TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
Keterkaitan antara struktur modal dengan nilai perusahaan telah menjadi subyek yang menarik untuk diperdebatkan sampai saat ini. Sebagaimana telah
dikemukakan di atas, pemicu perdebatan itu adalah Modigliani dan Miller (1958) yang menyatakan bahwa dengan asumsi pasar modal sempurna, struktur modal tidak relevan dalam menentukan nilai perusahaan. Nilai perusahaan menurut mereka lebih ditentukan oleh aktiva riil yang diinvestasikan di dalam perusahaan.
Tetapi setelah hampir 20 tahun, Jensen dan Meckling (1976) mendemontrasikan bahwa struktur modal dapat mempengaruhi nilai perusahaan. Kemudian setelah paper Jensen dan Meckling (1976) tersebut, banyak penelitian-penelitian yang
berusaha menguji pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan. Brealey dan Myers (2003) mendeinisikan bahwa struktur modal perusahaan adalah keputusan atas bauran menggunakan hutang dan ekuitas dalam pendanaan
operasi perusahaan. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa pemilihan struktur modal secara fundamental dapat memaksimalkan nilai perusahaan. Hal tersebut
juga ditegaskan oleh Weston dan Brigham (1992) yang menyatakan bahwa struktur modal optimal adalah kombinasi struktur modal yang mampu memaksimalkan nilai pasar saham perusahaan.
Struktur modal perusahaan pada dasarnya dapat dijelaskan melalui 2 (dua) teori utama yaitu trade-off theory dan pecking order theory. Dalam trade-off theory dinyatakan bahwa struktur modal optimal dapat ditentukan oleh keseimbangan biaya dan manfaat yang berhubungan dengan pendanaan menggunakan sumber dana hutang. Pendanaan dengan hutang di satu pihak dapat mendatangkan manfaat
dalam penghematan pajak perusahaan, karena pajak dibayarkan oleh perusahaan setelah perusahaan membayar kewajiban tetap berupa pembayaran bunga. Tetapi pendanaan dengan hutang di lain pihak mendatangkan risiko dan konlik kepentingan antara manajer dan pemegang saham. Pendanaan dengan hutang, bagaimanapun mengharuskan sebuah komitmen aliran kas keluar perusahaan berupa pembayaran bunga dan pokok pinjaman, dan lebih lanjut ini akan dapat meningkatkan kemungkinan kesulitan keuangan di masa depan. Bagaimanapun temuan studi yang menunjukkan kemungkinan kesulitan keuangan relatif sedikit dibandingkan dengan temuan studi yang menunjukkan manfaat dari pendanaan hutang. Sehingga dukungan atas trade-off theory lebih kepada keuntungan perusahaan dengan adanya pendanaan hutang yaitu meningkatnya proitabilitas perusahaan karena mendapat manfaat dari penghematan pajak. Sejumlah studi menemukan bukti yang memberikan dekungan bahwa terdapat pengaruh positif tingkat hutang dengan kinerja perusahaan (Roden dan Lawellen,1995; Ghosh et.al., 2000; Hadlock and James, 2002; dan Berger and Bonaccorsi di Pati, 2006).
