PERBEDAAN BINGKAI KOMPAS DAN REPUBLIKA

Inisden Tolikara ini merupakan aksi penolakan kelompok mayoritas Kristen terhadap kelompok minoritas Islam yang berujung pada aksi perusakan dan pembakaran rumah ibadah umat Islam yang diakui keberadaanya oleh negara. Umat islam diposisikan sebagai korban dalam peristiwa ini, sehingga dipandang perlu dibantu dan diperhatikan. Aktor yang berasal dari anggota Gereja Injili di Indonesia GIDI disebut sebagai aktor yang menyebarkan surat larangan solat Ied, dan penyebab dari kekacauan di Tolikara. Sementara Kompas mempunyai konstruksi yang berbeda atas peristiwa yang terjadi di Tolikara. Dalam konsepsi dan konstruksi Kompas, solusi terbaik dalam menyelesaikan persoalan konflik tolikara ialah dengan jalan damai mempertemukan dua tokoh dari kedua belah pihak Kristen dan Islam di Tolikara. Terkait langkah hukum tegas atas insiden tersebut, Kompas menekankan bahwa tidak hanya massa yang melakukan penyerangan yang ditindak tegas, namun pihak keamananyang melakukan penembakan terhadap massa juga harus diproses hukum. Selain itu, dalam pemberitaannya Kompas mempertannyakan posisi pemerintah atau kinerja pemerintah karena dianggap tidak melakukan upaya preventif dalam pencegahan konflik. Sehingga Kompas menilai bahwa kesalahan tidak sepenuhnya dilimpahkan kepada pelaku penyerangan, namun disini pemerintah juga dinilai harus bertanggung jawab atas peristiwa konflik tersebut. Terkait perbedaan framing tersebut, kedua media memiliki alasan yang berbeda. Kompas lebih mengarahkan pada aspek perdamaian, tidak mendetilkan pada aspek kronologis kejadian dan pengungkapan tersangka perusakan di Tolikara yang berasal dari anggota GIDI Gereja Injili di Indonesia. Framing Kompas yang lebih menonjolkan aspek perdamaian justru mengaburkan fakta-fakta terkait kronologis kejadian konflik dan juga mengaburkan fakta terkait pelaku penyerangan yang berasal dari anggota GIDI. Kompas memiliki asumsi tersendiri dalam mengemas pemberitaan konflik tolikara. Kompas beranggapan jika fakta-fakta sebenarnya dibeberkan secara mendalam justru berpotensi menyulut masalah semakin besar. Dengan dalih mempertimbangkan sikologi massa, Kompas tidak menginginkan pembaca akan semakin terbakar emosi. Kompas tidak menginginkanhasil pemberitaannya justru memprovokasi massa. Meski berbanding terbalik dengan Kompas, framing Republika justru lebih mengarah pada pengungkapan tersangka tolikara, penonjolan dari aspek kronologis. Republika menggambarkan bahwa umat Muslim diserang sekelompok massa dari anggota GIDI saat pelaksanaan shalat Ied berlangsung. Bahkan secara jelas Republika menempatkan posisi umat Muslim sebagai korban dan pihak GIDI sebagai tersangka atau pembuat kekacauan atas konflik tolikara. Republika beranggapan bahwa penjabaran kronologis kejadian konflik tolikara pada setiap edisi bertujuan untuk kepentingan khalayak. Khalayak berhak mengetahui kebenaran tentang kejadian tersebut. Selain itu, informasi terkait pelaku penyerangan di Tolikara dinilai penting oleh Republika karena pihaknya berpendapat bahwa terdapat satu fenomena yang selalu terjadi dalam konflik sosial di Indonsesia yang pada akhirnya konflik tersebut justru semakin berkembang dan besar. Hal tersebut dikarenakan tidak pernah terungkap pelaku atau tersangka dari setiap kericuhan dan tidak adanya hukum yang tegas terhadap para pelaku. Padahal jika pelaku ditindak secara tegas, tentunya mengurangi dampak adanya main hakim dari pihak yang merasa tidak mendapatkan keadilan. Republika justru bertujuan agar masyarakat mendapatkan informasi terkait pelaku, tentunya informasi ini dilengkapi dengan informasi bahwa pelaku sudah ditindak hukum oleh pihak berwenang. Sehingga tidak ada lagi aksi main hakim sendiri, karena kasus ini telah ditangani pihak berwajib. Dengan dalih menyamapaikan fakta dan Realitas sebenarnya kepada khalayak, Republika secara gamblang memberikan penekanan pada aspek kronologi kejadian dan informasi tersangka pelaku penyerangan yang berasal dari anggota GIDI. Dengan demikian, Republika menggiring pembaca untuk memahami bahwa dalam hal ini dalang dibalik kerusuhan di Tolikara ialah anggota GIDI, tentunya ini memiliki efek penyudutan dan penilaian negatif terhadap pihak GIDI. Begitupun dalam hal pemilihan diksi atau kata. Kompas melebeli peristiwa ini sebagai “insiden tolikara”, sedangkan Republika melabeli peristiwa ini sebagai “kericuhan massa Gereja Injili di Indonesia”. Penggunaan kata insiden Tolikara ini menggunakan nominalisasi. Nominalisasi merupakan strategi yang dipakai untuk menghilangkan