau pengingkaran secara keliru ataupun perusahaan asuransi dengan sengaja memberikan informasi yang tidak benar kepada tertanggung.

Informasi yang dimaksud adalah informasi materil yang penting dan dapat menyebabkan ditolaknya suatu permohonan pertanggungan atau diterima tetapi dengan syarat-syarat pertanggungan dengan premi yang berbeda melalui kesepakatan ulang. Tidak semua informasi merupakan informasi materil dan tidak mudah pula menentukan suatu informasi yang materil itu. Hal ini juga menjadi persoalan penting dalam pertanggungan.57 Secara umum bahwa informasi materil itu adalah informasi

yang seharusnya diperoleh baik pihak penanggung maupun pihak tertanggung dan dapat berpengaruh terhadap kegiatan pertanggungan.58

b. Prinsip Kepentingan yang dapat Diasuransikan (insurable interest)

56

Ibid., hal. 92.

57

Ibid.

58


(38)

Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest) atau lebih tepat disebut kepentingan finansial yang dapat diasuransikan. Jika seseorang memiliki kepentingan atau interest dengan suatu perusahaan asuransi maka secara finansial seseorang tersebut memiliki ketertarikan untuk mengasuransikan terhadap perusahaan tersebut.

Sehingga prinsip ini dapat dipahami bahwa prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest) bahwa hak yang sah dimiliki oleh seseorang untuk mempertanggungkan kepentingan keuangannya pada objek pertanggungan. Sehingga jika terjadi suatu peristiwa merugikan yang menimpa objek pertanggungan, tertanggung akan mengalami kerugian keuangan. Mengasuransikan harta benda tanpa didukung dengan insurable interest sama halnya dengan perjudian yang tidak memiliki kekuatan hukum.59

c. Prinsip Pengalihan Risiko

Singkatnya prinsip insurable interest ini sesungguhnya memiliki relevansi dengan prisinp itikad baik yakni harus memiliki keinginan dan keinginan itu harus dilaksanakan dengan kejujuran dan kepatutan.

Risiko adalah suatu kondisi yang mengandung kemungkinan terjadinya penyimpangan yang lebih buruk dari hasil penerapan. Isitilah risiko memiliki berbagai pengertian dalam bisnis dan dalam kehidupan sehari-hari. Pada tingkatan yang paling umum, istilah risiko dipergunakan untuk menggambarkan keadaan di mana terdapat ketidakpastian tentang hasil apa yang akan timbul.60

Asuransi dilakukan untuk meminimalisasi kerugian, guna untuk menanggulangi ketidakpastian terhadap kerugian yang bersifat spekulatif, yang dapat

59

Ibid., hal. 96-97.

60


(39)

terjadi karena ketidakpastian peristiwa atau tidak terjadinya suatu peristiwa.61

Prinsip pengalihan risiko ini seminimal mungkin risiko didistribusi. Itu sebabnya asuransi sering dianggap sebagai alat atau sarana pembagian risiko (risk sharing device). Asuransi merupakan suatu bentuk penyebaran risiko yang kemungkinan akan terjadi atau yang lebih tepat disebut sebagai alat pengalihan risiko.

Pihak yang mengalihkan risiko adalah masyarakat atau pihak tertanggung sedangkan perusahaan asuransi bertindak sebagai penjaminan pengalihan risiko tersebut.

62

Jika dikaitkan dengan tujuan dan fungsi asuransi dalam hal melaksanakan prinsip pengalihan risiko simaksud, maka sesungguhnya terdapat pula sebuah prinsip di sini bahwa tujuan dan fungsi asuransi bagi penanggung dan tertanggung berlaku pula prinsip the losses of a few are borne by a group maksud prinsip ini adalah bahwa dalam bisnis asuransi tidak semua peserta akan mengalami kerugian atau kehilangan pada waktu yang sama maupun pada waktu yang berbeda tetapi klaim

Prinsip ini diilustrasikan misalnya dalam hal perusahaan manufactur (pihak tertanggung) membayar premi kepada untuk jaminan asuransi akan menjadi biaya tetap bagi bisnisnya yang akan diperhitungkan dalam komponen biaya perusahaan, maka dalam hal ini akan tercermin dalam harga yang dikenakan atas barang yang diproduksinya. Biaya klaim lalu dibagi antara semua pembeli barang yang dijualnya yang memungkinkan suatu risiko dapat disebarkan (didistribusikan) secara luas.

