Tinjauan Persepsi dan Perilaku
2. Tinjauan Persepsi dan Perilaku
a. Persepsi
Persepsi merupakan cara pandang terhadap sesuatu hal. Individu
mengenali dunia luarnya dengan alat inderanya. Bagaimana individu dapat mengenali dirinya sendiri maupun keadaan sekitarnya, hal ini berkaitan dengan persepsi (perception). Melalui stimulus yang diterimanya, individu akan mengalami persepsi. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat inderanya. Persepsi berkaitan dengan tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu.
Menurut Gerungan (200 cepat melihat dan memahami perasaan-perasaan, sikap-sikap dan kebutuhan-
mulus
yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang
Dengan demikian, proses interpretasi dan pengorganisasian merupakan
proses pemberian makna terhadap stimulus oleh individu yang menerimanya. Hal ini berarti bahwa stimulus menjadi sesuatu yang tidak bermakna ketika tidak ditafsirkan, dimengerti, dan diberi oleh individu penerima stimulus. Manusia mempunyai kecenderungan untuk membentuk kesan akan informasi meskipun mereka hanya mempunyai sedikit informasi dan terkadang proses pengolahan informasi yang mereka lakukan sebenarnya dilakukan berada di bawah dominasi perasaan bukan oleh pikiran.
Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter di FKIP, proses
interpretasi makna atas visi berkarakter kuat dan cerdas merupakan proses awal pembentukan persepsi terhadap bagaimana seharusnya kepribadian seorang pendidik. Hal ini menjadi sangat penting terutama dalam mengarahkan pandangan mahasiswa dalam mengembangkan diri sesuai dengan nilai-nilai karakter yang diharapkan FKIP.
b. Perilaku
Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan
seperti pengetahuan, persepsi, minat, keinginan dan sikap. Perilaku yang dilakukan individu itu tidak timbul dengan sendirinya, melainkan sebagai akibat dari stimulus atau rangsangan yang diterima individu baik dari luar (eksternal) maupun dari dalam (internal) individu yang bersangkutan. Pendapat Josef Banka (1977) yang dikutip Mangunwijaya (1993: 71) menjelaskan bahwa perilaku seperti pengetahuan, persepsi, minat, keinginan dan sikap. Perilaku yang dilakukan individu itu tidak timbul dengan sendirinya, melainkan sebagai akibat dari stimulus atau rangsangan yang diterima individu baik dari luar (eksternal) maupun dari dalam (internal) individu yang bersangkutan. Pendapat Josef Banka (1977) yang dikutip Mangunwijaya (1993: 71) menjelaskan bahwa perilaku
kecenderungan atau keterarahan pada suatu tujuan tertentu, kemampuan yang berhubungan dengan struktur kegiatan yang kurang lebih berkaitan dengan lingkungan, dan dinamika yang menemukan pengungkapannya dalam energi dan irama kegiatan itu sendiri. Sehingga, perilaku adalah salah satu bagian dari budaya dan berpengaruh terhadap perilaku yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Perilaku pada manusia dapat dibedakan menjadi 2, yakni perilaku yang
refleksif dan perilaku non-refleksif. Perilaku refleksif merupakan perilaku yang terjadi atas reaksi secara spontan terhadap stimulus yang mengenai organisme tersebut. Stimulus yang diterima tidak sampai ke otak sebagai pusat susunan syaraf, yakni pusat pengendali perilaku. Dalam perilaku refleksif, respon langsung timbul begitu menerima stimulus. Sedangkan perilaku non-refleksif adalah perilaku yang dikendalikan atau diatur oleh pusat kesadaran atau otak.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku
merupakan suatu tindakan yang mengatur hubungan antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya, baik yang terjadi secara spontan maupun dikendalikan oleh kesadaran. Perilaku dan aktivitas atas dasar psikologis inilah yang disebut aktivitas psikologis atau perilaku psikologis. Walgito (2003:
15) menjelaskan pendapat Skinner bahwa perilaku dibedakan menjadi 2, yaitu:
1) Perilaku yang alami (innate behavior) yang kemudian disebut juga sebagai responent behavior , yaitu perilaku yang ditimbulkan oleh stimulus yang jelas, misalnya perilaku yang bersifat refleksif
2) Perilaku operan (operant behavior) yaitu perilaku yang ditimbulkan stimulus yang tidak diketahui, tetapi semata-mata ditimbulkan oleh organisme itu sendiri. Perilaku operan belum tentu didahului oleh stimulus dari luar.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada beberapa hal yang menjadi latar belakang dalam pembentukan perilaku, di antaranya adalah:
1) Cara pembentukan perilaku dengan kondisioning atau kebiasaan Salah satu pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan kondisioning atau kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut.
2) Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight) Di samping pembentukan perilaku dengan kondisioning atau kebiasaan, pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan pengertian atau insight.
3) Pembentukan perilaku dengan menggunakan model Pembentukan perilaku juga dapat dibentuk dengan menggunakan model atau contoh. Hal ini didasarkan atas teori belajar sosial (social learning theory )
Sehingga dapat dijelaskan bahwa perilaku manusia tidak dapat lepas
dari keadaan individu itu sendiri maupun lingkungan di mana individu tersebut berada. Perilaku manusia itu didorong oleh beberapa motif tertentu seperti kebiasaan, melalui pengertian (insight) serta menggunakan model. Dengan demikian kondisi tersebut membawa manusia memiliki perilaku yang berpengaruh terhadap kehidupan dan lingkungannya. Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter, yang dinilai sebagai hasil bukanlah sekedar pengetahuan dan perasaan yang diucapkan atau dikatakan, melainkan perubahan perilaku yang mengarah semakin positif, sesuai dengan nilai-nilai berkarakter kuat dan cerdas.
Dalam pandangan yang lain, Weber tindakan ialah perilaku manusia yang mempunyai makna subyektif bagi
tindakan bukanlah hal yang introspektif, melainkan lebih bersifat empati, yakni bagaimana menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang melakukan tindakan, dan situasi serta tujuan-tujuan mau dilihat menurut persektif tersebut. Kemudian Weber juga menambahkan mengenai tipe-tipe tindakan sosial, yang mendasarkan pada pentingnya rasionalitas. Hal ini berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan (Johnson, 1986: 219-221).
1) Rasional instrumental Tindakan rasional instrumental meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan dan alat yang digunakan untuk mencapainya. Individu yang memiliki berbagai tujuan, dipandang mampu memilih suatu tujuan dengan kriteria tertentu. Kemudian, memilih alat-alat yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang dipilihnya. Akhirnya, pilihan menunjukkan pertimbangan efisisensi dan efektivitas individu.
2) Rasional berorientasi nilai Tindakan rasional berorientasi nilai menunjukkan bahwa telah ada nilai- nilai yang bersifat absolut yang menentukan tujuan-tujuan, di mana kemudian alat-alat yang digunakan untuk mencapainya, merupakan obyek pertimbangan yang sadar.
3) Tindakan tradisional Tindakan tradisional merupakan tindakan yang bersifat nonrasional. Individu yang berperilaku karena kebiasaan, atau yang mungkin dilakukan secara umum oleh banyak orang dalam kelompok atau masyarakatnya, tanpa melakukan refleksi yang sadar maupun perencanaan, perilaku inilah yang digolongkan sebagai tindakan tradisional.
4) Tindakan afektif Tindakan ini ditandai dengan dominasi perasaan atau emosi, tanpa adanya refleksi intelektual ataupun perencanaan yang sadar. Tindakan ini bersifat tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, maupun kriteria rasionalitas lain.
Meski begitu, keempat tipe tindakan tersebut merupakan bentuk tipe
ideal. Tidak banyak tindakan yang seluruhnya sesuai dengan salah satu tipe ideal tersebut. Misalnya, suatu tindakan tradisional mungkin mencerminkan kepercayaan pada nilai-nilai tradisi dalam masyarakat, di mana berarti tindakan ini mengandung rasionalitas yang berorientasi nilai. Pola perilaku khusus yang sama mungkin bisa sesuai dengan kategori-kategori tindakan sosial yang berbeda dalam situasi-situasi yang berbeda, tergantung pada orientasi subyektif dari ideal. Tidak banyak tindakan yang seluruhnya sesuai dengan salah satu tipe ideal tersebut. Misalnya, suatu tindakan tradisional mungkin mencerminkan kepercayaan pada nilai-nilai tradisi dalam masyarakat, di mana berarti tindakan ini mengandung rasionalitas yang berorientasi nilai. Pola perilaku khusus yang sama mungkin bisa sesuai dengan kategori-kategori tindakan sosial yang berbeda dalam situasi-situasi yang berbeda, tergantung pada orientasi subyektif dari