Tinjauan Pendidikan Karakter

d. Pilar Pendidikan Karakter

Dalam pendidikan karakter, Lickona (1992) menekankan pentingnya moral knowing atau pengetahuan

tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral, dan moral action atau

aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, yakni untuk mengetahui, merasakan, dan mempraktikkan karakter yang baik.

Moral knowing terdiri dari enam hal, yaitu moral awareness

(kesadaran moral), knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), perspective taking , moral reasoning, decision making, dan self knowledge. Moral feeling juga sebagai aspek yang harus ditanamkan, yang terdri dari enam hal, yaitu conscience (nurani), self esteem (percaya diri), empathy (merasakan penderitaan orang lain), loving the good (mencintai kebenaran), self control (mampu mengontrol diri), dan humility (kerendahan hati). Moral action ialah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata. Tindakan moral ini merupakan hasil dari dua komponen karakter lainnya yakni moral knowing dan moral feeling. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik, maka harus dilihat tiga aspek yang lain dari karakter, yakni kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).

Pendidikan karakter sebagai upaya pembentukan dan pengembangan

karakter bukan saja mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, namun lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan. Perbuatan baik sebagai hasil dari pengetahuan dan perasaan tentang moral diharapkan tidak hanya dijalankan sesekali atau kadang-kadang saja, namun terus menerus hingga menjadi kebiasaan untuk berbuat baik. Untuk itu, para penggiat pendidikan karakter berupaya merumuskan pilar-pilar penting dalam pendidikan karakter. Menurut Indonesia Heritage Foundation (IHF) dalam Kesuma, Triatna & Permana (2011: 14), nilai-nilai karakter yang perlu ditanamkan antara lain:

1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya: berarti melaksanakan ajaran agama yang dianutnya dan saling menghormati pemeluk agama lain

2) Kemandirian dan tanggung jawab: berarti tidak tergantung kepada orang lain dan berusaha melaksanakan tugas dan kewajibannya

3) Kejujuran/amanah, bijaksana: perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan dan tindakan

4) Hormat dan santun: menghargai dan sopan terhadap orang lain

5) Dermawan, suka menolong dan gotong royong: suka memberi pada orang lain yang membutuhkan

6) Percaya diri, kreatif, dan pekerja keras: percaya pada kemampuan diri, selalu berusaha berinovasi untuk menghasilkan sesuatu yang baru, bersungguh-sungguh dalam mengerjakan tugas dan tidak mudah menyerah

7) Kepemimpinan dan keadilan: kemampuan mengoordinasi orang lain dan tidak membeda-bedakan

8) Baik dan rendah hati: bersikap tidak menyombongkan kemampuan diri

9) Toleransi, kedamaian, dan kesatuan: menghargai perbedaan agama, suku bangsa, pendapat, dan tindakan yang berbeda dari dirinya

Kesembilan pilar pendidikan karakter tersebut saling terkait, dan

mengesampingkan salah satu pilar dari pilar yang lainnya akan berpengaruh terhadap proses pendidikan karakter secara holistik.

Sedangkan Kemendiknas (2010: 8-10) berpendapat bahwa

pengembangan nilai-nilai karakter diidentifikasi dari beberapa sumber, yaitu agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yang menghasilkan 18 nilai-nilai karakter dengan deskripsinya, yakni sebagai berikut:

Tabel 2.1. Nilai-nilai Karakter dan Deskripsi

Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain

2 Jujur

Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan

3 Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, 3 Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,

4 Disiplin

Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan

5 Kerja keras

Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya

6 Kreatif

Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki

7 Mandiri

Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas

8 Demokratis

Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain

9 Rasa ingin tahu

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar

Semangat kebangsaan

Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya

11 Cinta tanah air

Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa

Menghargai prestasi

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain

Bersahabat/ komunikatif

Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain

14 Cinta damai

Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya

Gemar membaca

Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya

Peduli lingkungan

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi

17 Peduli sosial

Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan

Tanggung jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa

(Sumber: Kemendiknas, 2010: 8-10)

e. Teori Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter secara umum dapat dipahami melalui dua

