Uji Stabilitas Kimia Etil p-Metoksisinamat dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn) dalam Sediaan Setengah Padat

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI STABILITAS KIMIA ETIL P-METOKSISINAMAT

DARI RIMPANG KENCUR (

Kaempferia galanga

Linn)

DALAM SEDIAAN SETENGAH PADAT

SKRIPSI

KHOIRUNNISA ROBBANI

1111102000076

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

DESEMBER 2015


(2)

ii

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI STABILITAS KIMIA ETIL P-METOKSISINAMAT

DARI RIMPANG KENCUR (

Kaempferia galanga

Linn)

DALAM SEDIAAN SETENGAH PADAT

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

KHOIRUNNISA ROBBANI

1111102000076

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

DESEMBER 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

vi

ABSTRAK

Nama : Khoirunnisa Robbani

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Uji Stabilitas Kimia Etil p-Metoksisinamat dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn) dalam Sediaan Setengah Padat

Etil p-metoksisinamat merupakan komponen terbesar yang terdapat dalam rimpang kencur (Kaempferia galanga Linn) yang memiliki banyak aktivitas salah satunya adalah sebagai anti-inflamasi. Dengan demikian, etil p-metoksisinamat berpotensi untuk diformulasi menjadi sediaan setengah padat dengan tujuan terapi lokal anti-inflamasi. Salah satu parameter yang menunjukkan mutu sediaan adalah stabilitas zat aktif yang dipengaruhi oleh formulasi. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan uji stabilitas dipercepat untuk melihat stabilitas dari etil p -metoksisinamat dalam sediaan setengah padat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji stabilitas kimia etil p-metoksisinamat dalam sediaan setengah padat salep, krim, dan gel. Sediaan disimpan dalam oven dengan suhu 40° C selama 3 bulan. Sediaan dianalisis pada bulan ke-0, bulan ke-1, bulan ke-2, dan bulan ke-3 menggunakan Kromatografi Gas Spektroskopi Massa. Hasil penelitian menunjukkan etil p-metoksisinamat dalam ketiga sediaan setengah padat stabil dengan pola kromatogram yang seragam dari bulan ke-0 hingga bulan ke-3 dan tidak muncul senyawa baru selama penyimpanan dalam oven.

Kata kunci : Stabilitas, etil p-metoksisinamat, kencur (Kaempferia galanga Linn), salep, krim, gel


(7)

vii

ABSTRACT

Name : Khoirunnisa Robbani

Major : Pharmacy

Title : Study of Chemical Stability of Ethyl p-Methoxycinnamate from Kencur Rhizome (Kaempferia galanga Linn) in Semisolids Dosage Form

Ethyl p-methoxycinnamate is the largest component contained in the Kencur Rhizome (Kaempferia galanga Linn) which has many activities one of them is an anti-inflammatory. Thus, ethyl p-methoxcycinnamate has the potential to be formulated into semdolid dosage with the aim of local anti-inflammatory therapy. One of parameter that indicates the quality of the preparation is the stability of the active substance which is affected by the formulation. Therefore, in this study carried out accelerated stability testing to see the stability of ethyl p -methoxcycinnamate in the semisolids dosage form. The aim of this study was to test the chemical stability of ethyl p-methoxcycinnamate in the semisolids dosage form ointment, cream, and gel. The preparation is stored in an oven at 40° C for 3 months. Preparations are analyzed at month 0, 1st month, 2nd month, and 3rd month using Gas Chromatography Mass Spectroscopy. The results showed ethyl p -methoxycinnamate was stable in the three of semisolids dosage form with the uniform chromatogram pattern from month 0 until 3rd month and does not appear new compounds during storage in the oven.

Keyword : Stability, ethyl p-methocycinnamate, kencur (Kaempferia galanga Linn), ointment, cream, gel


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Stabilitas Kimia Etil p -Metoksisinamat dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn) dalam Sediaan Setengah Padat”.

Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu tugas syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari, penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan, dukungan, bimbingan, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada segenap yang telah ikut membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. dan Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. sebagai dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, kesabaran, dan tenaga untuk membimbing, memberi masukan, memberi ilmu, memberi nasihat, dan memberi dukungan kepada penulis.

2. Dr. Arief Sumantri, SKM, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. selaku ketua Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ibu Nelly Suryani, Ph.D., Apt. selaku sekretaris Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Seluruh dosen di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu pengetahuan selama penulis menempuh pendidikan.

5. Kedua orang tua tercinta, Abi Sunardi dan Ummi Sulaeha yang tidak pernah lelah untuk memberikan doa, dukungan moril maupun materil, kasih sayang, cinta, semangat, dan motivasi kepada penulis dari kecil hingga sekarang.


(9)

ix

6. Kakak-kakak dan adik-adik tersayang Mas Adhi, Ka Novi, Ka Ayu, Mas Rachmad, Mas Iqbal, Rahman dan Hanan juga seluruh keluarga besar atas semangat, dukungan, dan doa kepada penulis yang tidak pernah putus. 7. Sahabat-sahabat tersayang Henny Pradikaningrum, Meri Rahmawati, Gina

Kholisoh, Ayu Diah Gunardi, Nicky Annisiana Fortunita, Wina Oktaviana, Nurul Hikmah Tanjung, Khairunnisa, Khairunnisa Nur Fadhillah, Juleha, Hanifah Luthfiyyah atas kebersamaan, persaudaraan, persahabatan, doa, semangat, dukungan, serta selalu menemani dan mendengarkan cerita penulis kapanpun dan di manapun.

8. Teman-teman belajar dan bermain penulis Puspita, Vernanda, Qurry, Fathiyah, Titis, Haidar, Ali, Agung, Rhesa, Reza, Wahidin, Sutar, yang telah memberikan bantuan dan meramaikan masa perkuliahan penulis.

9. Teman seperjuangan penelitian “Geng Unyils” Sry Wardiyah dan Charinna Agus atas masukan, bantuan, dan semangat selama masa penelitian hingga penyusunan skripsi.

10. Teman-teman Farmasi 2011 khususnya Farmasi 2011 AC atas kebersamaan dan tawa selama perkuliahan.

11. Kak Eris, Kak Lisna, Kak Rahmadi, Kak Walid, Kak Suryani, dan laboran-laboran Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu penulis selama penulis melakukan penelitian.

12. Seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian dan penulisan skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu diperlukan kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dunia kefarmasian.

Jakarta, Desember 2015


(10)

(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ORISINILITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ...v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ...xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB 1. PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang...1

1.2. Rumusan Masalah ...3

1.3. Tujuan Penelitian ...4

1.4. Manfaat Penelitian ...4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...5

2.1. Tumbuhan Kencur ...5

2.1.1. Klasifikasi ...5

2.1.2. Tempat Tumbuh ...5

2.1.3. Kandungan Kimia Kaempferia galanga Linn ...6

2.1.4. Manfaat Kaempferia galanga Linn ...7

2.2. Kulit ...8

2.2.1. Epidermis ...8

2.2.2. Dermis ...9

2.2.3. Lapisan Subkutan ...9

2.3. Krim ...9


(12)

xii

2.4. Gel ...11

2.4.1. Dasar Gel ...12

2.5. Salep ...12

2.5.1. Dasar Salep ...13

2.5.1.1. Dasar Salep Hidrokarbon ...13

2.5.1.2. Dasar Salep Absorpsi ...14

2.5.1.3. Dasar Salep Tercuci Air ...16

2.5.1.4. Dasar Salep Larut dalam Air ...16

2.5.2. Penggolongan Salep ...17

2.6. Ekstraksi ...19

2.7. Stabilitas ...20

2.7.1. Uji Stabilitas Dipercepat ...22

2.8. Kromatografi ...23

2.8.1. Kromatografi Gas ...23

2.9. Studi Preformulasi ...25

2.9.1. Propilenglikol ...25

2.9.2. Metil Paraben ...25

2.9.3. Propil Paraben ...26

2.9.4. Etanol ...26

2.9.5. Setil Alkohol ...27

2.9.6. Asam Stearat ...27

2.9.7. Trietanolamin (TEA) ...28

2.9.8. Karbopol ...29

2.9.9. Vaselin Album ...31

2.9.10. Cera Alba ...31

2.9.11. Paraffin Cair ...32


(13)

xiii

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 33

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 33

3.2. Alat dan Bahan yang Digunakan ... 33

3.2.1. Alat ...33

3.2.2. Bahan ...33

3.3. Prosedur Penelitian ... 34

3.3.1. Isolasi EPMS dari Rimpang Kencur ... 34

3.3.2. Pemeriksaan Kristal EPMS ...35

3.3.2.1. Pemeriksaan Organoleptis ...35

3.3.2.2. Uji Kromatografi Lapis Tipis ...35

3.3.2.3. Uji Titik Leleh ... 35

3.3.3. Pemeriksaan EPMS menggunakan GC-MS ...35

3.3.3.1. Pembuatan Larutan Sampel...35

3.3.3.2. Analisis menggunakan GC-MS ...36

3.3.4. Pembuatan Sediaan Salep, Krim, dan Gel ...36

3.3.4.1. Sediaan Salep ...36

3.3.4.2. Sediaan Krim ...37

3.3.4.3. Sediaan Gel ...38

3.3.5. Uji Stabilitas Kimia Sediaan Topikal ...38

3.3.6. Analisis EPMS dalam Sediaan Setengah Padat menggunakan GC-MS ...39

3.3.6.1. Penyiapan Sampel ...39

3.3.6.2. Analisis Etil p-metoksisinamat ...39

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...40

4.1. Ekstraksi Rimpang Kencur dan Isolasi EPMS ...40

4.2. Pemeriksaan Kristal EPMS ...42

4.2.1. Pemeriksaan Organoleptis ...42

4.2.2. Pengukuran Titik Leleh ...42

4.2.3. Pemeriksaan EPMS menggunakan GCMS ...43

4.3. Analisis Kadar dalam Sediaan ...45

4.3.1. Sediaan Salep ...46


(14)

xiv

4.3.3. Sediaan Gel ...53

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ...56

5.1. Kesimpulan ...56

5.2. Saran ...56

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Struktur Senyawa dari (a) etil p-metoksisinamat (b) borneol