61

Sri Rezeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta: Sinar Grafika,

1995), hal. 15.

62


(40)

yang diajukan oleh sebahagian dari peserta asuransi ditanggung oleh seluruh peserta asuransi yang lain.63

Kecuali jika terjadi risiko inti (core risk), sebab core risk ini adalah risko yang terjadi karena kegagalan strategi bisnis dan investasi serta salah kelola (mismanagement) dan kegagalan ini potensial mengakibatkan munculnya tuntutan pihak ketiga untuk mempailitkan perusahaan asuransi. Sedangkan risiko perusahaan asuransi yang diperlukan klaim asuransi adalah terjadi karena risiko bisnis yang murni disebabkan karena peristiwa yang tidak pasti.

Dengan prinsip the losses of a few are borne by a group ini perusahaan asuransi tidak akan dirugikan atau pailit jika ada klaim dari pihak tertanggung, karena dalam suatu kejadian yang dikalim tertanggung tersebut, semua peserta atau tertanggung yang lainnya juga ikut berpartisipasi secara tidak langsung membiayai klaim tersebut. Secara tidak langsung disebut karena tertanggung yang lain telah memberikan premi yang terus-menerus dikumpulkan oleh perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi tersebut dipastikan tetap memperoleh keuntungan dari premi.

64

B. Asuransi sebagai Suatu Perjanjian

Asuransi merupakan satu di antara jenis-jenis perjanjian. Perjanjian asuransi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel voor Indonesie (S. 1847-23). Asuransi sebagai suatu perjanjian, maka ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian dalam KUH Perdata berlaku dalam

63

Junaedy Ganie, Op. cit., hal. 46.

64


(41)

perjanjian asuransi. Oleh karena itu, ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian, berlaku juga syarat-syarat yang diatur dalam KUHD.65

1. Kesepakatan (consensus)

Syarat-syarat sah suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menurut ketentuan tersebut terdapat 4 (empat) syarat-syarat sah suatu perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kuasa yang halal. Suatu perjanjian asuransi dapat dipastikan tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Jika keempat syarat tersebut sudah dipenuhi, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya, khususnya bagi penanggung dan tertanggung.

Penanggung (perusahaan perasuransian) dan tertanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi: benda yang menjadi objek asuransi, pengalihan risiko dan pembayaran premi, evenemen (peristiwa yang tidak pasti) dan ganti kerugian, syarat-syarat khusus asuransi, dan polis asuransi.66

Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.67

65

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009),

hal. 61.

66

Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 49.

67


(42)

Perjanjian asuransi dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung antara pihak penanggung dan pihak tertanggung. dilakukan secara langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi tanpa melalui perantara sedangkan dilakukan secara tidak langsung artinya dilakukan melalui jasa perantara.68

Dengan adanya kesepakatan (consensus) untuk mengikatkan diri antara penanggung dan tertanggung bahwa kedua belah pihak menyetujui materi atau muatan dalam perjanjian asuransi yang diperjanjikan, tidak ada paksaan atau di bawah tekanan pihak manapun. Semua pihak harus bebas menentukan pilihan. Maksud dibolehkannya perjanjian asuransi secara tidak langsung (melalui perantara) bertujuan untuk melindungi pihak tertanggung sebagai pihak yang paling berkepentingan menentukan objek yang diasuransikan.

Penggunaan jasa perantara diperbolehkan dalam Pasal 260 KUHD, jika asuransi dilakukan dengan perantara seorang makelar, maka polis yang sudah ditandatangani harus diserahkan dalam waktu 8 (delapan) hari setelah perjanjian dibuat. Inilah yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 8 UU Usaha Perasuransian sebagai Perusahaan Pialang Asuransi, yaitu perusahaan yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung.

69

2. Kewenangan (authority)

Mengenai kewenangan (authority) yang dimaksud adalah kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Para pihak penanggung dan tertanggung harus mampu dan

68

Abdulkadir Muhammad, Op. cit., hal. 50.