paradigma, seperti yang disampaikan oleh Koesoema (2007:136-137), yaitu pertama, memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang lebih sempit (narrow scope to moral education). Pendidikan karakter dalam pandangan ini berkaitan dengan bagaimana menanamkan nilai-nilai moral tertentu dalam diri anak didik, seperti nilai-nilai yang berguna bagi pengembangan pribadinya sebagai makhluk individual sekaligus sosial. Kedua, melihat pendidikan karakter dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas, terutama melihat keseluruhan peristiwa dalam dunia pendidikan itu sendiri (educational happenings). Paradigma kedua membahas secara khusus bagaimana nilai kebebasan itu tampil dalam kerangka hubungan yang sifatnya lebih struktural, misalnya dalam hal pengambilan keputusan yang bersifat kelembagaan, dalam relasinya pelaku pendidikan lain, seperti keluarga, masyarakat (sekolah, lembaga agama, asosiasi, yayasan, dll), dan negara.

Jika kedua paradigma tersebut digabungkan, maka akan muncul

sebuah pemahaman baru tentang pendidikan karakter sebagai pedagogi. Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memberikan perhatian pada tiga hal penting bagi pertumbuhan manusia, yaitu perkembangan kemampuan kodrati manusia sebagaimana yang dimiliki secara berbeda oleh setiap individu. Dalam mengembangkan kemampuan kodrat ini manusia tidak dapat mengabaikan relasinya dengan lingkungan sosial, di mana dalam relasi antara individu dan masyarakat ini, manusia mengarahkan diri pada nilai-nilai. Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memberikan tiga matra penting setiap tindakan edukatif maupun campur tangan intensional bagi sebuah kemajuan pendidikan. Seperti

Maka, pembaruan dalam dunia pendidikan, serta penerapan program pendidikan karakter dalam setiap lembaga pendidikan tidak dapat melepaskan diri dari tiga

Pendidikan karakter yang memberikan perhatian pada perkembangan

individu membuat pendidikan karakter memiliki fungsi pedagogis. Melepaskan salah satu matra dari tiga matra penting yang sangat fundamental bagi pendidikan individu membuat pendidikan karakter memiliki fungsi pedagogis. Melepaskan salah satu matra dari tiga matra penting yang sangat fundamental bagi pendidikan

Matra individu dalam pendidikan karakter menyiratkan dihargainya

nilai-nilai kebebasan dan tanggungjawab. Nilai-nilai kebebasan inilah yang menjadi prasyarat utama sebuah perilaku bermoral. Yang menjadi subjek yang bertindak dan subjek moral adalah pribadi itu sendiri. Matra sosial mengacu pada corak relasional antara individu dengan individu lain, atau dengan lembaga lain yang menjadi cerminan kebebasan individu dalam mengorganisir dirinya sendiri. Kehidupan sosial dalam masyarakat bisa berjalan dengan baik dan stabil karena ada relasi kekuasaan yang menjamin kebebasan individu yang menjadi anggotanya. Matra moral menjadi jiwa yang menghidupi gerak dan dinamika masyarakat sehingga masyarakat tersebut menjadi semakin berbudaya dan bermartabat. Tanpa ada matra moral ini, masyarakat akan hidup dalam suatu tirani kekuasaan yang melecehkan individu dan menghalangi kebebasan.

Selanjutnya, terdapat berbagai pendekatan untuk memahami

pendidikan karakter. Seperti yang dikemukakan oleh Muslich (2011:106), yaitu

Menurut Hersh setidaknya ada lima pendekatan, yaitu pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pengembangan perilaku sosial. Elias mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi ini menurut Rest didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yaitu perilaku, kognisi, dan afeksi.

Berbagai pendekatan yang dikemukakan oleh berbagai pakar untuk

memahami pendidikan karakter sangat bermacam-macam, sehingga untuk alasan- alasan praktis dalam penggunaannya di lapangan, berbagai pendekatan tersebut diringkas menjadi lima tipologi pendekatan, yaitu pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan

Kelima pendekatan tersebut kemudian dijabarkan oleh Muslich

(2011:108-120). Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Menurut pendekatan ini, tujuan pendekatan nilai adalah diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa dan berubahnya nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. Terkait dengan itu, metode yang digunakan dalam proses pembelajaran antara lain keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.