Teori struktur modal yang kedua disebut pecking order theory yang dikembangkan oleh Myers (1984) dan Myers dan Majluf (1984). Butir penting
dari teori ini adalah adanya informasi asimetris antara manajer dengan investor
Prosiding Seminar Nasional dan Call Of Paper FE “UPN” Yogyakarta 16-18 November 2011 Buku 2
tentang kesempatan investasi perusahaan. Adanya informasi asimetris tersebut, para manajer mempunyai informasi yang lebih baik dari pada investor luar
perusahaan (pasar), sehingga memampukan mereka untuk memanfaatkan situasi di mana investor luar overestimated terhadap arus kas masa depan perusahaan atas penerbitan saham baru perusahaan. Manajer lebih suka untuk menerbitkan saham baru, jika mengindikasikan arus kas akan turun di kemudian hari. Sebaliknya jika di kemudian hari manajer percaya bahwa arus kas perusahaan akan meningkat, maka manajemen akan lebih suka untuk memilih pinjaman dari pada meraih dana investasi melalui penjualan saham baru perusahaan. Dalam konteks pecking order theory , manajer akan lebih menyukai pendanaan yang bersumber dari internal perusahaan yang berupa laba ditahan sebagai alaternatif pertama. Jika sumber ini tidak mencukupi, maka manajer baru mencari alternatif sumber dari luar perusahaan yang berupa hutang sebagai alternatif kedua, dan baru sebagai alternatif yang terakhir melalui penerbitan saham baru perusahaan. Jadi mengacu kepada pecking order theory, perusahaan yang proitabel atau mampu menghasilkan laba yang tinggi ketika menggunakan sedikit hutang dalam struktur modalnya, dari pada menggunakan laba ditahan. Konsekuensi dari pecking order theory adalah terdapat pengaruh negatif tingkat pendanaan dengan hutang terhadap kinerja perusahaan (proitabilitas). Beberapa studi yang mendukung pecking order theory yaitu terdapat penguruh negatif tingkat hutang dengan kinerja perusahaan disampaikan oleh Fama dan French (1998); Gleason et.al. (2000); Simerly dan Li (2000); Fama dan French (2002) dan Abor (2005 dan 2007).
Berdasarkan penelitian-penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada teori yang universal dalam hal pemilihan apakah menggunakan hutang ataupun ekuitas dalam struktur modal perusahaan, maka dalam penelitian berikut ini dapat dirumuskan hipotesis 1, hipotesis 2 dan hipotesis 3:
H1: Pemilihan struktur modal (penggunaan hutang jangka panjang) berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.
H2: Besarnya hutang jangka pendek berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.
H3: Besarnya total hutang berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) dalam papernya menunjukkan bahwa besarnya
leverage dalam struktur modal perusahaan mempengaruhi agency conlict antara manajer dengan pemegang saham, karena di satu sisi leverage merupakan alternatif
pendanaan bagi manajer dalam kerangka peningkatan kinerja perusahaan, namun di sisi lain ini merupakan risiko bagi para pemegang saham. Sementara itu Myers dan Majluf (1984) menyampaikan adanya informasi asimetris antara
manajer dengan investor tentang kesempatan investasi perusahaan, berkait dengan pendanaan dengan hutang. Adanya informasi asimetris tersebut, para manajer
mempunyai informasi yang lebih baik dari pada investor luar perusahaan (pasar),
Buku 2 Prosiding Seminar Nasional dan Call Of Paper FE “UPN” Yogyakarta 16-18 November 2011
sehingga memampukan mereka untuk memanfaatkan situasi dalam melihat arus kas masa depan perusahaan. Manajer lebih suka untuk menerbitkan saham baru, jika mengindikasikan arus kas akan turun di kemudian hari. Sebaliknya jika di kemudian hari manajer percaya bahwa arus kas perusahaan akan meningkat, maka manajemen akan lebih suka untuk memilih pinjaman dari pada meraih dana investasi melalui penjualan saham baru perusahaan. Atas situasi itulah dapat dirumuskan hipotesis 4 berikut ini:
H4: Besarnya kepemilikan saham publik berpengaruh negatif terhadap kinerja perusahaan.
Penelitian ini juga menyertakan variabel pertumbuhan penjualan perusahaan dan asset yang digunakan dalam operasional perusahaan sebagai sebagai variabel yang dapat menentukan kinerja perusahaan. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa pendanaan dengan menggunakan hutang dapat berdampak positif terhadap kinerja perusahaan (Roden dan Lawellen,1995; Ghosh et.al., 2000; Hadlock and
James, 2002; dan Berger and Bonaccorsi di Pati, 2006). Pertumbuhan penjualan perusahaan dan besarnya asset yang digunakan, sangat dimungkinkan sebagai bentuk dari pendanaan yang menggunakan hutang. Selanjutnya kinerja perusahaan dapat ditentukan dari besar kecilnya asset yang digunakan perusahaan maupun naik turunnya penjualan yang dihasilkan perusahaan. Maka atas dasar situasi tersebut dapat dirumuskan hipotesis 5 dan hipotesis 6 berikut ini.
H5: Pertumbuhan penjualan berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan.
H6: Besarnya asset yang digunakan berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan.