TINJAUAN PUSTAKA Ir. Kalsum, M.Kes 3. Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budaya Organisasi

2.1.1. Pengertian Budaya

Menurut Peruci dan Hamby dalam Tampubolon, 2004:184 mendefisinisikan budaya adalah segala sesuatu yang dilakukan, dipikirkan, dan diciptakan oleh manusia dalam masyarakat, serta termasuk pengakumulasian sejarah dari objek-objek atau perbuatan yang dilakukan sepanjang waktu. Menurut Stoner 1995: 181 budaya culture adalah gabungan kompleks dari asumsi, tingkah laku, cerita, mitos, metafora, dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat tertentu. Kemudian Alisyahbana dalam Supartono, 2004:31 budaya merupakan manifestasi dari cara berfikir, sehingga menurutnya pola kebudayaan itu sangat luas sebab semua tingkah laku dan perbuatan, mencakup di dalamnya perasaan karena perasaan juga merupakan maksud dari pikiran. Menurut Edward Taylor dalam Sobirin, Achmad 2007 : 52, budaya adalah kompleksitas menyeluruh yang terdiri dari pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan dan berbagai kapabilitas lainnya serta kebiasaan apa saja yang diperoleh seoang manusia sebagai bagian dari sebuah masyarakat. Berdasarkan pengertian diatas maka budaya dapat disimpulkan yaitu segala sesuatu yang merupakan hasil pemikiran dan kemudian dilakukan dalam Universitas Sumatera Utara kehidupannya baik sebagai individu maupun sebagai anggota dalam masyarakat. Hasil pemikiran tersebut dapat berupa pengetahuan, kepercayaan, kesenian, nilai-nilai dan moral yang didapat dari interaksi manusia dengan lingkungannya, baik interaksi terhadap alam maupun terhadap manusia lain dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Soekanto 171:1990 masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Maka dengan begitu tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan, dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya, Sehingga suatu organisasi yang merupakan bagian dari masyarakat tentulah memiliki kebudayaan didalamnya.

2.1.2. Pengertian Organisasi

Organisasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu organon yang berarti alat atau instrumen. Arti kata ini menyiratkan bahwa organisasi adalah alat bantu manusia. Ketika seorang mendirikan sebuah organisasi, tujuan akhirnya bukan organisasi itu sendiri melainkan agar dia dan semua orang yang terlibat didalamnya dapat mencapai tujuan lain lebih mudah dan lebih efektif. Itulah sebabnya kenapa organisasi itu sering didefinisikan sebagai sekelompok manusia yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan bersama. Stoner 1995:6 Organisasi organization adalah dua orang atau lebih yang bekerja sama dalam cara yang terstruktur untuk mencapai sasaran spesifik atau sejumlah sasaran. Pengertian ini juga didukung oleh Gers dalam Supardi dan Anwar, 2004:5 yang mengatakan organisasi merupakan tata hubungan antara orang-orang untuk dapat memungkinkan tercapainya tujuan bersama dengan adanya pembagian Universitas Sumatera Utara tugas dan tanggung jawab. Menurut Malinowski dalam Cahyani 2004 : 2 juga mengatakan organisasi sebagai suatu kelompok orang yang bersatu dalam tugas- tugas, terikat pada lingkungan tertentu, menggunakan alat teknologi dan patuh pada peraturan. Menurut Sobirin 2007 : 7 organisasi adalah sebagai unit sosial atau entitas yang didirikan oleh manusia untuk jangka waktu yang relative lama, beranggotakan sekelompok manusia-manusia minimal dua orang, mempunyai kegiatan yang terkoordinir, teratur dan terstruktur, didirikan untuk mencapai tujuan tertentu dan mempunyai identitas diri yang membedakan satu entitas dengan entitas lainnya. Menurut Rivai dalam Kartono 2003 : 188 organisasi merupakan wadah yang memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh individu secara sendiri-sendiri. Organsasi merupakan suatu unit terkoordinasi yang terdiri dari dua orang atau lebih berfungsi mencapai suatu sasaran tertentu. Sedangkan menurut J. Bernard dalam Tika 2006 : 3 organisasi adalah kerja sama dua orang atau lebih, suatu sistem dari aktivitas-aktivitas atau kekuatan-kekuatan perorangan yang dikoordinasikan secara sadar. Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa organisasi adalah suatu kelompok yang menghimpun anggota-anggota yang memiliki satu tujuan tertentu dan bekerja sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan dimana dalam kelompok tersebut memiliki struktur yang memuat unit-unit kerja sebagai pengelompokan tugas-tugas atau pekerjaan sejenis dari yang mudah hingga yang terberat dimana setiap unit memiliki volume dan beban kerja yang harus diwujudkan Universitas Sumatera Utara guna mencapai tujuan organisasi. Dalam pencapaian tujuan tersebut dibutuhkan koordinasi dalam pelaksanaan kerjasama yang berdasarkan prosedur yang telah diatur secara formal.

