Latar Belakang
A. Latar Belakang
Selama kurun waktu empat belas tahun terakhir, teori dan riset mengenai kepemimpinan lebih banyak mempertimbangkan pada kajian efektivitas pemimpin
dalam aplikasi gaya kepemimpinan transformasional dan karismatik dalam organisasi (Groves, 2006). Model kepemimpinan dalam kurun waktu tersebut berfokus pada kreativitas pemimpin, komunikasi, dan implementasi visi yang dipandang memiliki kesesuian yang tinggi dengan kebutuhan saat itu dan menjadi penyemangat dalam organisasi khususnya dalam memotivasi anggota (Larwood & Falbe, 1995; Strange & Mumford, 2002; Berson et al., 2001). Namun, di masa saat ini sebagian besar studi kepemimpinan memandang bahwa pemimpin yang patut diteladani oleh anggota / bawahan berkarakter visioner dan inspirasional (Rafferty & Grifin, 2004); Bass & Avolio, 1994; Conger, 1999). Akhir-akhir ini studi empiris dan review yang bersifat meta analisis menunjukkan efek gaya visioner yang powerful baik terhadap individu, kelompok, maupun organisasi (Grovers, 2006). Hasil riset Waldman et al ., 2001 menunjukkan bahwa kepemimpinan visioner berpengaruih positif terhadap net proit margin. Di samping itu kepemimpinan visioner juga berpengaruh terhadap persepsi anggota tentang keefektifan pemimpinnya (Dumdum et al., 2002). Untuk mendukung pengaruh positif kepemimpinan visioner dalam organisasi, beberapa studi kembali memusatkan perhatian pada keterampilan interpersonal dan kompetensi yang dipandang perlu untuk mengaplikasikan perilaku kepemimpinan visioner tersebut.
Riset permulaan yang dimulai sekitar akhir tahun 1980, beberapa studi mengenai kepemimpinan menguji keterampilan komunikasi emosional sebagai prediktor kunci dalam keefektifan kepemimpinan visioner. Studi empirik yang
telah dilakukan oleh Howell & Frost (1989), Holladay & Coombs (1994), Awamleh & Gardner (1999) dan Hartog & Verburg (1997) menghasilkan hubungan antara vision content (visioner VS non visioner) dan gaya berkomunikasi (ekpresi non verbal dan tanpa ekspresi non verbal) dengan metode eksperimen dimana instruktur berperan sebagai pemimpion dan siswa berperan sebagai anggota/ bawahan. Sebagian besar hasil riset-riset ini secara umum mendukung adanya hubungan antara ekspresi emosi dalam berkomunikasi yang dikarakteristikkan
dalam bentuk: kontak mata, ungkapan / ekspresi wajah, gerakan tangan, tekanan nada dengan persepsi anggota mengenai keefektifan gaya visioner, karismatik
maupun keefektifan kepemimpinan. Namun, hingga beberapa tahun terakhir belum cukup studi yang menguji
hubungan antara ekpresi emosi yang diungkapkan pemimpin terhadap anggotanya dengan keefektifan kepemimpinan, gaya visioner dan perubahan organisasi (Groves, 2006). Peneliti kepemimpinan pada era saat ini cenderung menaruh perhatian pada peran kecerdasan emosi sebagai kompetensi interpersonal kritis bagi pemimpin. Baik studi empirik dan teori membuktikan hubungan antara kompetensi emosi pemimpin termasuk kesadaran diri, ungkapan emosi, pengendalian diri,
Buku 2 Prosiding Seminar Nasional dan Call Of Paper FE “UPN” Yogyakarta 16-18 November 2011
dan empati. Pemimpin dengan kompetensi emosi yang lebih besar lebih sesuai diaplikasik dalam gaya kepemimpinan visioner dan menimbulkan kesan positif baik terhadap individu, kelompok maupun organisasi (Groves, 2006). George (2000) menggambarkan bagaimana aspek kecerdasan emosi termasuk di dalamnya : penilain dan ungkapan emosi, pengetahuan tentang emosi, dan manajemen emosi menfasilitasi kemampuan seorang pemimpin untuk mengembangkan tujuan kolektif dengan anggota melalui semangat bersama, kepercayaan diri, dan keyakinan. Secara umum beberapa studi kepemimpinan menyetujui bahwa potensi perilaku yang mengarah pada kepemimpinan visioner tergantung pada kuatnya kemampuan seseorang untuk dalam mengelola emosi mereka (Groves, 2006).