(c) beta-sitosterol (d) metil sinamat ...7

Gambar 2.2 Anatomi Kulit ...8

Gambar 2.3 Struktur Propilenglikol ...25

Gambar 2.4 Struktur Metil Paraben ...25

Gambar 2.5 Struktur Propil Paraben ...26

Gambar 2.6 Struktur Etanol ...26

Gambar 2.7 Struktur Setil Alkohol ...27

Gambar 2.8 Struktur Asam Stearat ...27

Gambar 2.9 Struktur Trietanolamin (TEA) ...28

Gambar 2.10 Struktur Karbopol ...29

Gambar 4.1 Serbuk Simplisia Rimpang Kencur ...40

Gambar 4.2 KLT Isolat Kencur dengan Eluen n-heksana : Etil Asetat ...41

Gambar 4.3 Kristal Etil p-metoksisinamat hasil Isolasi ...42

Gambar 4.4 Kromatogram Standar Etil p-metoksisinamat ...44

Gambar 4.5 Kromatogram Etil p-metoksisinamat Hasil Isolasi ...45

Gambar 4.6 Pola Kromatogram Sediaan Salep bulan ke-0 dan bulan ke-1 ...47

Gambar 4.7 Pola Kromatogram Sediaan Salep bulan ke-2 dan bulan ke-3 ...48

Gambar 4.8 Pola Kromatogram Sediaan Krim bulan ke-0 dan bulan ke-1 ...51

Gambar 4.9 Pola Kromatogram Sediaan Krim bulan ke-2 dan bulan ke-3 ...52

Gambar 4.10 Pola Kromatogram Sediaan Gel bulan ke-0 dan bulan ke-1 ...54

Gambar 4.11 Pola Kromatogram Sediaan Gel bulan ke-2 dan bulan ke-3 ...55


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Rancangan Formula Sediaan Salep ...36

Tabel 3.2 Rancangan Formula Sediaan Krim...37

Tabel 3.3 Rancangan Formula Sediaan Gel ...38

Tabel 4.1 Hasil Kromatografi Gas Spektroskopi Massa Sediaan Salep ...46

Tabel 4.2 Hasil Kromatografi Gas Spektroskopi Massa Sediaan Krim ...49


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kerangka Penelitian ...60

Lampiran 2. Bagan Alur Ekstraksi Rimpang Kencur...61

Lampiran 3. Bagan Alur Rekristalisasi, Identifikasi, dan Uji Kemurnian Kristal Etil p-Metoksisinamat ...62

Lampiran 4. Gambar Alat Penelitian ...63

Lampiran 5. Perhitungan Rendemen Kristal dan Perhitungan Nilai Rf ...63

Lampiran 6. Gambar Hasil Sediaan ...63

Lampiran 7. Nilai Luas Puncak dan Persentase Kadar Etil p-Metoksisinamat ...64

Lampiran 8. Data Hasil Uji Titik Leleh ...64

Lampiran 9. Nilai Luas Puncak dan Persentase Kadar Senyawa dalam Sediaan Salep...65

Lampiran 10. Nilai Luas Puncak dan Persentase Kadar Senyawa dalam Sediaan Krim ...67

Lampiran 11. Nilai Luas Puncak dan Persentase Kadar Senyawa dalam Sediaan Gel ...69


(18)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemakaian tanaman obat sebagai upaya penanggulangan masalah kesehatan telah banyak diterapkan masyarakat di tengah-tengah kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan saat ini. Terlebih lagi keadaan perekonomian Indonesia saat ini yang mengakibatkan harga obat-obatan relatif mahal (Naibaho, et al., 2013).

Salah satu tanaman obat yang sering digunakan oleh masyarakat ialah rimpang kencur (Kaempferia galangal Linn). Kencur (Kaempferia galangal Linn) biasa digunakan oleh masyarakat sebagai bumbu aneka masakan sehari-hari seperti pecal dan karedok. Selain itu daunnya juga dapat dimanfaatkan sebagai lalap atau campuran urap. Rimpang muda dapat dibuat minuman beras kencur hingga kosmetika tradisional. Selain sebagai bumbu masakan sehari-hari, kencur juga mempunyai khasiat sebagai obat batuk pada anak-anak dan balita, mengatasi muntah-muntah, mengobati tetanus, mengatasi keracunan tempe bongkrek, serta mengobati keracunan jamur. Jamu beras kencur baik untuk menambah daya tahan tubuh, menghilangkan masuk angin, dan kelelahan (Muhlisah, 1999).

Metabolit sekunder yang terkandung dalam rimpang kencur antara lain asam propionat (4,7%), pentadekan (2,08%), asam tridekanoat (1,81%), 1,21-docosadiene (1,47%), beta-sitosterol (9,88%), dan etil p -metoksisinamat (80,05%) yang merupakan komponen terbesar yang terkandung dalam rimpang kencur (Kaempferia galanga Linn) (Umar et al.,

2012). Senyawa etil p-metoksisinamat sangat mudah untuk diisolasi dan dimurnikan.

Senyawa etil p-metoksisinamat telah dilaporkan memiliki aktivitas sebagai anti-inflamasi dengan menghambat edema tikus yang diinduksi karagenan (Umar, et al., 2012). Penelitian Nuntana Aroonrerk et al. menunjukkan bahwa senyawa etil p-metoksisinamat berpotensi sebagai anti-inflamasi dengan menghambat produksi IL-6 (Aroonrerk, et al., 2009).


(19)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Senyawa etil p-metoksisinamat juga mempunyai efek antituberkolosis, antinyamuk, antimikroba, dan antineoplastik (Umar et al., 2014).

Untuk pemakaian melalui kulit dengan tujuan terapi lokal antiinflamasi, kristal etil p-metoksisinamat dapat dibuat dalam bentuk sediaan topikal yaitu krim, salep, dan gel. Banyaknya pilihan bentuk sediaan topikal memerlukan kecermatan dalam memilih, karena di samping pertimbangan zat aktif, bentuk sediaan obat topikal yang sesuai dengan kondisi kelainan kulit diperlukan, karena merupakan salah satu faktor yang berperan dalam keberhasilan terapi topikal di samping faktor lain seperti konsentrasi zat aktif obat, efek fisika dan kimia, cara pakai, dan lama penggunaan obat (Yahendri dan Satya, 2012). Menurut ISO Indonesia Vol. 49 (2014-2015), sediaan topikal anti-inflamasi terbanyak di pasaran yaitu bentuk sediaan krim (79%), sediaan gel (11%), dan sediaan salep (2%). Bentuk sediaan krim lebih mudah digunakan dan penyebaran di kulit juga lebih baik, sehingga banyak masyarakat yang lebih memilih menggunakan produk dalam bentuk krim dibandingkan sediaan lainnya (Siswanto, et al., 2012). Salep dipilih sebagai salah satu bentuk sediaan karena stabilitasnya baik, berupa sediaan halus, mudah digunakan, mampu menjaga kelembapan kulit, tidak mengiritasi kulit, dan mempunyai tampilan yang lebih menarik (Pongsipulung, et al., 2012). Sediaan dalam bentuk gel lebih banyak digunakan karena rasa dingin di kulit, mudah mengering membentuk lapisan film sehingga mudah dicuci dan mudah menggunakannya (Lukman, et al., 2012).

Sediaan setengah padat relatif tidak stabil zat aktifnya dibandingkan sediaan padat. Stabilitas sediaan setengah padat tergantung pada basis dan sifat kimia zat aktifnya. Komposisi dan pembuatan sediaan setengah padat juga menjadi perhatian. Faktor yang mempengaruhi sediaan setengah padat antara lain, sifat kimia fisika zat aktif dan basis yang digunakan, sistem dispersi zat aktif-pembawa, bahan pendispersi zat aktif, bahan tambahan lain, kemasan, dan penyimpanan (Cartensen and Rhodes, 2000).


(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Uji stabilitas merupakan bagian penting program uji bahan obat (Cartensen and Rhodes, 2000). Uji bahan obat meliputi umur simpan obat dan tanggal kadaluwarsa. Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas produk farmasi, seperti stabilitas dari bahan aktif, interaksi antara bahan aktif dan bahan tambahan, proses pembuatan, proses pengemasan, dan kondisi lingkungan selama pengangkutan, penyimpanan, dan penanganan, dan jangka waktu produk antara pembuatan hingga pemakaian (Vadas, 2010). Berdasarkan hal tersebut dilakukan evaluasi stabilitas kimia kristal etil p-metoksisinamat dari rimpang kencur (Kaempferia galanga Linn) sebagai anti-inflamasi dalam bentuk sediaan setengah padat.

Uji stabilitas yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji stabilitas dipercepat dengan metode yang diambil dari ICH dan WHO. Uji stabilitas dipercepat dilakukan selama 3 bulan penyimpanan sediaan krim, gel, salep pada suhu 40 °C dengan frekuensi pengujian pada bulan ke 0, 1, 2, dan 3 untuk uji stabilitas dipercepat (ICH, 2003; Malik et al, 2011).

Dalam penelitian ini, akan dibuat tiga jenis sediaan topikal anti-inflamasi yaitu gel, krim, dan salep yang mengandung kristal etil p -metoksisinamat dari ekstrak rimpang kencur (Kaempferia galanga Linn) yang kemudian akan dilakukan uji stabilitas setelah penyimpanan selama 3 bulan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui stabilitas etil p -metoksisinamat dalam sediaan krim, salep, dan gel setelah penyimpanan pada suhu 40 °C selama 3 bulan dengan melihat pola kromatogram yang terbentuk serta senyawa-senyawa yang muncul.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah stabilitas kimia kristal etil p-metoksisinamat dari rimpang kencur (Kaempferia galanga Linn) dalam sediaan krim, gel, dan salep pada penyimpanan suhu 40 °C selama 3 bulan.

2. Bagaimanakah pola kromatogram yang terbentuk dari sediaan krim, gel, dan salep setelah penyimpanan pada suhu 40 °C selama 3 bulan.


(21)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui stabilitas kristal etil p -metoksisinamat dari rimpang kencur (Kaempferia galanga Linn) dalam sediaan setengah padat krim, gel, dan salep setelah penyimpanan sediaan pada suhu 40 °C selama 3 bulan dilihat dari pola kromatogram yang terbentuk dan senyawa yang muncul.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi stabilitas kristal etil p-metoksisinamat dalam sediaan setengah padat krim, gel, dan salep setelah penyimpanan selama 3 bulan pada suhu 40° C dilihat dari pola kromatogram yang terbentuk.


(22)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tumbuhan Kencur

Kencur (Kaempferia galanga Linn) sudah sejak lama dikenal dan ditanam di Indonesia. Tanaman ini diperkirakan berasal dari daerah Asia Tropika. Sebagian kalangan menduga bahwa asal usul kencur adalah dari kawasan Indonesia-Malaysia. Tetapi sumber literatur lainnya memastikan bahwa asal tanaman kencur adalah dari India. Daerah penyebaran kencur meluas ke kawasan Asia Tenggara dan Cina. Dalam perkembangan selanjutnya, diketahui bahwa keluarga Zingiberaceae ini merupakan salah satu jenis temu-temuan yang dipakai dalam obat tradisional (Rukmana, 1994).

2.1.1. Klasifikasi (USDA) Kingdom : Plantae

Subkingdom : Traecheobionta

Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida

Sub Kelas : Commenlinidae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae Genus : Kaempferia

Spesies : Kaempferia galanga Linn.