69


(43)

cakap membuat suatu perjanjian asuransi yang berarti kata mampu dalam hal ini adalah bahwa penanggung dan teratnggung telah dewasa, tidak di bawah pengawasan karena prilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian tertentu.

Kewenangan berbuata tersebut ada yang bersifat subjektif dan ada yang bersifat objektif. Kewenangan subjektif artinya para pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada dalam perwalian (trusteeship), atau pemegang kuasa yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung memiliki hubungan yang sah dengan objek asuransi karena benda tersebut merupakan kekayaan miliknya sendiri. Sedangkan penanggung merupakan pihak yang berwenang mewakili perusahaan asuransi berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan. Jika asuransi yang diadakan itu untuk pihak ketiga, maka tertanggung yang mengadakan asuransi tersebut mendapat kuasa dari pihak ketiga yang bersangkutan.70

3. Objek tertentu (fixed object)

Mengenai objek tertentu (fixed object) diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah suatu hal tertentu. Maksud suatu hal tertentu bahwa dalam perjanjian asuransi tersebut ada hal yang diperjanjikan memiliki makna suatu perjanjian yang dilakukan menyangkut suatu objek atau hal yang jelas. Objek asuransi ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 UU Usaha Perasuransian adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya.

Objek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan dalam hal asuransi kerugian. Objek tertentu berupa jiwa atau raga

70


(44)

manusia dalam hal asuransi jiwa. Objek tertentu harus jelas dan pasti. Jika berupa harta kekayaan, harta kekayaan apa, berapa jumlah dan ukurannya, di mana letaknya, apa mereknya, buatan mana, berapa nilainya, dan sebagainya. Jika berupa jiwa atau raga, nama siapa, berapa umurnya, apa hubungan kelaurganya, di mana alamatnya, dan sebagainya.

Oleh karena yang mengasuransikan objek tersebut adalah tertanggung, maka tertanggung harus memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan objek asuransi tersebut. Dikatakan ada hubungan langsung jika tertanggung memiliki sendiri harta kekayaan, jiwa atau raga yang menjadi objek asuransi. Dikatakan ada hubungan tidak langsung jika tertanggung hanya memiliki kepentingan atas objek asuransi. Tertanggung harus dapat membuktikan bahwa tertanggung lah yang benar sebagai pemilik sah atau memiliki kepentingan atas objek tersebut.

Jika tertanggung tidak dapat membuktikan objek asuransi tersebut, maka akan timbul anggapan bahwa tertanggung tidak memiliki hubungan hukum dengan objek asuransi tersebut, sehingga pertanggungan dapat dibatalkan atau batal demi hukum (null and void). Undang-undang tidak membenarkan dan tidak akan mengakui bagi orang yang melakukan perasuransian jika tidak ada kepentingan (interest).71

4. Kausa yang halal.

Dilakukan atas sebab yang halal atau kausa yang halal maksudnya adalah suatu perjanjian dilakukan dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan. Kausa yang halal dalam perjanjian asuransi mengandung makna bahwa isi atau muatan dalam perjanjian asuransi tersebut benar-benar tidak dilarang oleh ketentuan

71


(45)

perundang-undangan, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan kesusialaan. Contohnya tertanggung mengasuransikan benda yang diperoleh dari suatu kajahatan pencucian uang, dan lain-lain adalah dilarang.

Dalam perjanjian asuransi, terdapat beberapa unsur yang harus terpenuhi, antara lain: adanya kaidah hukum, subyek hukum, akibat hukum, kata sepakat, dan adanya prestasi.72

C. Berakhirnya Perjanjian Asuransi

Adanya kaidah hukum jelas diatur dalam KUH Perdata, KUHD, dan UU Usaha Perasuransian. Subyek hukum dimaksud adalah kedua belah pihak yaitu tertanggung dan penanggung maupun kuasanya. Adanya prestasi yaitu tertanggung membayar premi, sedangkan penanggung akan menerima peralihan risiko atas objek yang diasuransikan tertanggung.

