Evaluasi Daya Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) pada Sediaan Salep, Krim, dan Gel

(1)

EVALUASI DAYA PENETRASI ETIL

P-METOKSISINAMAT HASIL ISOLASI DARI

RIMPANG KENCUR (KAEMPFERIA GALANGA

L.)

PADA SEDIAAN SALEP, KRIM, DAN GEL

SKRIPSI

CHARINNA AGUS PRABAWATI

1111102000057

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

OKTOBER 2015


(2)

EVALUASI DAYA PENETRASI ETIL

P-METOKSISINAMAT HASIL ISOLASI DARI

RIMPANG KENCUR (KAEMPFERIA GALANGA

L.)

PADA SEDIAAN SALEP, KRIM, DAN GEL

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

CHARINNA AGUS PRABAWATI

1111102000057

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI


(3)

iii

Skripsi ini adalah benar hasil karya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan benar.

Nama : Charinna Agus Prabawati

NIM : 1111102000057

Tanda Tangan :


(4)

Nama : Charinna Agus Prabawati

NIM : 1111112000057

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Evaluasi Daya Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi dari Rimpang Kencur (Kaempferia Galanga L.) pada Sediaan Salep, Krim, dan Gel

Disetujui oleh

Pembimbing I

Yuni Anggraeni, M. Farm., Apt. NIP. 198310282009012008

Pembimbing II

Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. NIP. 197806302006042001

Mengetahui,

Kepala Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

UIN Syarif Hidayatullah jakarta

Yardi, Ph.D., Apt. 197411232008011014


(5)

v Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : Charinna Agus Prabawati

NIM : 1111102000057

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Evaluasi Daya Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi dari Rimpang Kencur (Kaempferia Galanga L.) pada Sediaan Salep, Krim, dan Gel

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

DEWAN PENGUJI

Pembimbing 1 : Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. ( )

Pembimbing 2 : Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. ( )

Penguji 1 : Lina Elfita, M.Si., Apt. ( )

Penguji 2 : Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt. ( )

Ditetapkan di : Ciputat


(6)

Nama : Charinna Agus Prabawati Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Evaluasi Daya Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) pada Sediaan Salep, Krim, dan Gel

Etil p-metoksisinamat (EPMS) merupakan senyawa isolat terbesar dari ekstrak minyak atsiri kencur (Kaempferia galanga L.) yang memiliki aktivitas antiinflamasi. Pada penelitian ini EPMS diformulasikan ke dalam tiga bentuk sediaan setengah padat untuk tujuan terapi lokal antiinflamasi. Efek optimal dari sediaan yang telah dibuat dapat dinilai dari daya penetrasi obat melalui kulit teratas melalui uji penetrasi secara in vitro. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat profil pelepasan EPMS dari pembawanya, mempelajari pengaruh perbedaan formulasi sediaan tehadap kecepatan penetrasi EPMS melalui membran difusi, dan menentukan sediaan dengan daya penetrasi EPMS tertinggi. EPMS diisolasi dari ekstrak n-heksan kencur melalui tahap pemisahan kristal dan pencucian kristal. Kemurnian isolat kristal EPMS di uji dengan metode KLT, titik leleh dan Kromatografi Gas Spetrofotomeri Massa (GC-MS). Kristal EPMS hasil isolasi kemudian diformulasikan ke dalam sediaan salep, krim dan gel dengan kadar 1% pada masing-masing sediaan. Kadar EPMS dalam sediaan ditetapkan dengan metode Spektrofotometri UV-Vis. Pengujian penetrasi in vitro dilakukan dengan alat sel difusi franz menggunakan membran difusi berupa kulit tikus galur

Sprague Dawley. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kristal isolat dari kencur adalah murni EPMS 100%. Kadar EPMS dalam sediaan salep, krim, dan gel berturut-turut yaitu 0,86%, 1,03% dan 1,00%. Persentase jumlah kumulatif EPMS yang terpenetrasi per luas area pada jam ke-6 dari sediaan salep, krim dan gel berturut-turut yaitu 49,71 ± 3,85%, 77,29 ± 3,01%, dan 89,98 ± 4,82%. Kecepatan penetrasi EPMS pada jam ke-6 dari sediaan salep, krim, dan gel berturut-turut yaitu 45,22 ± 3,50 µgcm-2jam-1, 84,39 ± 3,29 µgcm-2jam-1dan 98,24 ± 5,26 µgcm-2jam-1. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sediaan gel memiliki daya penetrasi tertinggi diikuti sediaan krim dan salep.

Kata kunci : EPMS, kencur (Kaempferia galanga L.), krim, gel, salep, penetrasi, sel difusi franz


(7)

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Name : Charinna Agus Prabawati

Study Program : Pharmacy

Title : Penetration Ability Evaluation of Ethyl p-Methoxycinnamate that Isolated from Kencur Rhizome (Kaempferia galanga L.) in The Ointment, Cream and Gel Dosage Forms

Ethyl p-methoxycinnamate (EPMC) is the main isolate compound from essensial oil of kencur (Kaempferia galangaL.) extract that has anti-inflammatory activity. In this study, EPMC was formulated in the three kinds of semi solid dosage forms with the purpose of local therapy. The optimum effect of semi solid dosage forms that had been made can assessed from penetration ability of the drugs through top skin layer by in vitro penetration test. This research aims to see the releasing profile of EPMC from its carriers, studied influence of different formulation toward flux penetration of EPMC through diffusion membrane, and deciding the kind of dosage form that has the highest penetration ability of EPMC. EPMC was isolated from n-hexane extract of kencur rhizome through separation of crystals and crystal purification stages. The purity of isolate EPMC crystals was examined by TLC, melting point and Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC-MS) method. The isolate EPMC crystals was prepared in ointment, cream and gel dosage forms with 1% concentration of EPMC respectively. EPMC concentration in all of the dosage forms was determined by spectrophotometry UV-Vis method. Penetration ability test was examined by in vitro franz diffusion cell test uses rats

Sprague Dawley strain skin as membrane diffusion. The results of this research shown that the isolate crystals of kencur is pure 100% EPMC. The percentage concentration of EPMC in ointment, cream and gel were 0,86%, 1,03% and 1,00% respectively. The percentage total cumulative penetration of EPMC from ointment, cream and gel preparation at 6th hour were 49,71 ± 3,85%, 77,29 ± 3,01%, and 89,98 ± 4,82% respectively. Flux penetration of EPMC from ointment, cream and gel preparation at 6th hour were 45,22 ± 3,50 µgcm-2jam-1, 84,39 ± 3,29 µgcm-2jam-1 and 98,24 ± 5,26 µgcm-2jam-1 respectively. Based on the result, it can be concluded that penetration ability of gel dosage form is higher than ointment and cream.

Keywords : EPMC, kencur (Kaempferia galanga L.), cream, gel, ointment, penetration, franz diffusion cell


(8)

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Daya Penetrasi Etil p-Metoksisinamat Hasil Isolasi dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) pada Sediaan Salep, Krim, dan Gel”. Shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada junjungan, Nabi Muhammad SAW, teladan bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan.

Skripsi ini ditulis untuk memenuhi tugas akhir guna mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada penulisan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari bimbingan, arahan, bantuan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segenap kerendahan dan kesungguhan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Arif Sumantri S.K.M., M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Yardi, Ph.D., Apt., selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. Sebagai Pembimbing I dan Ibu Ismiarni Komala, Ph.D., Apt sebagai Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, ilmu, nasihat serta dedikasinya selama masa penelitian hingga penulisan skripsi.

4. Bapak Surya, Bapak Mono, dan Bapak Endang dari PT. Iratco yang telah membantu dalam memperoleh bahan penelitian.

5. Seluruh dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan.

6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Agus Sutaji dan Ibunda Lusia Suratini yang senantiasa memberikan cinta dan kasih sayang, doa yang tidak pernah


(9)

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pernah terputus serta dukungan moral untuk penulis.

8. Seluruh anggota keluarga, Tante Herma, Om Eko, Nenek dan Kakek, Bayu, Luthfi, Shofi yang senantiasa memberi kasih sayang, nasihat, hiburan serta dukungan baik moral maupun materi untuk penulis.

9. Segenap laboran FKIK yang telah banyak membantu penulis melakukan penelitian di laboratorium.

10. Happy, Beryl, Arum dan Kak Mentari yang selalu ada dan tak henti memberikan semangat serta saran kepada penulis selama masa penelitian. 11. Teman-teman seperjuangan “Geng Unyils” (Diyah dan Robbani) atas

kebersamaan, bantuan, dan saran yang telah diberikan kepada penulis.

12. Rekan-rekan Mahasiswai S1 Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2011, yang telah menjadi bagian penting hidup penulis selama menjalankan perkuliahan.

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah membantu dengan ikhlas baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penelitian dan penulisan skripsi.

Semoga semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT.Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Akhir kata, penulis berharap semoga ilmu dan pengetahuan yang penulis tuangkan dalam skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi rekan sejawat dan semua pihak yang membutuhkan, serta menjadi keberkahan tersendiri bagi penulis.

Jakarta, Oktober 2015


(10)

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Charinna Agus Prabawati

NIM : 1111102000057

Program Studi : Strata-1 Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul :

EVALUASI DAYA PENETRASI ETILP-METOKSISINAMAT HASIL

ISOLASI RIMPANG KENCUR (KAEMPFERIA GALANGAL.) DARI

SEDIAAN SALEP, KRIM DAN GEL

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain, yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian persetujuan publikasi skripsi/karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Ciputat Pada tanggal: 16 Oktober 2015

Yang menyatakan,


(11)

xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENYATAAN ORISINILITAS... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ...v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ...xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...4

2.1 Kencur ... 4

2.1.1 Taksonomi Tumbuhan ... 4

2.1.2 Habitat Tumbuh ... 5

2.1.3 Morfologi Tanaman ... 5

2.1.4 Kandungan Kimia dan Kegunaan ... 6

2.2 Senyawa Etilp-Metoksisinamat dan Aktivitasnya ... 7

2.3 Kulit ... 8

2.3.1 Anatomi Kulit ... 8

2.3.2 Fisiologi dan Fungsi Kulit ... 11


(12)

2.7 Sediaan Gel ... 21

2.8 Formulasi Sediaan Setengah Padat ... 24

2.8.1 Lanolin Hidrat ... 24

2.8.2 Setil Alkohol ... 25

2.8.3 Vaselin Album ... 25

2.8.4 Asam Stearat ... 26

2.8.5 Isopropil Miristat ... 26

2.8.6 Minyak Zaitun ... 26

2.8.7 Vitamin E ... 27

2.8.8 Karbopol 940 ... 27

2.8.9 Natrium Metabisulfit ... 28

2.8.10 Metil Paraben dan Propil Paraben ... 29

2.8.11 Trietanolamin ... 30

2.8.12 Propilen Glikol ... 30

2.8.13 Alkohol 96 % ... 31

2.9 Ekstrak dan Ekstraksi ... 32

2.9.1 Maserasi ... 33

2.8.7 Vaccum Rotary Evaporator ... 33

2.10 Uji Penetrasi Sediaan SecaraIn VitroMenggunakan Sel Difusi Franz ... 34

2.11 Spektrofotometri UV-Vis ... 35

2.12 Kromatografi Lapis Tipis ... 36

2.13 Kromatografi Gas Spektrofotometri Massa (GC-MS) ... 38

BAB 3 METODE PENELITIAN ...40

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 40

3.2 Alat dan Bahan ... 40

3.2.1 Alat ... 40

3.2.2 Bahan ... 40


(13)