2.1.3. Pengertian Budaya Organisasi

Victor S.L Tan dalam Tunggal 2007 : 2 , budaya organisasi merupakan suatu norma yang terdiri dari suatu keyakinan, sikap, core value, dan pola perilaku yang dilakukan orang dalam organisasi. Keyakinan adalahh semua asumsi dan persepsi tentang sesuatu, orang dan organisasi secara keseluruhan, dan diterima sebagai sesuatu yang benar dan sah. Menurut Davis dalam Lako 2004 : 29 budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktekkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Mangkunegara 2005: 113 yang menyatakan bahwa budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai, dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan internal. Menurut Robbins dalam Tampubolon 2004 bahwa budaya organisasi merupakan perekat sosial yang mengikat anggota-anggota organisasi secara bersama-sama melalui nilai-nilai, norma-norma standar yang jelas tentang apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan dan dikatakan oleh anggotanya. Scein dalam Stoner 1995 budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi- asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok Universitas Sumatera Utara tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut. Pendapat Scein diatas diperkuat oleh Drucker dalam Tika, 2006: 4 yang menyatakan budaya organisasi adalah pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan ddan merasakan terhadap masalah-masalah terkait seperti diatas. Dari beberapa pendapat ahli diatas bisa disimpulkan bahwa Budaya Organisasi adalah seperangkat asumsi atau keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota- anggota untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.