Sedangkan pendekatan perkembangan kognitif menekankan pada

aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan perkembangan kognitif mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Menurut pendekatan ini, perkembangan moral dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi. Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai oleh pendekatan ini. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral.

Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan

penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini yaitu pertama, membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka.

Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi

penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai

Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach)

menekankan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama- sama dalam suatu kelompok. Tujuan utama pendidikan karakter berdasarkan pendekatan ini adalah pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama- sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri. Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi.

Dari berbagai macam pendekatan terhadap pendidikan karakter

tersebut, kesemuanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dan bukan berarti pendekatan yang satu lebih baik dari pendekatan yang lain. Akan tetapi, suatu pendekatan tertentu dianggap lebih tepat diaplikasikan dalam

penanaman nilai (inculcation approach) adalah pendekatan yang paling tepat

alasan yang dikemukakan oleh Muslich (2011:120-122) antara lain

1) Tujuan pendidikan karakter adalah penanaman nilai-nilai tertentu dalam diri siswa. Pengajarannya bertitik tolak dari nilai-nilai sosial tertentu, yakni nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.

2) Menurut nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan pandangan hidup bangsa Indonesia, manusia memiliki berbagai hak dan kewajiban dalam hidupnya. Dalam rangka pendidikan karakter, siswa perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajibannya, supaya menyadari dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban tersebut dengan sebaik-baiknya.

3) Menurut konsep luhur bangsa Indonesia, hakikat manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa, makhluk sosial, dan makhluk individu. Sehubungan dengan hakikatnya itu, manusia memiliki hak dan kewajiban asasi. Siswa juga perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajiban asasinya sebagai manusia.

4) Dalam pembelajaran pendidikan karakter di Indonesia, faktor isi atau nilai merupakan hal yang amat penting. Nilai-nilai ini harus diajarkan kepada anak, sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dalam pembelajaran pendidikan karakter, faktor isi dan proses sama-sama dipentingkan.

Kemudian, Komensky memberikan

11 kanon bagi sebuah

pembelajaran moral di sekolah, yang bisa dipertimbangkan sebagai metode bagi pengembangan karakter moral individu (Koesoema, 2007:148-152) yaitu pertama, dalam diri kaum muda haruslah ditanamkan semua keutamaan tanpa mengecualikan satu pun. Keutuhan dan kelurusan hati dalam pendidikan moral ini mewajibkan bahwa tidak ada satu keutamaan pun yang dikecualikan, kalau tidak mau menggangu harmoni dan keseluruhan proses pendidikan. Kedua, kemampuan dalam mengarahkan pertimbangan intelektual dalam membedakan secara jernih apa yang baik dan buruk (prudenza). Prudenza juga bisa berarti kemampuan untuk meramalkan dampak-dampak dan hasil dari suatu perbuatan, terutama perbuatan moral. Ketiga, keadilan. Keutamaan sejati terdapat dalam kemampuan diri untuk menimbang dan menilai segala sesuatu secara seimbang dan adil, atau dalam memberikan penghargaan terhadap sesuatu itu apa adanya, sesuai dengan halnya itu sendiri.

Keempat, sikap ugahari (la temperanza). Sikap ugahari merupakan

kemampuan untuk mengaktualisasikan dan memuaskan dorongan-dorongan kemampuan untuk mengaktualisasikan dan memuaskan dorongan-dorongan

Kedelapan mengerjakan dengan kesungguhan apa yang sedang

dihadapi dapat dilihat dari kenyataan bahwa anak didik itu memiliki kemampuan untuk setia pada tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya. Kesembilan jika anak-anak muda mampu memberikan makna atas jerih payah dan kerja keras mereka, mereka akan melakukan segala sesuatu secara sungguh-sungguh dan menyenangkan. Kesepuluh kesiapsediaan dan kemurahan hati melayani yang lain. Kesebelas penanaman keutamaan ini dimulai sejak kecil.

f. Prinsip dan Metode Pendidikan Karakter

Selain adanya beberapa pendekatan dalam memahami pendidikan

karakter maupun 11 kanon yang diberikan oleh Komensky, pendidikan karakter perlu dikembangkan dengan prinsip-prinsip yang kuat. Lickona et al dalam Muslich (2007: 129) menemukan 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan dengan efektif, yaitu

1) Kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik. 2)

ecara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku.

3) Gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter.

4) Ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian.

5) Beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral.

6) Buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil.

7) Usahakan mendorong motivasi diri siswa.

8) Libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa.

9) Tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter.

10) Libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter.

11) Evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.

Maka, pendidikan karakter memerlukan keterlibatan berbagai pihak,

baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat, di mana setiap pihak memiliki fungsi dan perannya masing-masing dalam optimalisasi pendidikan karakter. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam penanaman karakter dipelajari secara komprehensif mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku yang didukung dengan kurikulum akademik serta stabilitas lingkungan.

Sedangkan Koesoema (2007: 218) menyatakan 6 prinsip pendidikan

karakter di sekolah yang dapat dijadikan sebagai pedoman agar mudah dimengerti dan dipahami oleh peserta didik dan setiap individu yang bekerja dalam lingkungan pendidikan sekolah. Prinsip-prinsip tersebut adalah :

Pertama, karakter ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu katakan atau kamu yakini. Kedua, setiap keputusan yang diambil menentukan akan menjadi orang macam apa dirimu. Ketiga, karakter yang baik dilakukan dengan cara-cara yang baik. Keempat, jangan mengambil perilaku buruk yang dilakukan oleh orang lain sebagai patokan, pilihlah patokan yang lebih baik dari mereka. Kelima, apa yang kamu lakukan memiliki makna dan transformatif. Keenam, bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah kamu menjadi pribadi yang lebih baik.

Dari prinsip-prinsip tersebut dapat dilihat bahwa pendidikan karakter

merupakan suatu tindakan yang akan menentukan seseorang secara sadar menjadi manusia yang baik dalam berperilaku.

Selanjutnya, Budimansyah (2010: 10-11) mengemukakan bahwa

dalam konteks mikro pada satuan pendidikan, maka program pendidikan karakter perlu dikembangkan dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut.

1. Berkelanjutan, mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai- nilai karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan.

2. Melalui semua subjek pembelajaran, pengembangan diri, dan budaya satuan pendidikan mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter dilakukan melalui kegiatan kurikuler setiap mata pelajaran/mata kuliah, kokurikuler dan ekstra kurikuler.

3. Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan (value is neither cought nor taught, it is learned), mengandung makna bahwa materi nilai-nilai dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa. Tidak semata-mata dapat ditangkap sendiri atau diajarkan, tetapi lebih jauh diinternalisasi melalui proses belajar. Artinya, nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, atau pun fakta seperti dalam mata pelajaran tertentu.

4. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru/dosen. Guru/dosen menerapkan prinsip keteladanan dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif.

Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk perilaku individu

yang bermoralitas baik, yang mampu menerapkan strategi atau metode yang tepat agar pencapaiannya efektif dan menuju sasaran. Koesoema (2007:212-217) mengajukan lima metode pendidikan karakter yang diselenggarakan di sekolah yang bermoralitas baik, yang mampu menerapkan strategi atau metode yang tepat agar pencapaiannya efektif dan menuju sasaran. Koesoema (2007:212-217) mengajukan lima metode pendidikan karakter yang diselenggarakan di sekolah

Gambar 2.1. Metode Pendidikan Karakter (Sumber: Koesoema, 2007: 217)

Dari gambar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Mengajarkan. Mengajarkan karakter berarti memberikan pemahaman konseptual struktur nilai tertentu sehingga mahasiswa memiliki gagasan nilai-nilai pedoman perilaku bagi pengembangan karakternya. Hal ini berarti bahwa pembuat kebijakan di FKIP harus memberikan pengetahuan mengenai nilai-nilai berkarakter kuat dan cerdas yang harus dimiliki calon pendidik, program-program riilnya, serta kerugian bila tidak melaksanakannya.