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3.1.3 Ekstraksi ... 42

3.3.1.4 Isolasi Kristal Etilp-Metoksisinamat dari ekstrak Kencur ... 42

3.4 Identifikasi dan Uji Kemurnian Kristal Etilp-Metoksisinamat ... 42

3.4.1 Pemeriksaan Organoleptis ... 42

3.4.2 Pengujian Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 43

3.4.3 Pengujian Titik Leleh ... 43

3.4.4 Pengujian Kromatografi Gas Spektrometri Massa ... 43

3.5 Pembuatan Sediaan ... 43

3.5.1 Sediaan Salep ... 44

3.5.2 Sediaan Krim ... 44

3.5.3 Sediaan Gel ... 45

3.6 Penetapan Kadar Etilp-Metoksisinamat dalam Sediaan ... 46

3.6.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etilp-Metoksisinamat dalam Metanol ... 46

3.6.2 Pengukuran Kadar Etilp-Metoksisinamat dalam Sediaan 47 3.7 Uji Penetrasi Sediaan SecaraIn Vitro ... 47

3.7.1 Penyiapan Membran Difusi ... 47

3.7.2 Pembuatan Larutan EDP ... 48

3.7.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etilp-Metoksisinamat dalam Larutan EDP ... 48

3.7.4 Uji Penetrasi Sediaan ... 49

3.7.5 Perhitungan Jumlah Kumulatif dan Kecepatan Penetrasi Zat Aktif ... 49

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ...51

4.1 Isolasi kristal Etilp-Metoksisinamat ... 51

4.1.1 Pembuatan Ekstrak Kencur ... 51

4.1.2 Isolasi kristal Etilp-Metoksisinamat dari Ekstrak Kencur 52 4.2 Identifikasi dan Uji Kemurnian Kristal Etilp-Metoksisinamat ... 52

4.2.1 Pemeriksaan Organoleptis ... 53


(14)

4.3 Pembuatan Sediaan ... 56

4.3.1 Pembuatan Sediaan Salep ... 56

4.3.2 Pembuatan Sediaan Krim ... 57

4.3.3 Pembuatan Sediaan Gel ... 58

4.4 Penetapan Kadar Etilp-Metoksisinamat dalam Sediaan ... 58

4.4.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etilp-Metoksisinamat dalam Metanol ... 59

4.4.2 Pengukuran Kadar Etilp-Metoksisinamat dalam Sediaan 59 4.5 Uji Penetrasi Sediaan SecaraIn Vitro ... 60

4.5.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Etilp-Metoksisinamat dalam Larutan EDP ... 60

4.5.2 Penyiapan Membran Sel Difusi dari Kulit Tikus ... 60

4.5.3 Pengujian Penetrasi Etilp-Metoksisinamat ... 61

4.5.4 Jumlah Kumulatif Zat Aktif Terpenetrasi Per Luas Area . 63 4.5.5 Fluks Penetrasi ... 66

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...68

5.1 Kesimpulan ... 68

5.2 Saran ... 68


(15)

xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Halaman

Gambar 2.1 Rimpang Kencur (Kaempferia galangaL.) ... 4

Gambar 2.2 Struktur Etilp-Metoksisinamat ... 7

Gambar 2.3 Anatomi Kulit ... 9

Gambar 2.4 Rute Penetrasi Obat Melalui Kulit ... 15

Gambar 2.5 Kompartemen Sel Difusi Franz ... 34

Gambar 2.6 Skema Kromatografi Lapis Tipis ... 38

Gambar 4.1 Serbuk Simplisia Rimpang Kencur (Kaempferia galangaL.) ... 51

Gambar 4.2 Kristal Etilp-Metoksisinamat Hasil Isolasi ... 53

Gambar 4.3 Spot Senyawa Etilp-Metoksisinamat pada Plat Silica Gel F254nm Visualisasi Sinar UV λ 254 nm... 54

Gambar 4.4 Kromatogram Standar Etilp-Metoksisinamat ... 55

Gambar 4.5 Kromatogram Isolat Kristal Etilp-Metoksisinamat ... 56

Gambar 4.6 Sediaan Salep, Krim, dan Gel dengan Kandungan EPMS 1% ... 58

Gambar 4.7 Grafik Jumlah Kumulatif Etilp-Metoksisinamat yang Berdifusi Per Luas Area ... 63

Gambar 4.8 Grafik Fluks Penetrasi Etilp-Metoksisinamat yang Berdifusi Tiap Satuan Waktu ... 67


(16)

Halaman Tabel 3.1 Formula Sediaan Salep ... 44 Tabel 3.2 Formula Sediaan Krim Struktur Etilp-Metoksisinamat ... 44 Tabel 3.3 Formula Sediaan Gel ... 45 Tabel 4.1 Jumlah Kumulatif Difusi Etilp-Metoksisinamat Per Luas Area dari

Sediaan Salep, Krim dan Gel ... 63 Tabel 4.2 Persentase Kumulatif Difusi Etilp-Metoksisinamat Per Luas Area .. 64 Tabel 4.3 Fluks Penetrasi Etilp-Metoksisinamat Tiap Satuan Waktu ... 66


(17)

xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Halaman

Lampiran 1. Kerangka Penelitian ... 76

Lampiran 2. Bagan Alur Ekstraksi Rimpang Kencur ... 77

Lampiran 3. Bagan Alur Rekristalisasi dan Karakterisasi Kristal EPMS ... 78

Lampiran 4. Gambar Alat Penelitian ... 79

Lampiran 5. Gambar Uji Difusi ... 79

Lampiran 6. Perhitungan Rendemen Kristal... 80

Lampiran 7. Nilai Luas Puncak dan Persentase |Kadar Etil p-Metoksisinamat 80 Lampiran 8. Data Hasil Uji Titik Leleh ... 81

Lampiran 9. Scanning Panjang Gelombang Maksimum Etilp-Metoksisinamat dalam Metanol ... 81

Lampiran 10. Data Absorbansi Kurva Standar EPMS dalam Metanol ... 81

Lampiran 11. Kurva Standar Etilp-Metoksisinamat dalam Metanol ... 82

Lampiran 12. Data Hasil Penetapan Kadar EPMS dalam Sediaan ... 82

Lampiran 13. Scanning Panjang Gelombang Maksimum Etilp-metoksisinamat dalam Larutan EDP ... 83

Lampiran 14. Data Absorbansi Kurva Standar EPMS dalam Larutan EDP ... 83

Lampiran 15. Kurva Standar Etilp-Metoksisinamat dalam Larutan EDP ... 84

Lampiran 16. Data Hasil Uji Difusi Salep ... 84

Lampiran 17. Data Hasil Uji Difusi Krim ... 85

Lampiran 18. Data Hasil Uji Difusi Gel ... 85

Lampiran 19. Data Fluks Penetrasi Salep ... 86

Lampiran 20. Data Fluks Penetrasi Krim ... 87

Lampiran 21. Data Fluks Penetrasi Gel ... 87

Lampiran 22. Uji Statistik Anova Persentase EPMS Terpenetrasi Perluas Area 88 Lampiran 23. Uji Statistik Anova Fluks Penetrasi ... 92

Lampiran 24. Contoh Perhitungan Kadar EPMS dalam Sediaan Gel ... 96

Lampiran 25. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Zat Aktif Per Luas Area Sampel 1 Sediaan Salep Pada Menit ke 10 ... 98

Lampiran 26. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Zat Aktif Per Luas Area Sampel 1 Sediaan Salep Pada Menit ke 30 ... 99


(18)

(19)

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.1 Latar Belakang

Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan salah satu dari lima jenis tumbuhan yang dikembangkan sebagai tanaman obat asli Indonesia. Kencur merupakan tanaman obat yang bernilai ekonomis cukup tinggi sehingga banyak dibudidayakan. Banyaknya manfaat kencur memungkinkan pengembangan pembudidayaannya dilakukan secara intensif yang disesuaikan dengan produk akhir yang diinginkan (Rostianaet al., 2005).

Penelitian Hasanah dkk (2011) melaporkan bahwa ekstrak rimpang kencur ternyata memiliki aktivitas antiinflamasi. Dalam studi in vitro yang dilakukan oleh Umar et al., (2012) menyatakan bahwa efek antiinflamasi kencur terutama berasal dari komponen aktifnya yaitu etil p-metoksisinamat (EPMS). EPMS secara non-selektif menghambat aktivitas enzim COX-1 dan COX-2, dimana enzim ini berguna dalam pembentukan prostaglandin yang merupakan mediator inflamasi (Gosalet al., 2012).

Menurut penelitian terbaru yang dilakukan Umar et al., (2014). EPMS yang diisolasi dari kencur memiliki efek analgesik dan antiinflamasi yang signifikan melalui mekanisme utama penghambatan sintesis de novo cytokines pro-inflamatory, meliputi TNF-α dan IL-1. Efek ini juga melibatkan penghambatan fungsi vital sel endogen seperti proliferasi, migrasi dan sintesis dari vaskular endotel growth factor. Dengan demikian, EPMS dapat menjadi

precursor potensial untuk pengembangan agen terapi dengan potensi untuk mengobati penyakit yang melibatkan peradangan.

Berdasarkan hasil uji efektivitas antiinflamasi in vitro dengan metode uji inhibisi denaturasi Bovine Serum Albumin (BSA) yang dilakukan oleh Mufidah (2014) melaporkan bahwa EPMS memiliki aktivitas antiinflamasi dengan nilai IC50 34,9 ppm. Hal ini turut memvalidasi potensi EPMS sebagai precursor agen

terapi antiinflamasi sebagaimana dijelaskan pada penelitian Williamet al., (2008) bahwa suatu senyawa dianggap memiliki aktivitas antiinflamasi jika memberikan % inhibisi > 20% dengan rentang konsentrasi uji 50-0,035 ppm.


(20)

Banyaknya penelitian yang memperkuat bukti bahwa EPMS memiliki aktivitas antiinflamasi mendasari dilakukannya formulasi sediaan antiinflamasi dengan zat aktif EPMS hasil isolasi dari ekstrak kencur. Bentuk sediaan setengah padat dipilih karena dinilai memiliki efek samping yang lebih sedikit dan kemampuan melekat yang cukup baik dan tahan lama serta pengaplikasiannya yang mudah dibandingkan dengan sediaan topikal lainnya seperti, linimen, lotio dan bedak (Asmara dkk, 2012). Selain itu, pemilihan bentuk sediaan ini juga mengacu pada bentuk sediaan anti inflamasi topikal yang beredar di pasaran. Menurut ISO Indonesia Vol. 49 (2014-2015), sediaan topikal antiinflamasi terbanyak di pasaran yaitu bentuk sediaan krim dengan persentase sebesar 79%, sediaan gel 11%, sediaan salep hanya 2% dan 18% sisanya terdiri dari bentuk sediaan lainnya. Pemilihan bentuk salep, krim dan gel memiliki tujuan untuk terapi lokal inflamasi. Tujuan terapi lokal hanya membutuhkan penetrasi obat melalui kulit pada organ atau jaringan tertentu tubuh yang mengalami gangguan, dengan harapan hanya sedikit atau tidak ada obat yang terakumulasi di sistemik (Ranade et. al, 2004). Selain itu ketiga bentuk sediaan tersebut merupakan suatu alternatif untuk menghindari variabilitas ketersediaan hayati obat pada penggunaan peroral (Ramadon, 2012).