2.1.4. Model Kultur Organisasi

Banyak fenomena yang berkaitan atau mencerminkan suatu kultur, akan tetapi tidak seluruh fenomena tersebut dapat dikatakan suatu kultur dan menurut Edgar H. Schein perlu ditambahkan dua syarat agar sesuatu itu dapat disebut kultur, yaitu stabilitas struktural bahwa “sesuatu” itu tidak semata-mata dimiliki bersama oleh para anggota, melainkan juga tertanam secara mendalam serta stabil dalam struktur dan perilaku mereka; adanya pola atau integrasi bahwa unsur-unsur tersebut Universitas Sumatera Utara termuat dalam suatu paradigma atau gestalt yang terdapat pada level yang lebih dalam dan mengikat semua itu menjadi satu kesatuan. Mengingat luasnya fenomena yang tercakup di dalamnya maka untuk memahami kultur, Schein 1992 menyederhanakan menjadi tiga lapisan berdasarkan tingkat “kedalamannya”, yaitu artifak yang meliputi elemen-elemen yang paling kasat mata dan berada pada lapis terluar; nilai-nilai yang sifatnya lebih abstrak, tetapi masih berada dalam ruang lingkup kesadaran pelaku; dan asumsi-asumsi kultural atau basic assumption yang bersifat kelaziman atau taken for granted dan sering kali berada di luar kesadaran pelaku. Ketika diterapkan pada organisasi, pada lapisan terluar, artifak, terdapat struktur dan proses-proses organisasional yang dapat diamati secara langsung oleh peneliti. Perlu diingat bahwa karakteristik artifak adalah hard to dechiper atau sulit ditafsirkan oleh pengamat luar. Dalam mengungkapnya dibutuhkan waktu yang cukup dengan orang-orang di dalam organisasi tersebut, atau jalan yang lebih singkat adalah menganalisis melalui nilai-nilai ideal espoused value, norma-norma, dan aturan-aturan yang berlaku dalam kegiatan sehari-hari organisasi. Pada lapisan terdalam jika peneliti menggali lebih lanjut akan ditemukan keyakinan, persepsi, pemikiran, dan perasaan yang sifatnya taken for granted atau selalu dianggap benar oleh para pelaku, serta merupakan sumber dari nilai-nilai dan perilaku para anggota organisasi. Inilah yang dimaksud dengan asumsi-asumsi kultural yang merupakan dasar terdalam dari kultur sebuah organisasi. Menurut Schein, asumsi-asumsi inilah yang paling penting untuk ditemukan oleh seorang Universitas Sumatera Utara peneliti. Jika asumsi-asumsi ini dipahami, maka kedua level lainnya akan dapat dijelaskan lebih mudah 1992:6. a. Asumsi-asumsi Kultural, hubungan antara asumsi-asumsi kultural dengan individu-individu yang menjadi anggota organisasi dapat dibayangkan seperti ikan dengan air Hatch, 1997: 210, seekor ikan menerima keberadaan air sebagai suatu “kebenaran” yang tidak perlu dipertanyakan lagi, bahkan sering kali tidak disadari. Para anggota organisasi, sebagai pelaku dalam kultur, menganggap bahwa apa yang dilakukan di dalam organisasi sebagai “the way we do things around here” Michela dan Burke, 2000: 229, atau sudah sewajarnya dilakukan. Selain itu, yang harus dicatat bahwa kultur bukanlah asumsi atau keyakinan yang bersifat tunggal, tetapi seperangkat asumsi atau keyakinan yang saling berhubungan tetapi tidak harus konsisten satu sama lain. b. Nilai-nilai, nilai dapat dikelompokkan dalam dua level: individu dan kelompok. Nilai dalam konteks individu adalah wilayah kajian filsafat, etika, atau psikologi. Sementara itu, nilai yang menyangkut kelompok adalah cakupan dari sosiologi, ekonomi, politik, dan lain-lain bidang ilmu yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Pembahasan tentang nilai umumnya pada level kelompok karena kultur bagaimanapun adalah suatu fenomena kelompok. Namun, konteks nilai pada level individu tetap dibahas karena pengertian nilai yang paling mendasar sesungguhnya berada pada level ini. Nilai merupakan acuan bertindak, bersikap, dan berpikir seorang individu walaupun sumber dari nilai-nilai sebagian besar barangkali terletak pada level kelompok. Oleh karena itu, dalam konteks kultur, Mary Jo Hatch Universitas Sumatera Utara mendefinisikan nilai sebagai prinsip-prinsip, tujuan-tujuan, dan standar-standar sosial yang berlaku di dalam suatu kultur dan dianggap memiliki nilai intrinsik 1997:214. Jika diterapkan dalam organisasi, maka nilai-nilai adalah sesuatu yang paling diperhatikan dan didahulukan oleh organisasi tersebut dalam setiap aktivitasnya baik itu berupa kebebasan, demokrasi, tradisi, kesejahteraan, maupun loyalitas. Berdasarkan kajian terhadap definisi yang ada, Kilmann 1981 menemukan bahwa pengertian umum yang dapat ditangkap dari definisi mengenai nilai meliputi objek-objek, kualitas-kualitas, standar-standar, atau kondisi-kondisi yang memuaskan atau dianggap dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan manusia danatau menjadi pedoman dalam bertindak Stackman dkk, 2000:38. Sementara itu, Vijay Sathe 1985 mendefinisikan nilai sebagai asumsi dasar atau basic assumption tentang “what ideals are desirable or worth striving for”. Dengan kata lain, nilai menyangkut tentang ideal-ideal yang diinginkan atau layak diperjuangkan. Dalam definisi yang lain, Hofstede 1980:19, bahwa nilai adalah “a broad tendency to prefer certain state of affairs over others.” Setiap individu atau kelompok memiliki kecenderungan preferensi terhadap apa yang dianggap penting nilai kebutuhan pragmatis, baik nilai moral atau benar nilai pengetahuan. Pokok permasalahan lain yang cukup penting dan sering dibicarakan oleh ahli-ahli kultur organisasi dalam kaitannya dengan nilai-nilai adalah transformasi atau perubahan nilai-nilai. Hal ini berguna sekali jika kita membahas dinamika nilai, misalnya pada kasus perubahan kultur organisasi. Manajemen perubahan kultur selalu dilakukan dengan prinsip dasar ini. Rokeach 1973 memberikan sebuah teori bahwa Universitas Sumatera Utara perubahan nilai-nilai umumnya dilakukan dengan menghadapkan individu pada informasi, umpan balik, atau interpretasi yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakininya prinsip self confronting. c. Artifak, merupakan unsur terakhir yang menjadi fokus perhatian dalam melakukan penelitian kultur organsasi dan sekaligus aspek penting yang sering kali mendapat penekanan khusus dalam penelitian kultur terutama yang menggunakan pendekatan simbolik-interpretif. Di satu sisi, kultur organisasi hanya dapat disimpulkan dari pengamatan terhadap artifak-artifak yang kelihatan. Namun di sisi lain, makna kultural yang sesungguhnya dari artifak-artifak tersebut tidak mudah diungkap. Hal ini membutuhkan keterlibatan yang mendalam dan waktu yang cukup panjang, sebelum seorang peneliti mampu menangkap makna-makna simbolik yang diberikan anggota kepada artifak yang ada. Hacth 1997:216 membagi arrtifak menjadi tiga kelompok besar, yaitu 1. Manifestasi fisik contohnya: seni, gaya bangunan, penampilan, objek material, tata letak fisik; 2. Perilaku contohnya: upacararitual, pola-pola komunikasi, tradisiadat istiadat, ganjaranhukuman; 3. Verbal contohnya: anekdotjoke, jargonnamajulukan, penjelasan-penjelasan, kisah-kisahmitossejarah, pahlawanpenjahat, metafor. Menurut Daft 1997: 323, beberapa aspek kultural penting yang teramati dan bersifat khas dari sebuah organisasi adalah ritus rites dan upacara, kisah stories, symbol-simbol dan bahasa. Hal yang lebih kurang sama dikatakan oleh Dandridge dkk 1980: 77, bahwa unsur-unsur yang mencirikan karakter, ideologi, dan sistem Universitas Sumatera Utara nilai pada sebuah organisasi adalah kisah-kisah stories, mitos, upacara, ritual, logo, anekdot, dan lelucon jokes. Schein 1992: 245-252 memberikan keterangan yang agak berbeda tentang fungsi dan pengaruh artifak, khususnya artifak yang termasuk dalam kelompok artifak fisik dan verbal. Pengamatan terhadap artifak fisik dan verbal adalah kelompok artifak mekanisme sekunder jika dilakukan pada organisasi yang sudah mapan tidak serta-merta akan menjelaskan kultur yang berlaku. Mekanisme sekunder dapat digunakan untuk menjelaskan kultur dengan baik hanya pada kasus-kasus dimana mekanisme sekunder ini konsisten dengan mekanisme primer. Jika tidak, artifak yang termasuk dalam mekanisme sekunder tidak memiliki makna kultural yang konsisten dengan kultur yang berlaku artinya diabaikan oleh para anggota atau menjadi sumber konflik intern. Hal ini dapat mengelabui pengamat dari luar yang tidak mengetahui secara mendalam latar belakang dan sejarah organisasi tersebut. Dalam pengertian ini, Schein menggaris-bawahi bahwa artifak khususnya bentuk fisik dan verbal tidak memiliki makna kultural yang berdiri sendiri, melainkan terkait erat dengan perilaku pendiri organisasi pada awal pertumbuhan dan perkembangan organisasi tersebut. Ketika organisasi telah mapan, artifak ini memberikan makna kultural tertentu kepada para anggota, tetapi dengan syarat bahwa hal itu konsisten dengan mekanisme primer yang telah terbentuk dalam sejarah organisasi. Dengan kata lain, artifak-artifak dalam kultur sebuah organisasi biasanya memiliki makna kultural yang konsisten jika kultur organisasi tersebut tergolong kultur yang kuat. Universitas Sumatera Utara Penjelasan Schein ini memperkuat gambaran bahwa artifak bukanlah unsur yang mudah ditafsirkan dalam ssebuah organisasi. Pemahaman terhadap artifak mempersyaratkan pula pemahaman terhadap latar belakang dan sejarah organisasi, khususnya bagaimana para pendirinya membangun dan menanamkan nilai-nilai tertentu kepada anggotanya.

