BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tentunya turut pula mempengaruhi cara berpikir, bersikap, dan bertindak. Perubahan sikap pandangan
Dan orientasi warga masyarakat inilah yang mempengaruhi kesadaran hukum dan penilaian terhadap suatu tingkah laku. Apakah perbuatan tersebut dianggap lazim
atau bahkan sebaliknya merupakan suatu ancaman bagi ketertiban sosial. Perbuatan yang mengancam ketertiban sosial yang tergolong kejahatan, seringkali
memanfaatkan atau bersaranakan teknologi. Kejahatan ini merupakan jenis kejahatan yang tergolong baru serta berbahaya bagi ketertiban dalam masyarakat.
Perjudian menjadi salah satu pilihan yang dianggap sangat menjanjikan keuntungan tanpa harus bersusah payah bekerja. Judi dianggap sebagai pilihan
yang tepat bagi rakyat kecil untuk mencari uang dengan lebih mudah. Mereka kurang menyadari bahwaakibat judi jauh lebih berbahaya dan merugikan dari
keuntungan yang akan diperolehnya dan yang sangat jarang dapat diperolehnya. Perjudian tidak bisa dibenarkan oleh agama manapun. Jadi dapat dikatakan,
perjudian itu sebenarnya untuk masyarakat pada umumnya tidak mendatangkan manfaat tetapi justru kesengsaraan dan Penderitaan yang sudah ada menjadi lebih
berat lagi.Perjudian banyak Ditemui di berbagai tempat atau lokasi, yang diperkirakan tidak dapat diketahui oleh pihak berwajib, bahkan dekat pemukiman
pun judi sering ditemukan dandilakukan. Demikian pula di daerah-daerah atau
sekitar tempat tinggal. Tidak sedikit masyarakat yang terganggu dalam hal keamanan dan kenyamanannya.Keberadaannya yang mulai merambah dan
meresahkan semua lapisan masyarakat ini, membuat para penegak hukum kesulitan dalam menyikapinya.Ini bukan hal yang tabuh lagi bagi masyarakat
akibat realita kemiskinan yang ada di Negara Indonesia, sebagai salah satu faktor penyebab makin menjamurnya perjudian.
Meskipun judi dilarang dan diancam dengan hukuman, masih saja banyak yang melakukannya. Hal itu antara lain karena manusia mempunyai kebutuhan
dasar yang harus dipenuhi, sedangkan di sisi lain tidak setiap orang dapat memenuhi hal itu karena berbagai sebab misalnya karena tidak mempunyai
pekerjaan atau mempunyai penghasilan lain untuk memenuhi kebutuhan mereka, atau dapat juga mempunyai pekerjaan tetapi tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan pokok mereka. Pilihan mereka untuk menambah kekurangan kebutuhan tersebut adalah antara lain pilihannya melakukan judi dan perjudian,
judi menjadi alternatif yang terpaksa dilakukan meskipun mereka tahu risikonya, untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarganya.
Perjudian sebagai salah satu yang digolongkan sebagai penyakit masyarakat, tetap saja ada dan dilakukan oleh anggota masyarakat tertentu untuk
mendapatkan keuntungan yang diperkirakan dapat diperoleh melalui judi.bahkan dari hari ke hari terdapat kecenderungan perjudian semakin marak dengan
berbagai bentuknya dan yang dilakukan secara terbuka maupun secara terselubung serta tersembunyi, sehingga aparat kesulitan memberantasnya. Termasuk
masyarakat Aceh dalam sejarahnya yang cukup panjang telah menjadikan Islam
sebagai pedoman hidup dan bagian dari kehidupan masyarakat Aceh. Salah satu penerapan hukum Islam yang berlaku di Aceh. Sebagaimana telah diketahui
bahwa penerapan hukum cambuk di Indonesia secara resmi baru di berlakukan Qanun Perda Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus
bagi daerah Aceh, salah satu babnya membahas mengenai pemberlakuan Syari’at Islam bagi daerah Aceh yang tertuang dalam bab XII tentang Mahkamah Syariah
pada Pasal 25-26.
1
Hukuman cambuk di Aceh relevan dengan kondisi sosio kultur masyarakatnya, karena hukuman tersebut diinginkan oleh mayoritas
masyarakatnya dan itu bisa mempengaruhi tingkah laku dan hubungan sosial terhadap hukum itu sendiri. Hal ini senada dengan pendapat Soerjono Soekamto,
bahwa hukum itu harus mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Maksudnya sejauh mana hukum itu mempengaruhi
tingkah laku sosial dan pengaruh tingkah laku sosial terhadap pembentukkan hukum.
Masyarakat Aceh dalam sejarahnya telah mengenal hukum pidana Islam serta menerapkan hukum tersebut. Sehingga keinginan masyarakat untuk
menerapkan syari’at Islam di dukung dengan sejarah tanah kelahiran mereka sendiri. Sejarah pula yang menyebutkan bahwa hukuman cambuk sudah berlaku
di Indonesia di Aceh khususnya. Sebelum Indonesia merdea dan mengenal tatanan hukum sendiri.