Salah satu cara untuk melihat efek yang optimal dari sediaan setengah padat adalah dengan melihat penetrasi obat melalui lapisan kulit teratas sehingga efek farmakologinya dapat dirasakan (Iswandana, 2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi penetrasi obat melalui kulit antara lain profil pelepasan obat dari pembawanya, afinitas zat aktif terhadap pembawa, kelarutan zat aktif dalam pembawa dan pH pembawa. Pada penelitian Iswandana (2011) yang mengacu pada artikel yang ditulis oleh Witt, K & Buck, D (2003) menyatakan bahwa penelitian daya penetrasi secara in vitro merupakan cara termudah dan hemat dalam mengkarakterisasi absorpsi dan penetrasi obat melalui kulit. Hal tersebut diperlukan untuk pengembangan formula sediaan setengah padat agar diperoleh formula yang terbaik.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka akan dilakukan evaluasi daya penetrasi EPMS dari sediaan salep, krim dan gel. Pengujian daya penetrasi


(21)

franz dengan tujuan untuk membandingkan daya penetrasi dari ketiga bentuk sediaan. Selanjutnya akan dihitung nilai persentase kumulatif dan kecepatan penetrasi EPMS dari sediaan, kemudian ditentukan sediaan yang paling baik sebagai pembawa EPMS berdasarkan parameter persentase kumulatif zat aktif terpenetrasi per luas area dan kecepatan penetrasi zat aktif melalui membran difusi.

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimanakah profil pelepasan etil p-metoksisinamat yang terkandung dalam sediaan salep, krim, dan gel?

b. Bagaimanakah pengaruh perbedaan formulasi sediaan salep, krim, dan gel terhadap kecepatan penetrasi etil p-metoksisinamat melalui membran difusi?

c. Sediaan setengah padat manakah yang memiliki daya penetrasi senyawa etilp-metoksisinamat tertinggi?

1.3 Tujuan Penelitian

a. Melihat profil pelepasan senyawa aktif etil p-metoksisinamat pada sediaan salep, krim dan gel.

b. Mempelajari pengaruh perbedaan formulasi sediaan salep, krim dan gel terhadap kecepatan penetrasi etil p-metoksisinamat melalui membran difusi.

c. Menentukan sediaan setengah padat yang memiliki daya penetrasi senyawa aktif etilp-metoksisinamat tertinggi.

1.4 Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. Meningkatkan nilai manfaat isolat rimpang kencur etil

p-metoksisinamat sebagai precursor agen terapi untuk mengobati penyakit yang melibatkan peradangan.

b. Meningkatkan efektivitas terapi lokal inflamasi senyawa aktif etil


(22)

2.1 Kencur

2.1.1 Taksonomi Tumbuhan (USDA)

Kedudukan kencur (Kaempferia galanga L.) dalam sistematika (Taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut :

Gambar 2.1Rimpang kencur (Kaempferia galangaL.)

[Sumber : koleksi pribadi]

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Traecheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Liliopsida (Berkeping satu/monokotil) Sub Kelas : Commenlinidae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae (Suku jahe-jahean)

Genus : Kaempferia


(23)

2.1.2 Habitat Tumbuh

Kencur merupakan terna kecil yang tumbuh subur di daerah dataran rendah atau pegunungan yang tanahnya gembur dan tidak terlalu banyak air. Kencur tumbuh dan berkembang pada musim tertentu, yaitu pada musim penghujan. Kencur dapat ditanam di dalam pot atau di kebun yang cukup sinar matahari, tidak terlalu basah dan di tempat terbuka (Depkes RI, 1987)

Kencur tumbuh dengan baik pada tanah yang gembur, sedikit berpasir dan subur. Namun kencur cukup toleran terhadap tanah yang tidak terlalu subur. Bahkan pada musim kemarau panjang, kencur masih dapat bertahan hidup, namun tampak seolah mati suri. Di musim kemarau, semua daunnya mengering, tetapi rimpang kencur masih dapat bertahan. Saat hujan atau disirami air, maka tunas akan tumbuh kembali (Muhlisah, 1999).

2.1.3 Morfologi Tanaman

Kencur (Kaempferia galanga L.) termasuk dalam tanaman jenis empon-empon yang mempunyai daging buah paling lunak, tidak berserat, berwarna putih, dan kulit luarnya berwarna coklat. Rimpang kencur mempunyai aroma yang spesifik (Anonim, 1987). Kencur merupakan terna yang hampir menutupi tanah, tidak berbatang, rimpang bercabang-cabang, berdesak-desakan, akar-akar berbentuk gelendong, kadang-kadang berumbi, panjang 1-1,5 cm. Daun berbentuk jorong lebar sampai hampir bundar, pangkal hampir berbentuk jantung, ujung lancip, bagian atas tidak berambut, bagian bawah berambut halus, pinggir bergelombang berwarna merah kecoklatan, bagian tengah berwarna hijau, pinggir helai daun 7-15 cm, lebar 2-8 cm, tangkai pendek, berukuran 3-10 mm, pelepah terbenam dalam tanah, panjang 1,5-3,5 cm, warna putih (Depkes, 1977). Jumlah helaian daun kencur tidak lebih dari 2-3 lembar dengan susunan berhadapan (Anonim, 1987). Perbungaan, panjang 4 cm, bunganya tersusun setengah duduk dengan mahkota bunga berjumlah antara 4 sampai 12 buah, bibir bunga berwarna lembayung dengan warna putih lebih dominan dan mengandung 4-12 bunga. Kelopak berbentuk tabung, panjang lebih kurang 3 cm, bergerigi 2-3 buah. Tajuk berwarna putih dengan tabung panjang 2,5-5 cm, ujung berbelah-belah berbentuk pita, panjang 2,5-3 cm, lebar 1,5-3 mm (Depkes, 1977).


(24)

Sampai saat ini karakteristik utama yang dapat dijadikan sebagai pembeda kencur adalah daun dan rimpang. Berdasarkan ukuran daun dan rimpangnya, dikenal 2 tipe kencur, yaitu kencur berdaun lebar dengan ukuran rimpang besar dan kencur berdaun sempit dengan ukuran rimpang lebih kecil. Biasanya kencur berdaun lebar dengan bentuk bulat atau membulat, mempunyai rimpang dengan ukuran besar pula, tetapi kandungan minyak atsirinya lebih rendah daripada kencur yang berdaun kecil berbentuk jorong dengan ukuran rimpang lebih kecil. Salah satu varietas unggul kencur dengan ukuran rimpang besar adalah varietas unggul asal Bogor (Galesia-1) yang mempunyai ciri sangat spesifik dan berbeda dengan klon dari daerah lain yaitu warna kulit rimpang cokelat terang dan daging rimpang berwarna kuning, berdaun membulat, ujung daun meruncing dengan warna daun hijau gelap (Rostianaet al., 2005).

2.1.4 Kandungan Kimia dan Kegunaan

Rimpang tumbuhan kencur mengandung saponin, flavonoid, polifenol, dan minyak atsiri (Depkes, 2001). Kencur mengandung pati (4,14 %), mineral (13,73 %), minyak atsiri (0,02 %) berupa sineol, asam metil kanil dan penta dekan, asam sinamat, etil ester, borneol, kamphen, paraeumarin, asam anisat, alkaloid, dan gom (Anonim, 1987).

Menurut Umaret al., (2012) kandungan kimia dalam ekstrak minyak atsiri kencur diantaranya ialah asam propionate (4,71%), pentadekan 2,08%), asam tridekanoat &(1,81%), 1,21-docosadiene (1,47%), beta-sitosterol (9,88%), dan komponen terbesar adalah etil para metoksisinamat (80,05%). Selain itu pada penelitian Tewtrakul et al.,(2005) juga disebutkan bahwa terdapat kandungan a-pinen, kamphen, karvon, benxen, eukaliptol, borneol dan metil sinamat.

Sebagai tanaman obat, kencur memberikan manfaat cukup banyak terutama rimpangnya. Rimpang kencur berkhasiat untuk obat batuk, gatal-gatal pada tenggorokan, perut kembung, rasa mual, masuk angin, pegal-pegal, pengompresan bengkak, tetanus, penambah nafsu makan dan juga sebagai minuman segar. Kencur dapat pula mengobati penyakit radang lambung, radang telinga pada anak, influenza pada bayi, sakit kepala, menghilangkan darah kotor,


(25)

Berbagai penelitian terbaru mengungkap banyak manfaat kencur lainnya, diantaranya penelitian Tewtrakulet al., (2005) menyatakan ekstrak minyak kencur memiliki aktivitas anti mikroba dan antifungi. Ekstrak metanol kencur memiliki toksisitas terhadap larva dan pupa Anopheles stephensi dan juga berpotensi sebagai repellent (Dhandapani et al., 2011). Ekstrak air dari kencur ternyata memiliki aktivitas sebagai antinosiseptif dan antiinflamasi (Sulaiman et al., 2008). Ekstrak alkohol dari kencur diteliti memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi dan analgesik (Vittalraoet al., 2011), juga memiliki aktivitas sebagai penyembuh luka (Tara Vet al., 2006)

2.2 Senyawa Etilp-Metoksisinamat dan Aktivitasnya

Etil p-metoksisinamat adalah suatu ester yang mengandung cincin benzen dan gugus metoksi yang bersifat non polar dan mengandung gugus karbonil yang mengikat etil yang bersifat semi polar. Hal ini menyebabkan senyawa ini mampu larut dalam beberapa pelarut dengan kepolaran bervariasi seperti etanol, etil asetat, metanol, air dan n-heksan. (Taufikurohmah, Rusmini, Nurhayati, 2008)

Gambar 2.2Struktur etilp-metoksisinamat

[Sumber : www.chemicalbook.com]

Etil p-metoksisinamat atau C12H14O3 termasuk turunan asam sinamat,

dimana asam sinamat adalah turunan senyawa fenil propanoad. Etil p -metoksisinamat sebelumnya dimanfaatkan sebagai bahan tabir surya (Windono Jany, Widji, 1997), namun dewasa ini telah diteliti lebih lanjut bahwa etil p -metoksisinamat merupakan senyawa isolat kencur yang memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi non-selektif menghambat COX-1 dan COX-2 secarain vitro (Umar

et al., 2012).

Senyawa etil p-metoksisinamat berbentuk kristal berwarna putih, berbau aromatik khas lemah dengan berat molekul 206.4 g/mol dan memiliki titik lebur 49°C (Umaret al., 2012).


(26)

Etil p-metoksisinamat (EPMS) menghambat induksi edema karagenan pada tikus dengan MIC 100mg/kg dan juga berdasarkan hasil uji in vitro, etilp -metoksisinamat secara non-selektif menghambat aktivitas COX-1 dan COX-2, dengan masing-masing nilai IC50 1,12 µM dan 0,83 µM. Hasil ini memvalidasi

aktivitas anti-inflamasi kencur yang dihasilkan oleh penghambatan COX-1 dan COX-2 (Umaret al, 2012)

2.3 Kulit

Kulit merupakan selimut yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan dari luar (Tranggono, 2007). Kulit adalah bagian terluas dari tubuh, terhitung lebih dari 10% dari massa tubuh dan bagian yang paling utama berinteraksi dengan lingkungan (Walters, 2002). Kulit tersusun dari jaringan yang tumbuh, berdiferensiasi, dan beregenerasi (Gregoriadis, Florence dan Patel, 1993).

Kulit adalah organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh tubuh. Luas kulit pada manusia rata-rata sekitar 2 m2dengan berat sekitar 10 kg jika ditimbang dengan lemaknya atau 4 kg jika tanpa lemak, atau beratnya sekitar 16% dari berat badan seseorang (Kusantati, Prihatin, dan Wiana, 2008). Kulit merupakan organ yang pertama kali terkena polusi oleh zat-zat yang terdapat di lingkungan hidup, termasuk jasad renik (mikroba) yang tumbuh dan hidup di lingkungan.Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, serta bervariasi pada keadaan ilkim, umur, jenis kelamin, ras, dan lokasi tubuh (Kusantati, Prihatin, dan Wiana, 2008).

2.3.1 Anatomi Kulit

Kulit terbagi menjadi tiga lapisan utama, yaitu: epidermis, dermis, dan subkutan (subkutis) (Seeley, Stepens dan Tate, 2003). Tidak ada garis tegas yang memisahkan antara dermis dan subkutis. Subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan sel-sel yang membentuk jaringan lemak. Lapisan epidermis dan dermis dibatasi oleh taut dermoepidermal (Kusantati, Prihatin, dan Wiana, 2008).