2.1.2. Tempat Tumbuh

Kencur ditemukan hanya ditanam, terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pengamatan di berbagai tempat di Jawa Timur, ternyata kencur juga ditanam oleh petani di sekitar Malang, Lawang dan Blitar. Di Jawa Barat, kencur ditanam di beberapa daerah saja, seperti di Bogor, Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya dan Ciamis. Di Jawa Tengah


(23)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penanaman kencur dilakukan di daerah Ungaran, Magelang, Salatiga, Boyolali, Karanganyar, Sleman dan Bantul (Roemantyo, 1996).

Peta distribusi tipe tanah di Jawa menunjukkan bahwa kencur dapat tumbuh baik di berbagai tipe tanah, yaitu: latosol, regosol, kombinasi antara latosol-andosol, regosol-latosol serta regosol-litosol. Selain itu, peta curah hujan di Jawa menunjukkan bahwa kencur dapat beradaptasi di daerah yang basah (9 bulan basah) maupun yang sedang (5-6 bulan basah dan 5-6 bulan kering) dan mencakup areal kira-kira 60% dari luas pulau Jawa, umumnya terletak di daerah dengan ketinggian antara 80 m – 600 m dpl. Kencur yang ditanam di kawasan pegunungan dengan ketinggian lebih dari 600 m dpl. mempunyai resiko pertumbuhan yang kurang baik (Roemantyo, 1996).

2.1.3. Kandungan Kimia Kaempferia galanga Linn

Kandungan kimia dalam ekstrak minyak atsiri kencur telah diteliti oleh Umar et al tahun 2012 di antaranya ialah asam propionat (4,71%), pentadekan (2,08 %), asam tridekanoat (1,81 %),

1,21-docosadiene (1,47 %), beta-sitosterol (9,88%), dan komponen terbesar adalah etil p-metoksisinamat (80,05 %). Kandungan minyak atsiri kencur terdiri atas borneol, methil-p-cumaric acid, cinnamicacid ethyl ester,


(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2.1 Struktur Senyawa dari (a) etil p-metoksisinamat (b) borneol (c) beta-sitosterol (d) metil sinamat

[Sumber : www.chemicalbook.com]

2.1.4. Manfaat Kaempferia galanga Linn

Kencur biasa digunakan sebagai bumbu aneka masakan sehari-hari seperti pecal dan karedok. Selain itu daunnya juga dapat dimanfaatkan sebagai lalap atau campuran urap. Rimpang muda dapat dibuat minuman beras kencur hingga kosmetika tradisional. Manfaat kencur di bidang kesehatan juga membuat kencur diusahakan orang. Beberapa khasiat kencur dalam hal pengobatan antara lain, menyembuhkan batuk pada anak-anak dan balita, mengatasi muntah-muntah, mengobati tetanus, mengatasi keracunan tempe bongkrek, dan mengobati keracunan jamur (Muhlisah, 1999).

Ekstrak minyak atsiri kencur memiliki aktivitas antimikroba untuk gram positif (Staphylococcus aureus ATCC 25923, Streptococcus faecalis, Bacillus subtilis), gram negatif (Salmonella typhi, Shigella flexneri, Eschericia coli ATCC 2592), dan juga memiliki aktivitas antifungi pada Candida albicans (Tewtrakul et al., 2005). Ekstrak air dari kencur memiliki aktivitas sebagai antinosiseptif dan anti inflamasi (Sulaiman et al., 2008). Ekstrak alkohol dari kencur diteliti memiliki

(a)


(25)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta aktivitas sebagai anti inflamasi dan analgesik (Vittalrao et al., 2011), juga memiliki aktivitas sebagai penyembuh luka (Tara V et al., 2006).

2.2. Kulit

Gambar 2.2 Anatomi Kulit

[Sumber : Saladin, Kenneth S. melalui http://www.mhhe.com/biosci/esp/2001]

Kulit adalah organ terbesar tubuh. Beratnya kurang lebih 4,5 kg dan menutupi area seluas 18 kaki persegi (1,67 m2) (Sloane, 1995). pH fisiologis kulit manusia berkisar antara 4,5 – 6,5 sehingga bersifat asam lemah (Tranggono, 2007). Fungsi dan kegunaan kulit di antaranya adalah sebagai pelindung tubuh, menjaga kelembapan tubuh, sistem ekskresi, pengatur suhu tubuh, pengindra (sensori), pembentukan pigmen, sistem metabolisme, absorpsi cairan mudah menguap, dan membentuk vitamin D. Lapisan kulit terdiri dari lapisan epidermis, dermis, dan lapisan subkutan (Sloane, 1995; Tranggono, 2007).

2.2.1. Epidermis

Epidermis adalah bagian terluar kulit. Bagian ini tersusun dari jaringan epitel skuamosa bertingkat yang mengalami keratinasi. Jaringan ini tidak memiliki pembuluh darah dan sel-selnya sangat rapat dan


(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ketebalan jaringan ini bervariasi tergantung lokasi bagian tubuh mulai dari 0,05 mm sampai 1,5 mm. Struktur kimia dari sel-sel epidermis manusia memiliki komposisi sebagai berikut: protein 27%, lemak 2%, garam-garam mineral 0,5%, air dan bahan-bahan larut air 70,5%. Lapisan ini terdiri dari 5 lapisan yaitu stratum germinativum, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneum (Rieger, 2000; Sloane, 1995).

2.2.2. Dermis

Dermis merupakan lapisan di bawah epidermis yang dipisahkan dengan membran dasar. Ketebalan lapisan dermis bervariasi tergantung lokasinya pada bagian tubuh mulai dari 0,3 mm sampai 3,0 mm. Lapisan ini terbentuk oleh lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen seluler, kelenjar, dan folikel rambut. Membran ini tersusun dari dua lapisan jaringan ikat, yaitu lapisan papilar dan lapisan retikuler. Lapisan papilar adalah jaringan ikat areolar renggang dengan fibrola, sel mast, dan makrofag. Lapisan ini mengandung banyak pembuluh darah, yang memberi nutrisi pada epidermis di atasnya. Lapisan retikular terletak lebih dalam dari lapisan papilar. Lapisan ini tersusun dari jaringan irregular yang rapat, kolagen, dan serat elastik. Serabut kolagen dan serabut elastin pada lapian retikular dapat mencapai 75% dan 4% dari berat manusia bebas lemak (Sloane, 1995; Rieger, 2000).

2.2.3. Lapisan Subkutan

Lapisan ini mengandung jumlah sel lemak yang beragam, bergantung pada area tubuh dan nutrisi individu, serta berisi banyak pembuluh darah pada ujung syaraf (Sloane, 1995).

2.3. Krim

Krim didefinisikan sebagai “cairan kental atau emulsi setengah padat baik bertipe air dalam minyak atau minyak dalam air”. Krim biasanya digunakan sebagai emolien atau pemakaian obat pada kulit (Ansel, 2008).


(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Krim merupakan sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air (Depkes RI, 1995). Krim (cremores) adalah bentuk sediaan setengah padat berupa emulsi yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai dan mengandung air tidak kurang dari 60% (Syamsuni, 2006).

Krim ada dua tipe, yaitu krim tipe minyak dalam air (M/A) dan tipe air dalam minyak (A/M). Krim yang dapat dicuci dengan air (M/A) ditujukan untuk penggunakan kosmetik dan estetika. Krim juga dapat digunakan untuk pemberian obat melalui vagina (Syamsuni, 2006).

Stabilitas krim akan rusak jika sistem campurannya terganggu oleh perubahan suhu dan komposisi, mislanya adanya penambahan salah satu fase secara berlebihan (Syamsuni, 2006).

Bahan pengemulsi krim harus disesuaikan dengan jenis dan sifat krim yang dikehendaki. Sebagai bahan pengemulsi krim, dapat digunakan emulgid, lemak bulu domba, setasium, setil alkohol, stearil alkohol, golongan sorbitan polisorbat, PEG, dan sabun (Syamsuni, 2006).

Bahan pengawet yang sering digunakan umumnya adalah metilparaben (nipagin) 0,12 – 0,18% dan propilparaben (nipasol) 0,02 – 0,05% (Syamsuni, 2006).

2.3.1. Cara Pembuatan Krim

Bagian lemak dilebur di atas tangas air, kemudian tambahkan bagian airnya dengan zat pengemulsi. Setelah itu, aduk sampai terbentuk suatu campuran yang berbentuk krim (Syamsuni, 2006).

Prinsip pembuatan krim adalah berdasarkan proses penyabunan (safonifikasi) dari suatu asam lemak tinggi dengan suatu basa dan dikerjakan dalam suasana panas yaitu temperatur 70° – 80° C Depkes RI, 1995).


(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.4. Gel

Gel (kadang-kadang disebut jeli) merupakan sistem semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenentrasi oleh suatu cairan. Jika massa gel terdiri dari jaringan partikel kecil yang terpisah, gel digolongkan sebagai sistem dua fase, sedangkan gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar serba sama dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul-molekul makro yang terdispersi dan cairan (Depkes RI, 1995).

Gel adalah suatu sistem setengah padat yang terdiri dari suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar dan saling diresapi cairan. Makromolekul pada sediaan gel disebarkan keseluruh cairan sampai tidak terlihat ada batas di antaranya, cairan ini disebut gel satu fase. Jika massa gel terdiri dari kelompok-kelompok partikel kecil yang berbeda, maka gel ini dikelompok-kelompokkan sebagai sistem dua fase dan sering pula disebut magma atau susu. Gel dianggap sebagai dispersi koloid karena masing-masing mengandung partikel-partikel dengan ukuran koloid (Ansel, 2008).

Polimer-polimer yang biasa digunakan untuk membuat gel-gel farmasetik meliputi gom alam tragakan, pektin, karagen, agar, asam alginat, serta bahan-bahan sintetis dan semisintetis seperti metil selulosa, hidroksietilselulosa, karboksimetilselulosa, dan karbopol yang merupakan polimer vinil sintetis dengan gugus karboksil yang terionisasi. Gel dibuat dengan proses peleburan, atau diperlukan suatu prosedur khusus berkenaan dengan sifat mengembang dari gel (Lachman, 1994).

Beberapa keuntungan sediaan gel adalah sebagai berikut (Voigt, 1994): 1. Kemampuan penyebarannya baik pada kulit

2. Efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit 3. Tidak ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis

4. Kemudahan pencuciannya dengan air yang baik 5. Pelepasan obatnya baik


(29)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.4.1. Dasar Gel

Dasar gel yang umum digunakan adalah gel hidrofobik dan gel hidrofilik. 1. Dasar gel hidrofobik

Dasar gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel anorganik, bila ditambahkan ke dalam fase pendispersi, hanya sedikit sekali interaksi antara kedua fase. Berbeda dengan bahan hidrofilik, bahan hidrofobik tidak secara spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan prosedur yang khusus (Ansel, 2008).