2) Memberikan keteladanan. Keteladanan merupakan posisi yang terpenting dalam pendidikan karakter. Setiap anak memiliki kecenderungan lebih banyak belajar melalui visual. Untuk itu, baik pembuat kebijakan, dosen, maupun staf kependidikan harus dapat menjadi teladan bagi mahasiswa di dalam proses pembelajaran maupun di luar proses pembelajaran.

3) Menentukan prioritas. Lembaga pendidikan dalam hal ini lebih khusus yaitu fakultas, harus menetapkan prioritas yang jelas agar proses evaluasi atas berhasil tidaknya pendidikan karakter menjadi lebih jelas. Prioritas di

Mengajarkan

Memberikan teladan

Refleksi

Praksis prioritas

Menentukan

prioritas

sini adalah apa yang menjadi fokus utama dari pendidikan karakter tersebut, yaitu nilai berkarakter kuat dan cerdas.

4) Praksis prioritas, merupakan proses verifikasi bukti sejauh mana prioritas lembaga direalisasikan. Realisasi visi merupakan pertanggungjawaban bahwa pendidikan karakter benar-benar dilaksanakan.

5) Refleksi, merupakan proses evaluasi sejauh mana keberhasilan pendidikan karakter bagi pengembangan karakter mahasiswa calon pendidik. Jadi mahasiswa dan lembaga pendidikan melakukan pendalaman untuk melihat sejauh mana perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil pendidikan karakter, sehingga dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kemajuan untuk proses selanjutnya.

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa pelaksanaan pendidikan

karakter tidak dapat terwujud jika hanya mengandalkan komitmen satu atau beberapa pihak saja, melainkan semua individu yang terlibat dalam lingkungan pendidikan FKIP harus ikut berpartisipasi dalam mewujudkan lingkungan yang sehat dan kondusif agar visi FKIP UNS yang hendak menjadi lembaga penghasil dan pengembang calon pendidik yang berkarakter kuat dan cerdas dapat tercapai.

g. Strategi Pelaksanaan Pendidikan Karakter

Menurut Kemendiknas (2011:5- karakter di satuan pendidikan merupakan suatu kesatuan dari program manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah yang terimplementasi dalam pengembangan,

tersebut diwujudkan melalui pembelajaran aktif dengan penilaian berbasis kelas disertai dengan program remidiasi dan pengayaan. Berikut adalah strategi pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah:

a. Kegiatan Pembelajaran Kegiatan pembelajaran dalam kerangka pengembangan karakter peserta didik dapat menggunakan pendekatan kontekstual sebagai konsep belajar dan mengajar yang membantu guru dan peserta didik mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata, sehingga peserta didik mampu a. Kegiatan Pembelajaran Kegiatan pembelajaran dalam kerangka pengembangan karakter peserta didik dapat menggunakan pendekatan kontekstual sebagai konsep belajar dan mengajar yang membantu guru dan peserta didik mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata, sehingga peserta didik mampu

b. Pengembangan Budaya Sekolah dan Pusat Kegiatan Belajar Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu:

1) Kegiatan rutin Kegiatan rutin yaitu kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Misalnya kegiatan upacara hari Senin, upacara besar kenegaraan, pemeriksanaan kebersihan badan, piket kelas,

dimulai dan diakhiri, dan mengucapkan salam apabila bertemu guru, tenaga pendidik, dan teman.

2) Kegiatan spontan Kegiatan yang dilakukan peserta didik secara spontan pada saat itu juga, misalnya mengumpulkan sumbangan ketika ada teman yang terkena musibah atau sumbangan untuk masyarakat ketika terjadi bencana.

3) Keteladanan Merupakan perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan dan peserta didik dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik lain. Misalnya nilai disiplin, kebersihan dan kerapihan, kasih sayang, kesopanan, perhatian, jujur, dan kerja keras.