(27)

Gambar 2.3Anatomi kulit

[Sumber : Neubert, 2006]

a. Lapisan epidermis

Lapisan epidermis merupakan lapisan kulit yang paling luar. Epidermis merupakan jaringan epitel berlapis pipih, dengan sel epitel yang mempunyai lapisan tertentu. Epidermis tersusun dari beberapa lapisan sel dengan tebal sekitar 0,1-0,3 mm (Mitsui, 1997). Di dalam epidermis paling banyak mengandung sel keratinosit yang mengandung protein keratin (Tranggono dan Latifah, 2007). Lapisan ini terdiri atas:

1) Stratum korneum (lapisan tanduk), merupakan lapisan sel kulit mati yang mengandung air paling rendah sekitar 10-30%. Lapisan ini tersusun atas lipid (asam lemak bebas atau esternya, fosfolipid, skualen, dan kolesterol), urea, asam amino, asam organik, dan air serta dilapisi oleh

lapisan tipis lembab dan bersifat asam disebut “mantel asam kulit”

(Tranggono dan Latifah, 2007). 2) Stratum lusidum (lapisan jernih)

3) Stratum granulosum (lapisan berbutir-butir), merupakan lapisan yang berperan dalam proses keratinisasi untuk menghasilkan lapisan tanduk.


(28)

4) Stratum spinosum (lapisan malphigi), merupakan lapisan sel yang lebih dalam dan lapisan paling tebal dalam epidermis yang mengandung serat protein.

5) Stratum germinativum (lapisan basal), merupakan pembatas membran dasar yang kontak dengan dermis (Mitsui, 1997).

Normalnya dibutuhkan 3-4 minggu untuk replikasi epidermis dengan proses divisi dan diferensiasi.

b. Lapisan dermis

Lapisan dermis merupakan lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal dari pada epidermis (sekitar empat kali tebal dermis, tergantung area tubuh). Secara metabolisme, dermis kurang aktif dibandingkan dengan epidermis serta terdiri dari polisakarida dan protein (kolagen dan elastin). Di dalam dermis terdapat benyak pembuluh darah, serabut saraf, kelenjar keringat, kelenjar minyak, dan folikel rambut (Tranggono dan Latifah, 2007).

Dermis tersusun atas matriks ekstraseluler yang disintesis dan disekresikan oleh fibroblast.Bahan dasar matriks ekstraseluler ini terdiri dari glikosaminoglikan atau mukopolisakarida asam (asam hialuronat dan dermatan sulfat), dan protein berserat.Glikosaminoglikan ada sebagai proteoglikan yang menggabungkan protein, dan berisi sejumlah besar air sehingga dapat membentuk gel. Protein berserat tertanam dalam gel ini yang tersusun dari serat kolagen dan elastin (Mitsui, 1997).

Kolagen merupakan protein utama dari matriks ekstraseluler dan memelihara bentuk jaringan. Kolagen tersusun atas beberapa asam amino, terutama glisin, prolin, dan hidroksiprolin. Kolagen lebih tebal daripada elastin. Serat-serat elastin dihubungkan satu sama lain oleh ikatan cross-link untuk mempertahankan elastisitas jaringan. Selain itu, matriks ekstraseluler berfungsi sebagai mediator interaksi induksi reseptor antar sel sehingga mempengaruhi proliferasi dan diferensiasi sel. Kolagen tipe I dan II merupakan urat saraf. Kekuatan tegangan kulit diakibatkan oleh dominasi kolagen ini (Zhang & Falla, 2009). Oleh karena itu, dermis memegang peranan penting dalam elastisitas dan kekencangan kulit (Mitsui, 1997).


(29)

Pada dermis terdapat sel mast, makrofag, melanosit, leukosit dan sel endotelial dari pembuluh darah. Fungsi dermis adalah menutrisi epidermis dan menghubungkan ke jaringan subkutan. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastis dan fibrosa dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut (Wirakusumah, 1994). Secara garis besar dibagi menjadi 2 bagian yaitu:

1) Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke dalam epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah.

2) Pars retikulare, yaitu bagian bawahnya yang menonjol ke arah subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen elastis dan retikulin.

c. Lapisan subkutan

Lapisan subkutan adalah kelanjutan dermis atas jaringan ikat longgar, berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir karena sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh trabekulua dan fibrosa. Lapisan sel lemak disebut panikulus adiposus, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan saluran getah bening. Tebal jaringan lemak tidak sama, bergantung pada lokasi, di abdomen 3 cm, sedangkan di daerah kelopak mata dan penis sangat tipis. Lapisan lemak ini juga berfungsi sebagai bantalan (Kusantati, Prihatin, dan Wiana, 2008).

Fungsi dari lapisan hipodermis yaitu membantu melindungi tubuh dari benturan-benturan fisik dan mengatur panas tubuh. Jumlah lemak pada lapisan ini akan meningkat apabila makan berlebihan. Jika tubuh memerlukan energi ekstra maka lapisan ini akan memberikan energi dengan cara memecah simpanan lemaknya (Wirakusumah, 1994). Pada lapisan ini juga terdapat pangkal dasar folikel rambut dan kelenjar keringat.

2.3.2 Fisiologi dan Fungsi Kulit

Kulit merupakan batas antara tubuh dan lingkungan eksternal, sehingga memisahkan kita dari lingkungan eksternal tetapi juga memungkinkan untuk berinteraksi dengan lingkungan eksternal (Seeley, Stephens, Tate, 2003).


(30)

Kulit sebagai organ tubuh yang paling utama mempunyai beberapa fungsi diantaranya sebagai berikut:

a. Fungsi proteksi (Dwikarya, 2003), terjadi karena beberapa hal:

1) Keasaman (pH) kulit akibat keringat dan lemak kulit (sebum) menahan dan menekan bakteri dan jamur yang berada di sekitar kulit.

2) Jaringan kolagen dan jaringan lemak menahan atau melindungi organ tubuh dari benturan.

3) Serabut elastis dari lapisan dermis dan jaringan lemak subkutan berfungsi untuk mencegah trauma mekanik langsung ke dalam tubuh. Lapisan tanduk dan mantel lemak kulit berfungsi sebagai penghalang penetrasi air dan kehilangan cairan tubuh serta melawan racun dari luar. Permukaan kulit yang tidak rata berperan dalam difraksi sinar untuk melindungi tubuh dari sinar yang berbahaya.

b. Fungsi termoregulas

Kulit menyesuaikan temperatur tubuh dengan mengubah aliran darah ke kulit melalui mekanisme dilatasi dan konstriksi pembuluh kapiler kulit dan penguapan keringat, yang keduanya dipengaruhi oleh saraf otonom. Lapisan tanduk dan jaringan subkutan mencegah perubahan temperatur tubuh dengan menghalangi hantaran temperatur eksternal ke dalam tubuh.

Kulit melakukan peran ini dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan otot dinding pembuluh darah kulit ketika terjadi peningkatan suhu. Dengan dikeluarkannya keringat, maka terbuang pula panas tubuh. Mekanisme termoregulasi ini diatur oleh sistem saraf simpatis yang mengeluarkan zat perantara asetil kolin (Langley dan Lenny, 1958).

c. Fungsi persepsi sensoris

Kulit bertanggung jawab sebagai indra terhadap rangsangan. Ada bermacam-macam reseptor pada kulit, yaitu reseptor yang sensitif terhadap tekanan, rabaan, temperatur, dan nyeri. Rangsangan dari luar akan diterima oleh reseptor-reseptor tersebut dan diteruskan ke sistem saraf pusat, selanjutnya diinterpretasikan oleh korteks serebri.


(31)

d. Fungsi absorpsi

Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan maupun benda padat. Tetapi cairan yang mudah menguap lebih mungkin diserap kulit, begitu pula zat yang larut dalam minyak. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban udara, metabolisme dan jenis pembawa zat yang menempel di kulit. Penyerapan dapat melalui celah antarsel, saluran kelenjar atau saluran keluar rambut (Langley dan Lenny, 1958).

Beberapa senyawa dapat diabsorpsi ke dalam tubuh melalui dua jalur absorpsi, yaitu melalui jalur epidermis dan melalui kelenjar sebasea folikel rambut. Steroid dan bahan yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E dan K) dapat diserap melalui kulit, namun bahkan yang larut dalam air tidak mudah diserap akibat dari fungsi penghalang lapisan tanduk.

e. Fungsi pembentukan pigmen (melanogenesis)

Sel pembentuk pigmen kulit (melanosit) terletak di lapisan basal epidermis. Sel ini berasal dari rigi saraf, jumlahnya 1:10 dari sel basal. Jumlah melanosit serta jumlah dan besarnya melanin yang terbentuk menentukan warna kulit. Pajanan sinar matahari mempengaruhi produksi melanin. Bila pajanan bertambah produksi melanin akan meningkat (Langley dan Lenny, 1958).

f. Fungsi keratinisasi

Keratinisasi dimulai dari sel basal yang kuboid, bermitosis ke atas berubah bentuk lebih poligonal yaitu sel spinosum, terangkat ke atas menjadi lebih gepeng, dan bergranula menjadi sel granulosum. Kemudian sel tersebut terangkat ke atas lebih gepeng, dan granula serta intinya hilang menjadi sel spinosum dan akhirnya sampai di permukaan kulit menjadi sel yang mati, protoplasmanya mengering menjadi keras, gepeng, tanpa inti yang disebut sel tanduk. Proses ini berlangsung terus-menerus dan berguna untuk fungsi rehabilitasi kulit agar dapat melaksanakan fungsinya secara baik (Langley dan Lenny, 1958).

g. Fungsi poduksi vitamin D

Kulit juga dapat membuat vitamin D dari bahan baku 7-dihidroksikolesterol dengan bantuan sinar matahari. Namun produksi ini masih lebih rendah dari kebutuhan tubuh akan vitamin D dari luar makanan (Langley dan Lenny, 1958).


(32)

h. Fungsi lain

Kulit dapat menggambarkan kondisi emosional, seperti memerah, ketakutan (pucat dan rambut berdiri), dan sebagai organ penerima emosi.

2.4 Penetrasi Obat Melalui Kulit

Penetrasi melintasi stratum korneum dapat terjadi karena adanya proses difusi melalui dua mekanisme, yaitu :

a. Absorpsi transepidermal

Jalur absorpsi transepidermal merupakan jalur difusi melalui stratum korneum yang terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur transelular yang berarti jalur melalui protein di dalam sel dan melewati daerah yang kaya akan lipid, dan jalur paraselular yang berarti jalur melalui ruang antar sel. Penetrasi transepidermal berlangsung melalui dua tahap. Pertama, pelepasan obat dari pembawa ke sratum korneum, tergantung koefisien partisi obat dalam pembawa dan stratum korneum. Kedua, difusi melalui epidermis dan dermis dibantu oleh aliran pembuluh darah dalam lapisan dermis. (Anggraeni, 2008)

b. Absorpsi transappendageal

Jalur absorpsi transappendageal merupakan jalur masuknya obat melalui folikel rambut dan kelenjar keringat disebabkan karena adanya pori-pori di antaranya, sehingga memungkinkan obat berpenetrasi. Penetrasi obat melalui jalur transepidermal lebih baik daripada jalur transappendageal, karena luas permukaan pada jalur transappendageal lebih kecil (Anggraeni, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan adalah sifat-sifat fisikokimia dari obat, sifat pembawa yang digunakan, dan kondisi fisiologi kulit. Dari sifat-sifat tersebut, dapat diuraikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi absorpsi perkutan antara lain:

1) Harga koefisien partisi obat yang tergantung dari kelarutannya dalam minyak dan air.