2. Dasar gel hidrofilik

Dasar gel hidrofilik umumnya terdiri dari molekul-molekul organik yang besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase pendispersi. Istilah hidrofilik berarti suka pada pelarut. Umumnya daya tarik menarik pada pelarut dari bahan-bahan hidrofilik kebalikan dari tidak adanya daya tarik menarik dari bahan hidrofobik. Sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat dan memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel, 2008). Gel hidrofilik umumnya mengandung komponen bahan pengembang, air, humektan, dan bahan pengawet (Voigt, 1994).

2.5. Salep

Salep (urgenta, unguentum, ointment) adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obat harus larut atau terdispersi secara homogen dalam dasar salep yang cocok (Depkes RI, 1979). Salep (unguents) adalah preparat setengah padat untuk pemakaian luar. Salep dapat mengandung obat atau tidak mengandung obat, yang biasa disebut “dasar salep” (basis ointment) dan digunakan sebagai pembawa dalam penyiapan salep yang mengandung obat (Ansel, 2008).

Persyaratan salep sesuai yang tertera dalam Farmakope Indonesia edisi III adalah sebagai berikut (Depkes RI, 1979):


(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Kadar, kecuali dinyatakan lain dan untuk salep yang mengandung obat

keras atau narkotik, kadar bahan obat adalah 10%.

3. Dasar salep, kualitas dasar salep yang baik, yaitu (a) stabil, tidak terpengaruh oleh suhu dan kelembapan, dan harus bebas dari inkompatibilitas selama pemakaian; (b) lunak, harus halus, dan homogen; (c) mudah dipakai; (d) dasar salep yang cocok; serta (e) dapat terdistribusi secara merata.

4. Homogenitas, jika salep dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang cocok, harus menunjukkan susunan yang homogen.

5. Penandaan, pada etiket harus tertera “obat luar”.

2.5.1. Dasar Salep

Dasar salep digolongkan ke dalam 4 kelompok besar: (1) dasar salep hidrokarbon, (2) dasar salep absorpsi, (3) dasar salep yang dapat dicuci dengan air, dan (4) dasar salep yang larut dalam air (Ansel, 2008).

2.5.1.1. Dasar Salep Hidrokarbon

Dasar salep hidrokarbon (dasar bersifat lemak) bebas air, preparat yang berair mungkin dapat dicampurkan hanya dalam jumlah sedikit saja, bila lebih minyak sukar bercampur. Dasar hidrokarbon dipakai terutama untuk efek emolien. Dasar salep tersebut bertahan pada kulit untuk waktu yang lama dan tidak memungkinkan larinya lembap ke udara dan sukar dicuci. Kerjanya sebagai bahan penutup saja. Tidak “mengering” atau tidak ada perubahan dengan berjalannya waktu (Ansel, 2008). Yang termasuk dalam dasar salep hidrokarbon antara lain:

1. Petrolatum

Petrolatum, USP adalah campuran dari hidrokarbon setengah padat diperoleh dari minyak bumi. Petrolatum suatu masa yang kelihatannya bagus, bermacam-macam warnanya dari kekuning-kuningan sampai kuning gading yang muda. Melebur pada


(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta temperatur antara 38 °C dan 60 °C. Dapat digunakan secara tunggal atau dalam campuran dengan zat lain sebagai dasar salep (Ansel, 2008).

2. Petrolatum putih

White petrolatum, USP, adalah petrolatum yang dihilangkan warnanya. Hanya berbeda dalam hal tidak berwarna dari petrolatum dan digunakan untuk tujuan yang sama (Ansel, 2008).

3. Salep kuning (Yellow ointment)

Tiap 100 g, yellow ointment, USP, mengandung 5 g lilin kuning dan 95 g petrolatum. Lilin kuning adalah lilin yang dimurnikan yang dihasilkan dari sarang tawon (Apis mellifera) (Ansel, 2008).

4. Salep putih (White ointment)

White ointment, USP, mengandung 5% lilin putih (lilin lebih murni yang diputihkan) dan 95% petrolatum putih (Ansel, 2008).

5. Parafin

Parafin campuran hidrokarbon padat yang dimurnikan diperoleh dari minyak bumi. Tidak berwarna atau putih, kurang lebih massa yang tembus cahaya yang dapat digunakan untuk membuat keras atau kaku dasar salep padat yang berlemak (Ansel, 2008).

6. Minyak mineral

Minyak mineral adalah campuran dari hidrokarbon cair yang dihasilkan dari minyak bumi. Berguna dalam menggerus bahan yang tidak larut pada preparat salep dengan dasar berlemak (Ansel, 2008).

2.5.1.2. Dasar Salep Absorpsi

Dasar salep absorpsi dapat menjadi dua tipe: (1) yang memungkinkan pencampuran larutan berair, hasil dari pembentukan emulsi air dan minyak (misalnya petrolatum hidrofilik dan lanolin anhidrida); dan (2) yang sudah menjadi emulsi air minyak (dasar emulsi), memungkinkan bercampurnya sedikit penambahan jumlah larutan berair (misalnya lanolin dan cold cream). Dasar salep ini berguna sebagai emolien walaupun tidak menyediakan derajat


(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penutupan seperti yang dihasilkan dasar salep berlemak. Seperti dasar berlemak, dasar salep absorpsi tidak mudah dihilangkan dari kulit oleh pencucian air. Dasar-dasar salep ini juga berfaedah dalam farmasi untuk pencampuran larutan berair ke dalam larutan berlemak. Misalnya larutan berair mula-mula dapat diabsorpsi ke dalam dasar salep absorpsi, kemudian campuran ini dengan mudah dicampurkan ke dalam dasar salep berlemak. Dalam melakukan hal ini sejumlah ekuivalen dari dasar salep berlemak dalam formula digantikan dengan dasar salep absorpsi (Ansel, 2008). Yang termasuk dalam dasar salep absorpsi antara lain:

1. Petrolatum hidrofilik

Petrolatum hidrofilik dari kolesterol, alkohol stearat, lilin putih, dan

petrolatum putih. Dasar salep ini memiliki kemampuan

mengabsorbsi air dengan membentuk emulsi air dalam minyak (Ansel, 2008).

2. Lanolin anhidrida

Lanolin anhidrida dapat mengandung tidak lebih dari 0,25% air. Lanolin anhidrida tidak larut dalam air tetapi bercampur tanpa terpisah dengan air dua kali beratnya. Pencampurannya dengan air menghasilkan emulsi air dalam minyak (Ansel, 2008).

3. Lanolin

Lanolin adalah setengah padat, bahan seperti lemak diperoleh dari bulu domba (Ovis aries), merupakan emulsi air dalam minyak yang mengandung air antara 25% dan 30%. Penambahan air dapat dicampurkan ke dalam lanolin dengan pengadukan (Ansel, 2008). 4. Cold cream

Cold cream (krim pendingin) merupakan emulsi air dalam minyak, setengah padat, putih, dibuat dengan lilin setil ester, lilin puth, minyak mineral, natrium borat, dan air murni. Natrium borat dicampur dengan asam lemak bebas yang ada dalam lilin-lilin membentuk sabun natrium yang bekerja sebagai zat pengemulsi.


(33)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Krim pendingin digunakan sebagai emolien dan dasar salep (Ansel, 2008).

2.5.1.3. Dasar Salep Tercuci Air

Dasar salep yang dapat dibersihkan dengan air merupakan emulsi minyak dalam air yang dapat dicuci dar kulit dan pakaian dengan air. Atas dasar ini bahan tersebut sering dikatakan sebagai bahan dasar salep “tercuci air”. Dasar salep ini yang nampaknya seperti krim dapat diencerkan dengan air atau larutan berair. Dari sudut pandang terapi mempunyai kemampuan untuk mengabsorpsi caran serosal yang keluar dalam kondisi dermatologi. Bahan obat tertentu dapat diabsorpsi lebih baik oleh kulit jika ada dasar salep tipe ini daripada dasar salep lainnya (Ansel, 2008). Contoh dasar salep yang dapat dicuci air:

1. Salep hidrofilik

Sebagaimana ditunjukkan oleh namanya salep hidrofilik berarti “suka air”, mengandung natrium lauril sulfat sebagai bahan pengemulsi, dengan alkohol stearat dan petrolatum putih mewakili fase berlemak dan emulsi serta propilen glikol dan air mewakili fase air. Metil paraben dan propil paraben digunakan sebagai pengawet salep melawan pertumbuhan mikroba. Salep digunakan sebagai pembawa yang dapat dibersihkan dengan air untuk bahan-bahan obat (Ansel, 2008).

2.5.1.4. Dasar Salep Larut dalam Air

Tidak seperti dasar salep yang tidak larut dalam air, yang mengandung kedua-duanya, komponen yang larut maupun yang tidak larut dalam air, dasar yang larut dalam air hanya mengandung komponen yang larut dalam air. Tetapi, seperti dasar salep yang dapat dibersihkan dengan air basis yang larut dalam air dapat dicuci dengan air. Basis yang larut dalam air biasanya disebut greaseless karena tidak mengandung bahan berlemak. Karena dasar salep ini sangat mudah


(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melunak dengan penambahan air, larutan air tidak efektif dicampurkan ke dalam bahan dasar ini. Nampaknya dasar salep ini lebih baik digunakan untuk dicampurkan dengan bahan tidak berair atau bahan padat (Ansel, 2008). Yang termasuk dasar salep larut dalam air adalah: 1. Salep polietilen glikol

Formula resmi basis ini memerlukan kombinasi 400 g polietilen glikol 3350 (padat) dan 600 g polietilen glikol 400 (cair) untuk membuat 1000 g dasar salep. Polietilen glikol adalah polimer dari etilenoksida dan air ditunjukkan dengan rumus HOCH2(CH2OCH2 )-nCH2OH. Panjang rantai dapat berbeda-beda untuk mendapatkan polimer yang mempunyai viskositas bentuk fisik (cair, padat atau setengah padat) yang diinginkan (Ansel, 2008).

2.5.2. Penggolongan Salep

Salep dapat digolongkan berdasarkan konsistensi, sifat farmakologi, bahan dasarnya, dan Formularium Nasional (Syamsuni, 2006).

1. Menurut konsistensi salep a. Unguenta

Salep yang memiliki konsistensi, seperti mentega, tidak mencair pada suhu biasa, tetapi mudah dioleskan tanpa memakai tenaga.

b. Krim (cream)

Salep yang banyak mengandung air, mudah diserap kulit, suatu tipe yang dapat dicuci dengan air.

c. Pasta

Salep yang mengandung lebih dar 50% zat padat (serbuk) berupa suatu salep tebal karena merupakan penutup / pelindung bagian kulit yang diolesi.

d. Cerata

Salep berlemak yang mengandung presentase lilin (wax) yang tinggi sehingga konsistensinya lebih keras (ceratum labiale).


(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta e. Gelones / spuma / jelly

Salep yang lebih halus, umumnya cair dan sedikit mengandung atau tanpa mukosa, sebagai pelikan atau basis, biasanya terdiri atas campuran sederhana dari minyak dan lemak dengan titik lebur rendah.

2. Menurut sifat farmakologi / terapeutik dan penetrasinya a. Salep epidermis (epidermik ointment; salep penutup)

Guna melindungi kulit dan menghasilkan efek lokal, tidak diabsorpsi, kadang-kadang ditambahkan antiseptik, astringen untuk meredahkan rangsangan atau anestesi lokal. Ds. Senyawa hidrokarbon.

b. Salep endodermis

Salep yang bahan obatnya menembus kulit, tetapi tidak melalui kulit, terabsorpsi sebagian, digunakan untuk melunakkan kulit atau selaput lendir.

c. Salep diadermis

Salep yang bahan obatnya menembus kedalam tubuh melalui kulit dan mencapai efek yang diinginkan, misalnya salep yang mengandung senyawa merkuri iodida, beladona.

3. Menurut dasar salepnya, salep dapat dibagi :

a. Salep hidrofobik yaitu salep yang tidak suka air atau salep dengan dasar salep berlemak (greasy bases) tidak dapat dicuci dengan air; misalnya : campuran lemak-lemak, minyak lemak, malam.

b. Salep hidrofilik yaitu salep yang suka air atau kuat menarik air, biasanya ds. Tipe M/A.

4. Menurut Formularium Nasional (Fornas) : a. Dasar salep 1 (ds.senyawa hidrokarbon). b. Dasar salep 2 (ds.serap)

c. Dasar salep 3 (ds.yang dapat dicuci dengan air atau ds.emulsi M/A)


(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.6. Ekstraksi

Ekstrasi adalah kegiatan penarikan kandungan senyawa kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes RI, 2000).

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu: (Depkes RI, 2000)

1. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi.

2. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian semplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pelembaban bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

3. Refluks

Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 4. Digesti

Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50 ⁰C.

5. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan menggunakan alat soklet sehingga terjadi


(37)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin baik.

6. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90 ⁰C selama 15 menit.

7. Dekok

Dekok adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90 ⁰C selama 30 menit.

2.7. Stabilitas

Stabilitas produk farmasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk untuk bertahan dalam batas yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan, sifat, dan karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat (Vadas, 2010).

Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas produk farmasi, seperti stabilitas dari bahan aktif, interaksi antara bahan aktif dan bahan tambahan, proses pembuatan, proses pengemasan, dan kondisi lingkungan selama pengangkutan, penyimpanan, dan penanganan, dan jangka waktu

produk antara pembuatan hingga pemakaian (Vadas, 2010).

Ketidakstabilan suatu sediaan farmasi dapat dideteksi melalui perubahan sifat fisika, kimia, serta penampilan dari sutau sediaan farmasi. Besarnya perubahan kimia sediaan farmasi ditentukan dari laju penguraian obat melalui hubungan antara kadar obat dengan waktu, atau berdasarkan derajat degradasi suatu obat yang jika dipandang dari segi kimia, stabilitas obat dapat diketahui dari ada atau tidaknya penurunan kadar selama penyimpanan.

Stabilitas produk obat dibagi menjadi stabilitas secara kimia dan stabilitas secara fisika. Faktor-faktor fisika seperti panas, cahaya, dan kelembapan, mungkin akan menyebabkan atau mempercepat reaksi kimia, maka setiap menentukan stabilitas kimia, stabilitas fisika juga harus ditentukan (Vadas, 2010).


(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Stabilitas fisika adalah mengevaluasi perubahan sifat fisika dari suatu produk yang tergantung waktu (periode penyimpanan). Contoh dari perubahan fisika antara lain migrasi (perubahan) warna, perubahan rasa, perubahan bau, perubahan tekstur atau penampilan. Evaluasi dari uji stabilitas fisika meliputi: pemeriksaan organoleptis, homogenitas, pH, bobot jenis (Vadas, 2010).

Stabilitas kimia suatu obat adalah lamanya waktu suatu obat untuk mempertahanakan integritas kimia dan potensinya seperti yang tercantum pada etiket dalam batas waktu yang ditentukan. Pengumpulan dan pengolahan data merupakan langkah menentukan baik buruknya sediaan yang dihasilkan, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya parameter lain yang harus diperhatikan. Data yang harus dikumpulkan untuk jenis sediaan yang berbeda tidak sama, begitu juga untuk jenis sediaan sama tetapi cara pemberiannya lain. Jadi sangat bervariasi tergantung pada jenis sediaan, cara pemberian, stabilitas zat aktif dan lain-lain (Florence and Attwood, 1988).

Data yang paling dibutuhkan adalah data sifat kimia, kimia fisik, dan kerja farmakologi zat aktif (data primer), didukung sifat zat pembantu (data sekunder). Secara reaksi kimia zat aktif dapat terurai karena beberapa faktor diantaranya ialah oksigen (oksidasi), air (hidrolisa), suhu (oksidasi), cahaya (fotolisis), karbondioksida (turunnya pH larutan), sesepora ion logam sebagai katalisator reaksi oksidasi. Jadi jelasnya faktor luar juga mempengaruhi ketidakstabilan kimia seperti, suhu, kelembaban udara dan cahaya (Florence dan Attwood, 1988).

Stabilitas mikrobiologi suatu sediaan adalah keadaan tetap di mana sediaan bebas dari mikroorganisme atau memenuhi syarat batas miroorganisme hingga batas waktu tertentu. Terdapat berbagai macam zat aktif obat, zat tambahan serta berbagai bentuk sediaan dan cara pemberian obat. Tiap zat, cara pemberian dan bentuk sediaan memiliki karakteristik fisikakimia tersendiri dan umumnya rentan terhadap kontaminasi mikroorganisme dan / atau memang sudah mengandung mikroorganisme yang dapat mempengaruhi mutu sediaan karena berpotensi menyebabkan


(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penyakit, efek yang tidak diharapkan pada terapi atau penggunaan obat dan kosmetik. Stabilitas mikrobiologi diperlukan oleh suatu sediaan farmasi untuk menjaga atau mempertahankan jumlah dan menekan pertumbuhan mikroorganisme yang terdapat dalam sediaan tersebut hingga jangka waktu tertentu yang diinginkan.

2.7.1. Uji Stabilitas Dipercepat

Uji stabilitas dipercepat merupakan kondsi penyimpanan ekstrim untuk meningkatkan kecepatan penguraian obat. Tujuan uji stabilitas adalah untuk menentukan parameter kinetik sehingga waktu kadaluarsa dapat diprediksi (Cartensen and Rhodes, 2000).

Kondisi ekstrim yang dapat mempercepat penguraian antara lain adalah : suhu, kelembaban, cahaya, pengocokan, gravitasi, dan pH. Kondisi ekstrim yang umum digunakan adalah suhu. Suhu yang tinggi akan mempercepat penguraian zat aktif. Kecepatan penguraian dan suhu dihubungkan oleh persamaan Arrhenius.

Jika harga k pada berbagai temperatur ditentukan kemudian log k diplot terhadap 1/T maka akan diperoleh garis lurus dengan kemiringan – E/2.303R dan perpotongan pada ordinat merupakan log A sehingga harga E dan A dapat ditentukan. Oleh karena itu, jika konstanta kecepatan penguraian pada suhu tinggi diperoleh maka konstanta kecepatan penguraian pada suhu penyimpanan yang sebenernya dapat ditentukan (Connors dkk, 1992; Martin dkk, 1993).

Menurut ASEAN Guideline on Stability of Drug Product, kondisi penyimpanan uji secara umum dibagi menjadi 3 yaitu; kondisi penyimpanan real time (suhu kamar), kondisi penyimpanan dipercepat, kondisi penyimpanan alternative to accelerate study. Pada kondisi real time, produk uji disimpan pada suhu 30° ± 2° C/RH 75% ± 5% dan frekuensi uji dilakukan setiap 0,3,6,12,18, sampai 24 bulan; pada kondisi penyimpanan dipercepat produk uji disimpan pada suhu 40° ± 2° C/RH 75% ± 5% dan frekuensi uji dilakukan setiap 0,3, sampai 6 bulan; pada


(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kondisi penyimpanan alternative accelerate study, produk uji disimpan pada suhu sama seperti uji diperecpat, hanya frekuensi uji dilakukan setiap 0,1, sampai 3 bulan. Pengujian stabilitas harus dilakukan dengan jumlah sampel uji minimal 3 bets.

2.8. Kromatografi

Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi deferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu di antaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion. Dengan demikian, masing-masing zat dapat diidentifikasi atau ditetapkan dengan metode analitik (Depkes RI, 1995). Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase) (Gandjar dan Rohman, 2007).

Kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam tergantung pada pengelompokannya. Berdasarkan pada mekanisme pemisahannya, kromatografi dibedakan menjadi: (a) kromatografi adsorbsi; (b) kromatografi partisi; (c) kromatografi pasangan ion; (d) kromatografi penukar ion; (e) kromatografi eksklusi ukuran; dan (f) kromatografi afinitas. Berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dapat dibagi atas: (a) kromatografi kertas; (b) kromatografi lapis tipis, yang keduanya sering disebut dengan kromatografi planar; (c) kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT); dan (d) kromatografi gas (KG) (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.8.1. Kromatografi Gas

Kromatografi gas (KG) merupakan metode yang dinamis untuk pemisahan dan deteksi senyawa-senyawa yang menguap dalam suatu campuran. Kromatografi gas merupakan teknik instrumental yang


(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dikenalkan pertama kali pada tahun 1950-an, dan saat ini merupakan alat utama yang digunakan oleh laboratorium untuk melakukan analisis (Gandjar dan Rohman, 2007).

Kromatografi gas merupakan teknik analisis yang telah digunakan dalam bidang-bidang: industri, lingkungan, farmasi, minyak, kimia, klinik, forensik, makanan, dan lain-lain (Gandjar dan Rohman, 2007).

Kegunaan umum kromatografi gas adalah untuk: melakukan pemisahan dinamis dan identifikasi semua jenis senyawa organik yang mudah menguap dan juga untuk melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa dalam suatu campuran. Kromatografi gas dapat bersifat destruktif dan dapat bersifat non-destruktif tergantung pada detektor yang digunakan (Gandjar dan Rohman, 2007).

Prinsip Kromatografi Gas

Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan yang mana solut-solut yang mudah menguap (dan stabil terhadap panas) bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio distribusinya. Pada umumnya solut akan terelusi berdasarkan pada peningkatan titik didihnya, kecuali jika ada interaksi khusus antara solut dan fase diam. Pemisahan pada kromatografi gas didasarkan pada titik didih suatu senyawa dikurangi dengan semua interaksi yang mungkin terjadi antara solut dengan fase diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solut dari ujung kolom lalu menghantarkannya ke detektor. Penggunaan suhu meningkat (biasanya pada kisaran 50-350 °C) bertujuan untuk menjamin bahwa solut akan menguap dan karenanya akan cepat terelusi (Gandjar dan Rohman, 2007).