2
1
Setneg. RI. Co.id UU No.18 tahun 2001 diakses tanggal 1 Maret 2015
2
Dikutip oleh Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2003 hlm 1
Ketika Islam masuk ke dalam kawasan nusantara termasuk Aceh, terbentuklah apa yang disebut “Komunitas Islam” yang kemudian menjelma
menjadi kesatuan politis, yang dikenal dengan kerajaan Islam. Hal inilah yang terjadi di Pasai, Malaka, Aceh, Mataram, dan lainnya. Semua kerajaan ini telah
berperan secara aktif dalam proses “Islamisasi”. Hal ini dilakukan dengan mengadopsi dan mengadaptasi Islam yang datang dari timur tengah, menjadi
sebuah agama yang dianut oleh masyarakat setempat. Dengan kata lain, ketika Islam yang telah diwarnai oleh budaya Arab dan Persia datang ke kawasan ini,
masyarakat melakukan penyesuaian dengan budaya dan tradisi setempat. Jika dicermati secara mendalam, hakikat penerapan Syari’at Islam di Aceh
adalah menyangkut proses pengembangan jiwa keagamaan, yang dimulai dengan pengenalan terhadap Tuhan dan Tauhid. Oleh karena itu syari’at Islam di Aceh
menyisakan beberapa agenda, menyikapi persoalan simbolisasi dalam bentuk legal formal penegakan syari’at Islam. Tidak dipungkiri, sisi lain dari penegakan
aspek personal.
3
Pentingnya penelitian ini adalah memberikan penjelasan fenomena seputar penerapan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Ruang lingkup kajian ini
adalah legalisasi Syari’at Islam berupa larangan meminum minuman keras dan perjudian yang terdapat dalam qanun. Masih minimnya perhatian dari lingkungan
sekitar, dapat membuat kita tumbuh dan berkembang dengan cara yang kurang tepat. Pendidikan moral sangat diperlukan untuk membangun karakter setiap insan
Seperti ibadah shalat, larangan meminum minuman keras dan perjudian.
3
M. Isa Sulaiman, Aceh Merdeka Ideology, Kepemimpinan dan Gerakan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000, hlm 49-53.
manusia. Ketika berada di lingkungan yang baik, dikelilingi oleh orang yang baik, maka yang terjadi adalah kita akan tertular kebaikannya, atau biasa dikenal
dengan istilah‘manjalis jalis’. Karena itu, dari lingkup terkecil, pengaruh baik dan buruk itu pasti berpengaruh bagi hidup.
Memang tidak bisa memilih ingin tinggal di lingkungan yang seperti apa, atau dari keluarga yang bagaimana ketika dilahirkan. Untuk itu, kita harus
berusaha membangun karakter diri yang kuat agar tidak mudah terpengaruh oleh hal yang negatif akibat pengaruh dari lingkungan sekitar kita. Salah satu contoh
pengaruh negatif yang berasal dari lingkungan sekitar adalah judi. Al qimar judi adalah permainan yang seorang mengambil dari kawan sepermainnya sesuatu
demi sesuatuberupa material. Al qimarjudi pada masa kini adalah seluruh permainan yang diisyaratkan padanya adanya suatu pemberian berupa material
bagi pihak yang menang yang diambil dari pihak yang kalah. Ironisnya sekalipun secara eksplisit hukum menegaskan bahwa segala
bentuk “judi” telah dilarang dengan tegas dalam undang-undang, namun segala bentuk praktik perjudian menjadi diperbolehkan jika ada “izin” dari pemerintah.
Perlu diketahui masyarakat bahwa Permainan Judi hazardspel mengandung unsur ; a adanya pengharapan untuk menang, b bersifat untung-untungan saja, c
ada insentif berupa hadiah bagi yang menang, dan d pengharapan untuk menang semakin bertambah jika ada unsur kepintaran, kecerdasan dan ketangkasan.
4
4
Selain merusak moral bangsa, berjudi juga bisa merubah sifat dan sikap seseorang yang terlibat di dalamnya. Ketika si pejudi menang, mungkin hasil yang
http:www.kantorhukum-lhs.com1.php?id=Tinjauan-Hukum-Tentang-Judi , diakses
pada tanggal 2 Maret 2015
ia dapatkan tersebut tidak akan bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dan keluarganya. Biasanya mereka yang sudah terbiasa, tidak akan pernah puas
dan terus bermain judi meskipun sudah menang. Dan kalaupun bisa dipakai untuk kebutuhan keluarga, yang terjadi adalah uang tersebut adalah uang haram, yang
berarti tidak akan membawa keberkahan baginya dan keluarganya. Sementara itu, jika si pejudi kalah, ia akan kehilangan harta yang
dipertaruhkannya. Sebenarnya apa yang di pertaruhkannya itu adalah harta milik keluarga dirumah untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Setelah kalah, biasanya
si pejudi menjadi lebih emosional dan temperamental. Yang menjadi korban dari emosinya akibat kalah berjudi bisa jadi adalah keluarganya dirumah yang tidak
bersalah sama sekali. Karenanya, tidak sedikit orang yang sudah ’gila judi’ sering kali melupakan atau bahkan hingga menelantarkan keluarganya. Kejadian seperti
inilah yang menimbulkan adanya efek domino yang buruk bagi seluruh lapisan masyarakat kita. Karena itulah berdasarkan cirinya, hukum setidaknya memiliki
tiga poin penting, yang pertama berupa perintah dan atau larangan, kedua, larangan dan atau perintah itu harus dipatuhi, dan terakhir terdapat sanksi hukum
yang tegas bagi pelanggarnya.