2) Kondisi pH akan mempengaruhi tingkat disosiasi serta kelarutan obat yang lipofil.


(33)

4) Profil pelepasan obat dari pembawanya, bergantung pada afinitas zat aktif terhadap pembawa, kelarutan zat aktif dalam pembawa, dan pH pembawa. 5) Komposisi sistem tempat pemberian obat, yang ditentukan dari permeabilitas

stratum korneum yang disebabkan hidrasi dan perubahan struktur lipid. 6) Peningkatan suhu kulit dapat menyebabkan perubahan difusi yang disebabkan

oleh peningkatan kelarutan obat.

7) Pembawa yang dapat meningkatkan kelembaban kulit akan mendorong terjadi absorpsi obat melalui kulit.

8) Waktu kontak obat dengan kulit.

9) Ketebalan kulit. Absorpsi perkutan lebih besar jika obat digunakan pada kulit dengan lapisan tanduk yang tipis daripada yang tebal.

10) Bahan-bahan peningkat penetrasi (enhancer) dapat meningkatkan permeabilitas kulit dengan cara mengubah sifat fisika kimia stratum korneum sehingga mengurangi daya tahan difusi. Contohnya DMSO, DMF, DMA, urea, dan lain-lain.

11) Adanya sirkulasi darah in situ pada kulit akan meningkatkan absorpsi obat (Anggraeni, 2008).

Gambar 2.4 Rute penetrasi obat melalui kulit. (1) Rute transepidermal; (2)&(3) Rute transappendageal.


(34)

2.5 Sediaan Salep

Salep merupakan sediaan yang diaplikasikan secara eksternal, tetapi berbeda dengan krim karena basis salep umumnya berminyak. Basisnya adalah anhidrat yang dapat bercampur dengan sekresi kulit. Salep biasanya mengandung suatu obat atau campuran obat terlarut atau terdispersi dalam basisnya. (Marriot, John Fet al., 2010)

Menurut British Pharmacopoeia: “ Salep diformulasikan untuk sediaan

yang tidak dapat larut, larut atau dapat diemulsikan dengan sekresi kulit. Salep hidrofobik dan salep pengemulsi-air dapat diaplikasikan pada kulit atau selaput lendir untuk memperoleh efek emolien, pelindung, tujuan terapeutik atau profilaksis sesuai tingkat oklusi yang diinginkan. Salep hidrofilik dapat bercampur dengan sekresi kulit namun sifatnya kurang emolien (Marriot, John Fet al., 2010). Terdapat 4 peraturan dalam pembuatan salep menurut F. Van Duin, yaitu: a. Peraturan salep pertama

“Zat-zat yang dapat larut dalam campuran lemak dilarutkan ke dalamnya, jika perlu dengan pemanasan.”

b. Peraturan salep kedua

“Jika tidak ada peraturan lain, bahan-bahan yang larut dalam air dilarutkan terlebih dahulu dalam air asalkan jumlah air yang digunakan dapat diserap seluruhnya oleh dasar salep dan jumlah air yang dipakai, dikurangi dari dasar salepnya.

c. Peraturan salep ketiga

“Bahan-bahan yang sukar larut atau hanya sebagian larut dalam minyak dan air harus diserbukkan terlebih dahulu, kemudian diayak dengan pengayak No. 60.”

d. Peraturan salep keempat

“Campuran salep yang dibuat dengan cara dicairkan harus digerus sampai dingin.” (Bahan-bahan yang ikut dilebur, penimbangannya harus dilebihkan 10-20% untuk mencegah kekurangan bobot) (Syamsuni, H. 2002)


(35)

Metode pembuatan salep, diantaranya : a. Metode fusi

1) Pembuatannya harus dilebihkan karena akan terjadi ketertinggalan produk saat dipindahkan dalam wadah yang sesuai.

2) Tentukan titik leleh dari basis lemak kemudian dilelehkan atau dicairkan secara bersamaan. Proses pencairan diawali dengan basis yang memilki titik leleh tinggi, masing-masing basis harus mencair pada suhu serendah mungkin atau saat dimana campuran sudah mulai dingin.

3) Tambahkan bahan-bahan pada wadah diatas waterbath untuk menghindari pemanasan berlebih. Gunakan termometer untuk pemeriksaan suhu secara teratur.

4) Bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam basis harus sesuai dengan suhu titik leleh masing-masing bahan. Aduk terus menerus sampai sediaan homogen. Pengadukan harus dilakukan secara perlahan untuk menghindari adanya udara berlebih yang dapat mempercepat pendinginan dan membuat sediaan menjadi kental (Marriot, John Fet al., 2010).

b. Penambahan zat aktif dalam bentuk padatan ke dalam dasar salep 1) Zat aktif yang larut dalam dasar salep

Zat aktif ditambahkan ke dalam dasar salep lemak pada temperatur yang sangat rendah dan pencampuran dilakukan sampai campuran tersebut dingin (Marriot, John Fet al., 2010).

2) Zat aktif yang tidak larut dalam dasar salep a) Serbuk kasar

Dasar salep yang sudah meleleh atau mengental dimasukkan ke dalam lumpang. Kemudian masukkan serbuk kasar dan gerus dengan cara levigasi sampai homogen. Kecepatan pengadukan harus dperhatikan untuk menghindari produk yang berpasir. Pengadukan


(36)

dilakukan sampai sediaan menjadi dingin (Marriot, John F et al., 2010).

b) Serbuk halus

Serbuk halus dicampurkan dengan cara triturasi. Masukkan dasar salep ke dalam lumpang dan ratakan untuk mencegah dasar salep masuk ke pori-pori lumpang. Kemudian tambahkan serbuk halus dan

tambahkan dasar salep dengan cara “doubling-up” atau secara

geometri. Penambahan secara geometri maksudnya adalah penambahan dasar salep yang jumlahnya sesuai dengan bobot yang terdapat dalam lumpang dilakukan secara perlahan-lahan dan bertahap. Kemudian campuran dicampurkan denga cara triturasi sampai homogeny (Marriot, John Fet al., 2010).

c. Penambahan zat aktif dalam bentuk cairan ke dalam dasar salep 1) Cairan yang tidak menguap atau cairan yang larut

Cairan yang dapat larut dapat dicampur dengan dasar salep minyak. Jika menggunakan dasar salep yang pre-prepared pencampuran dapat dikatakan sebagai cairan yang mudah menguap atau bercampur (Marriot, John Fet al., 2010).

2) Cairan yang mudah menguap atau cairan yang tidak larut

Cairan yang mudah menguap harus ditriturasi dengan bahan dasar salep dalam lumpang. Dasar salep dimasukkan ke dalam lumpang, kemudian tambahkan dasar salep lain secara geometri. Kemudian aduk hingga homogeny (Marriot, John Fet al., 2010).

2.6 Sediaan Krim

Krim adalah sediaan setengah padat yang berupa emulsi yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai dan mengandung air tidak kurang dari 60 %. (Syamsuni,H. 2002).


(37)

terdispersi dalam dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsentrasi relatif cair yang diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang dapat dicuci dengan air atau lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika.

Fungsi krim adalah sebagai bahan pembawa substansi obat untuk pengobatan kulit, sebagai bahan pelumas untuk kulit, dan sebagai pelindung untuk kulit yaitu mencegah kontak permukaan kulit dengan larutan berair dan rangsangan kulit (Anief, 2000).

Menurut British Pharmacopoeia, “ Krim diformulasikan untuk sediaan yang dapat bercampur dengan sekresi kulit. Sediaan krim dapat diaplikasikan pada kulit atau membran mukosa untuk pelindung, efek terapeutik, atau profilaksis yang tidak membutuhkan efek oklusif”(Marriot, John Fet al., 2010).

Prinsip umum dalam preparasi sediaan krim, seperti sediaan emulsi dan yang lainnya, kebersihan merupakan hal yang penting. Spatula dan peralatan lainnya harus dibersihkan dengan IMS (Industrial Methylaed Spirits). IMS lebih baik daripada air suling karena cepat menguap dan tidak meninggalkan residu. Pembuatan krim harus dilebihkan karena pada proses pemindahan sediaan krim ke wadah akhir, ada kemungkinan tertinggalnya sediaan di tempat yang sebelumnya. Menentukan bahan yang larut dalam fase air atau yang larut dalam fase minyak. Larutkan bahan yang larut air dalam fase air. Lelehkan basis lemak dalam cawan evaporasi di atas waterbath dalam suhu serendah mungkin. Proses ini diawali dengan melelehkan basis yang memiliki titik leleh tinggi. Setelah itu didinginkan pada suhu 60°C (pemanasan yang berlebihan dapat mendenaturasi agen pengemulsi dan menghilangkan stabilitas produk). Zat-zat yang dapat larut dengan fase minyak harus diaduk sampai mencair. Suhu fase cair harus disesuaikan 60°C. Fase terdispersi kemudian ditambahkan ke dalam fase pendispersi pada suhu yang sama. Oleh karena itu, untuk produk minyak dalam air, maka minyak yang ditambahkan ke dalam air. Sedangkan untuk produk air dalam minyak, yang ditambahkan adalah air ke dalam minyak. Pengadukan harus


(38)

terus dilakukan tanpa adanya udara. Jangan mempercepat proses pendinginan karena akan menghasilkan produk yang buruk. (Marriot, John Fet al., 2010)

Syarat-syarat krim yang baik adalah :

a. Stabil selama dalam pemakaian pada suhu kamar dan kelembaban yang ada dalam kamar

b. Lunak yaitu semua zat dalam keadaan halus c. Seluruh produk homogen

d. Mudah dipakai

Pertimbangan yang terpenting bagi sediaan emulsi seperti krim di bidang farmasi dan kosmetika adalah stabilitas dari produk jadi. Menurut Anief (2000) ketidakstabilan emulsi dapat digolongkan menjadi :

a. Flokulasi ataucreaming

b. Koalesen atau pecahnya emulsi (breaking, cracing) c. Macam-macam perubahan fisika dan kimia

d. Inverse

Creamingadalah terpisahnya emulsi menjadi dua lapiasan, dimana lapisan yang satu mengandung butir-butir tetesan (fase terdispersi) lebih banyak dari pada lapisan yang lain.Creamingmerupakan proses bolak-balik, sedangkan pemecahan merupakan proses searah. Krim yang menggumpal bisa didispersikan kembali dengan mudah, dan dapat terbentuk kembali suatu campuran yang homogen dari suatu emulsi yang membentuk krim dengan pengocokan, karena bola-bola minyak masih dikelilingi oleh suatu lapisan pelindung dari zat pengemulsi. Jika terjadi pemecahan, pencampuran biasa tidak bisa mensuspensikan kembali bola-bola tersebut dalam suatu emulsi yang stabil (Martin, 1993).

Inversi adalah peristiwa berubahnya tipe emulsi dari tipe M/A menjadi A/M atau sebaliknya. Inverse dapat dipengaruhi oleh suhu, atau inverse merupakan fungsi suhu (Lachmanet. al, 1994).

Bahan-bahan umum yang biasa ditambahkan pada sediaan krim yaitu : Basis krim, emulsifying agent, stiffening agent, buffer, antioksidan, pengawet,


(39)

2.7 Sediaan Gel

Gel merupakan sediaan semi padat yang transparan yang digunakan secara topikal. Fase cair dari gel akan ditahan dalam tige dimensi matriks polimer. Bahan obat dapat tersuspensi dalam matriks atau larut dalam fase cairnya. Gel cenderung memiliki struktur yang lebih besar dari salep atau emulsi tergantung pada polimer matriks pembentuknya (Marriot, John Fet al., 2010).