(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.9. Studi Preformulasi 2.9.1. Propilenglikol

Gambar 2.3 Struktur Propilenglikol

[Sumber : Rowe et al, 2009]

Propilenglikol memiliki rumus molekul C3H8O2 dan berat molekul 76,09. Propilenglikol berupa cairan kental, jernih, tidak bewarna, dengan rasa yang manis. Propilenglikol digunakan sebagai humektan, pelarut, kosolven, plastisizer, disinfektan, dan pengawet. Propilenglikol dapat bercampur dengan etanol 95%, gliserin, dan air, larut dalam 6 bagian eter, dan dalam beberapa minyak essensial tetapi tidak dapat bercampur dengan minyak lemak (DepKes RI, 1995; Rowe et al, 2009).

2.9.2. Metil Paraben

Gambar 2.4 Struktur metil paraben

[Sumber : Rowe et al, 2009]

Metil paraben berupa serbuk hablur halus, putih, hampir tidak berbau, dan tidak mempunyai rasa. Metil paraben memiliki rumus molekul C8H8O3 dan bobot molekul 152,15. Metil paraben sukar larut dalam air, dalam benzen, dan dalam tetraklorida, selain itu metil paraben


(43)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat larut dalam propilenglikol dan mudah larut dalam etanol dan dalam eter. Metil paraben memiliki kegunaan sebagai anti mikroba pada sediaan topikal pada persen penggunaannya 0,02-0,3% (DepKes RI, 1995; Rowe

et al, 2009).

2.9.3. Propil Paraben

Gambar 2.5 Struktur Propil Paraben

[Sumber : Rowe et al, 2009]

Propil paraben berupa serbuk hablur putih, tidak berbau, dan tidak berasa. Propil paraben memiliki rumus molekul C10H2O3 dan bobot molekul 180,20. Propil paraben sangat sukar larut dalam air dan propil paraben dapat larut dalam etanol (95%), aseton, gliserol, minyak lemak, selain itu propil paraben mudah larut dalam alkali hidroksida. Propil paraben memiliki kegunaan sebagai pengawet anti mikroba pada sediaan topikal dengan konsentrasi 0,01-0,6% (DepKes RI, 1995; Rowe et al, 2009).

2.9.4. Etanol

Gambar 2.6 Struktur Etanol

[Sumber : Rowe et al, 2009]

Etanol memiliki sinonim alcohol, ethyl alcohol; ethyl hydroxide; grain alcohol; methyl carbinol. Etanol memiliki rumus molekul C2H6O dan bobot molekul 46,07. Etanol dapat larut dalam


(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kloroform, eter, gliserin, dan air. Etanol memiliki titik didih 78,15 °C. Pada penelitian ini etanol digunakan sebagai pelarut (Rowe et al, 2009).

2.9.5. Setil Alkohol

Gambar 2.7 Struktur Setil Alkohol

[Sumber : Rowe et al, 2009]

Nama lain dari setil alkohol di antaranya alcohol cetylicus, avol,

palmityl alcohol, dan lain-lain. Setil alkohol merupakan serpihan putih licin, granul, atau kubus, putih; bau khas lemah; rasa lemah. Setil alkohol memiliki titik lebur 45-52°C, mudah larut dalam etanol 95% dan eter, kelarutan meningkat dengan kenaikan suhu, praktis tidak larut dalam air, bercampur ketika dilebur bersama dengan lemak, paraffin padat atau cair, dan isopropil miristat.

Penggunaan setil alkohol pada sediaan farmasi sangat luas, yaitu sebagai coating agent; emulsifying agent (2-5%); stiffening agent (2-10%); emolien (2-5%); dan sebagai water absorption (5%). Setil alkohol stabil dengan adanya asam, basa, cahaya, dan udara; tidak menjadi tengik. Sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup baik di tempat yang kering dan sejuk. Inkompatibel dengan oksidator kuat (Rowe et al, 2009).

2.9.6. Asam Stearat

Gambar 2.8 Struktur Asam Stearat

[Sumber : Rowe et al, 2009]

Nama lain dari asam stearat di antaranya acidum stearicum,

cetylacetic acid, hystrene, dan lain-lain. Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari lemak sebagian besar terdiri dari


(45)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta asam oktadekanoat, C18H36O2 dan asam heksadekanoat, C16H32O2 (Depkes R, 1979).

Asam stearat berbentuk serbuk putih keras, putih atau kuning pucat, agak mengkilap, kristal padat atau putih atau kekuningan; sedikit berbau; dan mirip lemak lilin. Asam stearat memiliki titik leleh 69-70ºC (Rowe et al, 2009). Asam stearat praktis tidak larut dalam air; larut dalam 20 bagian etanol (95%), dalam dua bagian kloroform, dan dalam tiga bagian eter (Anonim, 1979). Selain itu asam stearat juga mudah larut dalam benzen, karbon tetraklorida; larut dalam heksana dan propilen glikol (Rowe et al, 2009).

Dalam sediaan topikal, asam stearat dapat digunakan sebagai

emulsifying agent dan solubilizing agent. Dalam salep dan krim, asam stearat digunakan dengan konsentrasi 1-20%. Asam stearat stabil dan bisa ditambahkan antioksidan, sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup baik, di tempat yang sejuk dan kering. Inkompatibel terhadap logam hidroksida, basa, reduktor, dan oksidator (Rowe et al, 2009).

2.9.7. Trietanolamin (TEA)

Gambar 2.9 Struktur Trietanolamin (TEA)

[Sumber : Rowe et al, 2009]

Nama lain TEA di antaranya tealan, trihydroxytriethylamine, trolaminum, dan lain-lain. TEA merupakan cairan kental, tidak berwarna hingga kuning pucat; bau lemah mirip amoniak; higroskopik. TEA memiliki titik leleh 20-21 ºC, mudah larut dalam air dan dalam etanol (95%); larut dalam kloroform. Pada suhu 20º C, bercampur dengan aseton, dengan karbon tetraklorida, dengan metanol, dan dengan air; larut dalam 24 bagian benzen dan dalam 63 bagian etil eter (Rowe et al, 2009).


(46)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta TEA berfungsi sebagai alkalizing agent dan emulsifying agent. TEA akan bereaksi dengan asam mineral membentuk garam kristal dan ester. TEA akan membentuk garam yang larut dalam air dan memiliki karakteristik sabun dengan asam lemak yang lebih tinggi. TEA juga akan bereaksi dengan tembaga membentuk garam kompleks. Selain itu TEA juga dapat bereaksi dengan reagen seperti tionil klorida untuk menggantikan gugus hidroksi dengan halogen, hasil reaksi ini sangat beracun. TEA dapat berubah coklat pada paparan udara dan cahaya. 85% trietanolamin cenderung terstratifikasi dibawah 15 ºC, dapat homogen dengan pemanasan kembali sebelum digunakan untuk pencampuran. Penyimpanan dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya, di tempat yang sejuk dan kering (Rowe et al, 2009).

2.9.8. Karbopol

Gambar 2.11 Struktur Karbopol

[Sumber : Rowe et al, 2009]

Nama lain karbopol di antaranya acrypol, carbomer, acritamer, dan lain-lain. Karbopol berwarna putih, “fluffy”, asam, serbuk

higroskopis dengan bau yang khas. Karbopol dapat mengembang di air dan gliserin, dan setelah dinetralkan, dengan etanol (95%). Karbopol tidak larut tapi mengembang sampai batas yang luar biasa, karena merupakan crosslinked microgels tiga dimensi. Karbopol biasa digunakan dalam sediaan farmasi seperti dalam krim, gel, lotion, dan salep sediaan mata, rektal, vaginal, dan topikal sebagai agen modifikasi reologi (Rowe et al, 2009).


(47)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dalam sediaan farmasi, karbopol berfungsi sebagai emulsifying agent (0,1-0,5%), gelling agent (0,5-2%), suspending agent (0,5-1%), tablet binder (0,75-3%), dan sebagai controlled-release agent (5-30%). Karbopol memiliki pH 2,5-4,0 dalam 0,2% b/v dispersi berair dan 2,5-3,0 dalam 1% b/v dispersi berair. Oleh karena itu pada tahap pembuatannya sebagai basis gel seringkali ditambahkan dengan NaOH atau golongan amin untuk menyesuaikan pH sediaan mendekati pH kulit. Titik leleh dari karbopol cukup tinggi, tetapi dapat terdekomposisi pada suhu 260 °C selama 30 menit (Rowe et al, 2009).

Karbopol merupakan senyawa yang stabil, bersifat higroskopis yang memungkinkan untuk dipanaskan dibawah suhu 104 °C sampai 2 jam tanpa mempengaruhi efisiensinya. Akan tetapi, paparan temperatur yang sangat tinggi dapat menyebabkan perubahan warna dan penurunan stabilitas. Bentuk serbuk kering dari karbopol tidak mendukung pertumbuhan dari mikroba dan fungi. Sebaliknya mikroorganisme dapat tumbuh dengan baik dalam dispersi dalam air tanpa pengawet, namun pengawet antimikroba seperti 0,1% b/v klorokresol, 0,18% b/v metilparaben 0,02 % b/v propil paraben atau 0,1% b/v timerosal dapat ditambahkan (Rowe et al, 2009).

Pada suhu ruang, dispersi karbopol dapat terjaga viskositasnya selama penyimpanan dalam periode yang lama. Demikian pula, viskositas filtrat terjaga atau hanya sedikit terjadi penurunan pada suhu penyimpanan tinggi jika terdapat antioksidan di dalamnya atau jika filtrat tersebut terlindung dari cahaya. Paparan sinar menyebabkan oksidasi yang memungkinkan terjadinya penurunan viskositas disperse. Serbuk karbopol harus disimpan dalam wadah kedap udara, wadah resistensi korosi, di tempat kering. Penggunaan dari gelas, plastik, atau wadah resin direkomendasikan untuk menyimpan formula dengan kandungan karbopol. Karbopol berubah warna oleh resorsinol dan inkompatibel dengan fenol, polimer-polimer kationik, asam kuat, dan elektrolit level tinggi (Rowe et al, 2009).


(48)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.9.9. Vaselin Album

Nama lain vaselin album adalah white petrolatum, white soft paraffin. Vaselin album berwarna putih sampai kuning pucat, transparan, massa lembut; tidak berbau dan tidak berasa. Fungsi vaselin album adalah sebagai emolien, dan basis salep. Kelarutan praktis tidak larut dalam aseton, etanol (95%) panas atau dingin, gliserin, dan air, larut dalam benzene, karbon disulfida, kloroform, eter, heksan dan minyak lemak dan menguap. Pada paparan sinar, kemurnian dari vaselin album mungkin berubah warna dan teroksidasi serta menghasilkan bau yang tidak diinginkan. Oksidasi mungkin dapat dicegah dengan penambahan antioksidan yang cocok seperti BHT, BHA dan tokoferol. Vaselin mungkin disterilisasi dengan pemanasan kering. Meskipun dapat disterilisasi dengan iradiasi gamma, tetapi proses tersebut dapat mempengaruhi sifat fisik dari vaselin album seperti mengembang, berubah warna, bau dan perilaku reologi. Vaselin harus disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya ditempat sejuk dan kering. Vaselin album merupakan material inert dengan sedikit inkompatibilitas (Rowe et al, 2009).