4) Pengkondisian

Pengkondisian yaitu penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter, misalnya kondisi toilet yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak yang dipajang di lorong sekolah dan di dalam kelas.

c. Kegiatan ko-kurikuler dan/atau kegiatan ekstrakurikuler Demi terlaksananya kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler yang mendukung pendidikan karakter, perlu didukung dengan perangkat pedoman pelaksanaan, pengembangan kapasitas sumber daya manusia dalam rangka mendukung pelaksanaan pendidikan karakter, dan revitalisasi kegiatan ko- kurikuler dan ekstrakurikuler yang sudah ada ke arah pengembangan karakter.

d. Kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat Dalam kegiatan ini, sekolah dapat mengupayakan terciptanya keselarasan antara karakter yang dikembangkan di sekolah dengan pembiasaan di rumah dan masyarakat.

Kemudian, menurut Abidinsyah (2011:5-6) strategi pendidikan karakter antara lain:

a. Kegiatan belajar mengajar. Pendidikan karakter bukanlah pembelajaran sebuah bidang studi akan tetapi menjadi bagian yang terintegrasi dalam keutuhan semua proses pembelajaran tiap bidang studi. Agar penginternalisasian nilai-nilai moral pada setiap bidang studi dapat terwujud secara efektif, maka diperlukan strategi pembelajaran yang memiliki keunggulan ganda yakni dampak instruksional dan penuturan dalam penguatan karakter. Pendekatan ini menurut para ahli pendidikan nilai disebut pendekatan integral yang memadukan kemampuan kognitif dan afektif. Strategi pembelajaran nilai dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yakni pendekatan klarifikasi nilai, penanaman nilai, perkembangan moral kognitif dan analisis nilai, serta pembelajaran berbuat. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat dibuat suatu skenario pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM). Selanjutnya sistem evaluasi perlu dikembangkan melalui indikator-indikator yang mampu untuk mengukur keberhasilan terhadap nilai-nilai yang diinginkan.

b. Budaya sekolah. Pendidikan karakter adalah upaya yang mesti berujung pada perubahan perilaku, dari perilaku yang tidak baik menjadi perilaku yang lebih baik. Pendidikan karakter dengan demikian tidak cukup sekedar diajarkan agar siswa tahu dan hafal, melainkan harus dilakukan dan menjadi sebuah perilaku. Mengajarkan karakter dengan demikian tidak cukup hanya dengan mengatakannya, mencatat, membacanya secara bersama, melainkan membutuhkan keteladanan dan kesiapan para guru untuk menjadi role of models di depan para siswanya. Oleh karena itu, guru sebagai warga sekolah mempunyai kesempatan besar melakukan pendidikan dan mestinya harus memiliki visi yang baik tentang pentingnya karakter, memberikan keteladanan di sekolah dengan menciptakan budaya kehidupan sekolah yang akan membentuk karakter anak didik, penciptaan kultur dan nilai yang ditetapkan melalui tata tertib dan peraturan di sekolah secara konsisten.

c. Kegiatan pengembangan diri. Setiap individu mendapatkan pendidikan melalui cara saat ia meluangkan waktu dan situasi ketika ia dilibatkan, serta dalam peristiwa yang dialaminya. Melalui perspektif pendidikan karakter maka dalam proses pembelajaran nilai, peserta didik harus melibatkan semua cara, kondisi dan peristiwa pendidikan. Oleh karena itu, keterlibatan langsung dari peserta didik dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler atau pengembangan diri merupakan wahana yang efektif dalam pengembangan kepribadian peserta didik yang matang atau kaffah. Matang berarti mampu mengaktualisasikan diri. Dalam konteks pendidikan nasional semua cara, kondisi dan peristiwa dalam kegiatan ekstrakurikuler sebaiknya selalu diarahkan pada kesadaran nilai-nilai universal agama sekaligus pemeliharaan fitrah beragama.

d. Keluarga dan masyarakat. Seperti halnya sekolah, keluarga memiliki arti penting bagi perkembangan karakter, kehidupan anak, akan tetapi keluarga memiliki corak pendidikan d. Keluarga dan masyarakat. Seperti halnya sekolah, keluarga memiliki arti penting bagi perkembangan karakter, kehidupan anak, akan tetapi keluarga memiliki corak pendidikan

Pendekatan yang digunakan Kemendiknas (2011:5-7) dalam stream top down ; kedua melalui stream bottom up; dan ketiga melalui Ketiga alur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Stream Top Down Jalur/aliran pertama inisiatif lebih banyak diambil oleh Pemerintah/ Kementerian Pendidikan Nasional dan didukung secara sinergis oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam stream ini pemerintah menggunakan lima strategi yang dilakukan secara koheren, yaitu:

1) Sosialisasi Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya pendidikan karakter pada lingkup/tingkat nasional, melakukan gerakan kolektif dan pencanangan pendidikan karakter untuk semua.