5
Tindak kejahatan perjudian ini sudah dilarang keberlangsungannya di Negara kita, berdasarkan UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian
yang kemudian menyebutkan bahwa semua tindak pidana perjudian tentu menimbulkan dampak yang tidak baik bagi kemajuan bangsa pada hakikatnya.
Namun faktanya, aturan hukum yang berlaku sampai dengan saat ini masih belum
5
Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Ghlmia Indonesia, 2009, hlm.1
bisa maksimal dalam menertibkan atau mengurangi berlangsungnya tindak kejahatan perjudian di Indonesia. Mengapa? Tentu saja, teori yang baik tidaklah
cukup tanpa praktek atau aplikasi yang baik pula. Jadi, antara teori dan aplikasinya harus seimbang.
Untuk itulah pemerintah berupaya untuk menertibkan perjudian, membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya
menghapusnya sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia.UU RI Nomor 7
Tahun 1974 tentang Penertiban Tindak Perjudian Pemerintah melarang adanya
perjudian melalui beberapa ketentuan dan peraturan yang dikeluarkannya dalam bentuk UU atau peraturan lainnya. Sebagai masyarakat yang baik dan taat hukum,
kita harusnya mendukung upaya yang dilakukan pemerintah tersebut untuk memberantas perjudian yang sejatinya, tindak kejahatan tersebut bisa merusak dan
merugikan banyak orang. Pasal 303 bis KUHP tersebut, juga merupakan perubahan aturan dari UU
Nomor 7 tahun 1974 di ayat yang sama, yang berbunyi “Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat 1 Kitab Undang- undang Hukum Pidana, dari
hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah, menjadi hukuman penjara selama-lamanya empat
tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah. Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat 2 KUHPidana, dari hukuman kurungan selama-
lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-
banyaknya lima belas juta rupiah. Merubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis”.
Pasal 1 UU Nomor 7 tahun 1974, menyatakan bahwa semua tindak pidana perjudian adalah kejahatan. Artinya, dalam bentuk dan istilah apapun, yang terkait
dengan tindak pidana perjudian, adalah kejahatan. Dan bagi siapapun yang melakukannya, bisa dikenakan hukuman sebagaimana yang telah ditetapkan.
Dalam perspektif yang lebih luas, kecanduan judi adalah jenis perilaku yang menyebabkan gangguan besar dalam segala bidang kehidupan. Satu dapat
menderita secara fisik wilayah satu status sosial atau bahkan kejuruan. Ada beberapa sebab mengapa judi bersifat adiktif, yaitu: a Kelebihan paparan dengan
perjudian dalam keadaan tertentu di mana ia dihargai. b kapasitas yang lebih besar untuk menipu diri sendiri. c Negara perasaan tak tertahankan seperti
depresi, tidak berdaya atau bersalah.
6
Pengaturan hukuman terhadap suatu perbuatan pidana di Indonesia tidak selalu sama. Ada wilayah tertentu yang mempunyai ketentuan hukum yang
berbeda pengaturannya dari daerah lain. Tentu saja ada alasan dan sebab yang khusus untuk menjelaskan mengapa perbedaan tersebut bisa terjadi. Hal ini biasa
dikenal dengan istilah otonomi. Berdasarkan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, Pasal 1 huruf h menyebutkan, yang dimaksud dengan
otonomi daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. rah otonom
6
http:id.prmob.netmasalah-judiperjudianamerican-psychological-association- 979680.html
, diakses pada tanggal 20 Maret 2015
Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semboyan ini masih dapat diartikulasikan dalam perspektif modern dalam bernegara dan mengatur pemerintahan yang demokratis dan bertanggung jawab.
Tatanan kehidupan yang demikian itu, sangat memungkinkan untuk dilestarikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang menganut semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan berlandaskan kepada dasar hukum dan nilai sejarah di atas, maka untuk Provinsi Daerah
Istimewa Aceh dipandang perlu untuk mendapatkan kesempatan menyelenggarakan pemerintahan daerah dalam bentuk otonomi khusus bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut dituangkan dalam
bentuk Undang-undang, yang kemudian disebut Undang-undang tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Undang-undang ini pada prinsipnya mengatur kewenangan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang merupakan kekhususan dari
kewenangan pemerintahan daerah, selain sebagaimana yang diatur dalam Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal mendasar dari undang-undang ini adalah pemberian kesempatan
yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk
sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, menumbuh kembangkan prakarsa, kreativitas dan
demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur
kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam memajukan
penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan mengaplikasikan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.
B. Perumusan Masalah