Kata sepakat dibuktikan dengan adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak yang dibuktikan dengan penandatanganan di dalam perjanjian asuransi, sehingga akan mengikat secara hukum antar kedua belah pihak dalam pertanggungan. Akibat hukum dari perjanjian asuransi berarti menimbulkan hak dan kewajiban. Jika premi dibayar tertanggung, maka risiko beralih, jika premi tidak dibayar tertanggung, maka risiko tersebut tidak beralih.

Sebagaimana telah dijelaskan di muka bahwa dalam asuransi terdapat beberapa prinsip-prinsip asuransi dan asuransi merupakan satu di antara banyak perjanjian. Asuransi dapat berakhir, asuransi tidak bersifat kekal melainkan bergantung pada batas masa tertentu sesuai dengan yang diperjanjikan antara

72

Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 4.


(46)

penanggung dengan tertanggung. Berakhirnya suatu perjanjian asuransi, maka berakhir pula kegiatan perasuransian, disebabkan karena:

1. Jangka waktu berlaku sudah habis

Asuransi biasanya diadakan untuk jangka waktu tertentu misalnya 1 (satu) tahun. Jangka waktu ini biasanya terdapat pada asuransi kebakaran dan asuransi kendaraan bermotor. Ada juga asuransi yang diadakan untuk jangka waktu yang lebih lama misalnya 10 (sepuluh) tahun sampai 20 (dua puluh) tahun atau lebih. Jangka waktu panjang ini biasa terdapat pada asuransi jiwa. Jangka waktu tersebut ditetapkan dalam polis.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengatur secara tegas mengenai jangka waktu asuransi. Jika jangka waktu yang ditentukan dalam polis tersebut habis, maka jangka waktu asuransi berakhir. Lain halnya dengan asuransi di Inggris tidak dibolehkan asuransi sampai 12 (dua belas) bulan atau lebih satu tahun. Asuransi di Inggris untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun adalah batal.73

2. Perjalanan berakhir

Selain ditentukan dengan jangka waktu tertentu, asuransi juga dapat diadakan berdasarkan perjalanan, misalnya asuransi diadakan untuk perjalanan kapal dari pelabuhan A ke Pelabuhan B. Jike perjalanan telah berakhir atau kapal tiba dipelabuhan tujuan (pelabuhan B), maka asuransi tersebut telah berakhir. Asuransi berdasarkan perjalanan ini pada umumnya digunanakan untuk asuransi pengangkutan barang maupun penumpang dari tempat pemberangkatan (embarkasi) ke tempat tujuan tertentu (disembarkasi).

3. Terjadinya evenemen dan diikuti dengan klaim

73


(47)

Dalam perjanjian asuransi dipastikan dibuat berlaku untuk apa saja evenemen asuransi yang dipertanggungkan. Jika sementara asuransi berjalan terjadi evenemen (peristiwa yang tidak pasti) dimaksud dan menimbulkan kerugian, maka penanggung akan menyelidiki apakah benar tertanggung memiliki kepentingan atas benda yang diasuransikan. Penanggung menyelidiki pula apakah evenemen yang terjadi itubenar-benar karena kesalahan tertanggung dan sesuai dengan evenemen dalam polis asuransi. Jika benar, maka dilakukan pemberesan berdasarkan klaim tertanggung. Pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh penanggung berdasarkan asas keseimbangan74

Keseimbangan dimaksud hak pada satu sisi dibatasi oleh kehendak yang dimunculkan oleh pertimbangan atau keadaan yang menguntungkan, dan pada sisi lain, oleh keyakinan akan kemampuan untuk mengejawantahkan hasil atau akibat yang dikehendaki. Dalam batasan kedua sisi ini tercapailah keseimbangan yang dimaknai positif.

dengan pemenuhan ganti kerugian berdasarkan klaim tertanggung, maka asuransi berakhir.

