Interpretasi Hakim Terhadap Cerai Talak Akibat Istri Aborsi

56 pertengkaran. 12 Bahkan perkara aborsi dalam perceraian bisa berujung ke ranah pidana, jika memang benar sang istri melakukan aborsi tersebut dengan sengaja dan bukan atas rekomendasi dokter. Karena pada dasarnya perbuatan aborsi bertentangan dengan norma-norma Agama dan norma-norma hukum. Bilamana ada permohonan perceraian di pengadilan agama dengan alasan istri melakukan aborsi. Maka hakim memutuskan putusnya perkawinan tersebut bukan karena alasan aborsi, akan tetapi hakim agama tetap memutuskan perkara perceraian tersebut disebabkan adanya pertengkaran antara suami dan istri. Sebagaimana dalam pembahasan yang sudah penulis jelaskan di pembasahan sebelumnya dalam bab II tentang sebab-sebab putusnya perkawinan. Baik dalam KHI Kompilasi Hukum Islam dan undang-undang no 1 tahun 1974 tentang beberapa hal yang bisa dijadikan alasan putusnya perkawinan adalah sebagaimana berikut : a. Kematian b. Perceraian dan c. Putusam pengadilan Dalam pasal 39 ayat 1 UU No. 1 1974 menyatakan, bahwa: a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. b. Untuk Melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagaimana suami istri. 12 Wawancara dengan Bapak Drs. Mahfudl S. Hakim Pengadilan Agama Metro, Lampung, pada tanggal 22 Desember 2014 di ruang tamu PA Metro Lampung. Waktu 10.00 WIB 57 c. Tata cara sidang di depan sidang pengadilan diatur dalam perundang- undangan tersebut. Dan juga beberapa alasan yang tertulis dalam KHI Kompilasi Hukum Islam adalah sebagaimana berikut : 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. 6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 7. Suami melanggar taklik talak. 8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Jika ditinjau dari pedoman di atas tidak terdapat aborsi sebagai alasan putusnya perkawinan. Baik itu dalam KHI Kompilasi Hukum Islam dan undang- 58 undang no 1 tahun 1974. Lalu bagaimana bisa aborsi dalam perkara yang penulis jadikan sebagai tema skripsi ini menyebabkan putusnya perkawinan? Lalu atas dasar apa Hakim Pengadilan Agama memutuskan perkara perceraian yang disebabkan karena istri melakukan aborsi? Dari hasil wawancara penulis dengan salah satu Hakim Agama Pengadilan Agama Metro, Lampung. Dapat disimpulkan bahwa aborsi hanya sebagai alasan saja. Akan tetapi perceraian tersebut tetap disebabkan dalam kategori perselisihan dan pertengkaran. 59

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari keseluruhan rangkaian pembahasan dalam skripsi ini, mengenai interpretasi Hakim terhadap cerai talak akibat istri aborsi sebagai salah satu alasan dalam perceraian. Maka penulis menarik kesimpulan yaitu:

1. Aborsi dalam agama Islam jelas dan terang-terangan dilarang serta

diharamkan. Dikatakan bahwa membunuh sesama manusia itu sama saja dengan membunuh seluruh manusia di muka bumi ini. Islam menganut pandangan bahwa setiap bayi yang lahir ke dunia adalah suci dari segala noda dan dosa. Pengguguran berarti merusak dan menghancurkan janin, calon manusia yang dimuliakan oleh Allah, karena ia berhak survive dan lahir dalam keadaan hidup, sekalipun melalui hubungan yang tidak sah. Akan tetapi aborsi diperbolehkan asalkan kehamilan tersebut mengancam jiwa dan raga sang ibu yang sedang hamil. Seperti fatma MUI yang teraktual. Sedangkan dalam hukum positif pada KUHP pasal 29, 346, 347, 349 segala macam aborsi apapun bentuknya adalah tindakan pidana, kecuali secara khusus disebutkan dalam undang-undang kesehetan pasal 15 yang membolehkan tindakan aborsi dengan ketentuan khusus. 2. Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan KHI KompilasiHukum Islam, aborsi tidak termasuk sebagai salah satu penyebab putusnya perkawinan. Akan tetapi dalam putusan nomor 0749 Pdt. G 2010 PA. Mt, aborsi merupakan pemicu pertengkaran terus menerus. Sedangkan pertengkaran atau perselisihan yang terjadi terus menerus antara suami istri, termasuk dalam salah satu sebab syarat dari putusnya perkawinan KHI pasal 116 ayat f. Maka bisa disimpulkan bahwa aborsipengguguran janin merupakan alasan perceraian yang diajukan oleh pemohon.

3. Bilamana ada permohonan perceraian di pengadilan agama dengan alasan istri

melakukan aborsi. Maka hakim memutuskan putusnya perkawinan tersebut bukan karena alasan aborsi, akan tetapi hakim agama tetap memutuskan perkara perceraian tersebut disebabkan adanya pertengkaran antara suami dan istri. Sama halnya dengan perceraian yang disebabkan dengan perselingkuhan. Hakim agama tetap memutuskan perkara perceraian tersebut karena pertengkaran dan perselisihan, bukan karena perselingkuhan. Perselingkuhan hanya menjadi pemicu dan faktor utama perceraian tersebut

B. Saran-saran

Setelah menelaah dari permasalahan yang terdapat dalam penulisan ini, maka ada beberapa hal yang penulis rekomendasikan antara lain: 1. Tindakan aborsi haruslah dihindari agar terciptanya maqashidu syaria’ah, yakni hufdzu an-nafs. Agar terciptanya kelangsungan hidup yang damai, tentram, dan sejahtera. Kecuali bila mana janin dapat mengancam jiwa dan raga ibunya, maka itu ditolerasi untuk melakukan aborsi. Sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia sebagimana telah disebutkan dalam pasal 75 undang- undang tentang kesehatan, dan juga rekomendasi dari Majelis Ulama’ Indonesia tentang fatwa yang memperbolehkan aborsi. 2. Syarat-syarat perceraian seharusnya lebih diperbanyak lagi dalam rumusan RUU yang akan datang. Agar hal-hal yang merugikan suami istri dapat diantisipasi. 3. Harus adanya sosialisasi atau bimbingan pra nikah terhadap pasang yang akan menikah. Agar pernikahan bisa berjalan dalam suasana sakinah, mawaddah, wa rahmah. Sehingga benih-benih perceraian bisa dihindari di kemudian hari.