2.9.10. Cera Alba

Nama lain cera alba adalah white wax, bleached wax. Cera alba merupakan lilin putih yang hampir tidak berasa, putih atau sedikit kekuningan, lembaran atau granul halus dengan sedikit transparan; bau seperti lilin kuning tetapi kurang kuat. Cera alba memiliki titik leleh pada suhu 61-65 ºC. Cera alba larut dalam kloroform, eter, fixed oil, minyak lemak, minyak menguap dan karbon disulfida hangat, sedikit larut dalam etanol 95% dan praktis tidak larut dalam air (Rowe et al, 2009).

Dalam sediaan farmasi, cera alba berfungsi sebagai controlled-release agent, stabilizing agent dan stiffening agent. Cera alba stabil ketika disimpan dalam wadah tertutup baik dan terlindung dari cahaya. Cera alba inkompatibel dengan oksidator (Rowe et al, 2009).


(49)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.9.11. Paraffin Cair (Minyak Mineral)

Nama lain paraffin cair di antaranya liquid petrolatum, paraffin oil, white mineral oil, dan lain-lain. Paraffin cair transparan, tidak berwarna, cairan berminyak yang kental, tanpa fluoresensi pada cahaya. Praktis tidak berasa dan tidak berbau ketika dingin, dan berbau minyak ketika dipanaskan. Paraffin cair praktis tidak larut dalam etanol (95%), gliserin, dan air; larut dalam aseton, benzen, kloroform, karbon disulfida, eter dan petrolatum eter. Bercampur dengan minyak volatil dan fixed oils, kecuali dengan castor oil (Rowe et al, 2009).

Dalam sediaan topikal, paraffin cair digunakan sebagai emolien pada sediaan emulsi (1-32%), lotions (1-20%), dan salep (0,1-95%). Paraffin cair akan teroksidasi bila terkena panas dan cahaya. Untuk menghambat oksidasi, dapat ditambahkan stabilizer / antioksidan seperti

butylated hydroxyanisole, butylated hydroxytoluene, dan alpha tocopherol. Paraffin cair ini harus disimpan dalam wadah kedap udara, terlindung dari cahaya, di tempat sejuk dan kering. Inkompatibel dengan oksidator kuat (Rowe et. al., 2009).

2.9.12. Lanolin Anhidrat

Nama lain lanolin anhidrat di antaranya adeps lanae, cera lanae,

refined wool fat, dan lain-lain. Lanolin anhidat berwarna kuning pucat, lengket berupa bahan seperti lemak, bau khas. Lanolin anhidrat mudah larut dalam benzene, kloroform, eter, dan petroleum spirit; sedikit larut dalam etanol (95%) dingin, lebih larut dalam etanol (95%) panas; praktis tidak larut dalam air (Rowe et. al., 2009).

Lanolin anhidrat berfungsi sebagai emulsifying agent dan basis salep. Secara bertahap mengalami autoksidasi selama penyimpanan. Untuk menghambat hal ini, ditambahkan butylated hydroxytoluene

sebagai antioksidan. Lanolin anhidrat harus disimpan dalam wadah yang tertutup baik, terlindung dari cahaya, di tempat yang sejuk dan kering. Lama penyimpanan normal adalah selama 2 tahun (Rowe et. al., 2009).


(50)

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian I, Laboratorium Penelitian II, Laboratorium Kimia Obat, Laboratorium Analisis Obat dan Pangan Halal dan Laboratorium Biologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan Oktober 2014 hingga September 2015.

3.2. Alat dan Bahan yang Digunakan 3.2.1. Alat

Alat-alat yang akan digunakan antara lain lumpang, alu, peralatan gelas,

hot plate (Cimarec, USA), termometer, kertas saring, timbangan analitik (GH 202, OGS, Japan), Gas Chromatography – Mass Spectroscopy

(5975 Inert MSD, The Agilent Technologies, USA), batang pengaduk, spatula, blender, vacuum rotary evaporator (Eyela N-1000, Japan),

digital water bath (SB-100 Eyela, Japan), kapas, alumunium foil, oven (Eyela NDO-500, Japan), desikator, mikropipet (Rainin, USA), kertas saring, lemari pendingin (Sanyo Medicool, Japan), pipa kapiler, plastic wrap, cawan penguap, sudip, kertas perkamen, botol maserasi, botol timbang, apparatus melting point (Stuart), statif, plat silika gel F254 (Merck Millipore, Germany)

3.2.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain rimpang kencur (Kaempferia galanga Linn), propilenglikol (Bratachem, Jakarta), karbopol 940 (Sahdong Bio-Technology), metil paraben (Bratachem, Jakarta), propil paraben (Bratachem, Jakarta), setil alkohol, asam stearat, isopropil miristat, trietanolamin, adeps lanae, vaselin album, cera alba, vitamin E, minyak zaitun, serta pelarut dan bahan pembantu lain :


(51)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta aquades, n-heksana (teknis), etil asetat, metanol (teknis), metanol pro analisis, n-heksana pro analisis, dan etanol 96% (Bratachem, Jakarta).

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Isolasi EPMS dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn)

Sebanyak 20 kg rimpang kencur dibersihkan, kemudian dirajang sekitar 2-3 mm. Setelah itu kencur dijemur selama 3-4 hari tanpa kena sinar matahari. Setelah kencur yang dijemur berwarna coklat muda lalu dihaluskan menggunakan blender.

Serbuk simplisia rimpang kencur sebanyak total 3,6 kg gram dimaserasi dengan berat 500 gram untuk setiap botolnya dengan menggunakan pelarut n-heksana yang telah didestilasi sebanyak 1 L sampai serbuk simplisia terendam seluruhnya dan terdapat lapisan pelarut setebal 3 cm di atas serbuk simplisia dengan waktu perendaman 3 hari sambil sesekali dilakukan pengocokan. Setelah 3 hari disaring menggunakan kapas dan kertas saring sehingga diperoleh ampas dan filtrat. Ampas dilakukan maserasi ulang sebanyak 3-4 kali hingga hasil maserasi menunjukkan warna jernih. Seluruh filtrat hasil maserasi dipekatkan dengan vacuum rotary evaporator pada suhu 48-50 °C.

Ekstrak kental yang didapatkan kemudian didiamkan hingga terbentuk kristal dan dilakukan proses rekristalisasi menggunakan pelarut

n-heksana dan metanol. Proses rekristalisasi dilakukan dengan cara kristal yang telah tebentuk dipisahkan dengan ekstrak kental dengan cara dilarutkan menggunakan n-heksana dan dialkukan penyaringan. Hasil penyaringan dipekatkan dengan vacuum rotary evaporator, proses pemisahan kristal dilakukan berulang hingga ekstrak kental yang diperoleh tidak mengkristal lagi. Kristal yang tertinggal di atas kertang saring kemudian dicuci menggunakan n-heksana dan sedikit metanol. Kristal yang tidak ikut terlarut selama proses pencucian disaring untuk dipisahkan dengan kristal yang terlarut. Kristal yang terlarut dipekatkan dengan


(52)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta didapatkan murni (Mufidah, 2014 dengan modifikasi). Rendemen hasil kristal yang didapat dihitung dengan rumus:

3.3.2. Pemeriksaan Kristal EPMS 3.3.2.1. Pemeriksaan Organoleptis

Pemeriksaan secara fisik menggunakan panca indera yang meliputi pemeriksaan bentuk, warna, bau, dan rasa (Depkes RI, 2000).

3.3.2.2. Uji Komatografi Lapis Tipis

Pengujian KLT kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi dilakukan dengan menggunakan plat silika gel F254 dengan eluen n-heksana dan etil asetat dengan perbandingan 3:2. Spot yang didapatkan kemudian dihitung nilai Rfnya dan dibandingkan dengan standar etil p -metoksisinamat. Tujuan dilakukannya pengujian KLT ini adalah untuk melihat kemurnian kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi (Mufidah, 2014 telah dimodifikasi).

3.3.2.3. Uji Titik Leleh

Kristal yang didapat diidentifikasi titik lelehnya menggunakan alat uji titik leleh. Pengukuran titik leleh dilakukan dengan cara memasukkan sedikit kristal ke dalam pipa kapiler lalu diletakkan di dalam wadah sampel pada alat dan diamati suhu pada saat kristal mulai meleleh hingga kristal meleleh sempurna (Rohmah, Jamilatur, dkk., 2009).

3.3.3. Pemeriksaan EPMS menggunakan GC-MS 3.3.3.1. Pembuatan Larutan Sampel

Kristal EPMS dibuat larutan induk konsentrasi 5000 ppm. 50 mg kristal EPMS dilarutkan dalam 10 mL metanol pro analisis. Kemudian dilakukan pengenceran menjadi konsentrasi 1000 ppm dengan cara memipet 1000 µL larutan induk ke dalam labu ukur 5 mL dan


(53)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ditambahkan dengan metanol pro analisis hingga garis batas 5 mL pada labu ukur.

3.3.3.2. Analisis menggunakan GC-MS

Sampel yang telah disiapkan disuntikkan ke dalam alat GCMS sebanyak 1 µL. Kolom yang digunakan adalah HP-5MS (30 m x 0,25mm ID x 0,25 µm); suhu awal 70 °C selama 2 menit, dinaikkan ke suhu 285 °C. Suhu MSD 285 °C. Kecepatan aliran 1,2 mL/min dengan split 1:100. Parameter scanning dilakukan dari massa paling rendah yakni 35 sampai paling tinggi 550. Waktu retensi 32,07 menit (Umar et al, 2012).

3.3.4. Pembuatan Sediaan Salep, Krim, dan Gel 3.3.4.1. Sediaan Salep

Tabel 3.1. Rancangan Formula Sediaan Salep

Bahan Konsentrasi (%)

Kristal EPMS Setara dengan EPMS 1

Vaselin Album 20

Cera Alba 5

Propilenglikol 15

Etanol 96% 5

Lanolin Hidrat ad 100

Vaselin album, cera alba dan lanolin dilebur bersama pada suhu 70 °C. Setelah basis salep melebur sempurna, ditambahkan propilenglikol kemudian pindahkan ke dalam lumpang dan digerus hingga homogen. Setelah basis salep terbentuk dan dingin ditambahkan kristal etil p-metoksisinamat yang telah dilarutkan dengan etanol 96% ke dalam lumpang berisi basis salep sedikit demi sedikit sambil digerus hingga homogen.