Kontribusi teori dan beragam studi empiris banyak memberi dukungan dalam hubungan antara kompertensi mengelola emosi dan keefektifan organisasi. Hasil studi Sosik (2001); Bar-On (2007); Mayer & Salovey (1997), dan Goleman (1998) menemukan bahwa kesadaan diri (self awareness) sebagai sebuah aspek yang sangat dibutuhkan dalam kecerdasan emosi. Banyak studidalam perkembangannya cenderung menghasilkan adanya hubungan antara model kecerdasan emosi komprehensif dengan gaya transformasional, karismatik, dan visioner (Dvir et al., 2004; Srivastava & Bharamanaikar, 2004).
Melalui riset empiris yang menghubungkan antara kompetensi kecerdasan emosi dengan kepemimpinan visioner, sebagian besar menemukan hasil yang cukup kuat bahwa pemimpin visioner yang efektif memiliki kemampuan tinggi untuk mengkomunikasikan visinya kepada anggota. Beberapa studi menemukan bahwa bahwa kekuatan cara mentransfer dikarakteristikkan dengan cara non verbal, keterampilan mengkomunikasikan emosi pemimpin kepada anggotanya adalah sebuah kunci yang cukup menentukan bagi keefektifan kepemimpinan
(Howel & Frost, 1989; Holladay & Coombs, 1994; Awamleh &Gardner, 1999). Berkaitan dengan masalah peran variabel-variabel moderator dalam
memediasi pengaruh gaya kepemimpinan visioner terhadap kesiapan individu untuk berubah, belum banyak penelitian empiris yang dilakukan, padahal penting bagi keberhasilan perubahan organisasi / perusahaan. Kebanyakan literatur membahas strategi menghadapi resistensi perubahan (Armenakis, Harris & Mossholder, 1993) dan pengklasiikasian perubahan (Rafferty & Simons, 2006) daripada kesiapan berubah. Berdasar alasan tersebut, maka studi empiris mengenai peran pemimpin dengan gaya visioner dalam mempengaruhi kesiapan untuk berubah karyawan, perlu dilakukan. Di samping itu dibutuhkan juga studi empiris yang memasukkan beberapa variabel moderasi dalam hubungan antara peran pemimpin visioner dengan kesiapan individu untuk berubah karena bisa jadi dengan adanya variabel moderasi tersebut semakin memperkuat pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kesiapan individu untuk berubah., sehingga dibutuhkan variabel seperti ( Self-eficacy) dan leader emotional expressivity (Armenakish et al., 1993; Pond, Armenakis & Green, 1984 dalam Cunningham, 2002).
Prosiding Seminar Nasional dan Call Of Paper FE “UPN” Yogyakarta 16-18 November 2011 Buku 2
Menurut Armenakis et al. (1993) bahwa ada empat penentu kesiapan berubah:
1. Pesan yang dikomunikasikan ke para karyawan untuk meyakinkan mereka bahwa perubahan memang dibutuhkan dan bahwa perusahaan mampu melakukan perubahan.
2. Dinamika interpersonal dan sosial yang mencakup namun tidak terbatas pada struktur kognitif dan latar beiakang budaya individu; bahkan Armenakis et al. (1993) mengatakan bahwa perbedaan struktur kognitif dan latar belakang
budaya dapat membawa perbedaan kesiapan individu untuk berubah.
3. Strategi mempengaruhi yang meliputi (a) komunikasi persuasif untuk meyakinkan para karyawan bahwa perubahan memang dibutuhkan dan bahwa perusahaan mampu melakukan perubahan, (b) partisipasi aktif para karyawan untuk mempelajari lebih rinci semua hai yang terkait perubahan dan keterlibatan langsung mereka dalam proses perubahan, dan (c) berbagai informasi eksternal yang dapat digunakan untuk mendukung pesan-pesan mengenai perubahan yang dikirimkan ke para karyawan.