2) Pengembangan regulasi Untuk terus mengakselerasikan dan membumikan Gerakan Nasional Pendidikan Karakter, Kementerian Pendidikan Nasional bergerak mengonsolidasi diri di tingkat internal dengan melakukan upaya-upaya pengembangan regulasi untuk memberikan payung hukum yang kuat bagi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan pendidikan karakter.

3) Pengembangan kapasitas

Kementerian Pendidikan Nasional secara komprehensif dan massif akan melakukan upaya-upaya pengembangan kapasitas sumber daya pendidikan karakter. Perlu disiapkan satu sistem pelatihan bagi para pemangku kepentingan pendidikan karakter yang akan menjadi aktor terdepan dalam mengembangkan dan mensosialisikan nilai-nilai karakter.

4) Implementasi dan kerjasama Kementerian Pendidikan Nasional mensinergikan berbagai hal yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan karakter di lingkup tugas pokok, fungsi, dan sasaran unit utama.

5) Monitoring dan evaluasi Secara komprehensif Kementerian Pendidikan Nasional akan melakukan monitoring dan evaluasi terfokus pada tugas, pokok, dan fungsi serta sasaran masing-masing unit kerja baik di Unit Utama maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, serta stakeholder pendidikan lainnya. Monitoring dan evaluasi sangat berperan dalam mengontrol dan mengendalikan pelaksanaan pendidikan karakter di setiap unit kerja.

b. Stream Bottom up Pembangunan pada jalur/tingkat (stream) ini diharapkan dari inisiatif yang datang dari satuan pendidikan. Pemerintah memberikan bantuan teknis kepada sekolah-sekolah yang telah mengembangkan dan melaksanakan pendidikan karakter sesuai dengan ciri khas di lingkungan sekolah tersebut.

c. Stream Revitalisasi Program Pada jalur/tingkat ketiga, merevitalisasi kembali program-program kegiatan pendidikan karakter di mana pada umumnya banyak terdapat pada kegiatan ekstrakurikuler yang sudah ada dan sarat dengan nilai-nilai karakter.

Selanjutnya, tiga pendekatan tersebut diintegrasikan menjadi suatu

kesatuan baru yakni integrasi tiga pendekatan top down-bottom up-revitalisasi. Ketiga jalur/tingkat top down yang lebih bersifat intervensi, bottom up yang lebih bersifat penggalian best practice dan habituasi, serta revitalisasi program kegiatan yang sudah ada yang lebih bersifat pemberdayaan. Ketiga pendekatan tersebut, hendaknya dilaksanakan secara terintegrasi dalam keempat pilar penting kesatuan baru yakni integrasi tiga pendekatan top down-bottom up-revitalisasi. Ketiga jalur/tingkat top down yang lebih bersifat intervensi, bottom up yang lebih bersifat penggalian best practice dan habituasi, serta revitalisasi program kegiatan yang sudah ada yang lebih bersifat pemberdayaan. Ketiga pendekatan tersebut, hendaknya dilaksanakan secara terintegrasi dalam keempat pilar penting

kelas, pengembangan budaya satuan pendidikan, kegiatan ko-kurikuler, dan

dan atau virtual) pengembangan nilai/karakter dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan terintegrasi dalam semua mata kuliah (embeded approach hal ini, khusus untuk mata kuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, sesuai dengan misi kurikulernya untuk mengembangkan nilai dan sikap, maka pengembangan nilai/karakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan nilai (value/character education). Untuk semua mata kuliah tersebut nilai/karakter harus dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional effects) dan juga dampak pengiring (nurturant effects). Sementara itu untuk mata kuliah lainnya, yang secara formal memiliki misi akademik utama selain pengembangan nilai/karakter, wajib dikembangkan berbagai kegiatan yang diyakini memiliki dampak pengiring (nurturant effects) bagi berkembangnya nilai/karakter dalam diri peserta didik. Kemudian ditambahkan lagi oleh Winataputra (2010) bahwa,