(54)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3.4.2. Sediaan Krim

Tabel 3.2. Rancangan Formula Sediaan Krim

Bahan Konsentrasi (%)

Kristal EPMS Setara dengan EPMS 1

Asam stearat 5

Ispopil miristat 3

Minyak Zaitun 2

Setil alkohol 3

Trietanolamin 0,2

Propilenglikol 15

Metil paraben 0,2

Propil paraben 0,1

Etanol 96% 5

Vitamin E 0,1

Aquades ad 100

Asam stearat, isopropil miristat, setil alkohol, dan minyak zaitun dilebur menjadi satu dalam cawan I pada suhu 70 °C (fase minyak). Metil paraben, propil paraben, propilenglikol, trietanolamin, dan aquades dilebur bersama pada suhu 70 °C dalam cawan penguap II sebagai (Fase air). Kedua fase tersebut dicampur menjadi satu dalam lumpang panas bersuhu 70 °C, kemudian digerus terus menerus hingga terbentuk masa krim. Setelah masa krim terbentuk dan suhunya telah menurun, ditambahan vitamin E ke dalamnya. Kristal EPMS yang telah dilarutkan dengan etanol 96% ditambahkan ke dalamnya sedikit demi sedikit kemudian digerus hingga homogen.


(55)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3.4.3. Sediaan Gel

Tabel 3.3. Rancangan Formula Sediaan Gel

Bahan Konsentrasi

Kristal EPMS Setara dengan EPMS 1

Karbopol 940 1

Propilenglikol 15

Propil Paraben 0,1

Metil Paraben 0,2

Natrium metabisulfit 0,05

TEA 1

Etanol 96% 5

Aquades ad 100

Karbopol 940 didispersikan dalam air dingin kemudian diaduk sampai homogen, setelah itu ditambahkan air panas secukupnya diaduk hingga homogen, kemudian didiamkan beberapa saat setelah itu ditambahkan TEA dan diaduk perlahan hingga homogen. Tambahkan natrium metabisulfit, propil paraben, dan metil paraben yang sebelumnya telah dilarutkan dengan air secukupnya, dan propilenglikol sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga homogen. Setelah itu, tambahkan kristal EPMS yang sebelumnya telah dilarutkan dengan etanol 96% sedikit demi sedikit hingga homogen.

3.3.5. Uji Stabilitas Kimia Sediaan Topikal

Uji stabilitas dilakukan dengan menggunakan uji stabilitas dipercepat. Menurut guidelines ICH dan WHO, sediaan disimpan pada suhu 40 °C ± 2 °C selama 3 bulan. Frekuensi pengujian dilakukan pada bulan ke 0, 1, 2, dan 3 (Malik et al, 2011; Dept. of Health and Human Services, 2003).


(56)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3.6. Analisis Etil p-Metoksisinamat dalam Sediaan Krim, Gel, dan Salep Menggunakan GC-MS

3.3.6.1. Penyiapan Sampel

a. Salep

Sebanyak 1 g sediaan salep dilarutkan dalam 10 mL metanol pro analisis. Kemudian salep yang telah dilarutkan dipindahkan ke dalam vial khusus untuk kemudian disuntikkan ke dalam alat kromatografi gas spektroskopi massa. Pengerjaan dilakukan triplo.

b. Krim

Sebanyak 1 g sediaan krim dilarutkan dengan 10 mL metanol pro analisis. Kemudian krim yang telah dilarutkan disaring menggunakan kertas saring hingga hasil saringan yang didapatkan menjadi jernih. Pengerjaan dilakukan triplo.

c. Gel

Sebanyak 1 g sediaan gel dilarutkan dengan 10 mL n-heksana pro analisis. Kemudian salep yang telah dilarutkan dipindahkan ke dalam vial khusus untuk kemudian disuntikkan ke dalam alat kromatografi gas spektroskopi massa. Pengerjaan dilakukan triplo.

3.3.6.2. Analisis Etil p-Metoksisinamat

Sampel dianalisis menggunakan instrumen alat Gas

Chromatography – Mass Spectroscopy. Kolom yang digunakan adalah HP-5MS (30 m x 0,25mm ID x 0,25 µm); suhu awal 70 °C selama 2 menit, dinaikkan ke suhu 285 °C. Suhu MSD 285 °C. Kecepatan aliran 1,2 mL/min dengan split 1:100. Parameter scanning dilakukan dari massa paling rendah yakni 35 sampai paling tinggi 550, dengan waktu retensi 32,07 menit (Umar et al, 2012). Sampel yang disuntikkan ke dalam alat sebanyak 1µL. Dari kromatogram sampel diperoleh data senyawa yang muncul pada waktu retensi tertentu.


(57)

4.1. Ekstraksi Rimpang Kencur dan Isolasi EPMS dari Rimpang Kencur

Pada penelitian ini digunakan sebanyak 20 kg rimpang kencur segar (Kaempferia galanga Linn). Setelah melalui proses penyiapan simplisia yang meliputi sortasi basah dilakukan untuk memisahkan rimpang kencur dari rumput, batang, dan daun, pencucian rimpang kencur untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya, perajangan rimpang kencur untuk mempermudah proses pengeringan rimpang kencur, pengeringan rimpang kencur selama 3-4 hari, kemudian rimpang kencur yang telah kering dihaluskan menggunakan blender dan dihasilkan serbuk simplisia sebanyak 4,2 kg. Serbuk simplisia yang dihasilkan berwarna kuning kecoklatan. Gambar serbuk simplisia dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Serbuk simplisia rimpang kencur

Sebanyak 3,6 kg serbuk simplisia diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi menggunakan pelarut n-heksana yang sebelumnya telah didestilasi. Penggunaan pelarut n-heksana sebagai pelarut ekstraksi karena kepolaran etil p-metoksisinamat lebih mendekati n-heksana karena dalam etil p-metoksisinamat terdapat dua gugus yang mendukung sifat non-polar yaitu gugus eter dan lingkar benzen, sedangkan gugus yang mendukung ke arah polar hanya satu yaitu adanya karbonil dalam gugus eter


(58)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Taufikurohmah, Rusmini, dan Nurhayati; 2008). Hasil maserasi yang didapat disaring dan dipekatkan menggunakan vacuum rotary evaporator

dan didapatkan ekstrak kental sebanyak 106,53 gram. Skema proses ekstraksi dapat dilihat pada Lampiran 1. Ekstrak kental yang didapat akan mengkristal pada suhu ruang. Menurut penelitian Umar et al (2012), hampir 80% dari ekstak kental yang didapatkan akan mengkristal saat didiamkan pada suhu ruang.

Tahap selanjutnya dilakukan proses rekristalisasi menggunakan n -heksana dan sedikit metanol. Kristal yang didapatkan berwarna kekuningan sebanyak 40 gram. Hasil rendemen kristal yang didapatkan sebesar 1,14%. Kemudian dilakukan pengecekan kemurnian kristal menggunakan KLT dengan eluen n-heksana : etil asetat dengan perbandingan 3 : 2. Hasil KLT dapat dilihat pada gambar 4.1. Dan didapatkan nilai Rf=0,8. Berdasarkan nilai Rf kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi dan kristal etil p -metoksisinamat standar menunjukkan nilai yang sama dan hanya terdapat satu spot, sehingga kristal etil p-metoksisinamat hasil isolat dapat dikatakan murni. Perhitungan rendemen dan Rf dapat dilihat pada lampiran.

Gambar 4.2 KLT Isolat Kencur dengan Eluen n-heksana:Etil Asetat (3:2) (visualisasi dengan UV 254) (1) Kristal etil p-metoksisinamat standar, (2)

Kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi 1

4 cm 5 cm


(59)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.2. Pemeriksaan Kristal EPMS 4.2.1. Pemeriksaan Organoleptis

Warna : Kuning pucat

Bentuk : Kristal jarum

Bau : Aromatik khas lemah

Gambar 4.3 Kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi

Pemeriksaan organoleptis kristal eti p-metoksisinamat hasil isolasi bertujuan untuk melihat identitas kristal etil p-metoksisinamat. Kristal yang terbentuk berbentuk menyerupai jarum-jarum tipis berwarna kuning pucat dengan bau aromatik khas lemah. Warna kuning pucat yang dihasilkan kristal berasal dari warna simplisia rimpang kencur yang juga kuning kecoklatan.

4.2.2. Pengukuran Titik Leleh

Pengukuran titik leleh kristal etil p-metoksisinamat dilakukan dengan menggunakan alat apparatus melting point. Didapatkan rentang titik leleh kristal etil p-metoksisinamat 49° - 50° C. Rentang titik leleh yang didapatkan sesuai dengan penelitian umar (2014) yang menyebutkan bahwa titik leleh kristal etil p-metoksisinamat adalah 49° C. Titik leleh kristal etil p-metoksisinamat hasil isolasi sesuai dengan literatur yang menunjukkan bahwa kristal etil p-metoksisinamat yang didapatkan sudah murni.


(1)

65

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 9. Nilai Luas Puncak dan Persentase Kadar Senyawa dalam Sediaan


(2)

(3)

67

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 10. Nilai Luas Puncak dan Persentase Kadar Senyawa dalam Sediaan


(4)

(5)

69

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 11. Nilai Luas Puncak dan Persentase Kadar Senyawa dalam Sediaan


(6)

Dokumen yang terkait

Isolasi dan Uji Aktivitas Antiinflamasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.)

5 62 86

Perbandingan Sifat Fisik Sediaan Krim, Gel, dan Salep yang Mengandung Etil p-Metoksisinamat dari Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn.)

7 83 104

Amidasi Senyawa Etil p-metoksisinamat yang Diisolasi dari Kencur (Kaempferia galanga L.) dan Uji Aktivitas Antiinflamasi Secara In-Vitro

1 18 82

Modifikasi Struktur Senyawa Etil p-Metoksisinamat yang Diisolasi dari Kencur (Kaempferia galanga L.) dengan Metode Reaksi Reduksi dan Uji Aktivitas Antiinflamasinya secara In Vitro

1 16 70

Evaluasi Daya Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) pada Sediaan Salep, Krim, dan Gel

18 117 119

Uji Aktivitas Gel Etil p-metoksisinamat terhadap Penyembuhan Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

6 24 104

Modifikasi Struktur Senyawa Etil p-metoksisinamat yang Diisolasi dari Kencur (Kaempferia galanga Linn.) Melalui Transformasi Gugus Fungsi Serta Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi

1 18 111

Penggunaan Etil-p-Metoksisinamat dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) sebagai anti Ketombe dalam Sampo Krim Cair.

0 2 7

EFEK SENYAWA P-METOKSI SINAMAT ETIL ESTER KENCUR (KAEMPFERIA GALANGA LINN) SEBAGAI ANTIINFLAMASI.

0 0 10

Pengaruh Suhu Pada Pembuatan Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia Galanga Linn) Terhadap Kadar Etil -p- Metoksisinamat Yang Diterapkan Secara Spektrofotodensitometri - Ubaya Repository

0 0 1