75

4. Asuransi berhenti atau dibatalkan

Asuransi akan berhenti disebabkan karena kesepakatan dalam perjanjian asuransi antara penanggung dan tertanggung telah berakhir, misalnya karena premi

74

Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku III, (Bandung:

Alumni, 2006), hal. 108-120. Asas keseimbangan adalah suatu asas yang dinyatakan bahwa asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian secara adil. Asas-asas dalam perjanjian, selain asas keseimbangan dianut pula asas kebebasan mengadakan perjanjian, konsensualisme, kepercayaan, kekuatan mengikat, persamaan hukum, keseimbangan, kepastian

hukum, moral, kepatutan, dan kebiasaan. Lihat juga: Tim Naskah Akademis BPHN., Naskah

Akademis Lokakarya Hukum Perikatan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1985), hal. 9. Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan suatu perjanjian, dimana kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

75


(48)

tidak dibayar dan ini biasanya diperjanjikan dalam polis. Berhentinya asuransi juga dapat terjadi karena faktor di luar kemauan penanggung dan tertanggung, mislanya terjadi pemberatan risiko setelah asuransi berjalan (Pasal 293 dan Pasal 638 KUHD).

Dalam hal pemberatan risiko setelah asuransi berjalan, seandainya penanggung mengetahui hal itu dari awal, penanggung tersebut tidak akan membuat asuransi itu dengan syarat-syarat atau janji-janji khusus. Oleh karena dirasakan kurang adil, maka undang-undang menentukan, jika terjadi pemberatan risiko, asuransi menjadi berhenti. Pengertian berhenti dapat juga diartikan dibatalkan.

Penanggung atau tertanggung masing-masing berhak sewaktu-waktu menghentikan asuransi itu tanpa diwajibkan memberitahukan alasannya. Dalam hal penanggung yang membatalkannya, maka penanggung wajib mengembalikan premi untuk jangka waktu yang belum habis. Dalam hal tertanggung yang membatalkannya, tertanggung wajib membayar premi untuk jangka waktu yang sudah dijalani.76

5. Asuransi gugur

Asuransi gugur biasanya terdapat dalam asuransi pengangkutan. Jika barang yang diangkut diasuransikan kemudian tidak jadi diangkut, maka asuransi gugur. Tidak jadi diangkut dapat terjadi karena kapal tidak jadi berangkat akan melakukan perjalanan, tetapi dihentikan (Pasal 635 KUHD). Dalam hal ini asuransi bukan dibatalkan atau batal, melinkan gugur (aborted). Perbedaan antara asuransi dibatalkan atau batal dengan asuransi gugur adalah pada bahaya evenemen. Pada

76


(49)

asuransi dibatalkan atau batal, bahaya sedang atau sudah dijalani, sedangkan pada asuransi gugur, bahaya belum dijalani sama sekali.77

6. Perusahaan Asuransi dipailitkan

Selain dari kelima hal di atas yang dapat membuat kegiatan pertanggungan atau asuransi berakhir, ada pula ketentuan yang menentukan berakhirnya asuransi karena perusahaan yang menjalankan kegiatan perasuransian (perusahaan perasuransian) tersebut dipailitkan atau dicabut izin usahanya.

Ditentukan dalam Pasal 20 UU Usaha Perasuransian, adalah:

a. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Peraturan Kepailitan, dalam hal terdapat pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, maka Menteri, berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan kepada Pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit.

b. Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang dilikuidasi merupakan hak utama.

Maksud ketentuan di atas adalah jika suatu perusahaan asuransi telah dicabut izin usahanya, maka kekayaan perusahaan tersebut perlu dilindungi agar para pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya secara proporsional. Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri Keuangan Republik Indonesia (dalam hal debitornya perusahaan asuransi) diberi wewenang berdasarkan undang-undang untuk meminta pengadilan agar perusahaan asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit.

Tujuan perusahaan asuransi dinyatakan pailit agar kekayaan perusahaan asuransi tersebut tidak dipergunakan untuk kepentingan pengurus atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan kepentingan para pemegang polis. Selain itu, dengan adanya kewenangan untuk mengajukan permintaan pailit tersebut, maka

77


(50)

Menteri Keuangan dapat mencegah berlangsungnya kegiatan tidak sah dari perusahaan yang telah dicabut izin usahanya, sehingga kemungkinan terjadinya kerugian yang lebih luas pada masyarakat dapat dihindarkan.

