Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
3
Zakiah Daradjat mengemukakan lima tujuan dalam perkawinan, yaitu: 1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan;
2. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahtwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya;
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan; 4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta
kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal serta
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasing sayang.
4
Terkadang perencanaan terhadap pernikahan melalui banyak hambatan sehingga konflik-konflik kecil terjadi dalam rumah tangga, kadang konflik itu
bisa diredam dengan saling perhatian antara suami dan istri, tetapi kadang juga pertengkaran itu tidak bisa diredam dan berakhir pada perceraian..
Putusnya hubungan pernikahan pada dasarnya diakibatkan oleh adanya perceraian, baik cerai kerena kematian maupun karena cerai hidup melalui 2 cara
yakni; cerai talak dan cerai gugat.
5
Perceraian tidak mudah untuk dilakukan, karena harus ada alasan-alasan kuat yang mendasarinya. Cerai adalah terputusnya
hubungan perkawinan antara suami dan isteri.
6
4
Zakiah Daradjat, Ilmu Fikih, Jakarta, DEPAG RI, 1985 Jilid 3, h. 64.
5
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2003, h. 299.
6
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajia fikih nilai lengkap, Jakarta, Rajawali Press, 2010, h. 307.
4
Dalam KHI dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan beberapa hal yang bisa dijadikan alasan perceraian Dalam Kompilasi
Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur putusnya hubungan perkawinan sebagaimana berikut :
1. Pasal 113 KHI, menyatakan perkawinan dapat putus karena: a. Kematian;
b. Perceraian, dan c. putusan pengadilan.
2. Pasal 115 KHI dan Pasal 39 ayat 1 UU No. 1 1974 menyatakan, bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
3. Pasal 114 KHI menegaskan, bahwa Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan cerai.
Sementara itu alasan-alasan perceraian termuat dalam pasal 116 KHI dan pasal 39 ayat 1 UU No. 1 1974, antara lain:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
5
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7. Suami melanggar taklik talak. 8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga. Dalam penelitian skripsi ini penulis ingin mengkaji tentang pertimbangan
hakim terhadap alasan yang diungkapkan Pemohon pada perkara Nomor 0749 Pdt .G 2011 PA.Mt yang mana dalam perkara ini Pemohon memberikan alasan
perceraian bahwa istri telah melakukan aborsi
7
sehingga dengan alasan ini Pemohon mengajukan cerai thalaq di Pengadilan Agama Metro. Jika dilihat dari
7
Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”. Berarti pengeluaran hasil konsepsi pertemuan sel telur dan sel sperma sebelum janin dapat hidup di
luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.
Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu: 1. Aborsi Spontan Alamiah
2. Aborsi Buatan Sengaja 3. Aborsi Terapeutik Medis
Aborsi spontan alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan
karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma, sedangkan Aborsi buatan sengaja adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang
disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak. Aborsi terapeutik medis adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas
indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin
yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa. Lihat K. Bertens, Aborsi Sebagai Masalah Etika, Jakarta, Grasindo, 2002, h. 5.
6
Pasal 116 KHI dan pasal 39 ayat 1 UU No. 1 1974, aborsi tidak termasuk dalam alasan diajukannya perceraian.
Aborsi menurut Abdurrahman Al Baghdadi menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh nyawa ditiupkan. Jika dilakukan
setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 empat bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih fuqoha sepakat akan keharamannya. Tetapi para
ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
8
Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli w. 1596 M dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan
karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.
9
Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar w. 1567 M dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya`
Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum sel telur maka
aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang
bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi
8
Abdurrahman Al-Bagdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 1998, h. 127-128.
9
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta, Hajimasagung,
1993
,
h. 81.
7
eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari
kandungan sampai dibuang atau dibunuh.
10
Dari pengertian diatas dan melihat fakta yang terjadi, maka Penulis ingin mengkaji secara dalam mengenai pertimbangan hakim yang membolehkan
terjadinya suatu perceraian akibat istri melakukan aborsi. Berangkat dari keingintahuan penulis inilah, penulis ingin mencoba meneliti dan menguraikan
bentuk penulisan skripsi dengan judul: Analisis Interpretasi Hakim Terhadap Cerai Thalaq Akibat Istri Aborsi Studi Putusan Nomor 0749 Pdt .G 2011
PA.Mt