2.1.5. Elemen Budaya Organisasi

Beberapa ahli mengemukakan elemen budaya organisasi, seperti Denison 1990 antara lain : nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip dasar, dan praktek- praktek manajemen serta perilaku. Serta Schein 1992 yaitu : pola asumsi dasar bersama, nilai dan cara untuk melihat, berfikir dan merasakan, dan artefak. Terlepas dari adanya perbedaan seberapa banyak elemen budaya organisasi dari setiap ahli, secara umum elemen budaya organisasi terdiri dari dua elemen pokok yaitu elemen yang bersifat idealistik dan elemen yang bersifat perilaku.

1. Elemen Idealistik

Elemen idealistik umumnya tidak tertulis, bagi organisasi yang masih kecil melekat pada diri pemilik dalam bentuk doktrin, falsafah hidup, atau nilai-niali individual pendiri atau pemilik organisasi dan menjadi pedoman untuk menentukan arah tujuan menjalankan kehidupan sehari-hari organisasi. Elemen idealistik ini biasanya dinyatakan secara formal dalam bentuk pernyataan visi atau misi organisasi, tujuannya tidak lain agar ideologi organisasi tetap lestari. Schein 1992 dan Rosseau 1990 mengatakan elemen idealistik tidak hanya terdiri dari nilai-nilai organisasi tetapi masih ada komponen yang lebih esensial yakni Universitas Sumatera Utara