Hak utama yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) UU Usaha Perasuransian mengandung pengertian bahwa dalam hal kepailitan, hak pemegang polis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lainnya, kecuali dalam hal kewajiban untuk negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. Pengaturan Kegiatan Usaha Perusahaan Asuransi Dalam Menjalankan Kegiatan Perasuransian

Berdasarkan uraian pada sub bab tersebut di atas, telah dijelaskan beberapa prinsip-prinsip yang berlaku dalam perjanjian asuransi dan berakhirnya asuransi atau kegiatan usaha perasuransian, maka dalam sub bab ini dijelaskan mengenai pengaturan kegiatan usaha perasuransian. Dasar hukum pengaturan kegiatan perasuransian telah diatur di dalam KUH Perdata dan KUHD, dan kemudian diatur dalam UU Usaha Perasuransian serta diikuti dengan peraturan teknis melalui PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Perasuransian.

Penegasan Pasal 1 angka 1 UU Usaha Perasuransian menentukan asuransi disamakan dengan pertanggungan. Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita


(51)

tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Jenis usaha perasuransian menurut Pasal 3 UU Usaha Perasuransian, meliputi usaha asuransi dan usaha penunjang usaha asuransi. Usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang. Usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk: Perusahaan Perseroan (Persero), Koperasi, dan usaha bersama. Jenis usaha asuransi menurut Pasal 1 huruf a UU Usaha perasuransuan terdiri dari:

1. Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti;

2. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan;

3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.

Usaha penunjang usaha asuransi adalah menyelenggarakan jasa

keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa akturia. Jenis usaha penunjang usaha asuransi menurut Pasal 3 huruf b UU Usaha Perasuransian, terdiri dari:

1. Usaha pialang asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung;

2. Usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi;


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan dalam skripsi ini adalah:

1. Perusahaan asuransi yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan UU Usaha Perasuransian menganut asas-asas dan prinsip-prinsip dalam perjanjian pada umumnya, karena asuransi merupakan satu di antara perjanjian pada umumnya. Tidak ada perusahaan asuransi dalam menjalankan keguatan usahanya bersifat abadi dalam melaksanakan usaha pertanggungan. Asuransi dapat berakhir karena beberapa hal termasuk karena dicabut izin usaha atau dipailitkan oleh sebab tidak mampu melaksanakan kewajibannya kepada para kreditornya. Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan perusahaan asuransi yang dilikuidasi merupakan hak utama atau hak yang didahulukan daripada kepentingan lainnya. Pengaturan demikian semakin memberikan perlindungan kepada kepentingan para kreditor perusahaan asuransi.

2. Kepailitan perusahaan asuransi menurut UUK dan PKPU memiliki aturan yang tidak bertentangan dengan UU Usaha Perasuransian. Pencabutan izin usaha perusahaan asuransi dalam rangka melaksanakan kepailitan dilakukan prosedur khusus melalui kewenangan Kemenkeu dan tunduk pada ketentuan kepailitan yang diatur dalam UUK dan PKPU. Setelah dinyatakan pailit oleh hakim Pengadilan Niaga, ditentukan kurator yang bertindak sebagai pihak yang mengurus dan membereskan harta perusahaan asuransi pailit. Konsekunsi akibat


(2)

hukum kepailitan mengurangi tindakan-tindakan pihak perusahaan asuransi pailit agar kerugian para kredior tidak berlanjut.

3. Legal standing perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya dalam menjalankan permohonan pailit berdasarkan Putusan MA Nomor 338k/Pdt.Sus/2010, terdapat kesalahan penafsiran antara pihak PT. Asuransi Prisma Indonesia dan pengadilan. PT. Asuransi Prisma Indonesia secara hukum salah menafsirkan norma yang terkandung di dalam UU Usaha Perasuransian, UUPT, UUK dan PKPU. Pencabutan izin perusahaan asuransi yang dalam hal ini PT. Asuransi Prisma Indonesia bukan berarti perusahaan asuransi tersebut secara serta merta dapat mengajukan pailit atas dirinya sendiri walaupun bukti-bukti dan fakta seharusnya dipailitkan. Tetapi pencabutan izin perusahaan asuransi harus ditafsirkan normanya secara utuh yang mengandung konsekuensi dari pencabutan izin tersebut agar perusahaan asuransi itu melakukan pembatasan kegiatan usaha perusahaan asuransi. Setelah pembatasan dilakukan dan ternyata tetap tidak mempu memperbaiki usahanya, maka perusahaan asuransi tersebut harus dipailitkan oleh Menteri Keuangan.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan di atas, maka disarankan dalam skripsi ini adalah: 1. Agar ditentukan forum penyelesaian sengketa antara pihak tertanggung dan