Gel sering digunakan dalam penghantaran obat yang mengandung polimer yang dapat menjerap sejumlah air yang dikenal dengan hidrogel. Penyerapan cairan berlangsung melalui pengembangan. Hal ini diikuti dengan peningkatan volume dan membesarnya tekanan (tekanan pembengkakan sampai 100 Mpa, 103 at), dan peristiwa tersebut berkaitan erat dengan dihasilkannya panas positif. Koloid linier yang digunakan untuk membentuk gel dapat mengembang tanpa batas, artinya kondisi gel dapat diubah menjadi larutan dengan penambahan pelarut yang lebih banyak. Dengan demikian jumlah air yang digunakan untuk pengembangan sangat menentukan sifatrheologysediaan yang terbentuk.

Komposisi sediaan gel umumnya terdiri dari komponen bahan yang dapat mengembang dengan adanya air, humektan, dan pengawet, terkadang diperlukan bahan yang dapat meningkatkan penetrasi bahan berkhasiat.

a. Gel tautan–silang (cross link) secara kimia

Pada sistem ini, pemisahan fase makroskopik dicegah dengan adanya tautan silang dan semakin tinggi densitas massa jenis dari senyawa penaut silang maka semakin kuat. Kekuatan gel dapat diukur denganTexture analyzer.

Surfaktanionik dapat terikat dengan polimer nonionik, sehingga cara yang efektif untuk memasukkan muatan ke dalam gel polimer nonionik adalah dengan menambahkan surfaktan ionik. Muatan tersebut bergantung bergantung pada ikatan kooperatif dari surfaktan pada rantai backbone polimer, maka pengembangan dari gel bergantung pada parameter yang mengendalikan ikatan pada surfaktan. Saat panjang rantai alkil pada surfaktan meningkat, afinitas ikatan pada polimer pun akan meningkat, sehingga secara efektif meningkatkan densitas polimer. Derajat pengembangan secara langsung mempengaruhi pelepasan senyawa yang bergabung dalam gel cross-linked. Sehingga dengan meningkatkan pengembangan, difusi dari senyawa yang tergabung meningkat.


(40)

b. Gel yang terbentuk oleh polimer polisakarida

Gel polisakarida bersifat temperature-reversible, terbentuk pada konsentrasi polimer yang relatif rendah umumnya dari turunan selulosa, struktur gel dapat dibentuk pada konsentrasi antara 2-6%. Gel polisakarida dapat dibentuk dengan memodifikasi ikatan silang secara kimia, yang dipengaruhi oleh pH. c. Pembentuk gel alami

Pembentuk gel alami yang umum digunakan adalah xantan gum, gellan gum, pektin dan gelatin. Xanthan gum dan gellan gum adalah polisakarida dengan berat molekul besar yang diperoleh dari fermentasi menggunakan mikroba. Larutan xanthan gum memiliki viskositas yang tinggi pada tekanan geser (shear rate) yang rendah yang dapat menjaga partikel padat tetap tersuspensi dan mencegah emulsi mengalami koalesen. Gellan gum adalah pembentuk gel, efektif pada penggunaan dengan jumlah yang sedikit, membentuk gel yang padat pada konsentrasi rendah.

Selain bahan pembentuk gel, bahan tambahan lainnya yang sering digunakan dalam pembuatan gel yaitu humektan, chelating agent, enhancer dan zat pengawet.

Metode pembuatan gel secara umum, diantaranya :

a. Panaskan semua komponen gel (terkecuali dengan air), kurang lebih sekitar 90oC.

b. Panaskan air, kurang lebih sekitar 90oC.

c. Tambahkan air ke minyak, aduk terus. Hindari pengadukan kuat karena hal ini akan menimbulkan gelembung (Marriot, John Fet al., 2010).

Fungsi gel menurut Lachman et al., 1989 yaitu gel dapat digunakan untuk pemberian oral, sediaan obat long-acting yang diinjeksikan secara intramuskular, bahan pengikat pada granulasi tablet, bahan pelindung koloid pada suspensi, bahan pengental pada sediaan cair per oral, dan basis supositoria. Selain itu gel juga dapat digunakan untuk obat yang diberikan secara setengah padat (non steril) atau dimasukkan ke dalam lubang tubuh atau mata (steril) dan telah digunakan dalam berbagai produk kosmetik.


(41)

Sifat dan karakteristik gel menurut Lachman et al 1989 adalah sebagai berikut :

a. Swelling

Gel dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat mengabsorbsi larutan sehingga terjadi pertambahan volume. Pelarut akan berpenetrasi di antara matriks gel dan terjadi interaksi antara pelarut dengan gel. Pengembangan gel kurang sempurna bila terjadi ikatan silang antar polimer di dalam matriks gel yang dapat menyebabkan kelarutan komponen gel berkurang (Lachmanet al.,1989).

b. Sinerasis

Suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam massa gel. Cairan yang terjerat akan keluar dan berada di atas permukaan gel. Pada waktu pembentukan gel terjadi tekanan yang elastis, sehingga terbentuk massa gel yang padat. Mekanisme terjadinya kontraksi berhubungan dengan fase relaksasi akibat adanya tekanan elastis pada saat terbentuknya gel. Adanya perubahan pada kepadatan gel akan mengakibatkan jarak antar matriks berubah, sehingga memungkinkan cairan bergerak menuju permukaan. Sineresis dapat terjadi pada hidrogel maupun organel (Lachmanet al.,1989).

c. Efek suhu

Efek suhu mempengaruhi struktur gel. Gel dapat terbentuk melalui penurunan temperatur tapi dapat juga pembentukan gel terjadi setelah pemanasan hingga suhu tertentu. Polimer seperti MC, HPMC, terlarut hanya pada air yang dingin membentuk larutan yang kental. Pada peningkatan suhu larutan tersebut membentuk gel. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang disebabkan oleh pemanasan disebutthermogelation(Lachmanet al.,1989).

d. Efek elektrolit

Konsentrasi elektrolit yang sangat tinggi akan berpengaruh pada gel hidrofilik di mana ion berkompetisi secara efektif dengan koloid terhadap pelarut yang ada dan koloid digaramkan (melarut). Gel yang tidak terlalu hidrofilik dengan konsentrasi elektrolit kecil akan meningkatkan rigiditas gel dan mengurangi waktu untuk menyusun diri sesudah pemberian tekanan geser. Gel Na-alginat akan segera mengeras dengan adanya sejumlah konsentrasi ion kalsium


(42)

yang disebabkan karena terjadinya pengendapan parsial dari alginat sebagai kalsium alginat yang tidak larut (Lachmanet al.,1989).

e. Elastisitas dan rigiditas

Sifat ini merupakan karakteristik dari gel gelatin agar dan nitroselulosa, selama transformasi dari bentuk larutan menjadi gel terjadi peningkatan elastisitas dengan peningkatan konsentrasi pembentukan gel. Bentuk struktur gel resisten terhadap perubahan atau deformasi dan mempunyai aliran viskositelastik. Struktur gel dapat bermacam-macam tergantung dari komponen pembentuk gel (Lachman

et al.,1989). f. Rheologi

Larutan pembentuk gel (gelling agent) dan dispersi padatan yang terflokulasi memberikan sifat aliran pseudoplastis yang khas, dan menunjukkan jalan aliran non-newton yang dikarakterisasi oleh penurunan viskositas dan peningkatan laju aliran (Lachmanet al.,1989).

2.8 Formulasi Sediaan Setengah Padat 2.8.1 Lanolin Hidrat

Lanolin hidrat atau disebut juga adeps lanae cum aqua (PhEur) dideskripsikan sebagai campuran dari adeps lanae dan 25-30% b/b air suling. Lanolin hidrat berfungsi sebagai agen pengemulsi dan basis salep. Lanolin hidrat berwarna kuning pucat, dengan bau khas lemah. Lanolin hidrat biasanya digunakan pada pembuatan sediaan salep dan krim tipe air dalam minyak (a/m). Ketika meleleh oleh pemanasan dengan penangas air, lanolin akan terpisah menjadi lapisan minyak jernih dan lapisan air jernih. Lanolin hidrat melebur pada suhu 38-44°C, praktis tidak larut dalam kloroform, eter dan air. Hanya komponen lemak dari lanolin hidrat yang larut dalam pelarut organik. Lanolin hidrat harus disimpan dalam wadah tertutup baik, tertutup rapat dan terlindung dari cahaya, kelembaban dan di tempat kering. Penyimpanan normal bertahan sampai 2 tahun. Lanolin hidrat dapat mengandung pro-oksidan yang mungkin mempengaruhi stabilitas beberapa zat aktif (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).


(43)

2.8.2 Setil Alkohol

Nama lain dari setil alkohol adalah alcohol cetylicus dan crodacol. Penggunaan setil alkohol pada sediaan farmasi sangat luas, diantaranya coating agent; emulsifying agent (2-5%); stiffening agent (2-10%). Setil alkohol merupakan serpihan putih licin, granul, atau kubus, putih, bau khas lemah, rasa lemah. Setil alkohol memiliki titik lebur 45-52°C, larut dalam etanol 95% dan eter, kelarutan meningkat dengan kenaikan suhu, praktis tidak larut dalam air. Mudah larut ketika dilebur bersama dengan lemak, paraffin padat atau cair, dan isopropil miristat. Setil alkohol tetap stabil meskipun terdapat asam, basa, cahaya dan udara tidak menjadi tengik. Sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup baik di tempat yang kering dan sejuk. Inkompatibel dengan agen pengoksidasi kuat (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).

2.8.3 Vaselin Album

Vaselin album berwarna kuning pucat, transparan, massa lembut, sedikit berbau dan sedikit berasa. Fungsi vaselin album adalah sebagai emolien, dan basis salep. Kelarutan praktis tidak larut dalam aseton, etanol 95% panas atau dingin, gliserin, dan air, larut dalam benzen, karbon disulfida, kloroform, eter, heksan dan minyak lemak dan menguap. Pada paparan sinar, kemurnian dari vaselin album menurun akibat berubah warna dan teroksidasi serta menghasilkan bau yang tidak diinginkan. Oksidasi dapat dicegah dengan penambahan antioksidan yang cocok seperti BHT, BHA dan tokoferol. Vaselin album dapat disterilisasi dengan pemanasan kering. Meskipun vaselin album dapat disterilisasi dengan iradiasi gamma, tetapi proses tersebut dapat mempengaruhi sifat fisik dari vaselin album seperti mengembang, berubah warna, bau dan sifat rheologi. Vaselin album harus disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya di tempat sejuk dan kering. Vaselin album merupakan bahan inert dengan sedikit inkompatibilitas (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).


(44)

2.8.4 Asam Stearat

Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari lemak sebagian besar terdiri dari asam oktadekanoat, C18H36O2 dan asam

heksadekanoat, C16H32O2(Ditjen POM, 1979).

Pemerian asam stearat yaitu zat padat; putih atau kuning pucat; beberapa terlihat mengkilap, padatan kristal atau serbuk putih atau putih kekuningan. Bau khas kuat dan rasanya mirip lemak. Asam stearat memiliki titik lebur ≥ 54°C. Kelarutannya mudah larut dalam benzen, karbon tetraklorida, kloroform, dan eter. Larut dalam etanol 95%, heksan dan propilen glikol, praktis tidak larut dalam air. Penggunaannya adalah sebagai basis krim dan saleb juga sebagai lubrikan tablet (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).

Asam stearat merupakan bahan yang stabil, penambahan antioksidan dapat dilakukan untuk menjaga kestabilannya. Asam stearat harus disimpan dalam wadah tertutup baik di tempat sejuk dan kering. Asam stearat inkompatibel dengan banyak logam hidroksida dan agen pengoksida (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).