Dalam lingkungan satuan pendidikan tinggi, suasana kehidupan kampus (riil untuk PT tatap muka dan/atau virtual/sistemik untuk PTJJ) seyogyanya dikondisikan agar lingkungan fisik dan alam, akademik, sosial-kultural, dan/atau lingkungan komunikasi elektronik pada satuan pendidikan memungkinkan para peserta didik bersama dengan sivitas akademika dan tenaga kependidikannya terbiasa membangun kegiatan keseharian di satuan pendidikannya yang memang mencerminkan perwujudan nilai/karakter.

Dalam kegiatan kokurikuler, yakni kegiatan belajar di luar kelas atau

di luar website yang terkait langsung pada suatu materi dari suatu mata pelajaran seperti di studio, laboratorium dan sejenisnya, serta kegiatan ekstra kurikuler, yakni kegiatan satuan pendidikan yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran, seperti kegiatan pengembangan bakat minat dan inovatif-kreatif, dll, perlu dikembangkan proses pembiasaan (habituation) dan di luar website yang terkait langsung pada suatu materi dari suatu mata pelajaran seperti di studio, laboratorium dan sejenisnya, serta kegiatan ekstra kurikuler, yakni kegiatan satuan pendidikan yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran, seperti kegiatan pengembangan bakat minat dan inovatif-kreatif, dll, perlu dikembangkan proses pembiasaan (habituation) dan

Sedangkan di lingkungan keluarga masing-masing, termasuk keluarga

besar Asrama, dan di masyarakat serta lingkungan virtual seperti facebook, blog, twitter harus selalu diupayakan agar terjadi proses penguatan dari pendidik dan pimpinan perguruan tinggi, serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter mulia yang dikembangkan menjadi kegiatan keseharian. Dalam bidang penelitian, perguruan tinggi dapat mengembangkan pusat kajian, kegiatan penelitian dan pengembangan, pertemuan ilmiah, pelatihan, dan sejenisnya dalam upaya pendidikan karakter yang hasilnya dapat disumbangkan untuk meningkatkan kualitas dan dampak pendidikan karakter dalam konteks pembangunan karakter bangsa.

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI DALAM RAHIM DENGAN KEJADIAN KEHAMILAN EKTOPIK SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

1 1 56

PENGARUH BENTUK PENAMPANG RUNNER TERHADAP CACAT POROSITAS DAN NILAI KEKERASAN PRODUK COR ALUMINIUM CETAKAN PASIR SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

0 0 37

PERBANDINGAN KEADAAN SATURASI OKSIGEN PADA INHALASI HALOTAN DAN ISOFLURAN SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 46

PENGARUH EKSTRAK DAUN SALAM (Syzygium polyanthum,Wight) TERHADAP WAKTU KEMATIAN Ascaris suum, Goeze In Vitro SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 52

SKRIPSI PEMANFAATAN BAKTERIOFAGE SEBAGAI AGEN PENGENDALIAN HAYATI BUSUK HITAM PADA KUBIS Ibnati Barroroh H 0708110

0 1 42

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL KEPALA KELUARGA DENGAN PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK AEDES SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 1 81

ANALISIS PERSEDIAAN BAHAN BAKU KEDELAI DI INDUSTRI PENGOLAHAN TEMPE SAMODRA KOTA SURAKARTA SKRIPSI Program Studi Agribisnis

0 5 112

HUBUNGAN KECEMASAN DENGAN GANGGUAN SIKLUS MENSTRUASI PADA SISWI KELAS XII SMA NEGERI 1 SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 37

Studi Perkembangan Prestasi Olahraga Pada Npc (National Paralympic Committee) Indonesia Tahun 2008-2012

0 0 128

SKRIPSI KARAKTERISASI MORFOLOGI BEBERAPA ANGGREK ALAM JAWA TIMUR DAN JAWA BARAT DIAN PURNAMASARI H 0708166

1 4 79