penanggung atau antara debitor dan kreditor dalam perjanjian asuransi, sebab forum demikian dapat mengantisipasi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dipailitkan dan saran ini lebih memberikan perlindungan kepada


(3)

kepentingan para kreditor dan bagi perusahaan asuransi itu sendiri tidak mesti harus menempuh jalur pengadilan.

2. Agar UUK dan PKPU dipahami bahwa tidak semua hak-hak perusahaan asuransi tanpa terkecuali akan dikenakan kepailitan, sebab kepailitan hanya menyangkut harta kekayaan perusahaan asuransi saja dan bukan hak pribadi-pribadi direksi dan komisaris. Agar proses beracara dimungkinkan lebih efektif dan efisien sebab masalah kepailitan termasuk persoalan bisnis, dan persoalan bisnis berprinsip harus segera diselesaikan.

3. Agar pihak PT. Asuransi Prisma Indonesia sebagai debitor seharusnya berpedoman pada UU Usaha Perasuransian, UUK dan PKPU, tidak hanya berpedoman pada UUPT karena dalam kapasitasnya masih berstatus badan hukum perusahaan asuransi bukan badan hukum biasa.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku

Badrulzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Baktu, 2001.

______Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku III, Bandung: Alumni, 2006. Budiono, Herlien, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Di Indonesia,

Bandung: Citra Adtya Bakti, 2006.

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

Fuady, Munir, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010.

______Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

Ganie, Junaedy, Hukum Asuransi Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Hartono, Sri Rezeki, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Hernoko, Agus Yudha, “Azas Proporsionalitas Sebagai Jalan Keluar Terhadap Diskursus Keseimbangan Versus Keadilan Dalam Kontrak”, Artikel Media Online Gagasan Hukum, Edisi Kamis Tanggal 8 Juli 2010.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Marwan, M., dan Jimmy P., Kamus Hukum, Surabaya: Reality Publisher, 2009. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,

2005.

Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, Bandung: Alumni, 2003.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Asuransi Indonesia, Cetakan IV, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

______Hukum Asuransi Indonesia, Cetakan V, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan,


(5)

Mulyadi, Lilik, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, Dilengkapi Dengan Putusan Pengadilan Niaga, Bandung: Alumni, 2010.

Prakoso, Djoko, Hukum Asuransi Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1987.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta: Intermasa, 1987. Raharjo, Handri, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia,

2009.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.

Restuti, Tuti, Aspek Hukum Perjanjian Asuransi, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011.

Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Satrio, Hukum Jaminan Hak jaminan Kebendaan Fudisa, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.

Sendra, Ketut, Konsep dan Penerapan Asuransi Jiwa Unit Link, Proteksi Sekaligus

Investasi, Buku Penentuan Agen dan Konsultan Keuangan Untuk Sukses

Meraih Lisensi, Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 2004.

Shubhan, M. Hadhi, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan, Jakarta: Kencana, 2009.

Simanjuntak, Ricardo, “Asas-Asas Utama Hukum Kontrak Dalam Kontrak Dagang Internasional: Sebuah Tinjauan Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27, No. 24, Tahun 2008.

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2008. Sunarmi, Hukum Kepailitan, Medan: USU Press, 2009.

Tim Naskah Akademis BPHN., Naskah Akademis Lokakarya Hukum Perikatan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1985.

Widjaja, Gunawan, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.

Widjaya, I.G. Rai, Hukum Perusahaan, Jakarta: Kesaint Blanc, 2000.

Yuhassarie, Emmy, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005.


(6)

B. Perundang-Undangan

UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU Usaha Perasuransian). UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang (UUK dan PKPU).

UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT).

PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.