2.8.5 Isopropil Miristat

Isopropil miristat merupakan cairan tidak berwarna dan praktis tidak berbau. Larut dalam aseton, kloroform, etanol 95%, etil asetat, praktis tidak larut dalam gliserin, glikol dan air. Isopropil miristat tidak kompatibel dengan parafin padat karena akan menghasilkan campuran butiran, tetapi isopropil miristat kompatibel dengan oksidator kuat. Isopropil miristat tahan terhadap oksidasi dan hidrolisis, dan tidak menjadi tengik. Bahan ini harus disimpan dalam wadah yang tertutup di tempat yang sejuk dan kering serta terlindung dari cahaya (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).

2.8.6 Minyak Zaitun

Minyak zaitun disebut juga olive oil merupakan minyak lemak dari buah

Olea europaea. Minyak zaitun merupakan cairan minyak yang jernih, berwarna kuning kehijauan atau hampir tidak berwarna. Sangat larut dalam etanol 96%,


(45)

Minyak zaitun sering digunakan sebagai fase minyak dalam berbagai sediaan farmasi, diantranya salep, linimen, enema, sabun, dan dapat juga sebagai pembawa injeksi minyak. Ketika didinginkan, minyak zaitun akan berkabut pada kisaran suhu 10ºC dan akan seperti masa butter pada suhu 0ºC. Minyak zaitun harus disimpan di tempat yang sejuk dan kering dalam wadah yang tertutup rapat terhindar dari sinar matahari. Minyak zaitun dapat tersaponifikasi oleh alkali hidroksida. Minyak zaitun mudah teroksidasi dan inkompatibel dengan agen pengoksida (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).

2.8.7 Vitamin E

Vitamin E dengan nama lain alfa tokoferol merupakan produk natural dan dideskripsikan sebagai cairan minyak yang jernih, kuning kecoklatan atau hampir tidak berwarna, dan kental. Penggunaannya sebagai agen terapetik atau antioksidan dalam sediaan dengan kandungan bahan yang mudah teroksidasi. Titik didih vitamin E mencapai 235°C. Vitamin E praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalam aseton, etanol, eter dan minyak sayur. Vitamin E teroksidasi perlahan oleh oksigen atmosfir dan sangat cepat oleh besi dan garam perak. Vitamin E harus disimpan di bawah gas inert dalam wadah kedap udara di tempat sejuk, kering dan terlindungi dari cahaya. Vitamin E inkompatibel dengan peroksida dan ion logam seperti besi, tembaga, perak. Vitamin E mungkin terabsorbsi ke dalam plastik (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).

2.8.8 Karbopol 940

Karbopol merupakan polimer sintetis dengan BM tinggi dari asam akrilat yang di campurkan dengan alil sukrosa lain atau eter alil dari penta eritrol. Karbopol mengandung antara 56%-68% dari asam karboksilat (COOH) terhitung dengan basis kering. Karbopol berwarna putih, halus, bersifat asam, higroskopis, serbuk dengan bau sedikit khas. Larut dalam air dan setelah dinetralisasi dapat larut dalam etanol 95% dan gliserin. Meskipun dinyatakan terlarut dalam air, tetapi karbopol tidak terdisolusi tetapi hanya mengembang. Fungsi karbopol adalah sebagai agen bioadhesif, agen pengemulsi, agen pelepasan termodifikasi,


(46)

agen pensuspensi, pengikat tablet dan agen peningkat viskositas (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).

Karbopol memiliki pH yang sangat asam yaitu 2,7-3,5 dalam 0,5% b/v dispersi dalam air dan 2,5-3,0 dalam 1 b/v bagian air, oleh karena itu pada tahap pembuatannya sebagai basis gel seringkali ditambahkan dengan NaOH atau golongan amin untuk menyesuaikan pH sediaan mendekati pH kulit. Titik leleh dari karbopol cukup tinggi, tetapi dapat terdekomposisi pada suhu 260ºC selama 30 menit. Karbopol merupakan senyawa yang stabil, bersifat higroskopis yang memungkinkan untuk dipanaskan dibawah suhu 104°C sampai 2 jam tanpa mempengaruhi efisiensinya. Bagaimanapun paparan temperatur yang sangat tinggi dapat menyebabkan perubahan warna dan penurunan stabilitas. Bentuk serbuk kering dari karbopol tidak mendukung pertumbuhan dari mikroba dan fungi. Sebaliknya mikroorganisme dapat tumbuh dengan baik dalam dispersi dalam air tanpa pengawet, namun pengawet antimikroba seperti 0,1% b/v klorokresol, 0,18% b/v metil paraben-0,02 % b/v propil paraben atau 0,1% b/v timerosal dapat ditambahkan (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).

Pada temperatur ruangan dispersi karbopol dapat terjaga viskositasnya selama penyimpanan dalam periode berkepanjangan. Demikian pula, viskositas dispersi terjaga atau hanya sedikit terjadi penurunan pada suhu penyimpanan tinggi jika terdapat antioksidan didalamnya atau jika dispersi tersebut disimpan terlindungi dari cahaya. Paparan sinar menyebabkan oksidasi yang memungkinkan terjadinya penurunan viskositas dispersi. Serbuk karbopol harus disimpan dalam wadah kedap udara, wadah resistensi korosi, di tempat kering. Penggunaan dari gelas, plastik, atau wadah resin direkomendasikan untuk menyimpan formula dengan kandungan karbopol. Karbopol berubah warna oleh resorsinol dan inkompatibel dengan fenol, polimer-polimer kationik, asam kuat, dan elektrolit level tinggi (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).

2.8.9 Natrium Metabisulfit

Natrium metabisulfit memiliki rumus empiris Na2S2O5 dengan bobot


(47)

seperti garam. Penggunaan natrium metabisulfit adalah sebagai antioksidan tetapi dapat pula digunakan sebagai pengawet pada beberapa sediaan farmasi. Natrium metabisulfit larut dalam etanol 95%, sangat larut dalam gliserin, larut 1 bagian dalam 1,9 bagian air dan larut 1 bagian dalam 1,2 bagian air mendidih 100°C. Titik lebur dan dekomposisi natrium metabisulfit kurang dari 150°C.

Pada paparan udara dan kelembaban, natrium metabisulfit perlahan teroksidasi menjadi natrium sulfat dengan disintegrasi kristal. Penambahan asam kuat membebaskan sulfur dioksida. Larutan berair natrium metabisulfit juga terurai di udara, terutama pada pemanasan. Larutan yang akan disterilkan dengan autoklaf harus diisi ke dalam wadah di mana udara telah diganti dengan gas inert, seperti nitrogen. Bahan massal harus disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya, di tempat yang sejuk dan kering. Natrium metabisulfit bereaksi dengan simpatomimetik dan obat derivat alkohol lainnya. Obat-obatan dapat terinaktivasi adalah epinefrin (adrenalin) dan turunannya. Selain itu, natrium metabisulfit tidak kompatibel dengan kloramfenikol karena reaksi yang lebih kompleks, juga menginaktivasi cisplatin dalam larutan. Natrium metabisulfit tidak cocok dengan fenil merkuri asetat saat diautoklaf dalam preparasi sediaan tetes mata. Natrium metabisulfit dapat bereaksi dengan tutup karet botol dosis ganda (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).

2.8.10 Metil Paraben dan Propil Paraben

Metil paraben dengan nama lain nipagin, merupakan serbuk hablur halus, putih, hampir tidak berbau, tidak mempunyai rasa, kemudian agak membakar diikuti rasa tebal. Larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih, dalam 3,5 bagian etanol 95% dan dalam 3 bagian aseton, mudah larut dalam eter dan dalam larutan alkali hidroksida, larut dalam 60 bagian gliserol panas dan dalam 40 bagian minyak lemak nabati panas, jika didinginkan larutan tetap jernih. Inkompatibilitas dengan zat lain, seperti bentonit, magnesium trisilikat, talk, tragakan, natrium alginat, minyak esensial, sorbitol, dan atropin. Larutan berair dari metil paraben pada pH 3-6 dapat disterilkan dengan autoklaf pada 120°C selama 20 menit, tanpa dekomposisi. Larutan berair pada pH 3-6 stabil (kurang dari 10% dekomposisi) sampai sekitar 4 tahun pada suhu kamar, sedangkan


(48)

larutan air pada pH 8 atau di atas tunduk pada hidrolisis yang cepat (10% atau lebih setelah sekitar 60 hari penyimpanan pada suhu kamar) (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).

Propil paraben dengan nama lain nipasol merupakan serbuk hablur putih, tidak berbau, tidak berasa. Sangat sukar larut dalam air, larut dalam 3,5 bagian etanol 95%, dalam 3 bagian aseton, dalam 140 bagian gliserol dan dalam 40 bagian minyak lemak, mudah larut dalam larutan alkali hidroksida. Propil paraben berubah warna dengan adanya besi dan dihidrolisis oleh alkali lemah dan asam kuat. Larutan propil paraben pada pH 3-6 dapat disterilkan dengan autoklaf, tanpa dekomposisi. Pada pH 3-6, larutan stabil (kurang dari 10% dekomposisi) sampai sekitar 4 tahun pada suhu kamar. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik. (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).

2.8.11 Trietanolamin

Trietanolamin biasa disingkat TEA merupakan cairan kental, tidak berwarna hingga kuning pucat, bau lemah mirip amoniak, higroskopik. TEA mudah larut dalam air dan dalam etanol 95%, larut dalam kloroform. Trietanolamin akan bereaksi dengan asam mineral membentuk garam kristal dan ester. Trietanolamin juga akan bereaksi dengan tembaga untuk membentuk garam kompleks. Trietanolamin dapat berubah coklat pada paparan udara dan cahaya. 85% trietanolamin cenderung stratifikasi di bawah 15°C, dapat homogen dengan pemanasan kembali sebelum digunakan untuk pencampuran. Penyimpanan dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).

2.8.12 Propilen Glikol

Propilen glikol merupakan cairan berwarna, kental, praktis berbau dengan rasa sedikit manis pedas mirip gliserin. Larut dengan aseton, kloroform, etanol (95%), gliserin, dan air; larut pada 1 dari 6 bagian dari eter, tidak larut dengan minyak mineral ringan atau minyak tetap, tetapi akan memisah pada beberapa minyak esensial. Penggunaan propilen glikol dibidang farmasi diantaranya sebagai pengawet antimikroba, desinfektan, humektan, plasticizer, pelarut,


(49)

digunakan sebagai agen peningkat penetrasi pada konsentrasi 1-10% (William Barry, 2004 dalam Sany, 2009). Pada suhu dingin, propilen glikol stabil di wadah tertutup, tetapi pada temperatur tinggi, di tempat terbuka, cenderung mudah teroksidasi, menghasilkan produk seperti propionaldehid, asam laktat, asam piruvat, dan asam asetat. Propilen glikol stabil bila dicampur dengan etanol 95%, gliserin, atau air. Larutan mengandung air dapat disterilkan dengan cara autoklaf. Propilen glikol tidak kompatibel dengan reagen oksidasi seperti kalium permanganat. Propilen glikol higroskopis dan harus disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya, di tempat sejuk dan kering. (Rowe, Sheskey, Owen, 2006)

2.8.13 Alkohol 96%

Alkohol 96% atau disebut juga etanol memiliki rumus empiris C2H6O dan

bobot molekul 46,07. Alkohol 96% memiliki fungsi sebagai pengawet antimikroba, disinfektan, agen penetrasi kulit, dan pelarut. Penggunaannya sebagai pelarut dalam sediaan topikal sebanyak 60-90%, sedangkan sebagai pengawet penggunaannya ≥ 10%. Efek peningkat penetrasi alkohol 96% tergantung dari konsentrasi yang digunakaan (William dan Barry, 2004 dalam Sany, 2009). Alkohol jernih, tidak berwarna, dapat bergerak dan cairan yang menguap perlahan, bau khas dan rasa terbakar. Etanol 96% memiliki titik didih 78,15°C. Larut dalam kloroform, eter, gliserin dan air (dengan rise temperature

dan kontraksi volume). Larutan etanol dapat disterilisasi dengan metode autoklaf atau penyaringan dan harus disimpan dalam wadah kedap udara dan ditempat sejuk. Pada kondisi asam, larutan etanol dapat bereaksi keras dengan bahan pengoksidasi. Campuran dengan alkali dapat menggelapkan warna karena reaksi dengan jumlah sisa aldehida. Garam organik atau akasia dapat diendapkan dari larutan berair atau dispersi. Larutan etanol juga tidak sesuai dengan wadah aluminium dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat (Rowe, Sheskey, Owen, 2006).