4. Atribut-atribut agen perubahan, seperti kredibilitas, dapat dipercaya, ketulusan dan keahlian/kemampuan. Atribut-atribut ini amat penting bagi agen perubahan membawa pesan guna meyakinkan para karyawan akan arti penting perubahan bagi masa depan perusahaan dan kesungguhan perusahaan untuk berubah.
Dalam suatu studi lain yang relevan, Eby, Adams, Russell dan Gaby (2000) menemukan bahwa:
1. Pada tataran individual, preferensi untuk bekerja dalam kelompok meningkatkan kesiapan untuk berubah.
2. Pada tataran kelompok, persepsi partisipatif dan kepercayaan diantara anggota kelompok berhubungan secara positif dengan kesiapan untuk berubah.
3. Individu yang menganggap kebijakan perusahaan cukup leksibel menunjukkan dukungan atas per ubahan struktur organisasi menuju berbasis tim.
Lebih lanjut, Cunningham, Woodward, Shannon. Macintosh, Lendrum dan Rosenbloom (2002) menemukan bahwa para karyawan yang menduduki posisi
dengan tuntutan kerja yang lebih tinggi dan kewenangan pengambilan keputusan cenderung lebih siap untuk berubah.
Secara ringkas, mengacu pada berbagai penelitian sebelumnya, faktor-faktor penentu kesiapan berubah dikelompokkan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor terkait informasi dan komunikasi yang utamanya meliputi sumber- sumber informasi, pesan perubahan dan pengkomunikasian pesan perubahan.
2. Faktor-faktor terkait individu seperti rasa percaya pada kemampuan diri, partisipasi aktif individu dalam proses perubahan, pendekatan aktif dalam
Buku 2 Prosiding Seminar Nasional dan Call Of Paper FE “UPN” Yogyakarta 16-18 November 2011
pengambilan keputusan, latar belakang budaya, interaksi dengan rekan kerja, preferensi terhadap lingkungan kerja berbasis tim, dan atribut-atribut individu yang menjadi agen perubahan.
3. Faktor-faktor kontekstual yang termasuk dan tidak terbatas pada leksibilitas kebijakan dan prosedur kerja, dinamika dan otonomi pekerjaan, dukungan
logistik dan sistem, serta kepemimpinan perusahaan. Meski literatur kesiapan berubah menempatkan informasi dan komunikasi
sebagai salah faktor penentu kesiapan berubah, namun literatur belum secara spesiik menyebutkan tujuan-tujuan perubahan sebagai informasi penting yang perlu
dikomunikasikan ke para karyawan. Dengan kata lain, tujuan-tujuan perubahan sebagai informasi penting yang perlu dikomunikasikan ke para karyawan masih
luput dari penelitian kesiapan berubah. Faktor-faktor kontekstual dalam kesiapan berubah dapat dikelompokkan
jadi elemen-elemen organisasional (misal: kebijakan dan prosedur kerja), metoda (misal: dinamika pekerjaan) dan sosial (misal: kepemimpinan perusahaan). Faktor-faktor individual pada dasarnya merupakan elemen manusia dalam model. Penelitian terdahulu terkait faktor atau elemen ini dalam kesiapan berubah utamanya mengenai rasa percaya pada kemampuan diri, partisipasi dan interaksi. Sayangnya, penelitian-penelitian tersebut masih belum menyentuh aspek-aspek mendasar dari pemimpin sebagai igur sentral kesuksesan sebuah organisasi. Pemimpin dengan kemampuan mengekspresikan emosinya secara tepat kepada anggotanya cenderung masih jarang dan jauh dari inspirasi penelitian selanjutnya. Oleh karena itulah, penelitian ini mencoba menguji efek moderasi dari leader emotional expressivity dalam hubungan antara gaya kepemimpinan vissioner dengan kesiapan individu untuk berubah.