(50)

2.9 Ekstrak dan Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Soesilo, 1995). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang sesuai, diluar pengaruh cahaya matahari langsung (Tiwari,et al., 2011).

Parameter yang mempengaruhi kualitas dari ekstrak adalah (Tiwari, et al., 2011):

a. Bagian dari tumbuhan yang digunakan. b. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. c. Prosedur ekstraksi

Ekstraksi adalah pemisahan bahan aktif sebagai obat dari jaringan tumbuhan ataupun hewan menggunakan pelarut yang sesuai melalui prosedur yang telah ditetapkan (Tiwari,et al., 2011). Selama proses ekstraksi, pelarut akan berdifusi sampai ke material padat dari tumbuhan dan akan melarutkan senyawa dengan polaritas yang sesuai dengan pelarutnya. Efektifitas ekstraksi senyawa kimia dari tumbuhan bergantung pada ;

a. Bahan-bahan tumbuhan yang diperoleh b. Keaslian dari tumbuhan yang digunakan c. Proses ekstraksi

d. Ukuran partikel

Macam-macam perbedaan metode ekstraksi yang akan mempengaruhi kuantitas dan kandungan metabolit sekunder dari ekstrak, antara lain :

a. Tipe ekstraksi b. Waktu ekstraksi c. Suhu ekstraksi d. Konsentrasi pelarut e. Polaritas pelarut


(51)

a. Ekstraksi cara dingin 1) Maserasi

2) Perkolasi

b. Ekstraksi cara panas 1) Sokletasi

2) Digesti 3) Dekok 4) Infusa 5) Refluks

c. Teknik ekstraksi lain 1) Sonikasi

2) Supercritical Fluid

3) Vaccum Rotary Evaporator

2.9.1 Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar (Ditjen POM, 2000). Keuntungan ekstraksi dengan cara maserasi adalah pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana, sedangkan kerugiannya yakni cara pengerjaannya lama, membutuhkan pelarut yang banyak dan penyarian kurang sempurna. Dalam maserasi (untuk ekstrak cairan), serbuk halus atau kasar dari tumbuhan obat yang kontak dengan pelarut disimpan dalam wadah tertutup untuk periode tertentu dengan pengadukan yang sering, sampai zat tertentu dapat terlarut. Metode ini paling cocok digunakan untuk senyawa yang termolabil (Tiwari,et al., 2011).

2.9.2 Vaccum Rotary Evaporator

Vaccuum rotary evaporatoradalah alat yang berfungsi untuk memisahkan suatu larutan dari pelarutnya sehingga dihasilkan ekstrak dengan kandungan kimia tertentu sesuai yang diinginkan. Cairan yang ingin diuapkan biasanya ditempatkan dalam suatu labu yang kemudian dipanaskan dengan bantuan penangas, dan diputar. Uap cairan yang dihasilkan didinginkan oleh suatu pendingin (kondensor)


(52)

dan ditampung pada suatu tempat (receiver flask). Setelah Pelarutnya diuapkan, akan dihasilkan ekstrak yang dapat berbentuk padatan atau cairan (Nugroho, et al., 1999).

Kelebihan dari alat ini adalah diperolehnya kembali pelarut yang diuapkan. Penggunaan rotary evaporator meningkatkan presentase air yang terevaporasi dibandingkan dengan menggunakan waterbath (Mutairi & jasser, 2012). Prinsip kerja alat ini didasarkan pada titik didih pelarut dan adanya tekanan yang menyebabkan uap dari pelarut terkumpul di atas, serta adanya kondensor (suhu dingin) yang menyebabkan uap ini mengembun dan akhirnya jatuh ke tabung penerima (receiver flask).

2.10 Uji Penetrasi Sediaan SecaraIn vitroMenggunakan Sel Difusi Franz Studi penetrasi kulit secara in vitro berhubungan dengan mengukur kecepatan dan jumlah komponen yang menembus kulit dan jumlah komponen yang tertahan pada kulit. Salah satu cara untuk mengukur jumlah obat yang terpenetrasi melalui kulit yaitu menggunakan sel difusi franz. Sel difusi franz terbagi atas dua komponen yaitu kompartemen donor dan kompartemen reseptor. Membran yang digunakan dapat berupa kulit manusia atau kulit hewan. Membran diletakkan di antara kedua kompartemen, dilengkapi dengan o-ring untuk menjaga letak membran. Gambar alat sel difusi franz dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5Kompartemen sel difusi franz


(1)

Lampiran 24. Contoh Perhitungan Kadar Etilp-Metoksisinamat dalam Sediaan

Diketahui :

Serapan basis (ybasis) = 0,019

Persamaan regresi linier (y) = 0,125x - 0,009

Didapatkan absorbansi sebagai berikut : a. y1= 0,634

x1= 4,995 ppm

Sediaan yang diuji 500 mg

Kandungan etil p-metoksisinamat sebenarnya = 1% x 500 mg = 5 mg

Dibuat pengenceran 5 ppm dalam 10 mL Dibuat larutan induk 100 ppm dalam 50 mL


(2)

b. y2= 0,629 x2= 4,955 ppm

Konsentrasi etilp-metoksisinamat yang terukur dalam sediaan 500 mg = 4,955 x( )x 50 = 4955µg = 4,955 mg

Kadar etilp-metoksisinamat yang diperoleh = (4,955 mg/500mg) x 100% = 0,991% c. y3= 0,633

x3= 4,987 ppm

Konsentrasi etilp-metoksisinamat yang terukur dalam sediaan 500 mg = 4,987 x( )x 50 = 4987µg = 4,987 mg

Kadar etilp-metoksisinamat yang diperoleh = (4,987 mg/500mg) x 100% = 0,997%

d. Kadar rata-rata etilp-metoksisinamat dalam sediaan = 0,999 % + 0,991 % + 0,997%


(3)

Lampiran 25. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Etilp-Metoksisinamat Per Luas Area Sampel 1 Sediaan Salep Pada Menit ke 10.

Serapan Menit ke 10 (y10) = 0,068 y = 0,117x + 0,002

0,068 = 0,117x + 0,002 x10 = 0,567

Konsentrasi terpenetrasi = x10xFaktor Pengenceran =0,567 x 2

= 1,134µg/mL

Rumus Jumlah Kumulatif Zat Aktif Ter penetrasi Per Luas Area :

= + .

Cn = Konsentrasi terpenetrasi pada menit ke 10 = 1,134µg/mL V = Volume sel difusi = 21 mL

= Jumlah konsentrasi zat pada sampling pertama = 0µg/mL S = Volume sampling = 1 mL

A = Luas area membran = 3,14 cm2

Q = {(1,134µg/mL x 21 mL) + (0 x 1 mL)}/ 3,14 cm2 = 7,583 µg/cm2

% Kumulatif = (Q x A x 100) / kandungan zat aktif dalam sediaan % Kumulatif = (7,583 µg/cm2x 3,14 cm2x 100) / (0,86% x 2000µg)

= 1,389 %

Jadi Jumlah kumulatif etil p-metoksisinamat terpenetrasi perluas area pada menit ke 10 adalah 7,583 µg/cm2dengan % Kumulatif 1,389 %.


(4)

Lampiran 26. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Etilp-Metoksisinamat Per Luas Area Sampel 1 Sediaan Salep Pada Menit ke 30.

Serapan Menit ke 30 (y30) = 0,249 y = 0,117x + 0,002

0,249 = 0,117x + 0,002 x30 = 2,111

Konsentrasi terpenetrasi = x30xFaktor Pengenceran =2,111 x 2

= 4,222µg/mL

Rumus Jumlah Kumulatif Zat Aktif Ter penetrasi Per Luas Area :

= + .

Cn = Konsentrasi terpenetrasi pada menit ke 30 = 4,222µg/mL V = Volume sel difusi = 21 mL

= Jumlah konsentrasi zat pada sampling menit ke 10 = 1,134µg/mL S = Volume sampling = 1 mL

A = Luas area membran = 3,14 cm2

Q = {(4,222µg/mL x 21 mL) + (1,134µg/mL x 1 mL)}/ 3,14 cm2 = 28,599 µg/cm2

% Kumulatif = (Q x A x 100) / kandungan zat aktif dalam sediaan % Kumulatif = (28,599 µg/cm2x 3,14 cm2x 100) / (0,86% x 2000µg)

= 5,239 %

Jadi Jumlah kumulatif etil p-metoksisinamat terpenetrasi perluas area pada menit ke 30 adalah 28,599 µg/cm2dengan % Kumulatif 5,239 %


(5)

Lampiran 27. Contoh Perhitungan Fluks Penetrasi Etilp-Metoksisinamat Sampel 2 Sediaan Gel Pada Menit ke 120

Kecepatan penetrasi etil p-metoksisinamat (fluks, J, µg cm-2jam-1) dihitung dengan rumus :

=

Dimana :

J = Fluks (µg cm-2jam-1) S = Luas area difusi (cm2)

M = Jumlah kumulatif zat yang melalui membran (µg) t = Waktu (jam)

Diketahui :

M/S = 369,96 µg cm-2

t = 2 jam

Maka :

J = 369,96 µg cm-2/ 2 jam = 184,98 µg cm-2jam-1

Jadi, kecepatan penetrasi sampel 2 sediaan gel pada menit ke 120 adalah 184,98 µg cm-2jam-1


(6)

Dokumen yang terkait

Semi Sintesis N,N-Bis(2-Hidroksietil)-3-(4-Metoksifenil) Akrilamida Dari Etil P-Metoksisinamat Hasil Isolasi Rimpang Kencur (Kaempferia Galanga, L) Melalui Amidasi Dengan Dietanolamin

8 65 59

Modifikasi struktur senyawa etil p-metoksisinamat yang diisolasi dari kencur (kaempferia galanga L.) dengan metode reaksi reduksi dan uji aktivitas antiinflamasinya secara in vitro

1 22 70

Isolasi dan Uji Aktivitas Antiinflamasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.)

5 62 86

Biotransformasi Metabolit Sekunder Utama (Senyawa X) dari Ekstrak n- Heksana Kencur (Kaempferia galanga L.) Oleh Jamur Aspergillus niger ATCC 6275

0 16 54

Perbandingan Sifat Fisik Sediaan Krim, Gel, dan Salep yang Mengandung Etil p-Metoksisinamat dari Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn.)

7 83 104

Amidasi Senyawa Etil p-metoksisinamat yang Diisolasi dari Kencur (Kaempferia galanga L.) dan Uji Aktivitas Antiinflamasi Secara In-Vitro

1 18 82

Modifikasi Struktur Senyawa Etil p-Metoksisinamat yang Diisolasi dari Kencur (Kaempferia galanga L.) dengan Metode Reaksi Reduksi dan Uji Aktivitas Antiinflamasinya secara In Vitro

1 16 70

Uji Aktivitas Gel Etil p-metoksisinamat terhadap Penyembuhan Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

6 24 104

Uji Stabilitas Kimia Etil p-Metoksisinamat dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga Linn) dalam Sediaan Setengah Padat

0 30 87

Penggunaan Etil-p-Metoksisinamat dari Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) sebagai anti Ketombe dalam Sampo Krim Cair.

0 2 7